0 Aku Ingin Seperti Bintang

Senin, 23 Juli 2018


Gambar dari sini 
 

Aku selalu suka dengan malam, entah mengapa. Banyak orang takut dengan gelap tapi aku tidak. Aku selalu terpesona dengan kilauannya yang tampak terlihat kecil saja di langit yang luas tapi cukup membuat langit berpendar dengan kilauannya. Aku hanya menatap pendar sinarnya yang kadang berkerlap-kerlip membuat mataku harus mengerjap sesaat, tapi dalam sekejap aku akan kembali memandangnya. Bagiku yang hidup dalam kesunyian karena aku tak mampu mendengar suara apapun di sekitarku, menatap langit membuatku sedikit terhibur. Aku selalu ditemani dengan diaryku yang akan kutuliskan rangkaian kata-kata tentang bintang setiap harinya.Entah sudah berapa banyak puisi yang kubuat tentang bintang. Malam ini aku juga menuliskan sedikit tentang bintang di atas sana, dan kuharap aku akan selalu bisa menulis tentangmu setiap hari.
            “Bunda ,aku ingin seperti bintang,” ujarku suatu saat pada bunda dengan bahasa isyarat. Bunda menatapku tajam .
            “Mengapa kau ingin seperti bintang Lola?” tanyanya. Aku tersenyum dan sedikit malu untuk mengungkapkannya. Aku terdiam sesaat .
            “Aku ingin punya manfaat untuk orang lain walau aku cacat bunda,” aku selalu susah untuk mengungkapkan kata hati dengan bahasa isyarat, aku hanya suka menuliskan saja di kertas. Bunda tersnyum manis, aku suka sekali dengan senyumannya, bunda akan tampak cantik . Bunda tak pernah malu membawaku walau aku cacat. Aku jadi ikut tersenyum, memang senyum bunda selalu menular pada orang lain, sudah banyak orang bilang begitu.
            “Pasti Lola bisa, bunda yakin banyak cara kok untuk bisa berguna buat orang lain walau kamu tunarungu.” Bunda membuat tanda love dengan tangannya, aku mengernyitkan dahiku tak mengerti.
            “Dengan cinta tulus Lola, kamu bisa berguna buat orang lain,” tukasnya membuatku tersenyum kembali. Ada satu harapan bagiku , aku bisa melayang setinggi langit untuk bisa meraih asaku.

            Tapi kenyataan selalu berbanding terbalik dengan harapan. Banyak kutuliskan dalam diaryku betapa banyak orang yang mencemoohku karena aku cacat. Tak pernah mereka memandang sebelah mata padaku, hanya cibiran  dan kata-kata yang kadang sungguh menyakitkan hati, tapi aku sungguh sudah terbiasa dengan itu. Bunda yang mengajarkannya padaku.
            “Gimana aku bisa menjadi bintang bunda  kalaus tiap orang saja sudah mencibirku terlebih dahulu?” tanyaku lagi , kadang aku sering putus asa dengan keadaanku, harapan tak sesuai dengan kenyataann.
            “Bisa Lola, dengan cinta,” tukasnya, selalu begitu, aku masih belum mengerti kenapa harus dengan cinta?????
            “Lola, cinta itu bisa menyatukan hal-hal yang tak mungkin , dengan cinta pasti bunda  yakin kamu dapat menjadi bintang suatu saat,: tukasnya yakin, aku hanya mengangguk walau dalam hatiku masih ragu. Sampai suatu saat teman bunda melihat tulisan-tulisanku dan tertarik dengan tulisanku dan dia ingin memperlihatkan tulisanku pada penerbit  dan yang tak ksuangka penerbit itu mau menerbitkan tulisanku. Aku sedikit terhenyak karena aku tak menyangka sekali, bunda merangkulku.
            “Nah, sebentar lagi kamu bisa menjadi bintang Lola,” senyumnya, aku menatapnya, apakah kali ini bunda hanya menghiburku saja atau ini sebuah kenyataan??? Aku tak ambil peduli, aku masih tetap suka dengan bintang dan malam hari adalah saat aku bisa mengungkapkan kata hatiku.

