Masih kutatap foto yang barusan mas Sapto berikan padaku , sudah
keduakalinya mas Sapto meminta ijinku untuk menikah lagi. Wajah perempuan ini
yang telah merebut sebagian hati atau bahkan seluruh hatinya dariku. Kurasakan
air mataku terus mengalir tak dapat kubendung lagi, apa artinya dulu kau
nyatakan cintamu padaku ,kalau sekarang kau mencari hati lain untuk kau
labuhkan
“Aku tunggu jawabanmu
nanti malam,” mas Sapto pamit untuk bekerja, segera cepat kuhapus bulir air
mata yang sempat turun tadi, kuantarkan sampai depan rumah. Kulangkahkan kakiku
, aku harus menguatkan hatiku untuk menjawabnya. Aku sangat mencintai mas Sapto
bahkan seluruh hatiku sudah kuserahkan padanya, tapi sekarang ada riak-riak
rasa sakit yang harus kutelan saat hatinya diberikan untuk perempuan lain .
Aku duduk di depan
piano dan mulai menarikan jemariku di atas tuts –tuts, suara dentingan
piano membuai aku dalam mimpi indah saat
aku bertemu mas Sapto lima tahun yang lalu, sampai saat ini hanya suara
dentingan piano inilah satu-satunya penghibur diriku. Kini di saat ada rasa
nyeri di hatiku kepada tuts-tus piano inilah aku mengadu, dentingan piano
inilah yang menghibur hati ini. Tiba-tiba aku merasakan tuts-tuts seperti
melompat-lompat, aku tak bisa menekannya, mengapa tuts-tutsnya harus
meloncat-loncat seperti itu, aku berusaha menekannya lagi tapi tak bisa ,
kepalaku mulai pening dan tiba-tiba semua terlihat putih dan memudar dan
menghilang dari pandanganku. Saat aku terbangun aku sudah ada di rumah sakit
dan mama sedang menatapku dengan wajah cemasnya.
“Kamu baik-baik saja
kan Lira? Tadi bik Ijah menelpon mama kamu pingsan di depan piano,” mama
mengusap kepalaku. Ada rasa hangat mengalir ditubuhku, seperti ada tali yang
menghubungiku dengan mama. Aku hanya mengangguk, aku tak mau mama terlalu
mengkhawatirkan aku, biarlah ini menjadi rahasia hatiku.
“Aku baik-baik saja ma,
tapi entah mengapa sudah beberapa hari ini aku selalu pusing,tapi mama belum
telpon mas Sapto kan?” Mama menggelengkan kepalanya. Hasil dari pemeriksaan
dokter sungguh membuatku terkejut, ternyata aku hamil.Astaga, di dalam rahimku
tumbuh benih cinta yang akan menyemarakan rumahku. Seharusnya aku bahagia
karena sudah hampir lima tahun sudah pernikahanku aku belum mendapatkan
momongan, tapi kini di saat rahimku berisi bakal anakku kelak , rasa sakit
kembali menyeruak di hatiku yang masih terluka. Apa yang harus kujawab nanti
malam???? Kembali mama menatapku saat
bulir air mata turun di pipiku.
“Lira, ada apa , kau
menangis? Seharusnya kau bersyukur nak, kau akan menjadi ibu, “ mama
merangkulku , aku hanya menangis di pelukan mama, hanya tangis yang dapat
mengurangi sedikit kesedihanku, kueratkan kembali rangkulanku pada mama, aku
tak ingin melepaskannya , aku ingin kembali ke pelukannya yang selalu
memberikan rasa aman bagiku.
Sore itu aku pulang
dari rumah sakit dijemput mas Sapto, aku berusaha tegar di hadapannya, aku
bukan perempuan cengeng, aku perempuan tegar yang siap memberikan atas
pertanyaan yang belum sempat aku jawab karena urusan hati yang kadang tak bisa
diprediksi.Kubaringkan tubuhku sejenak sebelum aku menyediakan makan malam .
“Sudah beristirahatlah
dulu, biar bik Ijah saja yang menyiapkan makan malamnya,” mas Sapto
menyelimutiku. Mungkin dulu aku akan merasakan kehangatan saat mas Sapto
memberikan perhatian untukku tapi saat ini ada rasa yang berbeda di hatiku,
sakit sekali, aku membayangkan hal yang sama akan dilakukan mas Sapto untuk
perempuan lain selain aku. Aku mencoba untuk memejamkan mataku , sangat sulit ,
akhirnya aku melangkahkan kakiku ke depan piano dan mulai menarikan kembali
jemariku di tuts-tuts dan nada-nada sedih meluruhkan hati ini. Mas Sapto
merangkulku dalam pelukannya erat sekali,aku harus mengatakannya sekarang.
“Mas, aku mengijinkanmu
untuk menikahi perempuan itu.” Tak menyangka aku dengan mudahnya mengatakannya
tapi hanya sepotong luka yang tetap ada di hati yang akan meninggalkan jaringan
parut .
“Dea, bukan perempuan
itu,” tegur mas Sapto dan kurasakan pelukannya semakin erat. Mau Dea atau siapalah nama istrinya yang
baru, aku akan tetap menyebutnya perempuan itu.
“Terimakasih atas
pengertianmu Lira,” dikecupnya dahiku dan malam itu terasa sakit saat aku mulai
jatuh dalam dekapan panjangnya yang hanya menyisakan perih .
Pagi itu kembali
kumainkan tuts-tuts piano yang berdenting perlahan sesuai dengan irama hatiku,
kepasrahan seorang istri yang harus merelakan suaminya yang sangat dicintainya
untuk berbagi cinta . Dentingan piano itu membuat hatinya kembali tenang ,
terus aku mainkan sampai hati ini tenang dan bayang-bayang perempuan itu masih
ada dalam pikirannya. Terus membayanginya diiringi dengan suara dentingan piano yang semakin
melembut dan denyutan dalam rahimku seperti suara dentingan piano di telingaku,
bercampur jadi satu yang membuaiku dalam mimpi yang panjang. Tenang tak ada
suara lagi.
“Lira, Lira,” mas Sapto
terus memanggilku, aku hanya diam dalam Diam yang panjang.Diam selamanya. Aku akan bertahan
demi cintaku padamu .