Gambar dari sini
Cerpen Ini Ditulis Dalam Rangka Mengikuti kuis #GAZaki4
Bertema Hari Ibu,Desember 2015
Arin masih menyusun benang-benang
rajut warna-warni yang dia beli di toko khusus pernak-pernik rajutan ke dalam
dus berbentuk hati. Dus itu Arin beli di sebuah toko khusus asesoris dan
bentuknya hati dengan tutup terbuat dari kaca. Dari situ akan tampak hadiah
yang akan diberikan pada ibunya. Arin tahu ibunya suka sekali merajut. Dulu
selagi kecil Arin sering dibuatkan mantel rajut , topi rajut buatan ibunya.
Teman-temannya sering iri melihat mantel dan topi rajut buatan ibunya.
Mengapa??? Karena barang-barang tadi tak ada di toko. Hanya Arin yang punya.
Bukan itu saja ibunya sering membawakan bekal yang setiap hari berbeda dengan
aneka kue yang cantik dan enak. Arin tersenyum sendiri mengingat wajah ibunya.
Ah, sudah tak sabar untuk mengunjungi ibunya.Arin ingin mengunjungi ibunya saat
hari ibu. Arin ingin bersujud di kaki ibunya. Hadiah ini tak seberapa dibanding
dengan cinta ibunya padanya. Kasih tulus yang tak pernah berhenti apapun yang
terjadi. Arin tahu itu. Tiba-tiba saja air mata Arin menetes perlahan. Cepat
dibersihkannya lagi air matanya. Ada perasaan sedih yang menyeruak di relung hatinya
yang terdalam. Masih ada bekas hati yang mendendam pada ibunya. Dulu sekali.
Saat semuanya terbongkar. Rahasia ibu. Arin mengejap-ngejapkan matanya. Dia tak
mau menangis.. Arin terisak perlahan. Kepalanya menunduk, air matanya terjatuh
membasahi dus berisi benang rajut. Ah, peristiwa itu sudah lama berlalu, sudah
lama.....
Arin masih ingat , dia gadis ceria.
Hidupnya bahagia bersama ibunya. Walau Arin tahu dia belum lengkap
kebahagiaannya karena ketiadaan bapaknya. Bapak pergi jauh, tak pernah kembali.
Arin tak pernah protes karena dia sudah bahagia dengan kasih ibunya. Itu sudah
cukup baginya. Dia tak perlu yang lain. Arin tumbuh menjadi remaja cantik
dengan prestasi yang tinggi. Banyak pria yang naksir padanya tapi semua hanya
dia anggap teman. Baginya sekolah nomer satu. Itu pesan ibunya untuk sekolah
setinggi mungkin agar kehidupan lebih baik. Kepopulerannya membuat salah satu
temannya tak suka, padahal Fitri itu tetangganya. Dari kecil mereka berteman.
Entahlah Arin merasa semakin hari rasa tak suka Fitri padanya makin tampak.
Bahkan Arin mengajak pulang bersamapun ia tak mau. Arin bingung. Salah apa
dirinya???? Sampai suatu hari Ada perkataan Fitri yang membuat rasa nyeri hati
Arin.
“Pulang yuk Fit,” tukas Arin. Fitri mengangakt bahunya .
Fitri menatap Arin dengan tatapan jijik. Arin memandangnay heran. Ada apa
dengan Fitri????
“Aku gak mau pulang bersama anak haram .”tukasnya ketus.
“Maksudnya apa?”
“Tanya sendiri sama ibumu.” Fitri berlalu . Arin hanya
menghela nafas. Arin tahu Fitri tak suka dengannya. Banyak temanya bilang kalau
Fitri iri pada dirinya. Ah, mungkin itu hanya rasa marah Fitri padanya saja.