            Tak kusangka dengan kecintaanku pada kata-kata dan bintang, kini aku tampak seperti bintang di langit. Tulisanku yang dibukukan itu membuat banyak orang termotivasi unuk bisa mencapai asanya, rangkaian kata-kata indah yang kutuliskan bisa menjadi api semangat bagi orang lain. Aku kini menjadi motivator muda . Aku melihat di koran pagi ini. “Seorang penulis muda berbakat telah hadir dalam pesonanya”. Judul yang terpampang di koran pagi ini. Aku tersenyum lebar , ternyata impianku untuk menjadi bintang sudah di depan mata.
            “Lihat Lola, apa kata bunda, kau sudah menjadi bintang sekarang,”ujarnya tersenyum
            “Iya, bunda,” aku memandangnya
            “Tapi ingat bintang akan selalu menerangi bumi dengan cahayanya tanpa mengenal lelah. Bintang akan tetap berkilau karena memang sudah tugasnya demikian yang diberikan Allah , makanya Bintang akan tetap bercahaya sepanjang waktu dengan cinta terhadapNya,” kembali bunda menasehatiku. Aku sudah mengerti apa yang bunda utarakan, kalau aku sudah menjadi bintang aku tak boleh lelah dan harus terus memberikan api semangat melalui tulisanku juga karena cinta terhadapNya. Malam ini aku kembali menatap bintang dan ada air mata yang tak dapat kutahan untuk tidak keluar dari pelupuk mataku.
            “Bintang, aku sudah mampu menjadi sepertimu , walau untuk bisa mencapai seperti ini aku harus melewati banyak cibiran, tidak mudah, tapi aku mencintai semua tentangmu . Karena cintaku untukNya , Allah memberikanku kesempatan agar aku bisa menjadi bintang.” Aku mengerjapkan mataku saat bintang terlihat berkerlap-kerlip lagi selalu begitu bagiku. Bintang membuatku selalu termotivasi untuk menjadi sinar bagi orang lain. Terimakasih bintang, engkau bintang kejora bagiku.

0 Bunga Matahari

Senin, 16 Juli 2018

Gambar dari sini 

Kuning menatap langit
Menantang sang surya dengan keindahannya
Melambai diterpa angin
Membuai mata

Selagi binar-binar kuningmu merona
Saat kupu mulai terbang di sekelilingmu
Menuai janji untuk memakan sarimu
Sampai habis

Kini banyak yang mengelilingi dia bunga matahari
Saat banyak orang yang ingin berselfi ria
Tanpa merasakan pengapnya udara
Saat mereka pesta pora mengelilinginya

Saat usai mereka pergi
Helaian bunga rontok karena tersenggol
Perih terasa sakit di tubuh
Apa daya tak bisa berbuat apa-apa

Hanya harapan jangan mereka datang kembali
Dengan pongahnya berfoto tanpa risih
Sedang diri ini harus menahan sakit dan pengap
takut kupu-kupu tak mau datang lagi

Andai kupu tak datang
Aku akan merasa tak punya teman
Bagaimana dengan sariku akan menumpuk begitu saja
Andai bisa bicara enyahlah wahai orang-orang

