2 Titip Rindu Untuk Ayah

Kamis, 30 Maret 2017



 Gambar dari sini

Lama kau tak datang dalam mimpiku, ayah
Tak lagi kau menyapaku dalam mimpiku
Gelitik hasratku tuk kembali bersua denganmu
Waalu dalam mimpi
Walau hanya bayang-bayang saja.

Kini aku sujud di depan Kabah
Ingin kujumpai dirimu datang padaku
Menjawab risauku tentang dirimu
Sampai aku berpikir terus dengan rindu ini
Rindu padamu, ayah

Sejauh ini kupandangi Kabah
Dengan harapan rindu
Andai saja Kau pertemukan aku dan ayah
Sekali saja untuk rinduku
Tolonglah Allah, aku rindu

Membias terang di dalam bayang-bayang kalbu
Aku hanya bisa menunggu
Sampai aku akan melihat bayang-bayangmu lagi
Untuk menyemai rindu yang telah lama bersarang
Dan ingin aku peluk dirimu

Rinduku pada ayah
Saat sujudku untuknya di depan Kabah
Untuk kedamaianmu di sana
Semoga kau baik-baik saja
Aku akan selalu merindukanmu, selalu.......

Cirebon, 31  Maret 2107
Saat rindu pada ayah, aku hanya bisa mendoakan beliau di depan Kabah


2 Tali Cinta

Rabu, 08 Maret 2017




Gambar dari sini 
 
             Tampak Delia sedang memainkan jemarinya di atas tuts piano. Jemarinya begitu lincah menari-nari dia atas tuts. Sekali-kali senyum terukir di bibirnya yang mungil . Wajahnya tampak sumringah. Lagu Romance The Amor begitu apik dimainkan Delia. Penonton tampak menikmati alunan lembut dari tangan-tangan Delia. Kadang lembut mendayu kadang menyentak di tengah .Dan itu membuat getar-getar tersendiri di hati penonton. Aku sendiri tersenyum dan merasakan getar-getar yang mengusik di sudut hatiku. Begitu indah lagu itu dibawakan. Tiba-tiba suara piano diam dan hening sesaat. Saat Delia membungkukan tubuhnya, tepuk tangan riuh menggema di seluruh aula besar yang mewah. Di aula ini sudah biasa diadakan konser piano bahkan pianis-pianis terkenal di dunia pernah bermain di gedung Ahtafira di Bandung. Termasuk pianis kenamaan Richard Clayderman pernah manggung di sini juga. Betapa bahagianya Delia bisa tampil di gedung tempat pianis-pianis terkenal berkonser.Tepuk tangan tak berhenti terus bergema .Penonton melakukan standing applaus yang begitu meriah. Mungkin Delia juga  merasakan betapa suasana yang begitu membuat bulu kuduk merinding. Gemuruh suaranya membuatku begitu terharu. Tak terasa air mata turun di sudut mataku. Aku menghapusnya perlahan-lahan.

