2 Darah Itu....

Jumat, 29 Januari 2016




Gambar dari sini 
 
Waktu aku melihat mas Dani memakai kemeja merah, aku menjerit tertahan. Rasanya mataku mulai melotot dan ketakutan mulai menjalar di sekujur tubuhku.
            “Ada apa Mirna?” tanyanya penuh curiga. Aku hanya bisa menggelengkan kepalaku begitu keras. Ah, mas Dani tampak seperti berlumuran darah. Aduh kepalaku mulai terasa berdenyut keras. Dan pandanganku mulai kabur.

Kembali peristiwa itu terkuak kembali. Darah yang melumuri tubuh si mbok. Saat itu aku masih kecil.Aku hanya ketakutan di pojok kamar . Hanya bisa menangis . Bapak hanya terpaku sambil memegang parang di tangannya.Parang itu juga merah penuh darah yang menetes dan tetesan darah itu begitu keras terdengar.
            “Tes...tes...tes...tes.” Dan itu membuatku ketakutan dan aku mulai terisak perlahan, takut didengar bapak. Bapak sudah membunuh si mbok, hanya gara-gara mbok marah karena bapak kawin lagi. Aku tersudut dalam ketakutan.

            “Tolong jangan pakai kemeja itu mas?” pintaku. Merah bagiku membuka luka lama.Luka yang sudah menggores hatiku sangat dalam.

18 Selamat Jalan Choky

Rabu, 13 Januari 2016




 Gambar dari sini

           Pagi itu aku masih melihat Choky. Masih terdengar ketukan di pintu. Aku tahu pasti Choky yang membangunkan aku.
            “Duh, masih pagi Choky,”tegurku. Aku melirik jam di atas meja riasku. Pukul 4 pagi. Ah , Choky selalu bikin aku kesal. Aku masih mengantuk tapi tampak senyum Choky  terlihat dari rambut-rambut ikalnya. Saat aku kembali berbaring dan menarik selimutku, Choky lebih cepat menarik selimutku.
            “Jangan Choky, aku mau tidur sebentar saja. Aku janji pasti bangun ,”tukasku sambil merebut selimutku. Tapi Choky tetap menggenggam selimutku erat-erat dan membuat selimut terjatuh . Aku menarik nafas dalam-dalam. Padahal aku baru tertidur jam dua belas malam, mataku masih ingin terpejam sejenak. Tanpa mempedulikan Choky aku mulai menutup mataku. Aku tak mempedulikan Choky, yang penting saat ini aku masih mengantuk dan ingin tidur. Tak lama aku tertidur kembali. Saat aku terbangun aku tak melihat Choky. Syukurlah!!!! Aku melihat jam pukul 8 pagi, aku ada janji dengan dosen jam 11 siang, masih ada waktu untuk bebenah diri dan sarapan.

Berangkat ke kampus , aku melupakan Choky. Tapi aku tak begitu mengkuatirkan Choky, dia sudah biasa ditinggal di rumah . Untungnya dosenku ada dan konsultasi skripsiku berjalan lancar. Hatiku gembira hanya sedikit revisi yang harus aku kerjakan. Beruntungnya diriku, banyak teman yang harus merevisi skripsinya begitu banyak bahkan ada yang harus mengulang kembali. Ah, aku mampir sebentar ke supermarket untuk membeli camilan buat Choky. Tadi pagi aku sudah kesal padanya. Camilan ini tanda maaf aku untuknya. Aku bergegas pulang , aku ingin memberi kejutan pada Choky. Rumah sepi. Aku mencari Choky. Tak nampak.
            “Choky...Choky,”teriakku ke seantero rumah. Tak ada yang menyahut. Apa Choky keluar rumah, tapi tadi aku lihat pagar tak terbuka sama sekali. Agak lelah mencari Choky , tapi tiba-tiba mataku melihat warna coklat yang teronggok di rumput halaman belakang rumah. Aku bergegas keluar dan melihat tubuh Choky terbaring.
            “Choky.” Aku memegang tubuhnya. Sudah dingin.
            “Choky,”teriakku. Aku tiba-tiba saja meraung keras dan memeluk tubuh Choky.
            “Choky, jangan pergi. Ini aku bawakan camilan kesukaanmu. Maafkan aku.” Aku menangis dan memeluk tubuh Choky.

