2 Membaca Al Quran

Kamis, 27 April 2017




Melukis berjuta rasa tak terperikan
Saat kulantunkan ayat-ayat suci
Berbisik lirih di sela-sela angin yang menerpa wajahku
Masih kulafalkan dengan seluruh jiwaku
Sampai terasa indah
Sampai merasuk jiwa
Yang menggerigi di sel-sel
Menyejukan jiwa
Membuka mata hati
Mendengar suara hati
Indahnya firmanNya

Di depan Kabah
Masih dengan Quran di pangkuanku
Masih lirih kubacakan ayat-ayat suci
Semua terekam dalam jejak-jejak
Melewati sisi-sisi hati yang mulai teduh
Seperti suara Tuhan sendiri yang menyapaku
Lewat ayat-ayatNya
Menciptakan kedamaian
Menyejukan hati
Menyiratkan petunjuk
Inilah firman Allah

Cirebon, 28 April 2017
Saat membaca Al Quran di depan Kabah


6 Bapak, Bukan Bapakmu, Nak!!

Kamis, 20 April 2017




 Gambar dari sini
 
              Hari itu aku kembali mengajar ketrampilan di sebuah pondok belajar bagi anak-anak tak mampu. Dan kembali aku melihat Yudi sudah duduk di bangku paling belakang. Yudi tak pernah bisa duduk diam , selalu bejalan-jalan di kelas, berapa kalipun disuruh untuk duduk , dia akan kembali berjalan-jalan di kelas. Hampir semua anak sulit untuk mau menerimanya. Selain jahil, Yudi juga selalu mencari perhatianku dengan selalu banyak bertanya dengan pertanyaan konyol yang sebetulnya tak perlu dia lakukan, tapi aku tak pernah terpancing, aku biarkan saja. Yudi kadang kembali tenang, kadang kalau energinya masih banyak dia akan tetap bertanya terus sampai aku kew
alahaan menjawabnya.
            “Bunda, mengapa ini harus di lem?” aku sebetulnya sudah mulai kesal, mengapa dia harus bertanya, pastilah namanya sambungan kertas itu ya harus dilem.
            “Iya, Yudi, dilem yang rapih agar bisa tersambung,”aku memberikan senyum termanisku untuknya. Aku mulai membantu Nisa melipat kertasnya , terdengar suara berdebum di belakangku. Bruk!!!! Kursi Cika jatuh, ternyata Yudi sengaja menjatuhkan kursi Cika.
            “Yudi, angkat kembali kursiku,” teriak Cika.
            “Kalau aku gak mau gimana,” tantang Yudi.
            “Harus mau,” tukasku sambil menatap tajam ke dalam bola matanya ,ada sesuatu yang hilang dari bola matanya, celuknya tak bersinar. Yudi malas-malasan menganugkat kursinya. Aku mendekatinya dan menyuruhnya mengerjakan tugasnya dan aku membantunya ada sedikit senyum Yudi untukku.
            “Makasih bunda, aku harus duluan ya ditolong bunda.” Yudi mulai mengerjakan tugasnya.
            “Boleh , duluan yang bunda bantu tapi kamu harus bisa duduk tenang tidak mengganggu teman-temanmu,”ujarku, Kulihat Yudi tertawa lebar, giginya yang menguning tampak kontras dengan wajahnya yang hitam. Baru satu anak saja yang superaktif  membuatku kadang kurang sabar untuk melayani mereka. Tapi saat pekerjaan ketrampilan selesai dan melihat tawa dan senyum yang mereka pancarkan , aku akan meraskan kebahagiaan dan aku melihat Yudi dengan hasil karyanya memperlihatkan hasilnya dengan memegangnya di tangannya dan diangkat keatas sehingga semua bisa melihat dan tawanya akan terlihat. Yudi dengan gigi kuningnya.