            Dia anakku. Delia. Dia putri kecilku . Dia malaikat bagiku. Betapa dia harus berjuang keras untuk bisa membuat konser tunggal sebagus ini. Aku bangga dengannya. Dengan keterbatasan Delia yang tunanetra tak membuat peluang untuknya berpretasi hilang. Kekurangan yang dia punya ternyata Allah memberikan kelebihan lain. Sisi seninya yang sangat peka dan halus memudahkan dirinya untuk belajar musik. Mbak Reta yang memperkenalkan Delia dengan piano sejak Delia berumur 6 tahun.Aku harus berterimakasih pada mbak Reta . Dia telah mengubah Delia yang tertutup menjadi pribadi yang lebih ceria dan percaya diri. Delia yang buta sejak lahir membuatnya dirinya punya rasa tak percaya diri. Tapi setelah mengenal piano, hidupnya berubah drastis. Binar-binar keceriaan selalu mengikutinya. Sungguh aku bersyukur dengan banyak perubahan Delia.
            “Mama,” tegur Delia menyentuh lenganku. Aku tatap putri kecilku . Aku peluk dirinya dan kukecup dahinya.
            “Indah sekali Delia. Sangat indah. Pegang pipi mama, mama menangis . Begitu indah kau mainkan jemarimu nak.” Aku pandangi Delia. Ah, sekarang dia sudah hampir berusai 12 tahun.Sudah mulai remaja. Tiba-tiba mas Santo muncul tiba-tiba dan menyerahkan bunga mawar merah pada Delia.
            “Untukmu Delia. Hari ini kamu cantik. Indah sekali permaiannmu,” tukasnya.
            “Terimakasih. Siapa dia mama?” tanyanya. Aku terdiam sesaat. Ada duri yang menusuk hatiku. Perih dan sakit. Nyeri karena masih ada luka yang belum tertutup di hatiku.
            “Mam?” tanyanya lagi. Aku menatap mas Santo  yang terlihat canggung berdiri di hadapanku.
            “Om Santo, Delia,” tukasku. Ada rasa perih yang menyayat hatiku. Sakit sekali. Aku terdiam lama, entah apa yang aku bisa katakan padanya hari ini. Hanya diam . Itu lebih baik daripada luka lama terbuka kembali.
            “Aku pulang dulu Nana. Delia, om pulang dulu. Lain kali om akan nonton konsermu lagi.” Delia mengangguk dengan senyumnya yang mengembang dari bibirnya. Aku mencoba menghentikan sedikit rasa gemuruh di hatiku. Masih adakah cinta untuk dia, mas Santo???? Entahlah.
            “Eh, Delia sekarang sesi foto. Sudah ditunggu di depan,” tukas mbak Reta. Aku menggandeng lengan Delia menuju depan . Sesi foto dimulai. Banyak orang , terutama remaja yang mengidolakan Delia yang hendak berfoto dengannya. Hari ini begitu menguras tenaga dan hati Delia. Tapi selebihnya aku bangga dan terharu padanya.

            Aku ingat saat pertama aku positif hamil. Aku mengabarkan berita ini pada mas Santo. Betapa bahagia raut wajah mas Santo saat pertama kali tahu aku positif hamil. Begitu banyak angan-angan yang melayang jauh ke angkasa akan harapan mendapatkan buah hati.  Ternyata angan-angan yang tinggi itu hancur saat tahu kalau Delia mengalami kebutaan. Semua hancur begitu saja. Aku ikhlas menerima semuanya sebagai takdir yang harus aku jalani. Tapi bagi mas Santo , tidak. Mas Santo meninggalkan aku dan Delia. Dia tak bisa menerima Delia yang buta.Aku butuh berbulan-bulan untuk menata kembali hidupku . Sampai aku bisa bangkit dan menata hidupku bersama Delia. Aku didik Delia dengan penuh kecintaanku. Walau aku sedikit cemas karena Delia terlalu tertutup dan agak murung. Tapi semenjak mbak Reta mengajaknya bermain piano, sedikit demi sedikit Delia mulai terbuka hatinya. Rasa percaya dirinya tumbuh sejalan dengan kepintarannya bermain piano yang semakin mahir juga. Delia tumbuh menjadi gadis yang menyenangkan. Itu membuatku bahagia. Dan akhirnya itu membuatku sedikit melupakan rasa sakit hatiku saat mas Santo meninggalkanku. Aku tak pernah mendengar kabar dari mas Santo atau memang aku tak mau mendengarnya. Cukup aku dan Delia yang berjuang bersama-sama. Aku cukup bilang pada Delia kalau papanya pergi untuk bekerja. Beberapa kali Delia bertanya mengapa papanya tak pulang-pulang tapi akhirnya Delia tak pernah bertanya lagi tentang papanya. Aku sendiri tak tahu akan perasaannya pada papanya. Apakah dia merindukan papanya atau tidak. Pernah aku menanyakan pada dirinya.
            “Kamu suka rindu dengan papa gak ?” tanyaku suatu saat. Delia terdiam sebentar.
            “Entahlah, mam. Aku lihat mama tenang saja papa gak ada,” tukasnya santai. Aku terdiam dan mulai saat itu aku dan Delia tak pernah lagi berbicara tentang papanya Delia.