            Sudah tiga hari Choky pergi, aku kehilangan sahabat kecilku. Walau dia hanya seekor anjing kecil tapi dia sahabatku terbaik. Choky selalu mengerti aku. Dia selalu menghiburku saat aku sedih dengan tingkahnya yang lucu. Dia selalu menemani saat aku belajar dengan berbaring di dekat meja belajarku. Ah, aku benar-benar kehilangan. Aku masih meneteskan air mataku saat aku teringat Choky. Ada sebagian dari jiwaku hilang bersama Choky. Ada rasa penyesalan. Mungkin terakhir saat Choky membangunkan aku itu saat dia pamit padaku atau mungkin dia sudah merasakan akan pergi.
            “Sudah Ratna, biarlah Choky pergi, toh kamu bisa cari anjing untuk dipelihara lagi,”tukas mama. Aku menggelengkan kepala. Choky tak bisa tergantikan dengan anjing apapun. Choky itu kesayanganku , dia yang menemaniku setiap hari. Maafkan aku Choky. Saat-saat terakhir aku tak berada di sisimu. Semoga kamu di sana hidup tenang bersama anjing-anjing lainnya. Di tempat yang indah dan nyaman. Selamat jalan kawan. Tunggu aku ya, kita akan bertemu lagi....

2 Akhir Dari Sebuah Perjuangan

Jumat, 08 Januari 2016




Gmabar dari sini 
 
           Aku masih tertatih-tatih melangkah. Sendiku sedang kumat, namun tadi pagi aku paksakan untuk  berlatih. Aku ingin merebut kembali juara dunia bulutangkis. Walau banyak yang mencemooh karena kondisi lututku yang tidak bagus setelah kecelakaan yang menimpaku  tiga tahun lalu. Tapi aku bertekad sebelum aku menggantung raketku aku harus merebut kembali juara dunia kembali ke pangkuanku. Aku melangkahkan kaki perlahan , lututku semakin nyeri apalagi kalau dipakai berlatih.
            “Niar, kamu tak apa-apa?” tanya pak Didin penjaga stadion.
            “Gak, pak, hanya sakit sedikit.” Aku duduk di kursi untuk meluruskan kakiku.Perlahan aku selonjorkan kakiku. Sedikit sakit tapi aku paksakan agar aliran darah kembali lancar. Pak Didin menghampiriku , tangannya mulai memijit kakiku. Pelan tapi terasa enak. Aku terdiam lama menikmati pijitannya.
            “Masih bertahan untuk ikut pertandingan dengan kaki seperti ini?”
            “Iya.” Aku mengangguk . Pak Didin tersenyum .
            “Memang kamu keras kepala seperti bapakmu.” Aku menatap bola mata pak Didin yang tampak memberikan api semangat bagiku. Ada getaran yang membuatku kembali punya semangat tinggi .Walau berat untuk bisa meraih juara dengan kondisi kakiku seperti ini. Apalagi PBSI tak mau memberangkatkan aku karena kemungkinan aku menang tipis. Tapi dengan biaya aku sendiri aku bertekad untuk ikut berjuang membela negaraku. Apapun itu. Aku ingin menorehkan sejarah sebelum aku benar-benar ikhlas menggantungkan raket.

