2 Chip Di Otak Kiriku

Senin, 28 Mei 2018


  
Gambar dari sini 
 

           Aku masih duduk di taman kota, sedari pagi aku sudah duduk di sini. Bolos, itulah yang aku lakukan lagi dan lagi. Gak tahu rasanya  sekolah bagiku seperti neraka, semua pelajaran tidak ada satupun yang masuk ke otakku.. Dari kecil aku selalu dibilang bodoh, karena nilaiku selalu jelek . Untungnya ibuku tak pernah menganggapku bodoh, dia selalu memberiku semangat agar aku tetap mau sekolah dan belajar. Walaupun dengan susah payah , aku bisa naik kelas terus sampai sekarang aku sudah duduk di bangku SMA. Semua guru bagiku menyebalkan selalu berceloteh tentang belajar dan belajar, aku sudah belajar setengah mati tapi hasilnya tetap jelek, sedang teman-temanku yang suka dapat nilai bagus karena nyontek, apa pernah kena omel, gak!!!!!. Sungguh gak adil bagiku!!!!. Aku tidak tahu harus marah pada siapa, rasanya dunia ini tidak adil bagi aku manusia bodoh bernama Bisma. Kusibakan rambutku yang agak gondrong saat kulihat ada seorang yang mengamati. Aku mulai takut. Mau apa orang itu mengamati aku dari bangku taman di ujung sana. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, tak ada siapa-siapa lagi, aku berniat untuk pergi dari taman , tapi saat aku hendak pergi tiba-tiba orang itu secara cepat memegang tanganku kuat-kuat. Aku mulai berontak tapi tangan orang itu menarik kuat sekali.
            “Kamu  siapa dan maumu apa,” teriakku.
            “Tenang Bisma, aku gak akan berbuat macam-macam padamu , malah aku mau membantumu,” katanya lagi. Aku heran , darimana dia tahu namaku. Aku memandangnya dengan perasaan tak menentu.
            “Saya profesor  Andi dari kantor riset Tekno,” katanya lagi.
            “Lalu mau apa denganku, aku bukan orang pintar,” kataku sambil mengibaskan tangannya dari tanganku.
            “Justru karena kamu gak pintar aku butuh kamu,’ katanya.  Aku heran ,mana ada profesor malah mencari orang bodoh. Profesor Andi menceritakan kalau dia  butuh bantuanku. Dia sedang menangani suatu proyek besar dan butuh seorang pemuda yang punya jiwa pemberani dan tidak boleh pintar.
            “Ada yang butuh orang bodoh?” tanyaku heran. Profesor Andi bercerita  lagi kalau dia butuh orang bodoh agar tidak terlalu banyak tahu tentang proyek ini karena ini sangat rahasia. Aku sebetulnya masih bingung.
            “Nah, Bisma aku harap kamu besok pulang sekolah , kamu datang ke kantorku, aku tunggu,” katanya lagi sambil berlalu dariku. Aku cuma menggelengkan kepalaku , ada-ada saja, tapi aku memutuskan untuk menemui pak Andi.

            Siang itu,aku menemui pak Andi. Aku memasuki kantornya. Kantornya besar dan untuk masuk ke sana harus melewati pengamanan yang ketat.
            “Selamat datang di kantor riset Tekno, Bisma,’ katanya sambil merentangkan tangannya. Profesor Andi menceritakan , kalau dia akan meletakkan  sebuah chip di otak kananku, dengan demikian aku bisa menyerap banyak informasi secara elektronik maupun bukan. Katanya lagi aku akan disusupkan di kedubes Malaysia  sebagai kayawan office boy dan akan ditemani dengan Mesya yang akan menjadi karyawati di kantor kedubes.
            “Lalu gunanya chip itu buat apa?” tanyaku bingung.
            “Setiap informasi yang kamu lihat ataupun dengar itu akan ditangkap oleh chip yang ada di otak kananmu dan dengan gelombang elektromagentik akan di kirim ke komputer di kantor Tekno,” katanya lagi.
            “Lalu mengapa harus pilih aku dan belum tentu aku mau ,’ kataku lagi
            “Karena orang yang sudah masuk kemari tak akan bisa keluar lagi sebelum selesai mengerjakan tugasnya,” katanya . Aku terkejut, kalau  aku tidak pulang bagaimana orangtuaku, mereka akan merasa kawatir.
            “Tenang saja , orangtuamu tidak akan mencarimu, karena setelah kamu selesai mengerjakan tugas ini, mereka tidak tahu apa-apa,” katanya lagi
            “Dan Bisma, hal ini bisa terjadi karena waktu akan dihentikan dengan mesin waktu, sehingga selama kamu nanti bekerja di kedubes adalah waktu yang sudah berlalu,” kata seorang wanita yang berjalan ke arahku.
            “Meisya, teman yang akan bekerja sama di kedubes nanti,’ katanya memperkenalkan diri. Aku menyambut tanganya, alangkah cantiknya, perawakannya sedang dan kulit kuning langsat dengan rambut sebahu .

