2 Cahaya LenteraMu

Jumat, 23 Juni 2017


 Gmbar dari sini

Saat aku pandang megahnya mesjid
Menguatkan getar akan keagunganMu
Meruntuhkan rasa yang tak kumengerti
Melebur jadi gumpalan kekaguman
Aku ini hanya kecil di hadapanMu
Hanya menjerat kerikil-kerikil yang menusuk di hati
Menyiksa dalam balutan dosa
Hanya kerikil , ya Allah
Apa yang bisa kuraih dariMu
Tapi kadang dosa selalu menggoda diriku
Aku datang padaMu
Aku ingin Kau rengkuh diriku
Gugurkan dosaku dengan dekapanMu
Hanya ini yang bisa kubincangkan padaMu
Walau sudah larut
Tapi
Aku suka berada dalam rumahMu

Cirebon, 23 Juni 2017
Saat berdoa di Masijil Haram Mekah

4 Gerimis Selalu Datang

Kamis, 15 Juni 2017




 Gambar dari sini

             Terdengar gerimis di luar sana, mengetuk-ngetuk atap rumah dengan iramanya sendiri. Aku mulai menghitung, til...tik...tik...tik..... terus kuhitung titik hujan yang jatuh di atap rumah, seperti hitungan detak jantungku yang akan berdetak cepat saat gerimis tiba. Gerimis tanda hujan akan tiba buatku ada kenangan tersendiri di suatu saat di masa laluku yang sampai sekarang masih terus bergema dan tak pernah hilang. Walau gema itu menyakitkan karena aku harus kehilangan orang yang aku cintai tapi gerimis bagiku sangat membuatku sedih karena di saat itulah perpisahan harus terjadi, tak mungkin aku meneruskan cinta yang sudah terpaut lama karena ada benteng yang memisahkan yang begitu kuat , iman yang berbeda.

            Terdengar suara gemuruh di langit dan tampak mendung semakin menebal tapi aku dan Lastri masih setia duduk di bibir pantai Kuta. Diam. Tak ada satupun yang bicara selagi pikiran terpenuhi dengan onak yang menusuk sampai ulu hati. Ini hal yang selalu aku pikirkan akan terjadi,perpisahan. Aku memandang Lastri yang duduk di sisiku dan tampak air matanya mulai turun dari pelupuk matanya, aku sungguh tak tega melihatnya harus menangis.
            “Ini tak mungkin untuk diteruskan Lastri, sudah jelas ayahmu melarang kau datang kembali padaku,” aku bergumam pelan , sedikit kulihat Lastri mendongak ke atas dan sesekali menyusut air matanya.
            “Apa salah aku mencintaimu. Hanya karena iman kita berbeda, aku tak boleh lagi mencintaimu,” tukasnya sengit. Aku masih diam, gerimis mulai turun dan titik-titik hujan mulai menetes satu persatu dan membasahi tubuhku dan Lastri sedikit demi sedikit.
            “Pulang?” Lastri menggeleng.
            “Aku masih mau di sini bersamamu, aku takut kehilanganmu,”kembali Lastri menyusut ai matanya. Kurengkuh dirinya dalam pelukanku dalam gerimis , awan mulai berarak-arak dengan angin yang kencang, ombak semakin kuat bergulung seperti hendak menerkam, tapi aku masih diam di bibir pantai sambil merangkul Lastri dalam pelukanku. Getar-getar yang membuat jantung semakin berdegup kencang membuatku ingin menangis. Ini saatnya aku harus melepaskan Lastri, aku tak boleh egois, karena cinta toh tak harus memiliki. Aku tak mungkin juga melanggar adatku di Bali ini kalau aku menikahi Lastri perempuan Jawa yang sudah aku kenal sejak tiga tahun yang lalu.
            “Wayan, apa kita tidak bisa kawin lari saja,” Lastri bergumam perlahan.
            “Astaga , tak mungkin Lastri, itu sama saja menyakitkan keluarga kita,” keluhku.
            “Tapi kita saling mencintai, mengapa tidak, pengecut,” sengitnya, aku sedikit tersinggung akan ucapannya . Aku mempererat pelukanku dan gerimis mulai bertambah besar.
            “Pulang?” Lastri menggeeleng.
            “Aku masih ingin bersamamu, kalau perlu aku mati kedinginan di sini, “ tukasnya masih dengan nada ketusnya. Aku menghela nafas, Lastri marah padaku , dia menganggapku pengecut karena tak berani membawanya untuk menikah.
            “Ada sesuatu yang tak mungkin kita langgar Lastri, bukan berarti aku pengecut. Aku sangat mencintaimu, aku tak bohong, aku juga ingin mati di sini juga, tapi hidup harus jalan terus ke depan,  adat dan agama yang selalu membentengi kita juga tak mungkin kita tembus. Aku akan selalu mencintaimu ,Lastri.” Lastri mendorong tubuhku.
            “Bohong,” serunya marah, dia berlari dalam gerimis yang semakin besar dan hujan mulai turun , satu persatu tetesan hujan mulai membasahi tubuhku. Aku melihat Lastri masih berlari dan kukejar dan kubawa dia dalam pelukanku.Lastri berontak tapi tetap aku eratkan pelukannya sampai dia tenang kembali dalam pelukanku. Aku mulai menenangkannya .
            Kita harus berpisah Lastri, kalau kita jodoh mungkin suatu saat kita akan bertemu lagi. Aku akan pergi jauh dari sini agar kau mampu melupakanku,” tukasku cepat dan kupandang bola matanya, ada duka yang mendalam di sana, aku tak tega melihatnya.
            “Jangan pergi Wayan, temani aku, aku tak mau sendiri,” air matanya terus mengalir bersamaan dengan hujan yang turun .  Aku menggelengkan kepala.
            “Aku harus pergi, Lastri. Sekarang kita pulang, “ aku kecup sekilas dahinya , ada rasa perih yang menghujam di lorong hatiku, sakit sekali. Tapi perpisahan ini tak bisa kuelakan lagi. 