            Aku meneteskan air mata saat aku ingat ayah. Ayahlah yang memperkenalkan aku dengan dunia bulutangkis. Dari kecil aku dilatih . Keras memang hasil didikannya . Kadang marah dan pukulan ayah kalau aku malas berlatih membuatku ingin berhenti berlatih. Tapi berkat kedisiplinan ayah melatihku, sedikit demi sedikit aku mulai meraih juara. Mulai dari juara kabupaten, kotamadya dan propinsi .Akhirnya aku ditarik oleh klub bulutangkis Pesona Kasih untuk bergabung. Mulai saat itu latihan yang semakin berkembang dengan pelatih yang handal membuatku terus meningkat. Juara dunia aku raih!!!! Juara dunia berkali-kali aku raih sampai tiga tahun yang lalu aku mengalami cidera kuat saat melawan atlit Korea Selatan. Lututku robek dan tulangnya patah dengan radang yang menjalar luas. Aku harus mengaku kalah . Dan aku juga harus kehilangan kesempatan untuk bertanding karena kakiku mengalami kendala besar. Sembuh tapi tak bisa seperti sedia kala. Kakiku agak pincang . Kaki adalah modal utama akhirnya aku harus menerima keadaan aku . Aku tak terpilih lagi masuk di pelatnas. Hampir setahun aku hanya luntang lantung tak tahu apa yang aku kerjakan. Bekerja aku tak punya keahlian tapi ada rasa di dada ini untuk bisa meraih kembali kejayaan aku dulu. Semangat itu terus bergelora. Akhirnya aku memutuskan untuk berlatih kembali. Tapi ternyata tak mudah dengan kaki yang pincang. Belum lagi cemoohan yang datang padaku termasuk keluargaku.
            “Apa lagi yang kamu cari Niar? Lihat kakimu untuk berjalan saja sudah susah apalagi mau bertanding,”keluh ibu yang sudah kesal dengan kenekadanku untuk ikut bertanding. Ibu mulai marah saat aku akan mengeluarkan tabunganku utnuk ikut bertanding di kejuaraan dunia di Korea Selatan .
            “Apa-apaan Niar. Itu sama saja buang-buang uang. Uangmu habis kamu gak dapat apa-apa. Lebih baik uang itu untuk modal usaha.” Ibu begitu marah saat aku mengutarakan maksudku.
            “Percayalah padaku bu. Aku tak akan mengecewakan ibu,”tukasku. Coba kalau ayah masih ada mungkin ayah akan berdiri paling depan membelaku. Akhirnya ibu tak bisa berbuat apa-apa . Tekadku terlalu kuat mengalahkan segalanya. Aku hanya minta doa restu ibu.
            “Doakan aku bu.” Ibu mengangguk pasrah. Aku yakin dalam hatinya ibu akan mendoakan aku selalu.

            Begitulah aku sudah sampai semifinal kejuaran dunia. Tak ada yang menyangka aku bisa sampai semifinal, tapi aku menguatkan diri sendiri aku akan terus maju sampai final. Walau aku tahu lawan-lawanku semakin berat. Cina, Korea Selatan dua negara itu yang aku takutkan. Tapi kali ini aku tak mau kalah lagi dari Korea Selaatn. Akan aku balas kekalahanku tiga tahun yang lalu. Walau lututku mulai terasa perih dan sakit tapi malam hari aku selalu kompres dengan air es. Tak lupa aku minum obat yang diberikan oleh dokter Pri. Aku juga harus berterimakasih pada dokter Pri yang membantuku memberikan obat-obatan kalau aku mengalami rasa sakit berlebihan saat bertanding.  Dan tak menyangka akhirnya aku masuk final melawan Park Chuan Ho dari Korea Selatan. Musuh aku tiga tahun yang lalu, kembali  berhadapan dengannya kembali.  Tekadku untuk membalas kekalahanku sudah bulat walau sekarang kakiku mulai sering terasa sakit. Mungkin hampir setiap hari aku forsir bertanding. Dalam waktu tiga hari menuju final, aku hanya akan berlatih fisik sambil mempelajari vidio-vidio pertandingan Park Chuan Ho. Aku harus mencari titik kelemahan dari lawanku.
            “Niar, sedang apa ?” tanya pak Sapto pelatih pelatnas saat aku masih duduk melihat vidio.
            “Mencari kekurangan Park Chuan Ho.” Pak Sapto ikut melihat sambil memberikan beberapa komentar dan sedikit taktik untuk melawan Park Chuan Ho. Aku menatapnya dengan rasa terimakasih.
            “Makasih pak.” Pak Sapto tersenyum dan menepuk pundakku untuk memberi semangat.

