Gambar dari sini
Pagi
itu aku sedang mempersiapkan sarapan pagi untuk keluarga kecilku. Pagi ini entah
agak berdebar karena Yudi anak sulungku
hari ini akan menerima pengumuman apakah dia lulus atau tidak ujian SMAnya.
Selain itu aku juga mengkhawatirkan beberapa muridku yang juga akan menerima
pengumuman hari ini.
“Mam, pasti anak kita lulus,”tukas
suamiku. Aku mengangguk setuju
“Aku kawatir dengan muridku,”tegasku.
Suamiku memandangku mengerti akan kekawatiranku. Dia hanya mengelus bahuku.
“Ya, kita doakan saja.” Suamiku mengeluarkan motornya dari garasi.
Anak-anakku juga sudah bersiap pergi ke sekolah.
“Loh , pah, kok pakai motor? “tanyaku.
Biasanya dia mengunakan mobil kantornya.
“Harus ke tambak jadi enak naik
motor , biar jalannya gak terlalu
jauh.” Kedua anakku pamitan dan aku
wanti-wanti untuk hati-hati di jalan. Banyak pengendara motor atau mobil yang
tak taat berlalu lintas sehingga cenderung kita sendiri yang harus
berhati-hati. Berhati-hati saja seringkali nyaris tertabrak kendaraan apalagi
tak berhati-hati. Sekarang dengan bertambahnya jumlah penduduk semakin banyak
orang yang berkedaraan motor atau mobil. Apalagi motor. Sekarang untuk
mengkredit motor sangat dipermudah sekali.
Tapi banyaknya kendaraan bermotor tak diimbangi dengan pengetahuan dan
kesadaran berlalu lintas. Apalagi motor. Motor sering kali seenaknya saja. Tanpa
pernah lihat rambu-rambu sering menerjang . Apalagi banyak orang tua yang
membiarkan anak-anaknya mengendarai motor tanpa dibekali dengan pengetahuan
mengemudi dan SIM. Bisa dilihat banyak pengendara motor tanpa helm. Bahkan kalau
ada operasi banyak yang tak mempunyai SIM dan kadang masih di bawah umur sudah
diperbolehkan naik motor. Gak Percaya??? Coba lihat di sekolah menengah pertama
, banyak sekali anak-anak SMP yang membawa motor. Dari sekolahpun tak ada
larangan membawa motor seakan cuek dengan kenyataan kalau siswanya belum boleh
naik motor. Guru-gurunya menganggap itu tanggung jawab orangtuanya. Kadang
miris melihatnya. Untungnya anakku tak pernah punya keinginan untuk naik motor
seperti teman yang lain.
“Aku pergi dulu,”tukas suamiku
mengejutkanku.
“Hati-hati, kalau bisa jangan pulang
sore-sore ya. Yudi hari ini pengumuman kelulusan.” Suamiku menyetujui usulku.
Aku memandang punggung suamiku yang mulai menjauh. Tak ada sesuatu yang membuatku
takut kecuali hasil pengumuan ujian siswaku. Tapi aku salah. Ada kejadian yang
membuat aku tak mampu berkata lagi dan membuatku lemas tak berdaya.Semua di
luar prediksiku dan aku tak punya firasat apapun.
Siang itu aku terhenyak karena ada
sekitar 3 siswaku yang tak lulus UAN. Ada sedikit resah di hati. Mereka
benar-benar jujur dan harus kalah dengan
anak-anak lainnya yang punya kunci jawaban. Betapa air mataku harus menetes . Sungguh
suatu dilema saat aku mengajarkan kejujuran tetapi di sisi lain banyak orang tua
dan bahkan guru sekalipun membiarkan semua ketidakjujuran tampak nyata di mata
mereka. Sungguh ironis!!! Pesan singkat dari Yudi kalau dia lulus tak membuatku
riang karena aku masih memikirkan siswaku. Pikiran kalut dan aku tak
konsentrasi. Sampai rumahpun aku masih memikirkan siswaku. Sampai aku tak
terlalu memperhatikan kalau saat ini seharusnya suamiku sudah pulang. Tapi sesaat
suara ponselku bebunyi.