            Kini sudah lima tahun perpisahanku, aku di sini masih sendiri ditemani gerimis yang turun. Suara gerimis di atap selalu membuatku terkenang akan cintaku yang hilang lima tahun yang lalu. Maafkan aku Lastri, aku sangat mencintaimu , sangat , karena aku amat mencintaimu, aku tak mau menyakiti siapapun termasuk keluarga-keluarga besar kita yang tak menyetujuinya. Aku masih di sini bersama gerimis Lastri dan akan selalu mencintaimu dari jauh, selalu mencintaimu!!!!!

6 Suara Angin Di Laut Merah

Kamis, 08 Juni 2017




Masih tercurah rasa ini
Tergulir waktu menyengat siang
Penantian sesaat angin laut berhembus
Menerpa segala kenangan atau cerita
Di sini di laut merah

Saat laut membelah
Saat semua terasa takjub
Begitu kuasa Allah untuk menyelamatkan umatNya
Saat menyatu kembali laut yang terbelah
Mengubur semua tentara dalam ganasnya laut

Kini angin laut merah ini menerpaku
Memanjakan pipiku
Cerita ini akan terus ada sampai aku menua
Bak rindu enggan lenyap
Tetap menatap laut nan luas

Mempertemukan dalam satu kata
Saat bisa bertasbih di alam
Dengan suara deburan ombak
Dengan suara nyanyian angin
Angin laut merah terus menyapaku

