Gambar dari sini
Sebentar
lagi perayaan imlek. Vihara dekat rumah Kristin sudah mulai berbenah.
Lampion-lampion merah dipasang memanjang di atas. Juga ada yang ditaruh di
pohon besar tepi gapura masuk vihara. Vihara yang sehari-harinya suram dan jarang
dikunjungi jemaahnya, sekarang tampak meriah. Lilin-lilin besar ada di vihara
begitu juga hio-hio berjejer dekat altar. Olin sangat suka sekali melihat
kemeriahan imlek. Baginya budaya Cina itu sangat mengesankan. Kemeriahannya dan
warna –warni yang sangat menarik. Tak salah lagi Olin selalu melihat acara
imlek tiap tahunnya. Olin sedang melihat kesibukan orang-orang di dalam vihara.
“Hai,Olin sedang apa ?” tanya Lia.
Olin tersenyum sambil menujuk ke arah vihara. Lia tahu Olin sangat menyukai
kemeriahan imlek.
“Lia, kapan kamu doa di sana?” tanya
Olin .
“Besok pagi dengan seluruh keluargaku.
Oh, ya, kamu datang ya setelah aku doa di vihara,”ajak Lia. Olin mengangguk
“Jangan lupa Kristin juga diajak.”
Lia menepuk bahu Olin yang masih terpaku melihat keramaian di vihara. Apalagi
ada yang masih latihan barongsai. Olin
kagum dengan kelincahan barongsai, kakinya tak pernah beradu dengan
kaki-kaki yang lain dan bisa mengikuti irama musiknya. Mata Olin terpaku
melihat ada anak kecil hitam mengintip dari balik vihara. Tampaknya mencurigakan
sekali. Olin cepat mendekatinya.
“Ngapain kamu di sini?” Anak itu
kaget tak menyangka akan ada Olin di dekatnya. Anak itu hanya
menggeleng-gelengkan kepalanya dan berusaha akan kabur. Tangan Olin cepat mencekal
anak itu. Tapi anak itu lebih gesit lagi dan berlari ke arah pasar. Ah, mungkin
orang dari kampung tetangga,karena Olin gak pernah melihat anak itu di
daerahnya.
Benar
saja perayaan imlek begitu meriah. Barongsainya juga sangat menakjubkan.
Meliuk-liuk mengikuti irama lagu dan gendang yang terdengar sangat keras
sekali.Walau sudah setiap tahun melihat Olin tak pernah bosan.
“Yuk, kalau sudah ke rumahku. Kita
makan dulu,”tegur Lia pada Olin dan Kristin. Mereka berpandangan . Diajak makan
bagaiamana Olin dan Kristin akan menolak, apalagi cacing-cacing di perutnya
sudah minta jatah. Sesaat Olin melihat anak itu.
“Lia, siapa anak itu!” tunjuk Olin.
Lia dan Kristin mengalihkan pandangan mereka ke arah yang ditunjuk Olin. Merek
melihat anak kecil sedang mengintip di balik rumah yang dekat dengan vihara.
Olin ingin mendekati dan mengagetkan lagi anak itu tapi dihalangi Kristin.
“Sudah gak usah. Mungkin anak itu
hanya ingin melihat saja,”tukas Kristin.
“Tapi sangat mencurigakan,” tukas
Olin agak kesal. Dirinya curiga dengan tingkah anak itu.
“Yuk ah, jangan bertengkar . Tuh
hampir sampai.” Lia menegur keduanya. Olin tampak senang dengan sajian imlek di
atas meja rumah Lia. Olin mengelus
perutnya setelah selesai makan. Agar tak mengantuk Olin meminta bacaan pada
Lia.
“Minta novel dong, aku mau baca biar
gak ngantuk,”tukas Olin. Lia menyerahkan novel terbitan Kaifa pada Olin. Olin
melihat sampul novelnya dan mulai membaca. Kristin juga tak mau kalah dirinya
ingin melihat vidio-vidio dance . Kristin ingin belajar untuk pementasan bulan
depan.
“Li, aku pinjam modemmu dong.” Lia mengambil modem smartfren 4G LTE miliknya.
“Wah, kalau pakai ini pasti lancar
jaya.” Kristin mulai mencari-cari vidio dancenya. Mereka bertiga tampak
menikmati kegiatannya . Mereka tak tau ada keributan di luar sana.
