Gambar dari sini
Aku berdiri di hutan mangrove yang terlihat begitu rimbun di
pesisir pantai. Aku tak menyangka semua benih-benih mangrove ini bisa tumbuh
dengan subur walau awalnya sangat sulit sekali untuk bisa menanam mangrove
Kupandang pesisir pantai yang menghijau oleh mangrove dan sejauh memandang luas
ke hamparan birunya laut. Mentari bersinar cerah saat burung-burung camar
melayang rendah . Sungguh indah pesona alam pantai yang terbentang seluas aku
memandangnya. Gelora dalam jiwa bersatu padu , terbuai oleh semilir angin
pantai yang menghembus menembus pori-pori kulit membawa kesejukan udara . Ku
tarik udara dan kuhembuskan perlahan, menikmati udara pantai yang begitu segar
, sesegar hijaunya mangrove . Kutelusuri lagi pantai sambil kuamati apakah ada pohon mangrove yang rusak
. Tapi sejauh ini semua baik-baik saja.
“Pagi, bu
Indah,” sapa mak Nilem menyapaku .
“Pagi, lagi
ambil mangrove ya,” kataku.
“Iya bu,
saya pamit dulu,” kata mak Nilem. Kupandangi lagi punggung mak Nilem, sambil
tersnyum, jerih payahnya di desa psisir pantai ini sudah membuahkan hasil yang
menguntungkan, tak terasa tujuh tahun aku sudah ada di sini dan bersama-sama
penduduk menanam dan memanfaatkan mangrove.
Pesisir
pantai ini membuatku kembali lagi setelah aku melaksanakan kuliah kerja nyata
di desa miskin yang penghidupannya sebagian besar dari nelayan. Desa ini seperti sebuah magnet tersendiri
bagiku, pantainya indah dengan pasir putihnya, tapi di sisi lain banyak tepi pantai
yang terabrasi ombak dan sering menyebabkan banjir rob yang menyerang desa tepi
pantai ini. Rutinitas banjir rob selalu datang setiap tahun dan warga tak mampu
berbuat sesuatu , selain menggantungkan nasib mereka pada pemerintah setempat.
Tak ada pohon mangrove sebagai barier pertama di pantai sama sekali tak ada.
Belum lagi nasib warga desa yang miskin , banyak anak putus sekolah dan hanya
berkeliaran di pantai dan kadang-kadang membantu ayah mereka ke laut.. Untuk
itulah aku kemari, walau banyak teman bahkan keluarga menyuruhku untuk mengurungkan
niatku berbakti di desa ini.
“Apa yang
kau cari di sana Indah, kamu gak akan dapat apa-apa di sana,” kata ibuku.
“Pastinya
ada bu, walau Indah tidak tahu apa itu,” kataku diplomatis. Kekerasan hatiku
membuat keluargaku akhirnya menyerah dan menyerahkan segalanya sebagai tanggung
jawabku sepenuhnya. Aku menyanggupi , walau sebetulnya aku sendiri masih tak tahu apakah aku bakal mampu
bertahan di sini atau tidak.
Aku mencari
tempat tinggal di desa di pesisir pantai , kebetulan ada tokek perahu yang mau
menyewakan kamar di rumahnya untuk tempat tinggalku.. Aku mulai mencari
penduduk yang mau diajak kerjasama, rumah ke rumah aku datangi tapi sungguh
hampir aku menyerah karena tak ada satupun yang mau ikut aku untuk menanam
mangrove di tepi pantai. Sampai aku di
rumah mak Nilem, dan mak Nilemlah yang terlihat antusias dan ingin membantuku.
Memang sih aku melihat mak Nilem tampak lebih cerdas dibandingkan dengan
ibu-ibu lainnya. Tapi , tak mengapa
karena mulai dengan sesuatu yang baru, perlu ada bukti dulu baru orang
akan perrcaya.
“Bu , Indah
apa sebaiknya ibu pindah ke tempat lain,” kata mak Nilem
“Mengapa?’
tanyaku.
“Mungkin
saja , penduduk di sini curiga pada ibu karena tinggal di tokek,” katanya lagi.
“Memangnya
kenapa mereka harus curiga denganku?” tanyaku.
“Ya, karena
mereka kurang suka dengan tokek yang banyak menindas penduduk di sini,” kata
mak Nilem. Aku terdiam sejenak, tapi bagaimana lagi tidak ada tempat lagi
bagiku untuk bisa sekedar beristirahat.
Hari demi
hari bersama mak Nilem , mak Zubaedah dan mak Narti, aku bersam-sama menanam
bibit mangrove. Memulai dengan memasang
pasak-pasak kayu yang dibenamkan di lumpur pantai dan baru bibit di tanam dan
tangkainya diikatkan ke pasak kayu dengan tali rafia. Banyak cibiran dari
penduduk setempat atas usaha yang aku lakukan , tapi aku tak ambil pusing, biar
mereka tahu buktinya sendiri kelak, Sudah hampir sepanjang pantai yang ditaman
bibit mangrove, setiap hari aku bergantian dengan mak Nilem dan temannya
menjaga bibit itu agar dapat tumbuh. Sampai suatu saat mak Zubedah datang ke
tempatku dengan berita yang sangat mengejutkan.