Cirebon, 9 Juni 2107
Saat berada di tepi laut Merah

7 Istri Baru

Kamis, 01 Juni 2017



Gambar dari sini

        Mira masih terduduk lemas, ini untuk kedua kalinya suaminya memohon ijin untuk menikah lagi. Masih tak cukupkah istrinya dua orang. Sungguh Mira tak habis pikir , mengapa mas Andi begitu tega dengan hatinya, masih saja dia bermain dengan cinta yang sepertinya menjadi  bahan obralan yang patut diperebutkan. Bukan Mira iri terhadap wanita lain yang menjadi saingannya atau iri dengan kecantikan yang mereka miliki. Apa mereka memang cinta pada mas Andi  atau mereka cinta karena harta mas Andi???? Mira sungguh tak mengerti, kalau boleh berharap, ingin dia kembali ke masa-masa awal mereka hidup susah, mas Andi selalu mencintai dan menyayanginya . Tanpa harta yang banyak mereka bisa merajut tali kasih sayang, saling memperhatikan dan kedamaian selalu ada dalam keluarga kecilnya. Kini Mira tak mampu berbuat apa-apa harta telah menyilaukan mas Andi , dia menjadi orang yang sewenang-wenang. Dengana jabatan sebagai anggota DPR membuatnya sombong dan tak mau kenal lagi dengan teman-teman dulu yang selalu bersamanya saat keadaan susah. Wataknya juga langsung berubah menjadi tukang perintah dan kata-kata yang tak terkontrol , membuat hati Mira selalu dirundung kesedihan . Untung anak-anaknya selalu dia bimbing untuk tetap sederhana tak  sombong walau banyak pertanyaan dari mereka kalau ayahnya jarang pulang.
            “Bunda, ayah hari ini tak pulang lagi,” tukas Sasha, Mira menoleh dan memangku Sasha dalam pangkuannya. Sasha sudah masuk kelas satu SD , dia anak cerdas dan wajahnya sangat mirip dengan ayahnya, kadang Mira sering menatap Sasha kalau rindu menyerang hatinya pada suaminya sekaligus rasa cemburu yang menusuk di hatinya, jika terbayang mas Andi berada dipelukan wanita lain.
            “Iya, ayah sedang ke luar kota, masih banyak pekerjaan.” Mira memeluk Sasha erat tanpa disadari Bimo menghampirinya juga.
            “Enak seperti dulu ya Bun, ayah sering bercanda dan berlibur dengan kita, sekarang ayah selalu sibuk dengan pekerjaannya. Bimo rindu dengan ayah yang dulu.” Mira menatap sedih pada Bimo yang kini sudah masuk kelas satu SMP. Di usia remajanya sebagai laki-laki , dia perlu sekali sosok ayahnya dekat dengannya.
            “Ya, sabar ya, coba lihat sekarang kita punya tempat tinggal yang lebih enak dibanding dulu. Itu berkat kerja keras ayah,”tukas Mira, sebetulnya dirinya juga merindukan , sangat rindu untuk berkumpul bersama seperti dulu, bukan hanya anaknya saja.
            “Tapi tetap Bimo lebih suka ayah selalu dekat dengan kita.” Aku meraih tubuhnya dan memeluknya bersama Sasha dalam pelukanku. Hatiku sakit sekali, matanya mulai buram dengan air mata, perlahan air matanya mulai mengalir di pipinya.Untuk kesekian kalinya dia menangis untuk suaminya.


            “Untuk apa lagi mas menikah, memang tak cukup dengan dua istri?” tanya Mira saat suaminya pulang ke rumah.
            “Daripada aku berzina. Lebih baik aku mengawininya, lagipula aku masih mampu. Kalau kamu merasa kurang, minta tambahan berapa lagi uangnya,” tukas mas Andi. Sakit hati Mira, bukan uang yang dia minta , Mira tak butuh itu, dia butuh  perhatian dan kehadirannya selalu di sisinya. Walau Mira berbantahanpun tak membuat Andi tergoyahkan, tekadnya untuk kawin lagi tak bisa terbantahkan. Mira hanya menunduk lemas, ditinggalnya suaminya sendiri di kamar. Dia masuk kamar  Sasha dan mencoba berbaring di sisinya. Matanya sulit terpejam, sungguh mas Andi sudah begitu banyak berubah, Mira merasa kehilangan mas Andi yang dulu begitu memperhatikannya dan menyayangi lebih dari apapun, kini semua hilang darinya. Apa harta telah memburamkan hatinya, apa harta yang telah menutup mata hatinya. Andai saja Mira bisa kembali ke masa lalu, andai saja, ingin dia kembali seperti dulu. Runtuhan air mata yang terus mengalir menemani malam itu , walau mas Andi ada di sini tapi jiwanya entah berada dimana. Mira kehilangan suaminya, raib dalam genggamannya. Mira hanya bisa mengeluh dan menangis di malam-malam sepinya seorang diri.  


