8 Dialog Dua Hati

Senin, 18 April 2016




 Gambar di sini

           Panas terik begitu kuat . Sudah berlangsung lama, sudah hampir sepuluh tahun semua ini berlangsung. Perlahan tapi pasti. Bumi mulai mengerak, putarannya semakin perlahan. Bulan dan matahari kadang terlambat datang karena lambatnya perputaran bumi. Bumi mulai mengeluh. Rasa nyeri di sekujur tubuhnya mulai mengerogoti secara perlahan. Sakit sekali. Belum panas matahari yang tanpa penyaring lagi menimpa tubuhnya yang mulai oleng. Kerontang. Pepohonan yang tadinay tumbuh subur, sekarang hanya tampak sebagai onggokan kayu yang berdiri rapuh tanpa akar . Pohon sulit mengambil air karena air sudah mulai mengering. Entah mereka pergi kemana???? Rasa gatal di tubuh bumi mulai menggelitik . Bumi mulai batuk-batuk .Mula-mula kecil tapi lama-kelamaan menjadi besar. Tanah mulai tampak retak-retak. Bumi berusaha untuk menahan batuknya tapi rasa gatal yang menyelimuti  tubuhnya yang kenudian membuatnya batuk kembali. Asap-asap yang keluar dari gunung yang juga tak ada pepohonan sama sekali, membuat lava merembes terus mengalir menyusuri dinding gunung sampai ke sungai. Air juga sudah mengering diisi dengan lava yang panas. Bumi mulai menangis.
            “Sudahlah, sudah terjadi, apa lagi yang kau sesalkan. Nasi sudah menjadi bubur. Semua akibat perbuatan manusia,” keluh air. Bumi melihat air yang nafaspun sesak. Banyak zat kimia yang tercampur dalam tubuhnya. Air mulai terlihat merana dengan warna yang menghitam dan mengepul asap-asap panas .
            “Kau tahu bumi. Aku merasa haus tapi aku sendiri tak bisa minum.Lihatlah air begitu kotor. “ air mulai meronta-ronta tak henti.
            “Kalau saja manusia tak serakah. Kalau saja manusia mau memelihara kita. Ini tak mungkin terjadi,” keluh bumi. Air menatap bumi yang semakin renta dan tua. Tangisan pelannya tak mampu mengisi sungai-sungai yang mulai kering. Itulah bumi saat ini. Matilah aku, pikir bumi. 


            Saka tertatih-tatih melangkah menyusuri jalan yang kering. Debu bertebangan menutup pandangan matanya. Rasa haus membuat kerongkonganya kering. Saka mencari-cari sumber air. Tak ada satupun yang terlihat. Saka terduduk dengan peluh yang satu-satu mengalir dari tubuhnya. Saka terbelalak dari kejauhan dia melihat seseorang yang tertatih-tatih berjalan sambil membungkuk. Akhirnya aku bertemu juga dengan manusia lainnya. Dia mulai mendekat.
            “Lebih baik aku mati daripada harus menderita seperti ini,”tukasnya. Badi namanya. Saka lega , sudah berbulan-bulan dia berjalan tak pernah dia menemukan mnausia satupun. Sampai kakinya letih. Tak ada makanan. Saka harus makan dari buah-buah yang sudah kering.
            “Semua hilang . Tak ada yang bersisa,” keluhnya lagi.
            “Semua ini salah kita. Kita sudah merusak bumi, tak memelihaarnya. Sampai airpun hilang karena kecerobohan dan keserakahan kita,” tukas Badi. Saka menatap lemah Badi. Dirinya sudah lelah. Benar apa kata Badi,lebih baik mati daripada menderita. Mereka berdua duduk di tepi sungai yang menghitam. Kerongkongan mereka kering. Tubuh mereka sudah kurus tak berbentuk lagi.   Terasa bumi bergetar. Bumi mulai batuk-batuk kembali.
            “Apa ini pertanda akan ada gempa lagi?” Sunyi. Tak ada satupun yang mau menjawabnya. Sudah begitu banyak hal yang mereka hadapi saat bumi mulai meranggas dan air mulai tak ada di bumi.  Mata mereka mulai terpejam. Membayangkan kehidupan dulu yang begitu indah.