            Sampai suatu saat aku dikagetkan dengan kedatangan mas Santo di kantorku. Dia ingin bertemu dengan Delia. Aku pandangi wajahnya . Mengapa dia ingin bertemu dengan Delia, sedangkan dulu dia meninggalkan Delia ???? Apakah karena dia sekarang tahu Delia sudah menjadi remaja yang pandai bermain piano seperti layaknya orang normal???
            “Untuk apa kamu datang mas. Kamu sudah meninggalkan aku dan Delia belasan tahun yang lalu. Aku sudah bahagia dengan Deila. Jangan ganggu aku lagi. Delia sudah bahagia dengan kehidupan dia sekarang, jangan ditambah lagi kau datang begitu saja pada dirinya.” Bergetar aku mengucapkan beberapa kata padanya. Ingin aku marah padanya tapi ternyata masih ada sisa cinta untuknya tersimpan dalam hatiku.Mas Santo pergi  saat itu dengan wajah menunduk. Terlihat agak pucat dan kurus tubuhnya. Ada perasaan iba di hatiku, tapi rasa sakit hatiku masih membuat parutan luka yang belum mengering. Masih sakit. Tapi di sudut hatiku yang lain ada perasaan bersalah. Ingin aku memperkenalkan mas Santo pada Delia tapi masih ada keraguan di hatiku. Egois memang. Aku memisahkan tali cinta antara anak dan ayahnya.
            “Maafkan dia , Nana. Mungkin perjalanan waktu membuatnya rindu pada darah dagingnya sendiri. Dia tak mungkin mengelak ada darahnya di tubuh Delia,” tukas mbak Reta.
            “Iya, mungkin nanti kalau aku sudah bisa menghilangkan rasa sakit hatiku.” Aku terdiam .
            “Jangan telalu lama Nana. Delia perlu tahu ayahnya.” Aku kembali mengangguk dan berjanji akan memberitahu Delia tentang papanya. Tapi ternyata sulit bagiku. Luka itu masih meninggalkan parut yang susah untuk sembuh. Saat mas Santo datang di konser Delia , aku hanya memperkenalkan sebagai orang yang kagum akan permainannya saja. Ada sedikit keheranan saat mas Snato memeluk Delia dengan segala kerinduannya. Mengecup kening Delia. Agak runtuh hatiku saat itu. Mbak Reta memegang bahuku erat-erat.Mas Santo pulang dengan wajah yang sulit aku terka, hanya raut wajahnya yang tampak pucat dan tirus. Tubuhnya semakin kurus. Itu hanya perkiraan sepintas.

