7 Tunas Yang Bersemi

Senin, 30 Mei 2016




 Gambar dari sini

          Aku berdiri di hutan mangrove yang terlihat begitu rimbun di pesisir pantai. Aku tak menyangka semua benih-benih mangrove ini bisa tumbuh dengan subur walau awalnya sangat sulit sekali untuk bisa menanam mangrove Kupandang pesisir pantai yang menghijau oleh mangrove dan sejauh memandang luas ke hamparan birunya laut. Mentari bersinar cerah saat burung-burung camar melayang rendah . Sungguh indah pesona alam pantai yang terbentang seluas aku memandangnya. Gelora dalam jiwa bersatu padu , terbuai oleh semilir angin pantai yang menghembus menembus pori-pori kulit membawa kesejukan udara . Ku tarik udara dan kuhembuskan perlahan, menikmati udara pantai yang begitu segar , sesegar hijaunya mangrove . Kutelusuri lagi pantai sambil  kuamati apakah ada pohon mangrove yang rusak . Tapi sejauh ini semua baik-baik saja.
            “Pagi, bu Indah,” sapa mak Nilem menyapaku .
            “Pagi, lagi ambil mangrove ya,” kataku.
            “Iya bu, saya pamit dulu,” kata mak Nilem. Kupandangi lagi punggung mak Nilem, sambil tersnyum, jerih payahnya di desa psisir pantai ini sudah membuahkan hasil yang menguntungkan, tak terasa tujuh tahun aku sudah ada di sini dan bersama-sama penduduk menanam dan memanfaatkan mangrove.

            Pesisir pantai ini membuatku kembali lagi setelah aku melaksanakan kuliah kerja nyata di desa miskin yang penghidupannya sebagian besar dari nelayan.  Desa ini seperti sebuah magnet tersendiri bagiku, pantainya indah dengan pasir putihnya, tapi di sisi lain banyak tepi pantai yang terabrasi ombak dan sering menyebabkan banjir rob yang menyerang desa tepi pantai ini. Rutinitas banjir rob selalu datang setiap tahun dan warga tak mampu berbuat sesuatu , selain menggantungkan nasib mereka pada pemerintah setempat. Tak ada pohon mangrove sebagai barier pertama di pantai sama sekali tak ada. Belum lagi nasib warga desa yang miskin , banyak anak putus sekolah dan hanya berkeliaran di pantai dan kadang-kadang membantu ayah mereka ke laut.. Untuk itulah aku kemari, walau banyak teman bahkan keluarga menyuruhku untuk mengurungkan niatku berbakti di desa ini.
            “Apa yang kau cari di sana Indah, kamu gak akan dapat apa-apa di sana,” kata ibuku.
            “Pastinya ada bu, walau Indah tidak tahu apa itu,” kataku diplomatis. Kekerasan hatiku membuat keluargaku akhirnya menyerah dan menyerahkan segalanya sebagai tanggung jawabku sepenuhnya. Aku menyanggupi , walau sebetulnya aku sendiri  masih tak tahu apakah aku bakal mampu bertahan di sini atau tidak.

            Aku mencari tempat tinggal di desa di pesisir pantai , kebetulan ada tokek perahu yang mau menyewakan kamar di rumahnya untuk tempat tinggalku.. Aku mulai mencari penduduk yang mau diajak kerjasama, rumah ke rumah aku datangi tapi sungguh hampir aku menyerah karena tak ada satupun yang mau ikut aku untuk menanam mangrove di tepi pantai. Sampai aku  di rumah mak Nilem, dan mak Nilemlah yang terlihat antusias dan ingin membantuku. Memang sih aku melihat mak Nilem tampak lebih cerdas dibandingkan dengan ibu-ibu lainnya. Tapi , tak mengapa  karena mulai dengan sesuatu yang baru, perlu ada bukti dulu baru orang akan perrcaya.
            “Bu , Indah apa sebaiknya ibu pindah ke tempat lain,” kata mak Nilem
            “Mengapa?’ tanyaku.
            “Mungkin saja , penduduk di sini curiga pada ibu karena tinggal di tokek,” katanya lagi.
            “Memangnya kenapa mereka harus curiga denganku?” tanyaku.
            “Ya, karena mereka kurang suka dengan tokek yang banyak menindas penduduk di sini,” kata mak Nilem. Aku terdiam sejenak, tapi bagaimana lagi tidak ada tempat lagi bagiku untuk bisa sekedar beristirahat.