            Ini sudah set ketiga set perpanjangan. Lututku terasa sakit sekali. Skor di papan tampak unggul Park Chuan Ho 18-16. Serve dari Park aku tangkis dan aku arahkan di pojok kiri tempat yang sulit dijangkau. Dan masuk. Terus melaju saling menambah nilai dan nilai 19-19. Dua nilai lagi. Terasa basah kakiku. Aku lirik lututku robek, darah mengalir. Tapi tekadku semakin kuat, rasa sakit tak membuatku luruh. Aku tahu Park Chuan Ho melihat aku luka, tapi aku tak akan mengendurkan seranganku padanya. 19-20. Satu poin lagi untukku.  Serve dimulai dari Park Chuan Ho. Bola masih bisa diambil oleh Park. Smashku masih bisa diangkat . Darah semakin  mengalir, kepalaku mulai terasa pusing tapi aku tak boleh kalah. Tinggal selangkah l;agi. Bola kembali ke arahku dan dengan sekuat tenaga aku arahkan ke pojok kiri. Aku berlutut karena aku sudah tak kuat lagi menahan tubuhku. Dan bola dinayatkan masuk oleh wasit. Gemuruh suara penonton bertepuk tangan . Tubuhku gemetar dan aku tak sadarkan diri. Aku seperti terbang tinggi di atas awang-awang. Ayah datang menghampiriku.
            “Kau hebat anakku. Kau memang juara sejati. Ayah bangga padamu.” Aku diajak ayah ke suatu tempat yang damai . Entah apa namanya.


2 Beauty And The Beast

Minggu, 03 Januari 2016


Gambar dari sini
 
              Menjelang pagi aku sudah bersiap-siap untuk berlibur ke rumah tante Murni di desa kecil di kaki gunung Tangkuban Perahu. Rasanya sudah tidak sabar untuk pergi karena aku sudah cukup lama tidak ke rumah tante Murni semenjak aku kuliah di kota Jogja. Sepanjang perjalaanan aku memandang pemandangan yang begitu asri dari tempat yang indah. Desa tempat tante Murni ini begitu alami dengan penduduk yang ramah. Aku sudah melihat rumahnya dari kejauhan, masih seperti dulu, mungil terbuat dari bambu.
            “Hai, Anti,” sapa tante Murni. Aku mencium pipi tannte Murni.
            “Aku boleh kan berlibur agak lama di sini?” tanyaku sambil melihat sekelilingku. Tante Murni mengajakku masuk ke dalam dan menyuruhku menempati kamar depan yang menghadap gunung Tangkuban Perahu. Memang paling enak tidur di kamar depan ini bisa memandangi gunung dari kejauhan dan hijaunya hamparan sawah.
            “Istirahat dulu Anti, kalau mau mandi atau makan , kamu sudah tahu kan tempatnya?” tante Murni meninggalkanku sendiri di kamar. Lukisan alam yang memang dilukis dengan tangan –tangan sang Penciptanya begitu sempurna. Aku menopang daguku dan mulai melamun...

            Pagi itu aku habiskan untuk jalan-jalan di desa, udara yang masih bersih jauh dari polusi . Burung-burung masih banyak yang bersahut-sahutan  bernyanyi. Kulangkahkan kakiku menyusuri jalan desa sampai aku melihat rumah yang agak suram. Rasanya dulu rumah itu tak ada di sana. Aku agak mendekat ke rumah tersebut dan kulihat banyak sarang laba-laba , apa rumah ini tak ada yang menempati sehingga tak ada yang membersihkan sarang laba-labanya. Sesaat aku tertegun karena dari rumah itu ada pria yang menyingkap tirai jendela dan astaga wajahnya menyeramkan dengan kumis dan janggut yang lebat dan tampangnya seperti tak pernah mandi. Aku segera berlalu dari sana. Sampai di rumah aku menanyakan keberadaan rumah itu pada tante Murni.
            “Memang rumah itu baru dibangun lima tahun yang lalu, tapi entahlah rumah itu tak pernah dirawat dan yang menempatinya juga hanya seorang pria dan pembantunya,” certita tante Murni.
            “Pria itu siapa tante, kok tampangnya mengerikan dan kotor sekali.” Aku mulai melahap sarapanku.
            “Katanya pria itu agak gila, entah karena apa, pembantunya dilarang untuk bergaul dengan penduduk di sini, mungkin malu.” Aku mendengarkan cerita tante sambil menikmati nasi goreng buatan tante yang selalu enak.

