Pagi itu suasana rumah pak Kobar sudah tampak ramai.
Celotehan pemilik rumah saling bersahutan, untuk segera beraktivitas kembali.
Bu Kobar sibuk membuat sarapan dan sekali-kali menyuruh anak-anaknya untuk
segera mempersiapkan mereka untuk pergi ke sekolah. Satu-satu roti diolesin
dengan mentega. Bu Kobar gak pernah menggunakan mentega murahan, karena dia
pikir keluarganya harus punya asupan gizi yang cukup. Berdasarkan majalah
wanita yang sering dia baca, asupan gizi penting terutama untuk anak-anaknya
yang masih bersekolah. Sandwich begitu bangga kalau dirinya sangat berjasa
untuk keluarga ini. Dia menatap makanan lainnya di atas meja makan.
“Ah, mama
bosan sih sarapannya ini lagi, sekali-kali ganti sih,”tukas Apri. Bu Kobar
mendelik pada anaknya.
“Ini menu
sehat yang mama baca. Sudah jangan protes, cepet nanti kau kesiangan.” Bu Kobar
masih saja mengomelin anak-anaknya yang sudah mulai bosan dengan menu
sandwichnya. Tapi yang ada dipikiran bu Kobar , menu ini yang paling mudah yang
dia bisa buat di pagi hari dan sehat tentunya. Bu Kobar tersenyum , kini
sarapan untuk keluarganya sudah tersaji.
Saat itu di
meja makan. Sandiwich tampak murung. Omongan Apri tadi sangat membuat hatinya
sakit. Jadi, aku sudah tak diinginkan lagi oleh keluarga ini?? Apalagi sejak
Apri berani protes bosan dengan aku, yang lainnpun mulai protes pada bu Kobar.
“Mengapa
hari ini kau murung?” tanya susu yang
dari tadi melihat kedukaan dari sandwich.
“Entahlah,
mereka sudah mulai bosan denganku, apa aku akan berada lagi di meja makan ini?” Susu
juga tadi mendengar protes dari anak-anak bu Kobar. Susu jadi takut kalau
dirinya juga akan bernasib sama dengan sandwich. Kalau dia bernasib sama dengan
sandwich artinya dia tak akan lagi ada di meja makan bu Kobar. Tamat
riwayatnya. Ada rasa perih , susu jadi merasa iba pada sandwich.
“Mudah-mudahan
saja tak akan terjadi. Apalagi kamu itu baik untuk kesehatan keluarga Kobar,” hibur
susu. Saus sambal yang sedari tadi diam menimpali kalau sewaktu-waktu harus
siap jika manusia sudah tak menginginkan lagi.
“Apa yang
bisa kita perbuat? Ada? Masih untung kita sekarang masih boleh ada di atas meja
ini kalau gak?”
“Kamu sih enak, kamu akan
selalu ada di atas meja makan,”keluh sandwich pada saus sambal. Semua makanan
yang ada di atas meja terdiam. Masing-masing terdiam dengan pemikiran mereka
sendiri.
Terdengar suara
yang datang ke arah meja makan. Mereka menyantap sarapan mereka. Pandangan sedih
sandwich menjadi nanar karena sebagian
besar keluarga Kobar hanya melihatnya sekilas . Bahkan ada yang diam-diam
membuang ke tong sampah.
“Arrrgh,”
terdengar teriakan sandwich saat dirinya hanya dipermainkan dengan garpu saja.
Secangkir kopi memandangnya dengan pandangan sedih. Sandwich merasa ini saatnya
dirinya akan berakhir di tong sampah yang bau. Benar saja , tangan-tangan itu mulai
membuang sandwich ke tong sampah tanpa sepengetahuan bu Kobar.
“Tolong,”keluhnya
lemah. Bau sampah yang busuk membuatnya ingin keluar dari tong sampah. Kini dia
harus bernasib sama dengan sampah-sampah yang lain menjadi bahan yang tak
berguna. Sungguh sedih hatinya. Kini masa-masa jayanya hilang. Habis manis
sepah dibuang, begitu nasibnya. Mereka sudah tak suka lagi dengannya. Kini
sandwich hanya seonggok sampah yang tak berguna!!!!! Semua gak peduli lagi
padanya.