            Hari demi hari bersama mak Nilem , mak Zubaedah dan mak Narti, aku bersam-sama menanam bibit mangrove.  Memulai dengan memasang pasak-pasak kayu yang dibenamkan di lumpur pantai dan baru bibit di tanam dan tangkainya diikatkan ke pasak kayu dengan tali rafia. Banyak cibiran dari penduduk setempat atas usaha yang aku lakukan , tapi aku tak ambil pusing, biar mereka tahu buktinya sendiri kelak, Sudah hampir sepanjang pantai yang ditaman bibit mangrove, setiap hari aku bergantian dengan mak Nilem dan temannya menjaga bibit itu agar dapat tumbuh. Sampai suatu saat mak Zubedah datang ke tempatku dengan berita yang sangat mengejutkan.
            “Bu Indah, sebagain mangrove dirusak orang,” katanya . Aku langsung bergegas ke tempat kejadian. Aku terhenyak saat melihat begitu banyak bibit mangrove yang hilang dan dirusak orang.
            “Siapa yang melakukannya?” tanyaku pada mak Zubaedah.
            “Entahlah bu, harus diusut,” katanya lagi. Aku begitu marah sekali, karena tenaga dan usaha ini bakal sia-sia . Aku mulai menggertak penduduk, kalau aku akan melaporkan kejadian ini dan siapa yang melakukannya akan dihukum seberat-beratnya.
            “Sabar, bu” kata mak Nilem.
            “Gak bisa mak, ini sudah kriminal , perlu dilaporkan,” kataku marah. Mak Narti bercerita kalau beberapa penduduk di sini di suruh merusak mangrove  oleh tokek . Astaga , aku terkejut, padahal selama aku tinggal di pak Jaelani, tidak tampak dia tidak setuju dengan apa yang aku lakukan.
            “Bu, lebih baik ibu pindah saja dari rumah tokek,” kata mak Nilem,” kalau gak keberatan tinggal di tempat saya, walau harus  bersempit-sempitan.” Aku mengangguk saja, pasrah.

            Aku mulai  kembali menanam bibit mangrove . Kegigihan aku bersama mak Nilem ternyata berbuah manis. Tanaman mangrove mulai bertumbuh dan pantai mulai tertutup dengan pohon mangrove  yang mulai berakar kuat di lumpur –lumpur dan mulai bisa jadi barier /penahan ombak laut. Aku mulai mencari dana untuk membuat jalan di antara pohon mangrove sehingga memudahkan pemantauan hutan mangrove, dan jalan itu untuk sarana wisata edukasi yang akan aku buka bagi umum. Bekerja sama dengan dinas lingkungan hidup  setempat dan komunitas hijau aku bisa mewujudkan jalan setapak di sekitar hutan mangrove . Dekat hutan mangrove juga kubangun bangunan sederhana dari bambu untuk tempat pertemuan dan belajar bagi orang yang mau belajar tentang mangrove . Terbentulah Hutan Wisata Mangrove.  Satu usahaku yang mulai nampak di depan mata.. Sampai suatu saat ada penduduk pak Dudung yang melaporkan kalau waktu dia mau melaut dia melihat ada orang yang mengendap-endap di hutan mangrove. Waktu dia melihat  orang itu menuangkan bahan cairan ke hutan mangrove.  Pak Dudung melaporkan dan membawa orang itu ke tempat  mak Nilem.
            “Ada apa pak Dudung, malam-malam “, kata mak Nilem. Pak Dudung membawa orang yang tadi menuangkan cairan ke mangrove. Aku memandang orang itu, dan rasanya aku sering melihat orang ini , tapi dimana aku lupa.
            “Apa yang kamu tuangkan di hutan?” tanyaku memdesak.
            “Bensin,” katanya lagi.
            “Jadi kalau gak ketahuan, hutan mau dibakar?” tanyaku berang . Orang itu mengangguk.
            “Apa kamu disuruh tokek?” tanya mak Nilem. Orang itu mengangguk lagi. Aku baru sadar kalau orang itu pegawainya pak Jaelani, si tokek itu, pantas aku pernah lihat orang ini.. Karena aku tak mau ribut dengan pak Jaelani , makanya aku melepaskan orang tersebut dengan syarat , jangan pernah mengulang lagi walau disuruh pak Jaelani.

