8 Meranggas

Senin, 29 Januari 2018




Titian yang berhias saat menjejakan di tanah Belitung
Saat berdiri di tanah putih di seberang sekolah Laskar pelangi
Berdiri pohon yang meranggas , sendiri dengan kayu yang mulai mengering
Ah, beginilah saat terik daun berguguran meninggalkan rantingnya
Akhirnya gundul tak berdaun
Memberikan suasana seperti kepingan cerita sedih.

Cerita sedih karena hidupnya gersang
Sendiri , entah apa sanggup menatap lagi
Semua hilang dengan memudarnya harapan
Karena kini yang tinggal hanya ranting-ranting kering
Tak berdaun yang menyisakan penyesalan
Mengapa panas ini menerpa diriku....

Andai aku bisa meminta, aku ingin hidupku semarak lagi dengan daun-daun
Tak lagi harus berubah warna menjadi coklat gersang
Kering dan itu menyakitkan..
Apa harus begini sampai umurku menua
Bak rindu enggan menghilang dalam hidupku

Aku ingin hidup seratus tahun lagi
Kembalikan daunku, kembalikan nafasku
Tubuhku kering  kerontang
Kututup kidung sunyi ini dengan air mata pedih
Akankah aku sendiri di sini dengan segala kepedihan
dengan tubuh yang meranggas

Cirebon,30 Januari 2018
Di lokasi sekolah Laskar pelangi


10 Saat Mentari Muncul

Senin, 22 Januari 2018





Tika meraih pundak Nara dengan penuh sayang. Rasa bahagia menyelimuti hati Tika, saat pita itu terbelah menjadi dua saat jemarinya menggunting menjadi dua bagian pita. Ah, rasanya seperti mimpi , Tika bisa mewujudkan impiannya punya show room sendiri untuk usaha kreatifnya ini. Rasa sesak di dadanya berangsur pulih teriring air matanya yang sedikit menetes. Tika cepat menghapusnya, dia tak ingin di momen spesial ini dia terlihat sedih. Semua orang menatapnya kagum tapi mereka tidak tahu semua dia bisa raih ini butuh perjuangan yang berat termasuk harus kehilangan Jo, anak bungsunya. Ah, semua terlihat seperti rol film yang sedang berputar mengisahkan kisah yang begitu mengharu biru, sungguh semua itu seperti keajaiban yang tak pernah terbayangkan oleh Tika.

Setelah menikah Tika memutuskan untuk berhenti bekerja untuk bisa mengurus buah hatinya, Nara. Nara lahir dengan kelainan genetik yang menyebabkan dia menjadi lumpuh. Perjuangan berat baginya untuk bisa mengasuh Nara dan membawanya untuk terapi. Dan itu butuh biaya yang gak sedikit. Penghasilan Deni , suaminya tak memadai untuk melanjutkan terapi bagi Nara. Terpaksa Tika membantu dengan cara berjualan. Mulanya Tika berjualan baju gamis dengan model yang sedang ngetrend. Ditawar-tawarkan ke rumah demi rumah. Hujan , panas terik dengan membawa Nara, Tika terus  menjajakan dagangannya. Sebenarnya Tika sudah dilarang Deni.
            “Sudahlah, ma, kamu di rumah saja, urus Nara, biar aku saja yang mencari uang buat kita. Lihat tubuhmu kurus . Gimana kalau kau sakit? Nara perlu ibunya,”tukas suaminya . Tapi Tika tidak bisa diam saja, dia harus berbuat sesuatu untuk kesembuhan Nara, atau paling tidak Nara bisa mandiri walau dia mengalami cacat.
            “Tak, apa, mas, aku ikhlas . Aku gak mau kau terlalu keras juga mencari uang buat Nara. Kita berjuang bersama untuk Nara.”  Tika menguatkan hatinya agar suaminya tetap teguh . Tapi badai itu masih berlanjut, Tika hamil anak kedua. Dirinya belum siap untuk menerima kelahiran baru sedangkan Nara saja masih butuh perhatiannya. Rasanya Tika ingin marah pada dirinya. Bagiamana ini bisa terjadi??? Rasanya Tika tak ingin bayi yang ada dalam kandungannya. Apa yang harus dia lakukan pada janin ini. Tika memukul-mukul perutnya dengan kesal.
            “Astaga, apa yang kau lakukan, ma? Jangan, dia titipan Allah untuk kita. Jangan lakukan!” Deni merengkuh Tika erat. Deni mengerti perasaan Tika, sangat mengerti. Beban yang harus ditanggung Tika berat dan kehamilannya juga akan menjadi beban bagi dirinya. Ah, Deni sendiri gamang.
            “Maafkan aku,”lirih suara Tika. Deni memeluk erat Tika , ingin rasanya dia menangis, dia belum bisa membahagiakan istrinya. Deni merasa dirinya pria yang tak beguna. Tika merasakan dirinya semakin lelah saat kehamilannya mulai membesar. Sedangkan dia masih harus mengantar Nara terapi, berjualan . Belum lagi Tika harus rajin menagih orang-orang yang beli dengan berhutang. Sungguh beban yang luar biasa.
            “Sudah aku bilang, aku sedang gak punya uang, ngerti gak sih!” teriak bu Asih.
            “Tapi ini sudah terlambat tiga bulan bu, bagaimana aku bisa balik modalnya, kalau ibu tak mau lunasi ,”tukas Tika. Kenyataan seperti ini terus berulang sampai modalnya tinggal sedikit. Tika merasakan hatinya lelah, lelah sekali. Kelelahan yang membuat jiwanya lemah yang merasuk ke dalam sel-sel yang merusak dirinya.