Arin tak ambil pusing dengan perkataan Fitri tadi. Toh selama ini dia baik-baik
saja. Arin percaya dengan ibunya. Tapi Fitri selalu mengucapkan beberapa kali kalau
Arin anak haram. Bahkan sekarang lebih blak-blakan sampai semua temannya mendengar.
Arin terpukul. Perasaannya sakit. Dia pulang dengan berurai air mata.
“Ada apa?”
“Bu, benar aku anak haram?” Arin pandangi ibunya. Arin ingin
melihat gelengan kepala ibu.
“Kamu tahu dari mana??
Arin menceritakan apa yang diomongkan Fitri. Bahkan dia menanyakan langsung
pada ibunya Fitri. Dan ibunya Fitri membenarkan semua itu. Oh, Arin ingin
melihat ibunya mengatakan tidak. Tapi ibu hanya diam saja.
“Bu, tolong jawab jujur. Benar tidak apa yangdikatakan
Fitri?” Arin mulai terisak. Ibunya
merengkuh Arin tapi Arin menolaknya.
“Jawab dulu bu,” tukasnya cepat. Ibunya terdiam lama.
Perlahan ibunya mulai menceritakan kejadian sebenarnya. Arin semakin menangis kencang. Apa yang
diucapkan Fitri betul adanya. Dia anak haram!!!!
“Jadi bu aku anak haram?”
“Bukan Arin ,kau anak ibu. Kamu dilahirkan dengan rasa
sayang ibu padamu. Kamu bukan anak haram.”
“Tapi apa namanya kalau anak yang dilahirkan tanpa ayah
karena ibu hamil duluan?” Arin menyentak dengan suara keras.
“Maafkan ibu, nak. Itu masa
lalu ibu. Ibu sudah memperbaiki diri ibu. Ibu membesarkan kamu bukan
mengugurkan kamu seperti saran bapakmu.”
“Lalu dimana bapakku keparat itu!!!” teriakku.
“Tenang Ain, tenang. Gak baik didengar tetangga.” Ibunya
meraih Arin tapi Arin menepisnya dan berlari ke kamar.
“Aku benci ibu. Aku gak mau lahir sebagai anak haram.
Sekarang semua mengejekku ,ibu.”tangis Arin begitu jeras. Arin melempar
tubuhnya ke kasur dan menumpahkan semua rasa dalam kesdihan yang panjang.
Ibunya hanya bisa meneteskan air mata. Sungguh omongan temannya tak bisa
dijaga. Dulu dia percaya dengan ibunya Fitri agar merahasiakannya, tapi kini
semuanya sudah terbongkar habis. Menyesal mengapa dulu ia mau bercerita pada
tetangganya itu. Memang musang berbulu domba itu selalu ada di kehidupan .
Semenjak itu Arin membenci ibunya. Dia mendiamkan ibunya.
Arin ingin cepat-cepat lulus SMA dan pergi dari rumah itu jauh dari ibunya.
Tapi ibunya tetap menyayangi Arin walau dia tahu Arin tak pernah memaafkannya.
Begitu saat Arin sudah kuliah di Jogja, dia tak pernah datang ke rumahnya lagi
. Bahkan saat leabran tiba. Dia tak mau lagi bertemu muka dengan ibunya. Arin
hanya mengirim pesan singkat kalau dia butuh uang atau kebutuhan lainnya. Semua
usaha ibunya untuk bisa dekat dengan anaknya , lenyap sudah. Kesedihan yang
mendalam bagi ibunya. Rasa sepi harus ia alami hari demi hari. Di hari lebaran
dimana orang lain bergembira , dia harus sendiri . Tak ada satupun yang
mengunjunginya. Dia sudah dianggpa aib oleh banyak tetangganya. Ternyata
hukuman sosial lebih kejam daripada dirinya yang berjuang keras untuk
menghidupi Arin tanpa bantuan orangtuanya.