            Aku mulai dimasukkan ke dalam ruang operasi untuk memasang chipnya. Aku sebetulnya sangat takut tapi beberapa saat kemudian aku sudah tak sadarkan diri dan saat terbangun aku sudah ada di kamar yang luas dan serba putih.Profesor Andi masuk ke kamar dan menatapku sesaat
            “Nah, Bisma , kamu sudah siap untuk menjadi office boy di kedubes,” kata profesor Andi, “ dan kamu perlu tahu untuk saat ini kamu menjadi orang pintar yang dapat menyerap informasi dengann cepat”. Wah, kalau tugas ini selesai aku akan minta agar chip ini tidak usah diambil lagi, lumayan kan aku bisa jadi anak pintar, pikirku.
            “Bisma, sesudah misi ini selesai, chip itu harus dilepaskan lagi dari kepalamu , karena kalau tidak akan berbahaya, “ kata Profesor Andi. Dasar, tahu saja apa yang aku pikirkan.

            Esoknya aku  dan Meisya sudah diantar untuk bekerja di kedubes Malaysia, sebetulnya aku juga tidak mengerti informasi apa yang akan dicari kantor Tekno. Pekerjaanku hanyalah membersihkan ruang dan menyediakan minum bagi karyawan , sangat mudah. Setiap ada informasi yang ada di komputer atau yang kudengar secara otomatis akan ditangkap oleh chip di kepalaku yang akan ditransfer ke kantor \Tekno. Oleh sebab itu aku harus lebih sering menyapu ruang-ruang yang kemungkinannya ada informasi dan Meisya yang akan menyuruhku untuk ruang mana yang harus sering kusapu.
            “Bisma, nanti setelah makan siang akan ada rapat di ruang rapat, kamu sering-sering masuk ke sana untuk memberi minuman ya,” kata Meisya berbisik sambil berlalu dariku. Rasanya aku mulai nakisr dengan Meisya, wajahnya tak pernah bsia lepas dari pikiranku, cantiknya dia. Waktu rapat siang hari, aku tak menyangka di sana ada perdana menteri Malaysia, padahal setahuku aku tak pernah mendengar kedatangannya di televisi, tapi tahu-tahu sudah ada di sini. Ada beberapa orang lagi dan ada menteri luar negeri Indonesia juga. Wah pasti ada yang serius dibicarakan.  Beberapa kali aku masuk ruang rapat untuk mengecek minuman apa sudah habis atau belum. Waktu aku lagi menyapu ada peserta rapat yang menatapku tajam , tapi aku pura-pura tidak melihatnya, walau hatiku berdebar-debar.