Dan benar saja kelahiran anak keduanya membuat dirinya hancur, karena Jo, begitu panggilannya, anak lelakinya akhirnya harus meregang nyawanya karena terlalu lemah saat dilahirkan. Dunia seakan hancur, semua mata rasanya menuju mata Tika. Semua terasa menyalahkan Tika sebagai ibu yang tak bertanggung jawab.
            “Aku yang salah, aku yang salah, aku membunuhnya,”. Deni hanya bisa merengkuh istrinya dengan perasaan sedih. Ah, dunia ini lagi tak adil bagi keluarganya.
            “Sudah , bukan salahmu, Tika. Allah lebih sayang dengan adik Jo, dia malaikat kecil kita, pasti dia ada di surgaNya.”Deni menghibur Tika .  Tika terpuruk, hampir setiap saat dia menangis sampai suatu saat Tika tercenung mendengar suara Nara.
            “Mama, mengapa mama nangis? Nara sedih, Nara gak ada lagi yang antar ke bu Menik buat terapi. Mama gak sayang sama Nara ya, mama sayang adek jo?” Mata Nara menatapnya. Tika tercenung melihat mata bulat Nara, ada kesedihan di sana,ada kerinduan akan dirinya. Dipeluknya Nara, sungguh Tika merasa kan perihnya hati ini. Dia sudah mencampakan Nara, dia melupakan Nara setelah kesedihan yang menimpa dirinya. Dia gak adil, gak adil bagi Nara. Nara butuh dirnya, Nara gak bisa tanpa dirinya. Mengapa dia harus seperti ini?
            “Maafkan mama, sayang. Mulai besok kita terapi lagi di bu Menik ya, biar Nara bisa jalan seperti anak yang lain,”cetus Tika. Mata Nara langsung berbinar. Dipeluknaya Nara erat. Hampir saja dia kehilangan Nara.

Tika ingat dulu dia suka sekali dengan kerajinan tangan. Tika mulai membuat boneka dari kain perca. Awalnya digunakan untuk Nara. Dan saat terapi beberapa orang tua yang melihat boneka Nara ingin membelinya. Akhirnya dari mulut ke mulut Tika banyak mendapat pesanan boneka kainnya. Keajaiban yang Tuhan berikan memang tak bisa diprediksi oleh manusia. Saat bu Danar membeli bonekanya ternyata dia menawarkan Tika kredit ringan untuk memulai usaha. Bu Danar kerja di bank yang memang banyak membantu orang-orang yang mau berusaha. Dan jadilah show room “Rumah Nara”. Dibei nama Nara karena Nara yang memberikan Tika semangat hidup kembali.

Deni menyentuh pundak Tika. Tika terkejut dan dia melihat sendiri show roomnya . Harapan di tahun baru, mentari tiba . Mentari yang perlahan akan muncul dari haribaan dan terus naik dengan sinarnya yang akan menerangi semuanya. Tika tersenyum. Mudah-mudahan ini harapan baru dari hidupnya. Mentari sudah muncul dan asa muncul di hatiya. Semoga. Tika memandang Nara yang sibuk denagn bonekanya dan senyum mengembang di wajah Tika menunjukan kalau mentari telah bersinar.