“Ma, aku kecelakaan. Cepat ke rumahs
akit ya,”suara suamiku jelas terdengar. Ada apa lagi???? Aku bergegas ke rumah
sakit. Aku melihat suamiku tergeletak di ruang gawat darurat sedang dalam pertolongan
pertama. Dokter jaga memberitahu aku kalau suamiku harus malam ini di operasi
pertama dulu untuk menutup luka terbuka di bagian kakinya. Dan dua patahan
tulang di kaki kirinya. Satu di tulang keringnya dan satu lagi di tulang
pahanya. Membayangkan saja aku sudah ngeri sekali. Mengapa bisa kecelakaan.
Setahu aku suamiku bukan pengendara motor yang ugal-uaglan dan selalu tertib
berlalulintas. Malam itu operasi pertama dilakukan. Dokter menjelaskan posisi
patah tulangnya dari hasil rontgen . Dokter menyerahkan semuanya pada keluarga.
Apa mau ditangani secara medis atau ke
tempat yang lain. Waktu itu aku bingung sekali. Tapi menurut adikku yang
dokter lebih baik secara medis walau dari segi biaya cukup besar. Pemasanagn
pen ini membutuhkan biaya yang cukup bikin hatiku melengos.
Pagi hari sesaat suamiku sudah mulai
enakan. Barulah dia bercerita, apalagi saat itu juga ada polisi yang juga
menanyakan kronologis kejadian sebenarnya. Jadi saat suamiku menyusul mobil di
depannya ada motor dari arah berlawanan akan belok ke arah seberang yang searah
dengan suamiku tapi tidak menyalakan tanda lampu ke kanan. Itu yang membuat
suamiku kaget karena motor itu tiba-tiba saja berbelok. Agar tak menabrak motor
di depannya suamiku membanting stir ke kiri dan terpental ke jalan. Nah, inilah
yang aku takutkan !!! Ketika orang lain yang salah karena tak tertib aturan
lalulintas dan yang kena getahnya adalah orang yang tak salah. Apalagi aku juga
merasa kesal, karena pengendara motor yang tak tertib itu tak mengalami
apa-apa. Jelas saja , karena suamiku yang menghindar. Kalau gak, mungkin sudah
terjadi tabrakan maut .
“Apa kasusnya mau dilanjutkan?” tanya salah satu polisi.
“Gak usah. Biar saja.” Polisinya sedikit kaget , mengapa
suamiku tak melanjutkan kasus karena polisi juga tahu kalau suamiku di posisi
yang benar. Mungkin karena takut orang yang lalai itu belum datang menengok
suamiku. Mengapa dia seperti itu??? Kadang aku bertanya dalam hati. Salah, tak
berani datang untuk paling tidak melihat keadaan suamiku.Tapi tak apalah aku
tak mempermasalahkan. Bahkan kalau tak membantu biayapun aku tak peduli.
Pikiranku lebih baik aku konsentrasikan pada kesembuhan suamiku daripada harus
memikirkan banyak hal di luar itu. Dan
sampai dua minggu dari kecelakaan orang yang lalai itu gak ada itikad baik
datang untuk minta maaf atau apalah sebagai tanggung jawabnya. Baru minggu ke tiga dia datang dikawal dengan
banyak saudaranya datang untuk minat maaf. Minta maaf???? Setelah semua
kesalahannya membuat suamiku terluka dengan biaya yang tak sedikit???? Bahkan
datangpun terlambat ,sudah tiga minggu dan sudah dua kali suamiku operasi.
Kemana batang hidungnya??? Tak tampak sama sekali. Tapi aku tahu aku bukan
pendendam . Aku tahu orang itu dari keluarga seperti apa. Kalau aku menuntut
mereka bertanggung jawab toh tak akan bisa menutupi biaya yang harus aku
tanggung . Memenjarakannya??? Mungkin sama saja aku memutus rejeki orang untuk
bisa hidup. Siapa yang akan memberi
nafkah anak dan istrinya kelak????