            Aku mulai memberdayakan wanita-wanita di desa itu dengan manfaatkan hutan mangrove. Mulai membuat sirup dari buah magrove dan dikemas dii botol-borol kecil dan besar dan diberi label Indah sesuai dengan namaku , selain itu juga ada produk kerupuk dan dodol dengan  label yang sama. Mulailah dibentuk kelompok usaha perempun yang diberi nama kelompok wanita Nilem sesuai dengan mak Nilem yang pertama berjuang bersamaku. Masing-masing penduduk menyetorkan hasil pembuatan kerupuk, dodol dan sirup ke kelompok wanita untuk disalurkan dan dijual ke kota-kota di sekitar sana  bahkan sudah ada yang memesan dari luar pulau Jawa. Sungguh perkembangan yang tak ku sangka akan semaju ini.

            Kini ku berdiri di tepian pantai dan kupandang sekali lagi hijaunya hutan mangrove yang dulu sekali harus kuperjuangkan dengan pengorbanan lahir dan batin . Kini ku bisa bernafas lega saat kulihat masarakat sudah hidup dengan lebih baik lagi. Kulihat pancaran asa yang ada di dalam tatapan mata mereka bagai bulir –bulir benih yang akan tumbuh menjadi kenyataan. Tunas itu sudah mulai bersemi di hati mereka........

Cirebon, 31 Mei 2106
Memperingati hari lingkungan hidup sedunia  5 Juni


2 Bocah Kecil

Senin, 23 Mei 2016


Gambar dari sini 
 
              Sepanjang hari itu, aku masih termenung panjang mengingat peristiwa yang masih jelas terpampang di depan mata seperti layar lebar yang  menggambarkan peristiwa scan demi scan. Bocah kecil dengan  bola mata hitam memeluk gitar kecilnya di antara kendaraan yang lalu lalang bersliweran tak henti-hentinya. Tubuh mungilnya hanya tampak setitik notkah di antara puluhan kendaraan yang tak peduli dengan sekitarnya. Masih terbayang waktu aku menolongnya saat motor menyenggolnya. Kuberlari dan kugotong tubuh mungilnya ke tepi jalan dan kuperiksa tubuhnya, hanya lecet-lecet kecil saja, beruntung nasibmu kawan. Kutanyakan padanya dimana rumahnya. Dia hanya menatap mataku dengan tatapan sayu , rasa hati tertusuk menatap bola matanya yang penuh kerinduan terhadap sesuatu yang aku sendiri tak tahu itu apa. Bocah kecil itu benama Dul. Kulihat Dul menatap ke ujung jalan dan kulihat disana ada beberapa preman yang melihat kearahku dan Dul. Dul bangun dengan tergesa dan berlari , aku terhenyak sehingga tak sempat aku mengejarnya.

            Aku masih di depan laptopku dan masih terbayang lukisan peristiwa kemarin,Gitar di tanganku dan pikiran yang masih mengembara. Ingin kutuliskan bait-bait  lagu yang menceminkan kesedihan yang terpancar di mata bulatmu., tapi dari tadi tak satupun kata-kata yang bisa kutulis di lembaran kosong kertas putih yang tergeletak di samping kopi susu hangat yang menemaniku sejak tadi pagi. Kepulan asap panasnya sudah hilang dari tadi,  Aku masih ingin bertemu lagi denganya. Kuganti bajuku dan kugunakan topi hitamku dan kacamata hitam yang bertengker di telingaku dan ku kendarai motor bututku  dengan gitarku  mengarungi jalan jahanam dengan segala polusi yang ada di sana. Kembali ke tempat di perempatan jalan Dago, ku parkir motorku di tepi jalan , ku pandangi jalan yang berdebu , masih belum terlihat bocah kecil. Saat kutengadahkan kepalaku untuk melihat ke seberang jalan. Benar saja Dul ada di sana. Kuseberangi jalan dan kudekati Dul. Hampir saja Dul lari kalau tanganku tidak cepat memegang lengannya.
            “Dul, tenang aku gak akan ngapain-ngapain kamu, aku hanya ingin berteman”, kataku sambil mengulurkan tanganku. Dul ragu-ragu dan melihat ke ujung jalan lagi dan baru Dul menyodorkan tangannya padaku. Kugenggam tangannya .
            “Aku boleh ikutan ngamen gak?, tanyaku,”nanti uangnya buat kamu”. Dul melihatku dengan tatapan aneh tapi kemudian dia menganggukan kepalanya. Aku mengambil gitarku di motorku dan mulai mengamen di lampu merah Dago.. Rasa panas di kepala dan peluh yang mengucur di tubuhku tak kugubris, niatku ingin membantu Dul. Hanya uang recehan yang kudapat dan pandangan sinis dari pengendara-pengendara itu. Tak terbayang Dul harus menjalani semua ini sendiri tanpa teman dan keluarganya.