            Mira dikagetkan dengan berita yang baru dia dengar tadi pagi di televisi, kalau mas Andi tertangkap basah menerima suap dari seorang pengusaha properti di sebuah hotel bersama wanita muda. Seketika tubuh Mira lemas , apa lagi yang kini harus dia hadapi??? Satu lagi masalah yang harus Mira pikul, bagaimana dengan anak-anaknya terutaam Bimo. Bimo pasti sudah mengerti dan tentunya dia akan terpukul dengan berita ini. Walau Mira berusaha untuk tak memberitahu anak-anak tapi Bimo pasti akan mengetahuinya juga. Hampir seminggu mas Andi ditahan, Mira selau menengoknya dan membawakan baju ganti dan makanan kesukaannya. Mira melihat suaminya duduk lemas dan wajahnya yang murung  dan tampak penuh beban.
            “Maafkan aku Mir,” keluhnya. Mira hanya diam saja tak tahu harus bicara apa kali ini pada suaminya. Nasi telah menjadi bubur. Sebetulnya Mira sudah berapa kali menegurnya agar tak main-main dengan jabatan barunya , tapi mas Andi sudah menyalahgunakan kepercyaannya untuk hal yang buruk. Mira sangat menyesalkan semuanya .Bagaimana dengan anak-anak terutama Bimo. Bimo kemarin sudah mengeluh padanya, banyak temannya yang menyindir ayahnya sebagi koruptor, maling uang rakyat. Hatinya sudah sakit, kini tambah sakit, mungkin lukanya sudah kronis dan menganga lebar sulit untuk dijahit kembali.
            “Dari dulu aku sudah mengingatkan mas, tapi mas tak pernah mengubrisnya, mas terlalu silau dengan harta. Padahal mas tahu sendiri aku tak pernah menuntut banyak darimu. Aku tahu diri dan aku bukan perempuan yang gila harta. Tapi lihat sekarang di mana istri-istri mas  sekarang. Satupun tak ada yang menengoknya kemari. Malah  Kania kemarin minta uang padaku ,katanya untuk melunasi kalung yang baru dia beli. Aku masih bisa memberinya uang tapi untuk lain kali darimana uangnya????” keluh Mira. Mira menatap sedih  suaminya yang tiba-tiba menangis dan Mira belum pernah melihat kesedihan yang begitu mendalam pada diri suaminya.
            “Maafkan aku Mir.Aku tahu, aku salah, kasihan anak-anak, pasti mereka malu punya ayah sepertiku,”gumamnya perlahan. Mira melihat dari sudut matanya, sebetulnya begitu ingin dia memeluknya kembali seperti dulu yang sekarang jarang dia lakukan karena mas Andi lebih suka bercengkerma dengan istri barunya yang sekarang terbukti hanya ingin uangnya saja.
            “Ya sudah mas, nasi sudah  menjadi bubur, semua tak bisa diubah lagi.Resiko juga harus mas tanggung. Percayalah, aku dan anak-anak akan menunggumu kembali berkumpul dengan kami. Ijinkan aku bekerja untuk anak-anak,” tukas Mira. Andi semakin menangis tak henti-hentinaya mendengar penuturan istrinya, hatinya begitu menyesal telah menyiakan-nyiakan kesetiaan Mira ,sedangkan dia malah bersenang-senang dengan wanita lain untuk kepuasaan sesaat. Hatinya sungguh menyesal.
            “Maafkan aku Mir, “begitu terus yang diucapkan Andi pada istrinya dan dengan tatapan nanar dia melihat istrinya pergi menjauh darinya. Dia berharap, esok Mira akan datang menengoknya lagi. Mira melangkahkan kakinya keluar dari rumah tahanan dan mentari menyambutnya . Hanya satu harapan Mira, suatu saat kelak  suaminya sudah bisa bebas kembali, bisa berkumpul bersama keluarga kecilnya. Suatu  harapan mulia dari seorang wanita bernama Mira, perempuan setia yang tangguh.