“Kak Lia, di vihara ada anak
dipukulin sama orang-orang,”tukas Kiki adiknya Lia. Olin terlonjak dan dia
langsung teringat dengan anak kecil tadi. Olin langsung berlari ke arah vihara.
Olin melihat anak itu sudah babak belur dipukul orang-orang.
“Kalian apakan anak ini?” Olin
membantu anak itu untuk duduk, diperhatikannya apa yang luka. Mukanya lebam dan
sekujur tubuhnya juga lebam .
“Anak itu mencuri uang yang ada di
kotak persembahan,” tukas seseorang satpam di sana. Olin mendengarkan apa yang
diceritakan oleh orang-orang itu. Olin mengangkat tubuh anak itu . Olin ingin
membawa anak itu ke rumah sakit tapi siapa yang membantunya. Kristin dan Lia
tiba di sana dan melihat anak yang luka itu.
“Bawa ke rumah sakit, biar pakai
mobilku saja. Kalian tunggu di sini,”Kristin bergegas pergi. Olin dan Lia
menatap bocah malang tersebut. Matanya terpejam, tampak air matanya mengalir.
Olin mengusapanya kepalanya perlahan.
Anak
itu sudah tenang. Tampak dirinya mulai gelisah. Anak itu menatap mereka
bertiga. Olin, Krsitin dan Lia.
“Aaaa uuuu uuuu,” tukasnya dengan
tubuh yang gemetar.
“Mengapa kamu mencuri?” tanya Olin.
Anak itu diam saja. Olin memaksannya untuk menjawab, tapi anak itu hanya
bersuara aaa uuu saja.
“Mungkin dia gak bisa bicara kali,”tukas
Kristin. Mereka saling berpandangan. Akhirnya dengan bahasa isyarat , anak itu
mengerti dan dia minta pulang ke rumahnya. Karena lukanya tak berbahaya, anak
itu dibolehkan pulang. Mereka bertiga mengantar anak itu pulang. Olin kaget
karena anak itu mengajak mereka ke rumah kardus yang ada di sisi sungai. Saat
Kistin masuk ke rumah itu dan terdengar suara jertan kecil.
“Ada apa Kristin?” Kristin keluar sambil menutup hidungnya. Olin
dan Lia masuk dan melihat seoarng perempuan setengah baya terbaring lemah. Tampaknya
sudah mulai sekarat.
“Ibumu sakit?” tanya Kristin. Anak
itu mengangguk dan menghampiri ibunya dan menangis dekat ibunya. Ibunya menatap
mereka bertiga. Susah payah dia bicara pada mereka bertiga. Kalau dia terkena
kanker, tapi karena taka ada biaya , kankenya sudah menjalar kemana-mana.
“Tolong ibu bisa? Kalau ada apa-apa
sama ibu, tolong jaga Angga. Angga bukan anak ibu . Ibu menemukan Angga di
dekat tempat sampah,ada yang membuangnya. Ibu pelihara Angga. Dia tak bisa
mendengar sejak kecil.” Suara ibu itu mulai melemah. Dirangkulnya Angga dan
matanya menutup. Angga menggoyang-goyangkan tubuh ibunya. Olin memeriksa nadinya.
“Inallihai rojiun.” Angga menangis
di dada ibunya. Mereka bertiga tak mampu bekata- sepatah katapun, hanya air
mata ikut menetes perlahan. Berkali-kali Kristin mengusap pipinya. Sunguh malang
nasih Angga.
Pemakaman
ibu Angga sudah berlalu. Angga dititipkan di panti asuhan dekat rumah Olin.
Hampir tiap hari mereka bertiga menengok Angga untuk bermain . Menurut ibu
panti tahun depan Angga akan disekolahkan. Sungguh bahagia mendengarnya. Olin
mengelus kepala Angga. Angga anak yang tak diharapkan orangtuanya tapi diasuh
dengan perempuan yang tulus menyayanginya walau dengan segala keterbatsan. Kini
Olin mengharapkan agar Angga akan bahagia di panti ini. Mudah-mudaha Angga bisa
jadi anak yang taat beribadah. Tawa riang terdengar di panti asuhan itu. Angga menaruh harapan banyak di panti ini.....