            Sorenya aku bersepeda menyusuri jalan desa lagi sambil memandangi pemandangan di kala sore hari. Senja di desa ini membuatku tak bisa ucapkan dengan kata-kata apapun melihat semburat jingga yang menghiasi langit. Hari sudah sore dan gelap sudah mulai menyapaku, aku kembali ke rumah tante, tapi saat aku melewati rumah itu, aku melihat pria itu melambai-lambaikan tangannya seperti orang minta tolong. Aku berhenti sejenak, agak ragu apakah aku harus menolongnya atau aku pergi saja. Kulihat lagi tangan itu melambai-lambai ke arahku dan kulihat pria itu seperti kesakitan..Aku menaruh sepedaku dan mulai mendekati rumahnya, hatiku agak berdebar ada rasa takut. Waktu ku buka pintunya ternyata tidak terkunci. Waktu aku masuk udara di rumah itu pengap sekali dan baunya tak sedap.Aku melihat pria itu duduk dengan wajah pucat di dekat jendela.
            “Tolong, aku sakit,” katanya serak. Aku mendekati dengan  perasaan ragu-ragu.
            “Apa yang  dirasa pak?” tanyaku sambil kupegang dahinya, astaga panas sekali.
            “Sudah minum obat belum?”  Dari arah belakang seorang wanita menghampiriku.
            “Dari dua hari yang lalu mas Toto sakit tapi sudah disuruh makan dan minum obat dia selalu menolak,” Perempuan itu bik Inah pembantu pria itu yang melayani pria itu selama tinggal di sini.
            “Besok dibawa ke puskesmas desa saja, sekarang aku pulang dulu,” kataku pamitan.
            “Kalau bisa mbak yang mengantarkan bersama –sama, aku malu dengan penduduk di sini.” katanya. Kutatap wajah bik Inah yang tampak resah, akhirnya aku anggukan kepalaku tanda setuju.

            Esoknya aku ditemani dengan mang Dirja tukang kebun tante Murni mendatangi rumah pria itu. Tante menyuruh mang Dirja menemaniku. Aku cukup senang ada yang menemaniku, karena aku sebetulnya takut dengan pria itu. Saat aku datang, pria itu masih duduk di kursi kemarin dengan tampang yang menakutkan.
            “Pak, sebelum ke puskesmas apa gak sebaiknya bapak mandi dan berganti pakian dulu supaya tampak rapih,” kataku lancang sambil menatapnya dengan perasaan takut. Pria itu beranjak dan beberapa saat kemudian pria itu sudah mandi dan berpakaian rapi, sebetulnya kalau saja kumis dan brewoknya di cukur tampangnya tidak jelek-jelek amat.
“Mari pak, aku antar ke puskesmas,” aku mengangguk ramah padanya.
“Panggil saja aku Toto,” katanya . Aku menatapnya heran , suaranya lebih ramah dari kemarin. Waktu aku pergi ke puskesmas banyak penduduk sana yang memperhatikan Toto, mungkin selama ini mereka tak pernah melihat Toto keluar dan mereka sudah menganggap dia itu gila, tapi aku amati Toto tidak seperti orang gila. Kulihat banyak mata yang diam-diam melirik pada Toto dan aku ikut merasakan perasaan yang tidak enak juga, apa Toto juga merasakan hal yang sama???, entahlah.