Ibu Arin hanya bisa berdoa, semoga suatu saat pintu hati Arin bisa
terbuka dan bisa menerimanya kembali. Dalam sujud doanay, terselip doa untuk
Arin. Anak yang dia cintai melebihi segalanya.
“Arin , katanya kau sudah lulus. Selamat ya. Kapan di
wisuda?” pesan singkat dikirim ibunya.
“Sudah. Ibu tak perlu datang. Arin hanya butuh uang untuk
pelantikan nanti.” Begitu jawabannya. Ibunya menangis dalam diamnya. Ternyata
anaknya belum mau memaafkan dirinya. . Tapi ibunya tak kehilangan akal.
Diam-diam dia datangi kampusnya dan bertanya kapan acara wisudanya. Ibunya ingin melihat Arin anaknya diwisuda .
walau dia tahu Arin tak mengijinkan dia datang, tapi dirinya ingin sekali
melihatnya. Dia akan melihatnya dari jauh. Dari jauh. Benar saja saat acara
wisuad itu, ibunya hanya berdiri dari kejauhan melihat semua upacara pelantikan
wisudawan . Satu persatu maju ke depan. Saat terdengar suara yang menyebutkan
nama Arin Purwati, dia melihat Arin maju ke depan. Tak terasa air matanya menetes
perlahan-lahan.
“Arin anakku. Kamu cantik nak. Ibu bangga denganmu. Selamat
ya nak. Doa ibu selalu.” Ibunya melihat Arin turun dari podium. Dia beranjak
dari ruang itu perlahan. Dia tak mau Arin tahu kalau dia datang untuk Arin.
Ibunya takut Arin marah.
“Bu, mana anaknya?” tanya satpam di sana. Dia hanya menggeleng
dan bergegas keluar. Tapi ada pandangan mata yang memandang dari kejauhan. Arin
melihat ibunya datang tapi dirinya tak mau beranjak dari tempatnya. Ada rasa
perih dan rindu pada ibunya tapi hatinya masih marah.
Sudah hampir tiga tahun seteah lulus Arin masih dengan
kekerasan hatinya. Dia tetap tak mau datang ke rumah ibunya. Arin sengaja kerja
di Bali agar lebih jauh dari rumah ibunya. Arin sudah mendapatkan kehidupannya
sendiri. Dia sudah mandiri tapi di hatinya ada kekosongan yang kadang Arin
tahu, dia butuh ibunya. Ternyata kemarahan bisa menutupi hati kecilnya. Dia
kesepian dalam kemarahannya.
“Halo, ini siapa?” suara perempuan yang ia tak kenal menjawab
sapaannya.
“Ini Arin kan. Aku bu Broto teman ibumu.” Arin mengingat
teman ibunya yang bernama bu Broto. Ah, Arin ingat dia teman ibunya di pasar. Mereka
jualan di pasar dan losnya mereka berdekatan.
“Ada apa bu?”
“Pulanglah nak, ibumu sakit.” Arin tertegun. Ada rasa rindu
tapi rasa marahnya melebihi rasa rindunya. Arin tak bergeming . Dia diam
mematung. Entah mengapa dia belum mau memafakan ibunya. Sakit ibunya tak
membuatnya luluh untuk mendatangi ibunya. Sungguh tak ada pintu maaf bagi
ibunya di hati Arin. Kekerasan hati menutupi rasa kasihnya pada ibunya, hanay
marah dan dendam yang kini ada di hatinya. Sampai suatu hari Arin bertemu
dengan seorang ibu yang kesakitan di ujung jalan rumah kostnya.
“Ibu kenapa? Sakit?” Dia mengangguk.
“Tolong , perutku sakit.” Arin membawanya ke rumah sakit.