“Bu Indah,
sebagain mangrove dirusak orang,” katanya . Aku langsung bergegas ke tempat
kejadian. Aku terhenyak saat melihat begitu banyak bibit mangrove yang hilang
dan dirusak orang.
“Siapa yang
melakukannya?” tanyaku pada mak Zubaedah.
“Entahlah
bu, harus diusut,” katanya lagi. Aku begitu marah sekali, karena tenaga dan
usaha ini bakal sia-sia . Aku mulai menggertak penduduk, kalau aku akan
melaporkan kejadian ini dan siapa yang melakukannya akan dihukum
seberat-beratnya.
“Sabar, bu”
kata mak Nilem.
“Gak bisa
mak, ini sudah kriminal , perlu dilaporkan,” kataku marah. Mak Narti bercerita
kalau beberapa penduduk di sini di suruh merusak mangrove oleh tokek . Astaga , aku terkejut, padahal
selama aku tinggal di pak Jaelani, tidak tampak dia tidak setuju dengan apa yang
aku lakukan.
“Bu, lebih
baik ibu pindah saja dari rumah tokek,” kata mak Nilem,” kalau gak keberatan
tinggal di tempat saya, walau harus
bersempit-sempitan.” Aku mengangguk saja, pasrah.
Aku
mulai kembali menanam bibit mangrove .
Kegigihan aku bersama mak Nilem ternyata berbuah manis. Tanaman mangrove mulai
bertumbuh dan pantai mulai tertutup dengan pohon mangrove yang mulai berakar kuat di lumpur –lumpur dan
mulai bisa jadi barier /penahan ombak laut. Aku mulai mencari dana untuk
membuat jalan di antara pohon mangrove sehingga memudahkan pemantauan hutan
mangrove, dan jalan itu untuk sarana wisata edukasi yang akan aku buka bagi
umum. Bekerja sama dengan dinas lingkungan hidup setempat dan komunitas hijau aku bisa
mewujudkan jalan setapak di sekitar hutan mangrove . Dekat hutan mangrove juga
kubangun bangunan sederhana dari bambu untuk tempat pertemuan dan belajar bagi
orang yang mau belajar tentang mangrove . Terbentulah Hutan Wisata Mangrove. Satu usahaku yang mulai nampak di depan
mata.. Sampai suatu saat ada penduduk pak Dudung yang melaporkan kalau waktu
dia mau melaut dia melihat ada orang yang mengendap-endap di hutan mangrove.
Waktu dia melihat orang itu menuangkan
bahan cairan ke hutan mangrove. Pak
Dudung melaporkan dan membawa orang itu ke tempat mak Nilem.
“Ada apa
pak Dudung, malam-malam “, kata mak Nilem. Pak Dudung membawa orang yang tadi
menuangkan cairan ke mangrove. Aku memandang orang itu, dan rasanya aku sering
melihat orang ini , tapi dimana aku lupa.
“Apa yang
kamu tuangkan di hutan?” tanyaku memdesak.
“Bensin,”
katanya lagi.
“Jadi kalau
gak ketahuan, hutan mau dibakar?” tanyaku berang . Orang itu mengangguk.
“Apa kamu
disuruh tokek?” tanya mak Nilem. Orang itu mengangguk lagi. Aku baru sadar
kalau orang itu pegawainya pak Jaelani, si tokek itu, pantas aku pernah lihat
orang ini.. Karena aku tak mau ribut dengan pak Jaelani , makanya aku
melepaskan orang tersebut dengan syarat , jangan pernah mengulang lagi walau
disuruh pak Jaelani.
Aku mulai
memberdayakan wanita-wanita di desa itu dengan manfaatkan hutan mangrove. Mulai
membuat sirup dari buah magrove dan dikemas dii botol-borol kecil dan besar dan
diberi label Indah sesuai dengan namaku , selain itu juga ada produk kerupuk
dan dodol dengan label yang sama.
Mulailah dibentuk kelompok usaha perempun yang diberi nama kelompok wanita
Nilem sesuai dengan mak Nilem yang pertama berjuang bersamaku. Masing-masing
penduduk menyetorkan hasil pembuatan kerupuk, dodol dan sirup ke kelompok
wanita untuk disalurkan dan dijual ke kota-kota di sekitar sana bahkan sudah ada yang memesan dari luar pulau
Jawa. Sungguh perkembangan yang tak ku sangka akan semaju ini.
Kini ku
berdiri di tepian pantai dan kupandang sekali lagi hijaunya hutan mangrove yang
dulu sekali harus kuperjuangkan dengan pengorbanan lahir dan batin . Kini ku
bisa bernafas lega saat kulihat masarakat sudah hidup dengan lebih baik lagi.
Kulihat pancaran asa yang ada di dalam tatapan mata mereka bagai bulir –bulir
benih yang akan tumbuh menjadi kenyataan. Tunas itu sudah mulai bersemi di hati
mereka........
Cirebon, 31 Mei 2106
Memperingati hari lingkungan hidup sedunia 5 Juni