4 Di Keheningan Pagi

Jumat, 12 Januari 2018




Bayangan sinar mentari pagi yang masih tertutup awan
Dengan bersitatap dengan hamparan air
Di sini di danau Kaolin
Menjeratku dengan keheningan yang terasa sepi
Sepi yang menembus dinding hati
Hanya air yang menghijau tampak luas

Di sini mata jauh memandang seperti selimut tipis
Kesunyian yang membawa alur indah di hati
Pandangan mata tak mau lengkang dari keindahan alam
Syair usang ini aku tuliskan dalam keheningan
Dalam hati berbisik.....

Di keheningan ini  mengulum kesunyian
Hanya ada sisa-sisa keheningan yang mengintip dalam jiwa
Untungnya aku ada bersama hati yang tak pernah sepi
Seperti di sini
Sepi selalu menemani siapa saja yang datang.....

Cirebon, 13 Januari 2018
Saat menemani sepi di danau Kaolin Belitung

4 Coretan Kaki

Jumat, 05 Januari 2018



Sumber gambar  di sini 
 

Sungguh ramai pengunjung di galeri lukis milik pak Sastro. Aku memandang sekeliling dan kulihat Tasya anakku dengan senyumnya sedang menerangkan detail lukisan yang dia lukis dengan kakinya. Kadang aku masih sering menteskan air mataku karena kebanggaanku pada Tasya juga karena kesedihan bahwa di saat-saat bahagia seperti ini Tasya tidak bisa didampingi oleh ayah kandungnya.  Inilah momen spesial buat Tasya, lukisan tunggal yang cukup bergengsi di kota Bandung.  Antusias pengunjung begitu terasa, mereka mengagumi lukisan Tasya yang dilukis dengan kaki, ya karena Tasya tak punya lengan semenjak lahir. Aku duduk di bagian belakang galeri dan mulai kuurut banyak peristiwa yang harus kulalui bersama Tasya, sampai Tasya bisa sukses seperti ini. Banyak air mata yang harus turun , banyak gelisah dan amarah yang mengikuti perjalanan hidupku bersama Tasya. Tak pernah kubayangkan Tasya bisa berdiri di sana.

            Menjelang magrib , aku mulai merasakan perutku mulas dan semakin sering, akhirnya aku dibawa suamiku ke rumah sakit. Entah sudah berapa lama aku tertidur dan saat kubuka mataku, aku mencari bayiku.
            “Mana bayiku,” aku bertanya pada ibuku. Ibuku tampak sekali ragu, aku mulai berdegup kencang, apakah bayiku meninggal??? , kok ibu tampak murung. Kulihat suamiku juga tak ada, mungkin dia kelelahan menemaniku melahirkan.
Ibu hanya menganggukan kepalanya. Saat itu perawat membawakan bayiku untuk disusui. Aku melihat wajahnya, manis sekali, sungguh bayi perempuan yang mirip dengan ayahnya.  Kulihat ibu menitikan air matanya, aku sendiri masih heran, bayiku sungguh manis.  Waktu aku membuka bedongnya aku ternganga saat kulihat bayiku tak mempunyai  lengan , dua-duanya.

            Belum sembuh aku dari kesedihan melihat takdir yang kudapat dari Allah, mas Priyo meninggalkanku begitu saja.  Aku tak mengerti , mungkin dia malu anaknya cacat.  Tapi dengan keikhlasanku aku mendidik Tasya untuk mandiri dan mendorong agar dia percaya diri dan membimbingnya untuk tahan mental terhadap ejekan banyak orang.
            “Mama, lihat lukisanku,” Tasya kecil memperlihatkan lukisannya yang dia buat dengan kakinya, karena segala hal yang harus dikerjakan dengan tangan dia kerjakan dengan kaki. Aku takjub dengan luksiannya. Aku sering kirim lukisan-lukisannya dan Tasya juga sering kuikutkan lomba. Sampai ada pemilik galeri pak Sastro yang mau mendanai pameran tunggal Tasya.
            “ Mama lihat Tasya dapat piala dan uang,” Tasya selalu gembira saat dia selalu menang dalam lomba menggambar. Aku bersyukur Tasya sudah mendapatkan rasa percaya dirinya, dia tak minder dan bisa membuktikan pada semua orang kalau dia mampu walau cacat. Tapi kadang aku melihat kemurungan di wajah Tasya.
            “Tasya kangen papa, mama,” selalu dia mengatakan itu padaku, aku hanya dapat menghiburnya kalau suatu saat papanya akan datang untuknya.

            Kini kebahagiaanku lengkap sudah , keikhlasanku menerima takdir kalau Tasya cacat telah membuahkan kebahagiaan luar biasa. Aku bangga dengan Tasya, gadis cacat yang  punya talenta luar biasa.
            “Mama,” kudengar suara Tasya. Aku memeluknya erat.