            Waktu tengah hari kuajak Dul untuk beristirahat. Kulihat ada resto kecil di sudut jalan Dago. Kuajak Dul makan di sana. Kulihat Dul makan dengan lahap. Kasihan, mungkin Dul tidak pernah makan seenak ini sehingga begitu lahapnya dia makan.
            “Dul, kamu tinggal dimana?”, tanyaku.
            “Di belakang kebun binatang”, katanya sambil sibuk memasukan makanannya ke dalam mulut penuhnya.
            ‘Hati-hati, jangan banyak –banyak kau masukan makanan itu, nanti keselek”, kataku lagi. Dul tidak menggubrisnya, dia tetap makan dengan tergesa-gesa.
            “Kamu tinggal dengan siapa”, kataku lagi sambil mendesak agar Dul mau banyak cerita. Dul memandangku sekali lagi. Aku menatapnya dan meyakinkan dia bahwa aku orang yang pantas dipercaya. Dul lama terdiam dan akhirnya keluarlah cerita dari mulutnya. Dul tinggal bersama-sama dengan bocah lainnya di gang sempit dan rumah kecil . Mereka ditampung oleh preman dan mereka disuruh bekerja dan mereka wajib menyetorkan sebagian uang kepada preman-preman itu. Menurut Dul, kalau setoran kurang , mereka mendapatkan bogem mentah di perut mereka. Aku terhenyak mendengar penuturannya. Tiba-tiba Dul berdiri dan hendak meninggalkan aku.
            “Eh, jangan buru-buru, nanti aku belum selesai makan”, kataku.
            “Gak, nanti bang Kohir melihat aku tak ada di sana , pasti aku dimarahinya”, katanya lagi sambil bergegas ke luar. Aku hanya bisa menghela nafas. Kupandangi punggung kecilnya sampai menghilang dari pandangan mataku.

            Hampir setiap hari aku melewati jalan Dago dan masih saja kulihat Dul di sana. Sampai suatu saat aku tak melihatnya sampai sudah seminggu tak kulihat Dul di sana. Aku semakin penasaran. Aku mulai mencarinya siang itu, tapi sampai lelah kakiku berdiri , Dul tak terlihat. Aku menghampiri bocah yang sedang mengamen, waktu kutanyakan tentang Dul, yang kudapat hanya gelengan kepalanya dan dengan cepat berlalu dari hadapanku. Ternyata bocah yang lainpun tutup mulut saat kutanyakan keberadaan Dul. Kutunggu sampai senja tiba , malam berganti, bocah-bocah itu masih mengamen. Kakiku mulai terasa pegal dan perutku mulai terasa lapar tapi aku tak mau berhenti . Aku ingin tahu keberadaan Dul bocah cilik bermata  bulat yang menarik perhatianku. Saat malam sudah larut kulihat bocah-bocah itu mulai pulang . Aku mengikuti dengan jalan perlahan di belakang mereka. Benar , mereka masuk jalan yang menuju belakang kebun binatang. Dan mereka berhenti di rumah kecil yang sudah kusam. Tampak mereka menyetorkan kepada dua preman yang sudah berdiri di depan pintu. Salah satu preman tiba-tiba menatapku tajam , aku kaget dan berbalik arah dan berjalan perlahan-lahan agar tidak mencurigakan.

            Masih kulihat di perempatan Dago siang itu, tak ada Dul. Aku berbalik dan menuju gang sempit tempat rumah Dul. Kulihat dari jendela ada sesosok tubuh mungil tergeletak di tikar. Kucoba membuka pintu, ternyata tidak dikunci. Agak gelap hanya seberkas sinar matahari masuk lewat jendela. Udara lembab menyapaku saat aku masuk ke ruangan yang sangat kotor.
            “Dul, Dul....”,panggilku. Dul membalikan tubuh lemahnya. Aku kaget badannya panas , peluh menetes di dahinya dan astaga, badannya penuh memar. Aku tak mungkin menanyakan pada Dul, kuangkat tubuh lemahnya . Kupanggil taksi dan kubawa ke rumah sakit. Dul , berbaring lemah di tempat tidur dengan infus di tangannya dan luka-luka dan memarnya sudah diobati.
            “Dul, kakak pulang dulu, nanti kakak kemari lagi “, kataku.
            “Anda keluarganya?”, tanya perawat yang masuk ke ruangan.
            “Iya”, kataku.
            “Oh, kalau gitu, ini obat yang harus  ditebus”, katanya lagi. Aku menerima resep itu dan beranjak pergi.
            “Kak, jangan pergi, Dul takut”, katanya. Aku memandang bola matanya , ada rasa takut dan sedih.
            “Kakak pergi beli obat dulu , nanti kemari lagi”, “jangan takut , kamu aman di sini”, kataku sambil bergegas keluar.