            Pagi itu aku sengaja mampir ke rumah Yudi, ternyata Yudi sudah berada di sungai. Aku pikir mungkin sedang mandi. Waktu di sana aku melihat Yudi sedang memecah batu besar untuk dijadikan kerikil.
            “Pagi Yud,” sapaku.Yudi menoleh padaku dan wajahnya tampak terkejut karena kedatanganku, sepertinya ia tak suka aku datang kemari.
            “Kamu gak suka bunda datang, ya sudah bunda pulang saja,” aku hendak berbalik arah sampai terdengra suara Yudi.
            “Siapa bilang aku tak suka,’ jawabnya cepat.
            “Habis kamu tak menjawab pertanyaan bunda.” Aku duduk di sisinya, aku mulai memperhatikan cara kerja Yudi untuk memecah batu.
            “Coba, bunda boleh coba?” tanyaku, aku mengambil batu yang agak besar dan mulai memukulnya agar hancur tapi aduh sangat sulit dan tanganku terasa sakit.
            “Wah, dalam sehari kamu dapat berapa?”
            “Cuma satu keranjang ini ,” ujarnya sambil menunjuk keranjang yang ada di sisinya dan aku terbelalak kaget kalau satu keranjang besar itu hanya dihargai sepuluh ribu rupiah. Astaga, pekerjaan yang begitu berat dengan upah minim.
            “Kamu gak capai Yud?”
            “Kalau Yudi capai mau makan apa keluarga Yudi.” Aku merasakan ada sedikit rasa iba padanya, mungkin kelakuannya di pondok belajar hanya untuk pelampiasannya karena dia harus bekerja keras. Aku mulai mengerti akan dirinya dan aku mencoba memahami hatinya, ternyata Yudi adalah anak yang halus perasaannya dibalik sifat jahilnya.

            Sudah beberapa hari ini aku tak melihat Yudi di pondok belajar, aku merasa kawatir apakah dia sakit atau memang lebih memilih bekerja dibanding belajar di pondok. Aku mencoba mendatangi rumahnya sepulang dari pondok . Sebetulnya sudah hampir malam tapi aku menyempatkan untuk mampir sebentar.
            “Bu, Yudi ada?” tanyanyaku pada ibunya.
            “Yudi gak mau pulang, dia tidur di rumah temannya,” ibunya bercerita kalau Yudi diberitahu tetangganya kalau bapaknya ada di penjara di kota Bandung. Selama ini ibunya selalu bilang sama Yudi kalau bapaknya sudah meninggal.
            “Ibu gak tahu lagi , memang ibu yang salah, ibu takut Yudi malu dengan teman-temnnya kalau dia tahu bapaknya dipenjara.” Ibunya mengusap air matanya, aku melihat anak kecil  menempel terus di tubuh ibu Yudi dan menatapku dengan bola matanya yang bulat.
            “Rumah temannya dimana, biar besok aku akan mengunjunginya” Ibunya menyebutkan rumah temannya yang dekat dengan rumahnya hanya beda gang saja.

            Yudi menangis saat aku mengajaknya pulang, dia ingin sekali bertemu dengan bapaknya.
            “Aku rindu bapak, aku ingin bertemu dengan bapak,”tangisnya , aku terdiam sebentar sebelum aku memutuskan untuk mengajaknya menengok bapaknya di Bandung.
            “Benar bunda?” tanyanya, tak lama kemudian Yudi sudah memelukku erat sekali dan tangisnya meledak. Belum pernah aku melihat Yudi menangis sehebat ini. Aku raih kepalanya dan kubawa dalam pelukan eratku, Yudi merindukan bapaknya. Selama hidupnya dia belum pernah mengenal bapaknya. Menurut ibunya bapaknya dipenjara saat Yudi baru berusia satu tahun, kini di usianya yang sepuluh tahun , ada rindu yang mendesaknya ingin bertemu setekah dia tahu bapaknya masih hidup.
            “Kalau anak kecil di rumah itu adikmu? “ Yudi menggelengkan kepalanya.
            “Ibu menemukannya di tong sampah, entah bayi itu dibuang oleh siapa, lalu ibu memeliharanya, katanya buat aku agar punya teman bermain.”