Ternyata ibu itu sudah lama terkena kanker rahim. Saat di rumah sakit ada
perasaan yang tiba-tiba saja menyentuh dirinya. Arin melihat ibu itu seperti
ibunya. Tak ada siapa-siapa yang mendampingi ibu itu. Anak-anaknya tak peduli
lagi dengannya. Sementara dia??? Ah, aku juga sama dengan anak-anak ibu itu,
batin Arin . Tiba-tiba saja Arin ingin pulang. Ingin memeluk ibunya. Ingin meminta
maaf atas kekerasan hatinya. Telah
mengabaikan ibunya. Kini Arin merasakan rindu yang sangat dalam untuk ibunya. Tangisan hatinya mengetuk-ngetuk hatinya
seperti pisau yang menguliti hatinya. Perih . Arin berjanji akan segera
menengok ibunya. Ternyata di lubuk hatinya terdalam masih ada kasih untuk
ibunya. Ibu, tunggu Arin, Arin akan pulang secepatnya. Arin akan bersujud minta
maaf pada ibu. Ibu pasti mendeita . Ah, semakin sakit hatinya. Rindu yang menyesakan
dadanya dan membuatnya terus menangis. Arin memilih cuti untuk menemui ibunya
dan meminta maaf daripada melewati malam tahun baru bersama teman-temannya
Arin masih melihat hadiah yang nanti akan diberikan untuk
ibunya. Ah, Arin sudah membayangkan pastinya ibunya akan suka dengan hadiahnya.
Cepat-ceapt dibereskannya barang-barangnya. Arin akan berangkat dengan
pesawat keberangkatan yang paling pagi.
Arin sudah tak sabar untuk bertemu dengan ibunya. Arin memegang bingkisan untuk
ibunya. Dari luar tampak benang-benang rajut yang cantik warnyanya. Arin tampak
tersenyum . Arin sudah membayangkan pertemuan yang indah. Arin tahu ibunya
pasti juga merindukannya. Walau dari bandara Atin masih harus menempuh tiga jam
perjalanan lagi ke Bandung, Arin tetap sabar.
Arin memandang kota Bandung yang tampak semakin semrawut. Dimana-mana
macet jalannya.
“Stop pak, di umah bercat puih itu,”tukas Arin sambil menunjuk
rumahnya. Arin bergegas menuju rumahnya. Sepi. Berkali-kali diketok rumahnya
tapi tak ada satupun yang keluar.
“Ibu,ibu, Arin datang bu.”
Ah, telepon saja bu Broto teman ibu. Arin mengambil ponselnya.
“Halo,Bu Broto?’
“Iya.”
“Bu, ini Arin, ibu kemana ya kok gak ada di rumah?”
Tiba-tiba saja lutut Arin bergetar kuat, tubuhnya lemas . Hampir saja Arin jatuh,
Arin memegang gerendel pintu untuk menopang tubuhnya. Arin duduk di lantai
teras rumah. Air matanya mengalir deras. Ibu sudah pergi. Arin merangkul
kakinya, air matanya terus menaglir. Dia masih terisak saat bu Broto datang .
“Nak, bangun .” Bu Broto menuntun Arin duduk di bangku depan
rumah. Bu Broto menceritakan saat dia menilpun Arin karena ibunya sakit dan
Arin tak mau datang, ibunya semakin
parah. Akhirnya meninggal , bukan karena sakit tapi karena rindu pada
Arin.
“Dia rindu padamu Arin. Di masa tuanya dia ingin berdekatan
denganmu. Dia semakin hari semakin lemah. Tak ada gairah hidup. Dia ingin
sekali bertemu denganmu. Tak lama ibu telepon kamu itu, dua hari kemudian ibu
meninggal.” Arin terdiam. Penyesalan selalu datang terlambat. Kini ibunya telah
tiada. Dia tak bisa bertemu lagi . Tak bisa memberikan hadiah . Tak bisa meminta
maaf atas kesalahan dirinya pada ibunya. Arin menyesal sekali. Sungguh tak
menyangka akan berakhir seperti ini. Arin hanya bisa menangisi makam ibunya.
Ibu, maafkan aku.....