Toto terkena radang paru-paru, dalam hatiku ya jelas saja rumahnya pengap dan kotor bagaimana bisa hidup sehat. Dokternya juga menyarankan agar dalam rumah ada sirkulasi udara yang baik agar tak kambuh lagi. Sesampainya di rumahnya aku memberanikan diri untuk menanyakan kalau aku dan bik Inah bisa membersihkan rumah agar tampak rapih dan bersih.
“Boleh saja, aku senang kalau rumah ini menjadi bersih,” katanya. Bik Inah terlihat kesal . Waktu aku mengajak bik Inah membersihkan rumah, dia tampak masih kesal.
“Setiap aku mau membersihkan selalu tidak diperkenankan , bahkan jendela harus terkunci semua,” bik Inah mulai mengomel.
“Ya, sudah mumpung pak Totonya mau kita bersihkan saja biar rumah ini tampak bersih,” kataku.
“Dia itu masih muda , baru 26 tahun,” kata bik Inah sambil mulai membersihkan debu-debu yang ada. Aku mulai membuka jendela –jendela agar udara bisa masuk dengan leluasa. Aku juga menyuruh mang Dirja membersihkan halaman agar rumput-rumputnya dirapihkan lagi.

Hari itu begitu melelahkan membersihkan rumah yang tak pernah dibersihkan , debu-debunya yang tebal . Untungnya tante Murni yang tahu aku membersihkan rumah ini, membawakan masakannya untuk dimakan bersama. Dari bik Inah juga aku tahu kalau Toto itu stres karena ditinggal tunangannya sehari sebelum pernikahannya. Selalu berdiam diri dan tak mau bicara dengan siapa-siapa sehingga ibunya menaruh Toto di desa agar bisa menenangkan diri, tapi bukannya bisa menenangkan diri malah menjadi-jadi. Rumah tak boleh dibersihkan dan  tak mau mengurus dirinya sendiri dan membiarkan hidup dengan dunia diamnya. Aku mulai sekali-kali memperhatikan Toto yang duduk di kursi malasnya sambil tiduran, sepanjang pagi dan siang. Kata bik Inah sih , hari ini makannya luar biasa banyak, biasanya sulit sekali disuruh makan. Waktu aku berpamitan pulang , Toto hanya menganggukan kepalanya dan mulai merebahkan kepalanya lagi di sandaran kursi.
“Terima kasih mbak Anti, sekarang rumah tampak segar dan bersih,” bik Inah tertawa tampak gembira sekali.
“Sekali-kali mampir ya, biar ada teman bicara, di sini hanya berteman patung,”katanya sambil melirik Toto.

Aku sudah melupakan Toto, saat aku menikmati bunga di halaman depan rumah. Orang bilang sinar pagi bagus untuk pertumbuhan tulang  dan aku berdiri di halaman membiarkan sinar mentari menembus tubuhku. Dahlia tante yang warna merah muda itu tampak serasi berdampingan dengan dahlia kuning, kontras membuat keceriaan taman bunga semakin menarik.
“Pagi, wah bunganya indah seindah yang menikmatinya,” aku menatap heran, pemuda jangkung berdiri dekat pagar. Celana panjang jeans dengan kaos putih bertuliskan RAIN.
“Lupa, Toto,ingat kan pemuda jelek di rumah pengap dan jorok,” Toto mengulurkan tangannya. Astaga, Toto yang tampak kotor dan brewokan , sekarang berdiri di depanku dengan pakaian rapih, aduh tampannya.
“Yuk, mau jalan-jalan pagi, biar sehat.” Aku mengangguk dan mulai berjalan beriringan di sampingnya. Sepanjang jalan menikmati udara segar , percakapan ngalor ngidul yang menyenangkan. Tak terasa pagi itu aku dan Toto sudah berjalan jauh mengelilingi desa dan baru terasa letih saat sampai rumah kembali. Begitu menyenangkan pagi ini.