“Aku pak Gatot, pnegendara motor yang belok tanpa lampu.”
Semua diam membisu. Sekali-kali tampak pak Gatot gelisah. Gestur tubuhnya
memperlihatkan rasa bersalahnya.
“Terimakasih, tak melanjutkan ke jalur
hukum,”tukasnya dengan kepala menunduk.
“Gak, apa-apa. Doain saja lekas
sembuh.”tukas suamiku. Ah, sulitnya orang untuk tertib dalam mengendarai
kendaraan agar bisa aman di jalan. Kesalahan seseorang bisa menimpa orang lain
yang taat dengan aturan. Jadi apa susahnya untuk bisa berkendaraan tertib dan taat dengan aturan berlalu lintas. Semua
tertib, semua akan aman di jalan. Masih susah ya dilakukan???? Sungguh hati ini
masih merasakan akibat dari kelalaian orang lain. Masih terasa kesal. Tapi
untuk apalagi disesalkan semua sudah terjadi.
“Ikhlaskan saja mam,”tukas suamiku.
“Iya.” Aku mengangguk
setuju. Biarlah ini mungkin juga teguran bagi keluargaku. Teguran untuk lebih
berserah diri, untuk menjadi lebih baik lagi hidupnya. Biarlah semua diserahkan
pada Allah. Semua cobaan itu ada hikmahnya. Aku percaya itu.
Butuh banyak pengorbanan dan
kesabaran. Penyembuhan yang butuh waktu. Mengapa??? Karena untuk bisa berjalan setelah dipasang
pen itu tidak mudah. Untuk mengurangi rasa sakit, untuk belajar jalan dilakukan
sendiri. Agar bisa merasakan sejauh mana
kekuatan diri sendiri, karena kalau menggunakan terapis, kadang terlalu memaksa
setiap hari harus punya kemajuan . Dan itu malah membuat stres. Akhirnya
diberikan pengarahan oleh dokter bedahnya agar suamiku bisa melatih kakinya sedikit demi sedikit
secara mandiri. Walau agak lama lambat
laun mulai bisa berjalan sedikit demi sedikit. Kemudian dibantu dengan tongkat
kecil yang sebelumnya menggunakan kruk. Akhirnya bisa berjalan normal kembali.
Padahal banyak orang memperdiksi jalannya akan pincang. Alhamdulilah semua bisa
berjalan dengan lancar atas berkah dari Allah. Oarng yang lalai juga datang dan
sekali lagi mengucapakan kata maaf.
“Sudah kami maafkan,”tukasku cepat.
“Terimakasih. Bapak selalu mendoakan
agar cepat bisa pulih seperti sedia kala. Sekali lagi maaf dan terimakasih mau
memaafkan,”tukasnya lagi. Banyak kata maaf yang dia ucapkan. Kadang kita baru menyesal setelah semuanya terjadi.
Untungnya aku dan suamiku bukan tipe orang yang menuntut orang walau tahu orang
itu punya salah. Mungkin oang lain bisa menuntut pak Gatot untuk menggantikan biaya rumah sakit atau
memenjarakannya. Aku dan suamiu tak melakukan dua hal itu. Tak memenjarakannya
atau menuntut biaya rumah sakit. Walau banyak orang di sekelilingku mengomel
karena pak Gatot tersebut juga tak memberikan uang sepserpun sebagai tanda
tanggung jawabnya pada suamiku. Biarlah menurutku apa yang ditanam akan dituai
juga. Biarlah Allah yang akan menetukannya..
Akhirnya aku lebih strik lagi pada
anak-anakku dalam hal mematuhi aturan lalu lintas. Apalagi anak sulungku sudah
membawa motor karena usianya sudah 17 tahun dan sudah memiliki SIM. Karena bukan
hanya kesalahan sendiri yang bisa menyebabkan kecelakaan, bisa jadi kesalahan
orang lain yang bisa mencelakain diri sendiri. Sudah ada bukti nyata. Apa
susahnya taat aturan lalu lintas. Taat artinya akan memberikan rasa aman bagi
diri sendiri dan orang lain.