            Hari kedua aku di suruh Meisya untuk masuk ruang arsip mumpung komputer sedang diakses semua. Aku pura-pura datang untuk menyapu dan membersihakan meja-meja.
            “Mengapa kamu di sini, bukannya tadi pagi sudah di sapu?” tanya orang yang kemarin menatapku terus menerus.
            ‘Iya, tapi sekarang mau membersihkan meja-meja agar bersih,” kataku. Orang itu menggeledah seluruh pakaianku , dan dia tak mendapatkan apa-apa, ya iyalah dia tidak tahu kalau ada chip di kepalaku.Orang itu berlalu dengan bersungut-sungut. Aku menghela nafas lega, satu sudah terlewati. Waktu kuamati komputer yang terbuka di sana kulihat ada data yang mengejutkan, data yang menunjukan Malaysia akan membom Indonesia kalau tidakk mau dibujuk memberikankan pulau di dekat propinsi Kalimantan Barat yang sudah lama diincar Malaysia. Setahuku tidak ada ancaman seperti itu di berrita-berita televisi maupun koran, apakah ini rahasia antara Indonesia dengan Malaysia???. Aku mulai penasaran dan aku mulai membuka lagi info demi info, tapi tiba-tiba kepalaku pusing sekali. Dibagian tempat chip di pasang, rasanya berdenyut-denyut dan menimbulkan rasa sakit . Kupegang kepalaku, tapi entahlah tiba-tiba aku tak dapat melihat apa-apa. Waktu ku tersadarkan diri aku  sudah ada di ruangan pantry.
            “Kamu sudah sadar?” tanya teman sesama office boy. Aku mulai mengumpulkan ingatanku, oh ya aku tadi ada di ruang arsip.
            “Siang pak Asrul,” kata temanku. Aku menatap orang yang sama dengan yang menegurku di ruang arsip, namanya pak Asrul .
            “Kamu bawa tas tidak ?” tanyanya. Aku mengangguk dan menunjuk kalau tasku ada di loker. Pak Asrul menuju lokerku dan memeriksa tasku, dia tak mendaptkana apa-apa.  Sesaat setelah pak Asrul keluar, Meisya masuk berpura-pura hendak mengambil air minum.
            “Bisma , sore ini kamu langsung ke kantor Tekno,”kata Meisya berbisik di telingaku. Aku merasakan sensasi yang lain, aroma tubuhnya membuatku berdesir sesaat, membuat pipiku memanas .

            Sore itu sepulang kerja di Kedubes aku langsung ke kantor Tekno. Di sana aku sudah ditunggu profesor Andi.
            “Sore Bisma, kemari,” katanya sambil mengajakku ke ruang operator dengan banyak komputer yang dihubungkan dengan satelit.
            “Bagus kerjamu, sudah banyak info penting yang bisa tertransfer kemari,” katanya lagi. Waktu itu di salah satu layar komputer aku melihat Meisya sedang asik bekerja di meja kerjanya, tiba-tiba pak Asrul memegang tangan Mesiya dan menariknya ke ruang  kepala kedubesnya.  Aku amati layar dengan mata tak berkedip dan aku kalut saat melihat Meisya di paksa untuk memberitahukan dirinya siapa dan tangannya ditarik ke belakang.
            “Prof, lihat apa yang mereka lakukan terhadap Mesiya,” teriakku. Profesor Andi melihat layar dan menatap terus . Dan saat dalam keadaan genting , profesor Andi memencet tombol di panel dekat komputer dan tiba-tiba Meisya jadi hancur lebur berkeping-keping. Aku tekejut sekali dan kutatap profesor dengan marah.
            “Apa yang kau lakukan terhadap Meisya,” kataku marah.
            ‘Tenang, itu memang sudah prosedur di sini daripada rahasia terbongkar,” katanya lagi dengan tenang.
            “Jadi, kalau aku juga dalam keadaan terpepet akan dilakukan seperti Meisya,” tanyaku .
            “Iya, demi informasi yang akan menyelamatakan negara,” kata profesor sambil menepuk pundakku. Astaga, aku tak penah berpikir akan sebahaya ini, tapi kenyataan ini membuatku ketakutan dan aku ingin menyudahi .
            “Prof, apa aku sudah selesai dengan tugas ini,” kataku.
            “Sudah, dan sudah banyak info yang kau serap, apalagi saat kamu di ruang arsip, makanya kepalamu sampai pusing karena kebanyakan info yang masuk,” katanya lagi.
            “Tapi, jangan lupa kamu masih harus diambil chipnya dulu , sekarang istirahatlah dulu,” katanya sambil membukakan pintu untukku. Aku masuk kamarku di kantor tekno, sambil membayangkan kemalangan Meisya.  Sungguh tak kuduga , Meisya harus pergi secepat ini demi negara, katanya. Ku masih terbayang-bayang wajahnya dan kepalaku mulai terasa pusing kembali dan aku taksadarkan diri lagi. Saat ku sadar aku sudah ada di meja operasi untuk mengambil chipnya kembali.
            “Terimakasih banyak, Bisma, kamu telah memberikan kontribusi berharga bagi negara,” kaat profesor,” dengan demikian negara kita akan terselamatkan dari tindakan bom dari Malaysia,”