            Saat-saat pepohonan masih banyak. Matahari akan terbit di timur yang menyinari pagi hari dengan  lembutnya. Semua terasa indah. Bumi  menyediakan semua kebutuhan manusia. Air begitu berlimapah. Tapi sayangnya manusia-manusia serakah. Semua mau dikuasai dengan keosmbongan. Tak terasa akibatnya membuat bumi terus ringkih .Air semakin sulit didapat. Perlahan tapi pasti, satu demi satu manusia mulai mati. Perlahan dan begitu menyiksa. Semua berlangsung hampir sepuluh tahun. Kini hanya tinggal kerontang yang membuat bumi seperti rumah hantu. Tak ada kehidupan. Tinggal Saka dan Badi yang tersisa.
            “Sungguh bodoh kita,Saka. Ini akhirnya hasil dari pekerjaan kita. Aku sudah gak kuat. Matilah aku, ” keluhnya. Mulutnya mulai susah bernafas. Udara yang begitu terik membuat pori-pori kulitnya mulai mengelupas. Saka memandang Badi dengan takut. Dirinya juga akan mengalaminya. Saka takut. Badi mulai mengerang kesakitan. Matanya melotot tampak keluar dari bola matanya.  Saka memegang kedua belah bahu Badi.
            “Jangan tingalkan aku. Aku takut sendiri,”:teriak Saka  Badi  terengah-engah dan tak lama kemudian dia terkulai di pangkuan Saka. Saka menangis terus-menerus .


            Bumi menatap dua manusia yang ada di tepian sungai. Merekalah yang paling bertanggung jawab akan kerusakan bumi. Mereka serakah. Dengan kekuasaan dan kekayaannaya mereka menguasai bumi. Rusak perlahan tak membuat mereka kapok, tapi dengan alat berat mereka perkaya diri mereka dari hutan, air dan semua yang ada di bumi.
            “Biar mereka bisa merasakan sakitnya sepertiku,” tukas Air. Bumi mengangguk.
            “Tunggu dulu, jangan mati. Biar merasakan kesakitan yang sama dengan aku,”keluh bumi.
            “Biar meraka merasakan kehausan yang tiada tara. Air sudah banyak dia kotori dengan limbah pabrik-pabrik yang dibangun tampa amdal.” Air mulai meludah. Kotor dan bau. Itu yang sekarng yang bisa dikeluarkan oleh air, bukan kejernihan dan kesegaran lagi. Rasanya pahit. Bumi mulai merengek-rengek, membuat suara kegaduhan yang menyayat hati. Ini saatnya tiba. Semua akan berakhir di sini.
            “Aku sudah tak tahan lagi,”keluh bumi. Tiba-tiba bumi bergetar hebat. Saka memandang dengan ketakutan. Badi masih ada di pangkuannya. Ada apa lagi. Biarkan aku mati, aku sudah tak kuat.
            “Ini gara-gara kamu.”Tiba-tiba terdengar suara gemuruh dan kata-kata itu yang tertuju padanya.Saka yakin itu untuk dirinya. Saka sadar , dirinya yang juga berkontribusi dengan kerusakan bumi. Sudah banyak temannya yang menasehatinya tapi dia tak mempedulikannya. Kini Saka merasakan akibat dari perbuatannya. Saka siap mati.
            “Kamu harsu mati perlahan-lahan. Kamu sudah merusak tubuhku.”Terdengar suara itu lagi. Tubuhnya mulai merenggang . Sakit terasa oleh Saka. Perlahan dan sekali sentakan Saka mati dengan mulut terbuka dan busa keluar dari mulutnya.
            “Impas sudah,”tukas bumi. Dan seketika itu juga bumi meledak keras. Duar!!!!!


Cirebon, 19 April 2016
Memperingati hari bumi. Jangan ada lagi yang merusak bumi.

4 Secercah Harapan Jingga

Minggu, 03 April 2016




Gambar dari sini 
 
            Sore itu dengan perasaan sebal aku langkahkan kakiku sepanjang trotoar yang bersisian dengan kebun raya. Sebuah batu yang teronggok di depanku menjadi sasaran kekesalanku. Tak menyangka batu yang kutendang mengenai seorang anak yang berada tak jauh dariku.
            “Aduh!”teriaknya. Aku terlonjak kaget dan segera menghampiri dirinya.
            “Kamu gak apa-apa dik?”tanyaku sambil melihat kepalanya yang terantuk batu. Aku segera melihat kepalanya tampak benjolan kecil.
            “Sakit?”jeritnya saat benjolan itu terpegang olehku.
            “Namamu siapa? Biar kakak antar ke rumah sakit ya,”ajakku
            “Jingga. Gak usah , nanti juga hilang sendiri sakitnya. Gak ada luka kok,”tukasnya sambil meringis kesakitan.  Aku mengajaknya untuk pulang .
            “Gak usah kak, aku bisa pulang sendiri.” Aku memaksanya untuk mengantarkan pulang. Aku berjalan di sisi Jingga. Anaknya ceria dan tawanya begitu renyah di dengar. Sekali-kali dia bercerita tentang kegemarannya melihat senja.dari mulut mungilnya , ia bercerita bagiamana ayahnya menyukai senja yang didomiansi dengan warna jingga.
            “Tahu gak kak? Kenapa aku diberi nama Jingga?” aku menggelengkan kepala. ia bercerita ayahnya yang membira nama Jingga karena suka dengan warna jingga yang selalu ada di senja hari. Malam sudah mulai menyambut tapi Jingga belum menghentikan langkahnya. Sampai dia berhenti di sebuah gang sempit di depan rumah mungil.
            “Aduh, Jingga kemana saja kamu, mama cari-cari kamu di sekitar sini gak ada?”  Aku meminat maaf padanya dan menceritakan kenapa Jingga terlambat pulang. Aku segera berpamitan pulang.