Cirebon, 17 Juli 2018

4 Saingan Kok Tulalit

Senin, 09 Juli 2018


Gambar dari sini 
 

           Pulang sekolah aku melihat banyak gerombolan orang sedang mengerumuni sesuatu di pos kamling kampungku. Ada apa ya, apa ada pembagian sembako gratis lagi??? Biasanya kalau yang gratisan sih penduduk pasti mau repot-repot antre , coba buat urusan bayar membayar sulitnya minta ampun dengan banyak alasan lagi. Aku pastilah penasaran, siapa yang gak tahu anak perempuan yang gokil habis yang aku ini, si Mirna!!!!
            “Minggir babe-babe, nyak-nyak , om-om , anak-anak, gue mau lewat,” aku menyeruak kerumunan sambil dorong kiri dan kanan. Beberapa orang menatapku sebal tapi aku sih cuek saja, emang aku pikirin tuh orang yang melotot. Kasihan kan??? Matanya dah melotot masih ditambah harus kena semprot , makanya aku lebih baik diam saja.
            “Eh, dasar elu Mirna, lagak lu kagak sopan-sopan amat sih ama orang tua,” gerutu orang yang ada di sampingku. Kulihat babe Rozak melotot , ih seram banget tuh mata , sepertinya mau keluar dari bola matanya.
            “Awas babe matanya tuh bisa-bisa keluar semua, entar kagak ada matanya,” aku menyahut sambil terus mendesak ke depan dan di sana terpampang jelas pengumunan dengan tulisan yang besar AUDISI PENYANYI  DANGDUT  TINGKAT  KAMPUNG KOPI LUHUR.  Ya, ampun ternyata pengumuman audisi dikirain apa????
            “Babe Rozak, babe mundur lagi aja, masa dah tua ikutan audisi penyanyi dangdut bisa-bisa semua orang pingsan di tempat,” aku mendorong babe Rozak keluar
            “Apa-apaan elu tuh, gue hanya mau lihat saja ,” teriak babe masih ngotot mau lihat pengumuman.

            Kabar audisi penyanyi semakin santer di kampungku, apalagi hadiahnya menggiurkan termasuk tetanggaku si Desi yang super centil. Dia menyatakan dirinya akan ikutan audisi secara suaranya kayak Ike Nurjanah. 
            “Eh, lu jangan mimpi Desi, gue saja suka sebel dengar suara cempreng lu di kamar mandi, bikin gua mau muntah,” ejekku , aku paling sebel dengan tetanggaku satu ini , menurutku terlalu lebay!!!!
            “Ya masih mending gua ada suaranya, lah elu mana ada yang mau dengar suara elu, paling-paling kambing bandot gue tuh yang mau dengar,” ejek Desi tak mau kalah.
            “Enak aja elu ngomong, walau gue gak pernah nyanyi di rumah tapi suara gue bagus ,” aku tak mau kalah dengan si centil itu.
            “Ok, kalau elu merasa suara elu bagus ya ikutan audisinya, saingan dengan gue, siapa diantara kita yang memang suaranya paling bagus,” tantang Desi.
            “Ok, siapa takut!” aku mantap . Dasar bodoh menerima tantangan Desi, kapan aku pernah nyanyi walau kata guru seniku sih suaraku lumayan bagus saat tes nyanyi. Tapi nasi  sudah menjadi bubur tantangan tak boleh dihindari apalagi menyangkut si centil itu. Norak banget kalau aku sampai kalah dengan suara cempreng si centil!!!!!