            Dengan memutar balik lagi mesin waktu, aku kembali ke orangtuaku tanpa mereka merasa aku pernah tidak ada  selama beberapa hari, yang mereka tahu aku baru saja pulang sekolah.
            “ Bisma, sore benar kamu pulangnya?” tanya ibu.
            “Iya, bu ada tambahan pelajaran,” kataku sambil masuk ke kamar. Di kamar
Aku masih saja belum percaya  kalau ini benar-benar terjadi, rasanya aneh , aku kembali ke rumah saat pulang sekolah padahal aku sudah beberapa hari menjadi office boy di kantor kedubes. Dan aku harus kembali lagi menjadi Bisma yang bodoh dan harus kehilangan perempuan yang baru saja aku taksir. Dan aku mulai terlelap kembali dalam mimpi yang panjang......

2 Menatap Masa Depan

Senin, 21 Mei 2018

Di batas dermaga kau duduk sendiri
Menatap ke depan ke masa depan yang kau mimpikan
Andai aku tahu apa yang kau pikirkan nak,
Ingin aku tahu apa yang menjadi asamu

Terlena dalam lamunan panjang
Saat matamu memandang ke kejauhan
Ke tempat kemana kau akan berlabuh
Ke orang yang akan kamu cintai

Hantarkan gelombang asamu
Ingin aku juga merasakan apa yang kau rasakan nak,
Ingin kupeluk lagi seperti dulu saat kau kecil
Bisikan jiwamu akan sampai pada orang yang kau cintai kelak

Ah, nak,
Ku petik senyummu
Untuk masa depanmu
Sampai aku bisa tersenyum
Melihatmu bahagia kelak
Dan kerinduanku yang selalu tak berujung pada dirimu
Nak, aku sayang dirimu....

Cirebon,23 Mei 2108
teruntuk anakku

2 Be My Freind Dinda

Senin, 14 Mei 2018


  
Gambar dari sini 
 

Pagar rumah yang tinggi dan tertutup membuatku tak bisa melihat bagian dalam rumahnya. Aku sering penasaran ingin tahu dalam rumah besar itu, walau aku benci sekali dengan anak pemilik rumah itu yang suka mengatai-ngatai aku anak kampung. Memang rumahku ada di kampung di belakang perumahan mewah. Kalau dibandingkan rumahku, ya sangat jauh perbedaannya, tapi julukan anak kampung begitu menyakitkan. Seperti hari ini saat aku pulang sekolah bersama Ipin  sengaja aku melewati perumahan mewah ini ingin melihat-lihat .
            “Ngapain elu lewat sini sih,” tegur Ipin kurang suka, tapi aku tetap saja masuk ke perumahan  dan akhirnya Ipin mengikutiku juga. Aku selalu senang melihat rumah-rumah yang begitu indah , sepertinya akan terasa nyaman tinggal di sana. Belum lama aku berjalan sudah terdengar dari balik pagar.
            “Hey, anak kampung ngapain lewat sini, ini bukan jalan umum,” teriak gadis cantik yang selalu meneriakan aku anak kampung. Aku cuek dan berlalu tapi terdengar lagi umpatannya, membuat tubuhku berbalik.
            “Apa elu bilang gue anak kampung, emang iya. Lalu elu mau ngapain kalau gue anak kampung,” teriakku marah , tapi Ipin segera menarik tanganku untuk cepat berlalu dari sini.
            “Makanya elu sih pakai lewat sini,” tegur Ipin lagi. Aku mendorongnya , aku gak suka ada orang yang melarangku lewat perumahan.