            Waktu aku kembali Dul sudah tak ada di ruangannya. Waktu kutanyakan pada perawat di sana, mereka bilang ada saudaranya yang mengambilnya kembali dengan alasan tidak punya uang untuk biaya rumah sakit. Aku tidak sempat marah dan bergegas  mencari Dul ke rumahnya. Kuketuk rumah dan kubuka tidak ada siapa-siapa di rumah  itu.
            “Mas cari siapa?,”tanya perempuan yang sedari tadi memperhatikanku.
            “Cari Dul, ibu tahu?”, tanyaku.
            “Oh, mereka semua pergi tadi sore , katanya sih mau pindah”, kata perempuan itu .
lagi.
Sial!!. .Besok akan kucari teman-temannya saat mereka ngamen.

            Minum kopi di saat pagi menjelang , membuat hangat dada , ditemani dengan dentingan lagu dari mini compoku di kamar kecilku. Kuraih koran yang baru saja diantarkan loper koran. Kubuka lembaran koran, berita korupsi saja yang terpampang di halaman muka. Tiba-tiba kulihat gambar wajah yang sangat kukenal, bola matanya yang bulat dengan pandangan sayunya. Kubaca perlahan berita di koran. Diketemukan sosok mayat bocah cilik tanpa identitas hanyut di sungai Cikapundung. Aku bergegas pergi menuju rumah sakit Hasan Sadikin untuk melihat jenasahnya. Aku tak bisa mengeluarkan sepatah kata apapun melihat bocah cilik itu , mengenaskan dengan tubuh penuh luka dan lebam .
            “Anda keluarganya?, tanya petugas di kamar mayat.
            ‘Iya”, kataku. Petugas itu memberitahukan aku untuk menyelesaikan prosedur untuk mengambil jenasah.

            Disinilah aku berdiri di onggokan tanah yang menutupi tubuh bocah cilik dengan bola mata hitamnya, Dul. Kulangkahkan kakiku meninggalkan sebongkah duka yang dialami bocah kecil itu. Dan saat ini aku masih duduk terpekur , belum saja ku dapat menyelesaikan bait-bait lagu yang sempat tertunda. Kutuliskan sekali lagi bait-bait kesedihan yang ada di dalam bola matanya itu, kunyanyikan dalam alunan lagu yang mendayu dan menyentuh relung hatiku. Masih sepi di sini sesepi Dul di sana tak ada yang menemani. Hanya sepotong lagu untuknya kupersembahkan buatmu bocah kecil dengan bola mata hitammu. DUL

           

6 Mengenang Kata Cinta

Rabu, 11 Mei 2016




Gambar dari sini 
 
Irama waktu berlalu , saat cinta menghujan deras
Dalam lamunan panjang
Tapi hanya seperti bayang-bayang
Kau selalu berada jauh dari jangkauanku
Jauh
Tetap tak pernah sapa jiwa ini
Hanya sapaan basa-basi yang kudengar
Sampai maut memanggilmu


Kadang aku bertnaya
Apakah kau mencintaiku???
Kadang aku labuhkan mimpiku untuk dapatkan cintamu
Sampai maut datang
Aku masih bertanya
Apakah aku mendekap hanya bayang cinta??
Atau nyata dalam hidupku
Entahlah ,kadang aku ingin bertanya


Merajut harap dalam mimpi-mimpiku
Tapi kau selalu datang dalam mimpiku
Memeluk sudut hatiku, sudut kerinduanku
Akan kehadiranmu, akan cintamu
Tanpa aku sadari kau ada di hatiku
Ternyata kau mencintaiku dengan caramu
Aku malu ,aku tak bisa membaca tanda-tanda cinta darimu
Kini terlambat bagiku untuk menyatakan cinta padamu


Biarlah kini aku merayakan cintaku padamu
Lewat doa-doa panjang untukmu
Agar kau bahagia di sana , di surga
Menyempurnakan rasa cinta dalam syahdunya malam
Saat aku tengadahkan tanganku
Untuk memohon ampunanNya untuk bapak
Aku mencintaimu bapak apa adanya
Kau selalu datang dalam mimpiku untuk membuktikan cintamu padaku.....


Cirebon, 13 Mei 2016
Selamat ulang tahun bapak. Semoga kau bahagia di sana.