            Persaingan aku dan Desi semakin ketat walau audisi belum dimulai tapi persaingan sudah tampak. Tadinya aku santai saja, tapi ternyata Desi tak mau kalah denganku, dengar-dengar dia ikut les vokal, mati aku!!!! Wauh, bisa-bisa aku kalah telak dengannya. Aku mulai rajin melatih vokal dan meminta bantuan bu Dara guru kesenianku di sekolah. Alhasil setiap pulang sekolah aku berlatih keras agar tak kalah dengan Desi. Kabar aku mulai latihan vokal juga akhirnya terdengar sampai sejagad kampungku. Desi tentunya gak mau kalah , persaingan makin memanas , saat Desi mulai mengambil hati warga kampung untuk menvote banyak suara untuknya dan selembar uang sepuluh ribu diterima warga yang mau memberikan suaranya untuk Desi.
            “Gila ya elu, itu namanya persaingan gak sehat, elu macam politikus saja,” aku sudah mulai kesal dengan ulahnya yang tak mau bersaing sehat.
            “Biar saja mau-mau gue , yang penting gue harus menang,” tukasnya sambil memperlihatkan wajah yang tampak menyebalkan bagiku. Darimana aku punya duit untuk menyuruh warga memberikan suara buatku???? Tapi aku tak habis akal aku mulai memasang selebaran dengan profil apikku yang dibuatkan oleh Dasri sohibku di sekolah. Aku beserta pengikutku mulai menyebarkan selebaran ke warga, menempelkan nya di setiap jalan . Hari ini aku puas profilku terpampang banyak di jalan –jalan. Rasain Des, elu masih mau saingan ama gue.
            “Eh, ini ya yang mau audisi dangdut,” beberapa warga sudah mulai mengenalku dan mulai menyapaku.  Wah , aku mulai gede rasa, serasa artis terkenal karena aku mulai banyak yang menyapa. Desi tampak sebal melihatku, aku balik mencibirnya!!!!
            Audisi tinggal tiga hari lagi, latihan vokal dengan bu Dara semakin intensif , dan aku semakin berdebar saja menghadapi audisi dangdut ini walau hanya tingkat kampung saja.
            “Mir, sudah bagus suaramu tinggal gerakan kamu masih kaku kayak robot saja,” celetuk bu Dara.
            “Lah, ibu kan tahu sendiri , gue gak biasa joged gini,” jelasku,tapi aku harus berani karena penampilan juga akan dinilai. Nih, yang lebih sulit melatih aku memakai hak tinggi, berkali-kali jatuh bangun tapi akhirnya akupun bisa melakukannya.
            “Nah, satu lagi kamu harus bisa mengambil hati juri bukan hanya dengan suaramu saja tapi dengan sikap yang  santunmu,” jelas bu Dara . Aku hanya bisa menganggukan kepalaku. Pulang dari latihan vokal aku melihat Desi keluar dari rumah pak Samsidi salah satu juri audisi. Mau apa lagi si centil itu mengunjugi salah satu juri, kali-kali mau nyogok??? Siapa tahu???? Aku mendekati si centil yang tampak tergesa –gesa. Aku menarik tangannya setelah dapat kukejar.
            “Eh, licik ya elu pasti mau nyogok juri kan?” tuduhku padanya.
            “ Enak aja, lu asal nuduh aja, gue ke pak Samsidi disuruh nyokap gue nganterin pesenan kue,” katanya sambil bergegas pergi. Aku masih hendak bicara tapi si centil malah berlari sekencang mungkin untuk menghindari aku. Dasar , si lebay!!!!!.  Waduh, bahaya kalau si centil sudah bisa nyogok juri, bisa-bisa aku kalah .  Aku juga perlu mendatangi juri walau bukan untuk nyogok tapi buat silahturahmi, agar mereka bisa lebih mengenal proilku, kan ada pepatah yang mengatakan kalau tak kenal maka tak sayang benar kan????
            “Dasar sama aja elu juga nyogok juri!”teriak Desi marah padaku. Aku tidak merasa nyogok ya tenang saja menimpali tuduhan Desi.
            “Elu sendiri kan yang bilang gak boleh sembarang nuduh orang, gue cuma silahturahmi , ngerti elu,”jelasku sambil ngeloyor pergi. Dalam hati sih, rasain pasti mentalnya sudah jatuh terlebih dahulu sebelum bertanding.

            Akhirnya pertandingan dimulai, panggung sudah terpasang semenjak kemarin dan para sponsor memajang spanduk mereka di sisi panggung. Meja juri ada di bagian sisi kiri panggung dan sisi kanan terdapat perangkat sound sistim. Pagi sekali aku sudah mempersiapkan segala sesuatu tapi aku melihat Desi pergi diam-diam sambil bolak-balik melirik ke kiri dan kanan. Wah, ini patut aku curigai, aku harus mengikutinya tapi gimana ini, bajuku ini gak memungkinkan aku bisa mengejar Desi. Kulihat Desi hampir tak kelihatan, segera aku angkat bajuku dan kukejar  Desi. Tampak Desi menghampiri ke tiga juri yang sudah bersiap di meja juri.  Dasar licik, awas lu Desi!!!! Kulihat Desi membagikan amplop pada ke tiga juri tersebut.
            “Lihat apaan elu ,Mir?” tanya babe Rozak. Aku menunjuk ke arah Desi . babe Rozak juga melihat kelakuan Desi yang menyogok juri.
            “Wah, ini kagak bener, kenapa elu gak bertindak Mir,” protes babe Rozak dan  babe hendak mendekati juri tapi aku tarik.
            “Jangan babe, ini sudah hari H –nya nanti kalau dipersoalkan malah jadi ribut, nanti kalau acara dibatalkan kasihan yang sudah mau tampil,” selaku sambil balik lagi ke rumah untuk memperbaiki baju dan make –upku.

