11 Teriknya Mentari

Senin, 26 Februari 2018





Di pusaran kenangan di Belitung
Ingat saat  teriknya mentari di atas yang menyengat
Sinarnya menusuk ke dalam kulit
Sinarnya menyilaukan mata
Awan putih masih beriringan berjalan perlahan
Menemani panas siang itu........

Terselip rasa haru saat melihat sekolah Laskar Pelangi
Di bawah teriknya mentari saat itu
Terlihat kecil dan kumuh
Di sanalah ada anak-anak hebat yang dididik dengan guru hebat
Sifat yang mumpuni yang terserap dalam hati
Yang tak akan hilang oleh waktu....

Pasir putih yang mengelilingi sekolah
Awan yang berarak putih di sana
Menemani riak-riak sekolah ini
Jadi tonggak bagi yang punya mimpi
Mimpi itu harus diperjuangkan
Dan mimpi itu akan jadi kenyataan di suatu saat kelak....

Inilah terik mentari yang membius mata
Membius hati untuk merasakan denyut pendidikan di sini
Di tempat kecil ini
Ada sejuta harapan dan kenangan yang meresap
Hanya ada satu kata...
Mimpi itu jangan menjadi angan saja , terus diperjuangkan .

Cirebon 27 Februari 2018
Saat berada di Sekolah Laskar Pelangi

2 Dentingan Piano

Senin, 19 Februari 2018



Gambar dari sini 
 

        Masih kutatap foto yang barusan mas Sapto berikan padaku , sudah keduakalinya mas Sapto meminta ijinku untuk menikah lagi. Wajah perempuan ini yang telah merebut sebagian hati atau bahkan seluruh hatinya dariku. Kurasakan air mataku terus mengalir tak dapat kubendung lagi, apa artinya dulu kau nyatakan cintamu padaku ,kalau sekarang kau mencari hati lain untuk kau labuhkan
            “Aku tunggu jawabanmu nanti malam,” mas Sapto pamit untuk bekerja, segera cepat kuhapus bulir air mata yang sempat turun tadi, kuantarkan sampai depan rumah. Kulangkahkan kakiku , aku harus menguatkan hatiku untuk menjawabnya. Aku sangat mencintai mas Sapto bahkan seluruh hatiku sudah kuserahkan padanya, tapi sekarang ada riak-riak rasa sakit yang harus kutelan saat hatinya diberikan untuk perempuan lain .

            Aku duduk di depan piano dan mulai menarikan jemariku di atas tuts –tuts, suara dentingan piano  membuai aku dalam mimpi indah saat aku bertemu mas Sapto lima tahun yang lalu, sampai saat ini hanya suara dentingan piano inilah satu-satunya penghibur diriku. Kini di saat ada rasa nyeri di hatiku kepada tuts-tus piano inilah aku mengadu, dentingan piano inilah yang menghibur hati ini. Tiba-tiba aku merasakan tuts-tuts seperti melompat-lompat, aku tak bisa menekannya, mengapa tuts-tutsnya harus meloncat-loncat seperti itu, aku berusaha menekannya lagi tapi tak bisa , kepalaku mulai pening dan tiba-tiba semua terlihat putih dan memudar dan menghilang dari pandanganku. Saat aku terbangun aku sudah ada di rumah sakit dan mama sedang menatapku dengan wajah cemasnya.
            “Kamu baik-baik saja kan Lira? Tadi bik Ijah menelpon mama kamu pingsan di depan piano,” mama mengusap kepalaku. Ada rasa hangat mengalir ditubuhku, seperti ada tali yang menghubungiku dengan mama. Aku hanya mengangguk, aku tak mau mama terlalu mengkhawatirkan aku, biarlah ini menjadi rahasia hatiku.
            “Aku baik-baik saja ma, tapi entah mengapa sudah beberapa hari ini aku selalu pusing,tapi mama belum telpon mas Sapto kan?” Mama menggelengkan kepalanya. Hasil dari pemeriksaan dokter sungguh membuatku terkejut, ternyata aku hamil.Astaga, di dalam rahimku tumbuh benih cinta yang akan menyemarakan rumahku. Seharusnya aku bahagia karena sudah hampir lima tahun sudah pernikahanku aku belum mendapatkan momongan, tapi kini di saat rahimku berisi bakal anakku kelak , rasa sakit kembali menyeruak di hatiku yang masih terluka. Apa yang harus kujawab nanti malam????  Kembali mama menatapku saat bulir air mata turun di pipiku.
            “Lira, ada apa , kau menangis? Seharusnya kau bersyukur nak, kau akan menjadi ibu, “ mama merangkulku , aku hanya menangis di pelukan mama, hanya tangis yang dapat mengurangi sedikit kesedihanku, kueratkan kembali rangkulanku pada mama, aku tak ingin melepaskannya , aku ingin kembali ke pelukannya yang selalu memberikan rasa aman bagiku.
           