            Sampai suatu saat aku melihat Jingga ada di depan pintu masuk kebun raya , sedang berdiri di depan lukisan-lukisan yang berjejer rapi .
            “Hai, jingga . Apa kabar, ngapain kamu di sini?” Dia menunjukkan pada lukisan-lukisan itu dan menceritakan kalau itu semua lukisan ayahnya. Aku melihat lukisan-lukisan alam dan banyak sekali menorehkan  keindahan alam senja di beberapa tempat. Aku tak tahu tentang lukisan tapi ini sungguh indah menurutku.
            “Jadi kau jualan lukisan ayahmu?”
            “Iya, kak. Aku yakin suatu saat ayah akan jadi pelukis besar,”tukasnya cepat. Aku mengelus kepalanya.  Beberapa kali Jingga menawarkan lukisan pada orang yang melihat-lihat kadang ada kekecewaan kalau tak ada yang mau membeli lukisannya
            “Bentar ya, kakak pergi sebentar ya.” Aku kembali dengan membawa gorengan dan minuman. Aku menyodorkan padanya
            “Belum makan?” Jingga tertawa lebar dan seditit tersipu. Tanpa diminta Jingga mulai bercerita tentang dirinya. Aku diam menyimak ceritanya. Pernikahan ayah dan ibunya tak disetujui oleh orangtua ibunya., karena ayahnya pelukis yang tak punya penghasilan tetap. Akhirnya mereka menikah dan lahirlah Jingga. Ternyata lukisan ayahnya tak bisa menghidupi keluarganya dan  ayahnya menjadi supir bus antar kota untuk menyambung hidupnya walau di waktu senggangnya ayahnya tetap melukis.
            “Aku ingin menjual lukisan ayah. Aku tahu ayah orang hebat . Mungkin lukisan ini belum ketemu dengan orang yang tepat.” Aku menatapnya  kagum. Pikiran anak kecil ini lebih dewasa dari usianya. Dibantu tukang beca tetangganya setiap pulang sekolah dia menjual lukisan ayahnya dengan harapan ada yang membelinya atau tertarik dengan lukisan ayahnya.
            “Ayahmu tahu?” tanyaku. Jingga menggelengkan kepalanya.
            “Papa, gak tahu. Hanya aku dan mama saja yang tahu. Kalau papa lagi ada di rumah, aku tak jualan.” Ada sesuatu yang lain dari pandangan matanya , suatu harapan dan semangat . Jingga punya keyakinan suatu saat luksian ayahnya bakal ada di tangan yang tepat suatu saat. Semangat yang luar biasa.


            Siang itu aku diajak Yeni  ke Galery yang ada di dekat hotel Salak. Sebuah gedung yang menempel di hotel  Salak . Walau aku bukan penyuka lukisan , ajakan Yeni cukup menarik untuk sedikit menghibur hatiku . Tadi aku agak kesusahan dalam menjawab soal ujian, mungkin dengan berkunjung kemari aku bisa menyegarkan kembali otakku. Masuk dalam galerry , semua dipenuhi dengan warna Jingga. Lukisan-lukisan menampilkan senja dengan suasana yang berbeda. Aku agak tersentak dan teringat dengan Jingga. Aku tarik lengan Yeni lebih masuk ke dalam . Ah, benar ini lukisan ayah Jingga. Aku menatap seluruh ruangan dan melihat seorang ibu berdiri dekat lukisan yang aku tahu betul, itu lukisan yang pernah dijual Jingga .
            “Jingga mana?” aku tahu perempuan itu ibunya Jingga.
            “Kenal Jingga?” aku mengangguk. Tampak sapuan kabut di matanya dan cepat-cepat dihapusnya air mata yang sedikit keluar. Pria di sebelahnya memegang tangannya lembut. Aku terkesima sesaat. Tapi sesudahnya aku turut meneteskan air mata. Jingga telah pergi. Meninggalkan pesan untuk ayahnya kalau ada yang mau memamerkan lukisannya. Jingga tertabrak mobil saking gembira hatinya ingin mengabarkan pada ibunya. Semenjak itu ayahnya jadi sering pameran dan bahkan mempunyai galeri sendiri. Itu semua berkat Jingga. Aku menitikan air mataku dan aku ingat manik-manik matanya yang memancarkan harapan dan yakin Allah akan membantu dan menolong ayahnya. Dan semua terbukti. Jingga percaya akan kehebatan Allah yang membukakan jalan untuk ayahnya. Tepat di bulan ramadhan Jingga pergi dengan meninggalkan sejuta harapan baru untuk kedua orang tuanya