            Satu persatu peserta audisi dipanggil termasuk si centil Mungkin karena merasa dirinya sudah bisa mempengaruhi para juri, si centil tampak percaya diri. Lagu terpesona keluar dari mulutnya, kututup telingaku, suara cemprengnya menyakitkan telingaku. Pendukungnya mulai bertepuk tangan , wah, suara jelek saja banyak pendukungnya padahal aku suka sekali dengan penampilan Maya dari RT sebelah, suaranya merdu tapi sedikit pendukungnya. Saat aku dipanggil , rasanya tubuhku gemetar semua, semua teori yang diberikan bu Dara , rasanya hilang semua dari kepalaku. Lagu Cinta Satu Malam terluncur dari mulutku, entah enak didengar atau tidak tapi aku melihat para juri yang tekun mendengarkan suaraku. Wajah mereka tidak tampak mengernyitkan dahinya tanda tak suka tapi kulihat kepalanya mulai bergoyang mengikuti irama lagu. Tanpa pikir panjang aku mulai berjoged dan mengajak babe Rozak untuk ke depan menemaniku berjoged. Penonton semua bersorak dan berteriak melihat babe Rozak berjoged dengan hotnya. Selesai sudah , aku turun dari panggung tampak Desi memperlihatkan kekesalannya.  Para juri bertepuk tangan sambil berdiri, aku terngaga sejenak dan kegembiraan muncul di benakku, mudah-mudahan aku bisa mengalahkan si centil!!!!

            Menunggu pengumuman sungguh tak mengenakan, ada perasaan berdebar dan satu lagi aku yang sebetulnya gak begitu suka persaingan gak sehat dengan si centil. Pak Samsidi sebagai ketua juri naik panggung untuk mengumumkan hasil penjurian yang digabung dengan suara dari penonton.
            “Babe-babe, nyak-nyak , anak-anak dan peserta sekalian , saya ketua panitia akan mengumumkan hasil dari audisi dangdut tahun ini,” semua menatap pak Samsidi tak sabar, siapa yang mendapatkan juaranya.
            “Maya,” aku sudah duga sebelumnya memang Maya pantas mendapatkan juaranya, sampai pemenang harapan tak ada nama si centil maupun namaku. Aku melihat si centil sudah mulai muram wajahnya dan menanyakan pendukungnya apakah benar mereka pilih dirinya???? 
            “Desi dan Mirna,” panggilan untuk maju ke panggung. Aku menatap heran semua juara sudah dipanggil tapi kenapa masih ada yang dipanggil lagi. Pak Samsidi mengulang kembali panggilannya. Aku dan Desi perlahan naik panggung. Pak Samsidi mengatakan pada setiap perlombaan persaingan itu pasti ada tapi lebih terhormat kalau persaingan dilakukan dengan cara yang benar bukan dengan menyuap atau menyogok juri. Aku menatap Desi yang menunduk karena merasa dia telah menyuap para juri dan pemberi suara buatnya, sedangkan aku tak menyogok tapi mengapa aku juga dipanggil???? Aku jadi berdebar-debar, apa aku juga akan mendapatkan malu hari ini, entahlah!!!!. Muka Desi tampak  memerah  saat penonton menyorakinya, aku merasa iba padanya dan kurangkul bahunya. Desi menatapku dan kembali menunduk.
            “Mirna, kamu juara favorit penonton,” jelas pak Samsidi, aku terpana sesaat dan sesudahnya aku meloncat kegirangan. “Hore!!!” aku berteriak histeris
            “ Makanya Des, kalau mau saingan dengan gue  elu jangan tulalit, pakai nih,” aku menunjuk jariku ke dahiku. Desi hanya tersenyum kecut dan kurangkul bahunya untuk menghibur hatinya.
            “Betul, saingan kok tulalit sih,” para juri kompak berseru, saingan tuh yang terhormat!”
            “Aku janji akan bersaing sehat lain kali, gak mau tulalit lagi,” sela Desi menyalami para juri yang akhirnya mengembalikan uang pemberian Desi. Patut diacungi jempol untuk para juri yang anti suap walau hanya dalam lingkungan kampung kecil!!!!