            Sore itu aku pulang dari rumah sakit dijemput mas Sapto, aku berusaha tegar di hadapannya, aku bukan perempuan cengeng, aku perempuan tegar yang siap memberikan atas pertanyaan yang belum sempat aku jawab karena urusan hati yang kadang tak bisa diprediksi.Kubaringkan tubuhku sejenak sebelum aku menyediakan makan malam .
            “Sudah beristirahatlah dulu, biar bik Ijah saja yang menyiapkan makan malamnya,” mas Sapto menyelimutiku. Mungkin dulu aku akan merasakan kehangatan saat mas Sapto memberikan perhatian untukku tapi saat ini ada rasa yang berbeda di hatiku, sakit sekali, aku membayangkan hal yang sama akan dilakukan mas Sapto untuk perempuan lain selain aku. Aku mencoba untuk memejamkan mataku , sangat sulit , akhirnya aku melangkahkan kakiku ke depan piano dan mulai menarikan kembali jemariku di tuts-tuts dan nada-nada sedih meluruhkan hati ini. Mas Sapto merangkulku dalam pelukannya erat sekali,aku harus mengatakannya sekarang.
            “Mas, aku mengijinkanmu untuk menikahi perempuan itu.” Tak menyangka aku dengan mudahnya mengatakannya tapi hanya sepotong luka yang tetap ada di hati yang akan meninggalkan jaringan parut .
            “Dea, bukan perempuan itu,” tegur mas Sapto dan kurasakan pelukannya semakin erat.  Mau Dea atau siapalah nama istrinya yang baru, aku akan tetap menyebutnya perempuan itu.
            “Terimakasih atas pengertianmu Lira,” dikecupnya dahiku dan malam itu terasa sakit saat aku mulai jatuh dalam dekapan panjangnya yang hanya menyisakan perih .

           
            Pagi itu kembali kumainkan tuts-tuts piano yang berdenting perlahan sesuai dengan irama hatiku, kepasrahan seorang istri yang harus merelakan suaminya yang sangat dicintainya untuk berbagi cinta . Dentingan piano itu membuat hatinya kembali tenang , terus aku mainkan sampai hati ini tenang dan bayang-bayang perempuan itu masih ada dalam pikirannya. Terus membayanginya diiringi  dengan suara dentingan piano yang semakin melembut dan denyutan dalam rahimku seperti suara dentingan piano di telingaku, bercampur jadi satu yang membuaiku dalam mimpi yang panjang. Tenang tak ada suara lagi.
            “Lira, Lira,” mas Sapto terus memanggilku, aku hanya diam dalam Diam yang panjang.Diam selamanya. Aku akan bertahan demi cintaku padamu .

0 Perahu Nelayan

Senin, 12 Februari 2018





Setiap inci kehidupan terpatri dalam bentangan laut luas
Menjalani setiap jenjang kehidupan
Melaut setiap malam bersama bulan yang menerangi
Meniti hidup yang bertumpu di lautan lepas

Andai saja  laut sudah tak bersahabat
Apakah perahu-perahu ini akan tetap bersandar di pelabuhan
Tapi hidup harus berjalan terus
Perut harus diisi dan pergi dengan rasa was-was
Menerjang ombak dan angin...