            Esoknya aku menyempatkan diri mengantar Yudi untuk bertemu bapaknya di lembaga pemasyarakatan Suka Miskin Bandung. Berangkat dari kota Cirebon pagi-pagi sekali agar Yudi bisa bertemu dengan bapaknya agak lama. Aku melihat Yudi duduk sangat gelisah sebentar-bentar mengganti posisi duduknya
            “Mengapa kau gelisah, mau ketemu bapak ya?’ tanyaku, aku melihat ada rasa cemas di wajahnya.
            “Tenang bapakmu pasti senang bisa bertemu denganmu.” Aku mengusap rambutnya.
            “Oh ya ,lihat bunda  aku membuat pigura dari dus bekas,” Yudi menyodorkannya padaku, aku melihat foto Yudi bersanding dengan ibunya ada dalam bingkai dari dus bekas.
            “Bira bapak gampang mengingat wajahku. Oh, ya Bunda, nanti aku di foto dengan bapak ya pakai hp bunda,” ujarnya bersemangat, aku tersenyum melihat kegembiraan yang mulai terpancar menggantikan rasa gelisah yang tadi tampak di wajahnya. Saat sudah ada di depan lembaga tampak rasa gelisah Yudi makin menjadi, aku pegang tangannya erat. Setelah mengisi buku tamu dan menanyakan kalau ada napi yang benama pak Samiun dari kota Cirebon. Aku menggandeng Yudi masuk ruang tunggu tempat keluarga bisa bertemu dengan para napi. Tampak seorang pria didampingi pegawai lapas mendekat ke arahku, aku melihat wajah Yudi menegang.
            “Pak Samiun, aku mengantarkan Yudi putra bapak, “ aku menyuruh Yudi mendekat. Pak Samium diam saja tak bergeming.
            “Bapak, aku Yudi anak bapak,”tangis Yudi meledak keras, tapi pak Samiun hanya diam saja tanpa ekspreksi. Jangan-jangan pak Samiun hilang ingatan atau depresi di penjara. Yudi menangis dan merangkul ayahnya walau bapaknya diam saja tak bergeming.
            “Bapak, Yudi rindu,” begitu ratapan Yudi yang membuatku menangis, aku melihat pegawai lapas memalingkan wajahnya melihat adegan yang memilukan ini.
            “Aku bukan bapakmu, pulanglah,” ujarnya tanpa tedeng aling-aling, wajahnya kaku , tapi sekilas aku melihat ada air mata yang menggenang di pelupuk matanya. Aku menarik tangan Yudi untuk aku ajak pulang kembali. Aku menganggukan kepalaku. Saat itu aku menyuruh Yudi untuk menuju ke depan lagi, aku mengejar pak Samiun.
            “Bapak benar bapaknya Yudi?’ kalau benar , mengapa bapak tak mengakuinya? Aku menyodorkan foto Yudi padanya.
            “Biarlah dia tidak tahu bapaknya, aku bukan bapak yang baik buatnya, biar dia tak malu punya bapak yang dipenjara,” pak Samiun melihat foto itu dan saat itu dia mengeluarkan air matanya dan mualai segugukan keras sekali.
            “Tolong jaga anak bapak,” ujarnya dan membalikan tubuhnya mengikuti pegawai lapas  yang akan membawanya kembali ke selnya. Aku melihat Yudi dari kejauhan. Aku rangkul dirinya.
            “Yud, masih ada ibumu yang menyayangimu, “ aku menggandeng tangan Yudi, aku berjalan dengannya dalam diam yang panjang, masing-masing dengan pikirannya sendiri.
            “Aku rindu bapak,” suara Yudi samar-samar terdengar.


15 Tawaf

Kamis, 13 April 2017





Saat hati runtuh dalam kerendahan hati
Saat putaran dalam lingkaran Kabah
Entah berapa banyak membanjiri sukma
Gersang akan kerinduan bertamu di rumahMu

Sekelebat rasa malu mencibir diriku
Saat aku putari Kabah
Detak jantungku bergetar kuat
Terdiam merunut semua dosaku

Ya, Allah  betapa banyak sesal di hatiku
Saat sekelebat rasa malu di hati
Lagu kelam mencambuki diriku
Apalah diriku ini tersesat dalam kerajaan dosa

Berputar terus tujuh kali mengelilingi Kabah
Menumbuhkan rasa yang tak bisa terungkapkan
Menembus kepasrahan pada Ilahi
Sisa-sisa rindu yang terwujud seketika

Cirebon,14 April 2017
Saat melakukan tawaf di saat umroh