            Tiga bulan kemudian , aku dapat surat dari sebuah rumah sakit terkenal di Bandung untuk datang . Agak mengherankan mengapa aku dapat panggilan dari rumah sakit. Mereka tahu alamatku darimana????
            “Bu, ini ada amanat dari pasien di sini. Dia akan mendonorkan matanya untuk anak ibu.” Aku perlu mendengar dokter itu mengulang kembali perkataannya, baru aku mengerti.
            “Siapa orangnya. Boleh aku tahu?” Dokter itu menggelengkan kepala. Pasiennya masih ingin dirahasiakan sampai Delia sudah menerima matanya.
            “Bagaimana bu,?” Mbak Reta menyentuh lenganku. Mbak Reta menganggukan kepalanya padaku.
            “Terima saja mbak. Semua untuk Delia.” Operasi tiba. Delia begitu gugup. Aku mengecupnya dahinya perlahan.
            “Tenang Delia, sebentar lagi kamu bisa melihat.” Aku peluk erat dirinya sebelum Delia dibawa ke depan meja operasi. Perasaan berdebar-debar menunggu hasil operasi. Sungguh harapan yang tertinggi pada diriku agar Delia bisa melihat dunia. Butuh waktu seminggu setelah opearsi untuk membuka perban yang menutup matanya.
            “Mam, kalau aku masih tak bisa melihat bagaimana?” tanya Delia.
            “Kamu sudah terbiasa tak melihat Delia.”
            “Oh, iya mam. Hal yang pertama Delia ingin lihat wajah mama  dan ....papa,” tukasnya. Aku terhenyak mendengar harapan yang dia inginkan. Melihat papanya. Aku terdiam lama sebelum Delia bilang padaku.
            “Gak perlu kawatir mam. Delia hanya ingin melihat foto papa saja,” tukasnya lagi. Ada rasa sakit yang menusuk di dada ini. Betapa secara diam-diam Delia merindukan papanya, tapi dia tak mau membuat diriku sedih. Ah, Delia kamu anak yang manis. Perban di matanya perlahan dibuka. Aku menatapnya tegang. Mata Delia mengerjap-ngerjap perlahan. Tiba-tiba dia tersenyum dan menatapku lama.
            “Mama, aku bisa melihat.” Aku merangkul Delia erat-erat,air mataku tumpah ruah. Begitu bahagia. Kini Delia bisa seperti anak-anak yang lain berkat pertolongan seseorang yang dermawan.

            Aku mengajak Delia ke sebuah makam di tengah kota Bandung. Aku melihat nisan yang bertuliskan Santoso .Aku duduk berdoa sebentar dan memegang nisannya.
            “Terimakasih mas untuk matamu. Aku bisa melihat matamu di mata Delia. Terimakasih.” Aku tergugu lama, sesak dadaku. Tak menyangka mas Santo menyumbangkan matanya untuk Delia setelah tahu hidupnya tak akan lama lagi karena kanker yang dideritanya. Setelah mas Santo kambuh dan masuk rumah sakit lagi dan keadaan semakin parah, Mas Santo meminta dokter untuk mengambil matanya untuk didonorkan pada Delia. Delia hanya diam di sisiku.
            “Del, ini makam papamu. Dia yang memberikan matanya untukmu,” aku tersendat-sendat mengucapkannya. Dan aku  terisak kembali. Tak ada yang bisa menghalangiku untuk menangis sepuasnya. Aku melihat air mata mengalir di mata Delia.
            “Papa.” Hanya kata itu yang keluar dari mulut Delia. Terimakasih mas Santo. Mata pemberianmu  akan menjadi bukti cintamu pada Delia. Akhirnya seorang ayah tak mungkin memungkiri anak kandungnya sejelek apapun keadaannya. Ada  tali yang menghubungkan anak dan orangtuanya. Tali cinta.....

8 Beda Itu Biasa

Rabu, 01 Maret 2017




 Gambar dari sini
 
Tak kutemukan jejak-jejak pertemanan lagi
Saat semua jadi berbeda
Setelah banyak macam perseteruan yang tak pernah usai
Hilang lenyap persahabatan
Hilang seiring tak sejalan lagi
Inikah yang harus terjadi saat kita berbeda????
Permusuhan????

Aroma kebencian ada di antara kita
Tapi ini semua untuk apa???
Hanya emosi semata atau dendam ??
Ah, haruskah???
Sepertinya semua hati telah  membeku
Perlu mengikat banyak hati untuk mau menerima
Perbedaan ....

Bila saja bait-bait hati menyisakan kelapangan dada
Untuk perbedaan , bukan untuk didebatkan tapi untuk dinikmati
akan bisa kita untai seperti manik-manik
yang akan menyatu  saling bergandengan tangan
saling meguatkan dan mengasihi satu sama lain.

Tak ada lagi kebencian, tak ada lagi caci maki
Menjadikan kembali lembaran putih
Yang akan ditulis rangkaian kata-kata indah
Melewati dinding hati sampai luluh
Yang tergantikan dengan harapan untuk lebih baik
Untuk menghargai perbedaan tanpa caci maki
Marilah berdamai dengan hati kita...

Cirebon, 2 Maret 2017