Merajut asa di tengah laut di perahu kecil
Tak ada hal lagi unuk berhenti
Di sini hidupnya, di lautan lepas
Bersama peahu kecil yang akan menemaninya
Dalam gelapnya malam

Saat berlabuh dalam tepi pantai yang indah
Bersama perahu lainnya, terlihat indah
Mempesona dalam bingkai alam yang mempesona
Walau tak tahu apa yang diperjuangkan begitu keras
Untuk mengisi perut lapar di rumah......


Cirebon,13 Februari 2018
Saat berada di Pantai Tanjung Kelayang Belitung melihat perahu nelayan

4 Cinta Dari Papua

Senin, 05 Februari 2018



Gambar dari sini 
 

Pagi ini, masih kuhirup kopi susu yang baru kuseduh, sambil menikmati udara sejuk desa kecil di kabupaten Merauke. Kubaca surat dari Nina yang kemarin baru kuambil di kota kecamatan. Nanar mataku saat mulai kubaca kata demi kata yang ditulis Nina dengan kecintaan yang besar untukku. Aku sendiri masih penuh kebimbangan, apa aku masih mau bertahan di desa ini, atau akan kusambut cinta tulus Nina. Berat sebetulnya yang aku hadapi, di satu sisi aku masih berjuang untuk membangun pendidikan di desa kecil ini , di sisi lain aku harus perjuangkan cinta Nina. Jelas, orangtua siapa yang mau memberikan anak gadisnya untuk dibawa ke desa kecil di Papua. Masih kuingat saat aku harus pergi ke desa kecil di Merauke meninggalkan Nina sendiri di kota Bandung.

            “Bang, apa tidak bisa mencari pekerjaan lain di kota saja?” tanya Nina padaku.
            “Nin, kamu sudah tahu aku punya cita-cita memajukan anak-anak desa terpencil,” kataku .
            “Tapi, kenapa harus sejauh itu, bang ?” tanya Nina yang kadang tak habis pikir akan jalan pikiranku. Sudah banyak diskusi antara aku dan Nina tentang banyak keinginanku dan Nina jugalah yang memberiku semangat tapi saat aku harus pergi di saat itulah Nina merasa cintanya terhadapku akan hilang.
            “Cinta sejati tak akan hilang , Nina, percayalah, aku tetap akan selalu mencintaimu,” kataku mengelus kepalanya. Nina bersandar di dadaku dan pelukanku  seakan tak mau dilepaskan olehnya.
            “Kelak saat aku sudah bisa berdikari di sana, aku akan menjemputmu untuk bersama-sama membangun desa ,” kataku sambil kuhapus linangan air matanya. Aku mengucapkan selamat tinggal dan kutinggalkan Nina dalam kesendirian sampai aku akan jemput kembali.


            Masih kupegang surat dari Nina, masih kubayangkan wajah manisnya. Sanggupkah aku bertahan ??? Nina dalam suratnya ,mengatakan kalau dia mau dijodohkan oleh orangtuanya, tapi dia tetap akan terus menungguku menjemputnya .Betapa bahagia mendengarnya tapi ada rasa resah mendengar ceritanya, ada kekawatiran tersendiri di hati, apa Nina sanggup untuk bertahan lebih lama lagi???? .
            “Ada yang dipikirkan?” tanya pak Nurdin teman seperjuanganku.
            “Iya, Nina mau dijodohkan oleh orangtuanya,” kataku.
            “Ya, semua itu hanya kau yang dapat memutuskannya,” kata pak Nurdin sambil menepuk pundakku. Malam itu kutulis surat untuk Nina, akan kujemput dirinya untuk bersama –sama ke desa kecil di Merauke untuk membangun cinta milik berdua dan membangun cinta untuk anak-anak di desa ini. Kulipat surat itu . Aku tertidur dalam buaian mimpi akan bertemu Nina.Tunggu aku, sayang...