            Setiap sore aku selalu duduk di atas pohon yang berada di dekat lapangan sepakbola dan dari sana aku bisa melihat rumah gadis itu. Belakang rumahnya luas dan ada kolam renang yang besar. Aku selalu bisa melihat aktivitas keluarga mereka dari atas pohon dan aku selalu berada di atas pohon sampai senja menjemput.
            “Hoy, Jay turun, elu dipanggil nyokap elu tuh,” teriak Ipin dari bawah.
            “Apa lagi si mak, ganggu kesukaan  gue saja,” gerutuku tapi tetap turun dan menghampiri emak yang sedang memegang surat.  Waktu aku buka surat itu, mataku berbinar dan tak menyangka sama sekali.
            “Astaga mak, gue diterima di SMA Teladan,”seruku  riang. Ipin merebut surat itu dan dia ikut terbelalak kaget tak menyangka aku bisa masuk ke sekolah terkenal favorit dan banyak orang kaya yang bersekolah di sana.
            “Gile lu Jay, tapi apa elu gak minder nantinya bakalan satu sekolah dengan anak orang kaya,” celetuk Ipin yang saat ini hanya diterima di sekolah negeri yang bukan favorit.
            “Ngapain minder, gue Jay, anak ganteng dan pintar,” aku tertawa menyeringai di depan Ipin yang mulai memperlihatkan tampang sebalnya.
            “Ya udah besok emak bikin ayam goreng dan sambal terasi  kesukaanmu, buat merayakan keberhasilanmu,” ujar mak sambil ngeloyor masuk ke rumah.
            “Thank you, emak gue yang paling baik,”teriakku girang Entah mengapa suatu kebanggan tersendiri bagiku  kalau aku bisa masuk SMA Teladan yang berisi anak-anak pintar dan juga kaya. Sudah terbayang aku akan berdiri di sekolah itu , benar-benar mimpi yang menjadi kenyataan.

            Aku sendiri sudah tak sabar untuk cepat masuk sekolah,memakai seragam dan berada diantara anak-anak di sekolah sana. Pagi itu aku sudah  dengan seragamku dan  siap untuk datang di sekolah baruku yang sudah kumimpi-mimpikan sejak lama.
            “Pergi dulu mak, doain Jay ya,” aku mencium tangan emak dan emak selalu mencium ubun-ubunku dan aku paling suka karena aku merasa ada doa yang diucapkan saat mencium ubun-ubunku. Gerbang sekolah sudah  tampak, sekolah yang megah membuatku sedikit gemetar, beberapa mobil memarkir mobilnya di tepi jalan untuk menghantarkan anaknya sekolah, tapi aku tetap percaya diri dengan motor bututku. Aku parkir di tempat parkir motor yang berisi motor-motor bagus dengan merk terkenal, rasanya motorku terlihat jelek sekali. Waktu aku mencari kelasku, aku melihat gadis yang tinggal di perumahan mewah itu, ah ternyata dia juga bersekolah di sini.
            “Eh, ada anak kampung juga di sini,” tegurnya. Tapi aku tak menghiraukannya dan mencari tempat duduk di kelas yang menurutku bagus sekali tidak seperti sekolahku saat aku duduk di bangku SMP. Ternyata nama gadis itu Dinda, manis juga namanya . Saat pak Nata menyebutkan namaku Jaenudin, Dinda menoleh padaku dan mencibirkan mulutnya padaku, dan aku balas dengan membuat gerakan kiss bye padanya, tampak wajahnya cemberut, aku suka sekali dengan wajahnya apalagi dengan tampang cemberut begitu membuatnya tambah manis. Tak kusangka  untuk kegiatan ospek aku sekelompok dengan Dinda dan Sahrul. Saat pulang sekolah aku dan Sahrul mendekati Dinda yang sudah siap akan pulang.
            “Din, kapan nih kita beli pernak-pernik untuk lusa acara ospek, “tegur Sahrul pada Dinda yang sejenak terdiam dan menatapku tajam.
            “Halo, Dinda, panggil saja gue Jay,” aku menyodorkan tanganku padanya , dengan malas Dinda menyambut tanganku dan aku genggam lama dan segera Dinda menarik dengan cepat . Sahrul menatapku tajam dan menyenggolku.
            “Gimana kalau elu ikut kita berdua saja , cari di pasar inpres, harganya lebih murah,” ujarku.
            “Ogah ah, ngapain ke pasar inpres itu kan langganannya orang kampung saja,” tapi sungguh aku tak sakit hati Dinda berkata demikian.
            “Ya, sudah kalau gitu kita berdua saja,” aku menarik tangan Sahrul. Dinda tampak ragu-ragu.
            “Gue ikut. Tapi gue bilang dulu sama supir gue biar dia pulang saja.” Aku bersorak dalam hati, berjalan dengan Dinda, wwauw!!!!! Tak terasa belanja dengan Dinda membuatku asik dan aku melihat Dinda juga menikmati suasana pasar inpres dan kesan Dinda sombongpun hilang seketika saat aku sudah mulai bisa berkomunikasi dengannya , Dinda enak diajak bicara. Dan Dinda mau digonceng motorku untuk sampai ke rumahnya.