Sore itu aku menemani tante Murni duduk di teras , teh hangat sudah tersedia dengan combro dan misro tersedia di piring kecil. Sambil menikmati teh hangat kulihat orang-orang yang baru kembali dari ladang mereka sambil memanggul cangkulnya. Persitiwa yang selalu kulihat setiap harinya tapi aku tak pernah merasa bosan , momen saat-saat pekerja ladang kembali ke rumah dan di rumah sudah disiapkan makan oleh orang-orang yang dicintainya.
“Anti, aku lihat kamu semakin dekat dengan Toto,” kata tante Murni tiba-tiba memecahkan keheningan yang ada diantara aku dan tante. Aku cuma mengangkat bahuku , sambil tetap memandangi orang yang lalu lalang di depan rumah . Memang setiap hari aku bersama Toto mengisi hari-hari dengan banyak kegiatan yang menjadikan aku dan Toto semakin dekat. Toto, memang pemuda yang cukup menyenangkan dan selalu nyambung obrolannya denganku.
“Apa kamu naksir tidak dengannya?” tante Murni menatapku. Aku tiba-tiba saja jadi gugup tidak karuan saat pertanyaan itu tertuju padaku. Aku hanya terdiam , sulit aku menjawab hati yang mulai bimbang akan perasaanku padanya.
“Gak tahu tante.”

Sudah hampir sebulan aku tinggal di rumah tannte Murni, sebentar lagi kuliahku masuk lagi, berarti aku harus meninggalkan rumah ini lagi. Tapi saat ini ada rasa malas untuk pergi , ada hati yang tertinggal di sini. Apa ini namanya cinta ya???? Entahlah aku masih bingung dengan perasaan diriku sendiri , tapi apakah Toto juga punya perasaan yang sama denganku, kalau tidak aku seperti burung pungguk merindukan bulan, payah!!!!! Kudengar ketukan di pintu depan. Tampak perempuan setengah baya , masih terlihat gurat kecantikannya berdiri di hadapanku.
“Boleh masuk?” tanyanya. Aku tersentak kaget.
“Silahkan bu,”aku mempersilahkannya duduk. Aku memanggil tante Murni mungkin temannya. Ibu Nurul, ternyata ibunya Toto dan dia datang kemari mau melamarku.
“Saya mengucapkan banyak terimakasih buatmu Anti, telah banyak menolong Toto sehingga dia kembali seperti sedia kala, dan dia  mencintaimu.” Hening begitu lama memenuhi ruang tamu tak ada satupun yang bicara, masing-masing dengan pikirannya termasuk aku. Toto sudah berdiri di depan pintu dan menagajakku keluar . Ditariknya tanganku , aku terseret-seret mengikuti langkahnya sampai di ladang jagung milik pak Toha.
“Mau apa sih kemari?” tanyaku heran.
“Anti, berdiri di situ ya, sebentar aku akan berteriak , tolong didengarkan ya,” Toto berdiri dekat ladang jagung dan mulai berteriak sekeras-kerasnya.
“Hey angin, aku cinta Anti!!!!!!!!” Aku menutup telingaku.
“Jangan ditutup telinganya dong, dengarkan sekali lagi ya,” Toto mulai lagi berteriak lebih keras dari yang pertama.
“Angin, aku cinta Anti!!!!!!” Aku tak mampu berkata-kata lagi, hatiku sudah banyak bicara, pasti Toto juga tahu kalau aku juga mencintainya. Tidak perlu lagi kuungkapkan dengan kata-kata hanya pendar-pendar sinar mata yang menunjukan rasa cinta yang tulus di hati.
“Anti, kamu si cantiknya  dan aku si jeleknya, ceritanya hampir sama dengan Beauty and The Beast, aku si jelek kembali tampan karena cintamu.” Aku tertawa, astaga sampai segitunya cerita cintaku disamakan dengan kisah cinta di film kartun Beauty and The Beast. Aku masih tertawa dalam buncah –buncah cinta dalam remangnya sore di ladang jagung. Tak akan pernah kulupakan!!!!!!