            Esok sore aku dan Sahrul datang ke rumah Dinda untuk mengerjakan tugas untuk ospek. Berdebar-debar aku memasuki rumahnya yang selalu membuatku penasaran, kini aku bisa  melihatnya sendiri.  Kini aku tidak penasaran lagi dengan rumahnya Dinda, begini nih namanya rumah orang kaya . Tidak begitu lama tugas untuk ospek sudah dikerjakan dan aku bersyukur kelompokku mau bersama-sama mengerjakannya sehinga cepat selesai. Sahrul segera berpamitan untuk pulang. Aku masih menatap Dinda , ingin sekali aku disuruhnya tetap di sini, tapi Dinda tak bicara apa-apa lagi terpaksa aku juga berpamitan padanya.
            “Geu pulang dulu Din, eh mau gak elu main ke lapangan sepakbola di belakang , aku selalu duduk di atas pohon setiap sore, “ sedikit malu untuk menawarkan main di kampung kumuhku yang jauh berbeda dengan perumahan Dinda, tapi tak kusangka Dinda menganggukan kepalanya.
            “Benar?” Aku mengajaknya naik ke atas pohon, aku tuntun agar dia bisa naik perlahan, ternyata Dinda cukup cekatan juga naik pohon. Saat Dinda sudah berada di atas pohon , tiba-tiba dia terdiam.
            “Jadi elu bisa lihat rumah gue dong dari sini,” tukasnya cepat, aku menyeringai padanya sambil menyodorkan es lilin . Dinda tampak ragu  menerimanya.
            “Ambil, bukan racun kok, walau tak seenak es krim walls.” Dinda mengambilnya dan mulai menjilatinya. Dan senja itu aku nikmati bersama Dinda samapi matahari terbenam di barat. Suasana  senja saat itu membuat Dinda banyak tersenyum padaku dan membuat hatiku turut berbunga-bunga.

            Pagi itu anak-anak SMA Teladan sudah siap mengikuti acara ospek, anak-anak dipasangi atribut yang memalukan dengan pita-pita dari tali rafia , tas dari karung goni dan sepatu diikat dengan tali rafia.  Selain diadakan permainan untuk melatih kekompakan, kerjasama dan rasa empati, juga diberi penjelasan oleh pihak sekolah pembelajaran dan kegiatan-kegiatan apa saja yang ada di sekolah ini. Aku terpesona dengan banyaknya kegiatan yang nantinya bisa mengembangkan kreativitas siswa. Acara ospek juga tenyata membuat siswa menjadi lebih akrab satu sama lain dan ditutup dengan acara api unggun di sekolah. Malam itu aku menjemput Dinda dengan motor bututku untuk menghadiri acara puncak ospek,  malam itu semua siswa kelas sepuluh resmi diterima di SMA Teladan  dan kepala sekolah menerbangkan seiikat balon gas yang tak lama kemudian berterbangan di udara.  Malam itu semua bergembira diiringi permainan gitar dan api unggun yang menghangatkan suasana keakraban di sekolah ini. Aku tak membayangkan aku bisa menjadi bagian dari sekolah ini. Aku melihat Dinda di sampingku juga mungkin merasakan hal yang sama denganku.
            “Din, jadilah teman gue ya, gue suka berteman dengan elu,” aku menatapnya yang sedang melihat balon-balon gas itu berterbangan.
            “Ada sayaratnya dong,” kelakarnya.
            “Apa itu,” aku mencubit pipinya yang bersemu merah saat kupandangi wajahnya.
            “Jadilah teman baik gue selamanya,” ujarnya lagi. Aku gandeng lengannya dan bersama-sama melihat balon yang berterbangan di langit, menyongsong harapan baru di sekolah baru yang akan datang menyambutnya sebentar lagi. Aku masih tersenyum dan tanganku masih menggandeng tangan Dinda.
            “Jadilah teman gue juga Din, selamanya,” ujarku perlahan. Bintang sudah tampak dalam kegelapan, berbinar memberikan pengharapan baru bagiku.