0 Cewek Tomboy

Senin, 24 September 2018


Gambar dari sini 
 

Rasanya aku seperti terlahir kembali menjadi orang baru setelah banyak peristiwa yang membuatku sadar bahwa apa yang kulakukan selama ini adalah salah. Mama begitu bangga melihatku bisa mengalami perubahan yang membuat mama menangis terharu. Mama sangat berterimakasih padaku atas banyak pengertian selama ini yang membuatku merasa tidak pernah diperhatikan. Saat ini aku hanya bisa tersenyum , bahwa apa yang kulakukan sekarang ikhlas  untuk mbak Arum.

            Aku identik dengan bandel, bawel , tukang bikin onar dan entah apa lagi sebutan untukku , baik oleh teman-temanku, guruku bahkan oleh mamaku sendiri.Aku lebih suka bermain dengan cowok dibanding cewek, menurutku cewek  itu cengeng , cuma bisanya kecentilan apa lagi kalau ada cowok cakep, mulai deh lebay cari perhatian. Dan sudah berapa kali mama dipanggil sekolah karena kenakalanku .
            “Rani, mama gak tahu lagi harus bagaimana dengan kelakuanmu, tidak...,” kata mama
            “Tidak seperti mbak Arum kan, begitu kan mama mau ngomong, selalu saja mbak Arum , mbak Arum lagi, pokoknya Rani sebel!!!!” teriak Rani sambil membanting pintu kamarnya. Kenapa mama selalu memperhatikan mbak Arum tapi aku tidak, aku sering berpikir kalau aku ini anak pungut. Pernah aku mengendap-endap ke kamar mama dan mencari di lemarinya berkas –berkas surat , kali-kali ada surat adopsiku, tapi belum kutemukan , tapi aku masih percaya kalau aku anak pungut..

            Akhir pekan ini mama harus meninggalkan aku dan mbak Arun di rumah sendiri karena mama dan papa harus menghadiri acara pernikahan anak om Pardi di luar kota. .Hari itu aku belatih band dengan sahabat-sahabatku di studio 101, dan karena keasikan berlatih main band, aku tak melihat jam tanganku , kalau malam sudah larut. Saat kulihat jam tanganku , aku terkejut karena sudah jam 10 malam.
            “Sudah dulu Rud latihannya, antarkan aku pulang dong,” kataku.
            “Katanya orangtuamu gak ada di rumah, kamu kan bisa bebas,’ kata Rudi.
            ‘Iya, tapi kan ada mbak Arum , pasti dia bakal lapor sama mama,” kataku.
Akhirnya Rudi mengantarku pulang saat malam sudah menjemput.  Lampu ruang tamu sudah dipadamkan , berarti mbak Arum sudah tidur, tapi bagaimana aku bisa masuk rumah . Perlahan aku membuka pintu , ternyata pintu belum dikunci, lega rasanya. Kututup perlahan-lahan, tapi kulihat mbak Arum duduk di ruang tengah sambil tekantuk-kantuk.Waktu aku mau membuka pintu kamarku, mbak Arum terbangun dan melihatku.
            “Ran, kamu kemana saja , mbak kan bingung dan mbak capai menunggumu pulang,” tegurnya. Aku mendelik padanya tidak suka
            “Mau lapor ama mama, silahkan lapor saja , dasar tukang ngadu,” bentakku. Tapi , sesaat kemudian aku melihat mbak Arum sesak nafas dan menggap-menggap.
            “Mbak, mbak , kenapa.....mbak,’ teriakku. Sesaat kemudian mbak Arum pingsan. Cepat kubawa mbak Arum ke rumah sakit . Aku telepon mama ,mengabarkan kalau mbak Arum masuk rumah sakit.

            Sungguh aku merasa bersalah, ternyata aku baru tahu kalau mbak Arum punya kelainan jantung,jadi mbak Arum tidak boleh capai dan terlalu kaget. Kini kusadar , mengapa mama lebih memperhatikan mbak Arum daripadaku. Aku  mulai merubah sikapku untuk menjadi pribadi yang lebih asih dan baik, mungkin kecemburuanku pada mbak Arum yang menyebakan aku bertingkah laku nakal.

0 Pesona Telaga

Senin, 17 September 2018





Luruh bersama pagi ini ketika alam menyapa
Indah
Danau nan biru dari kejauhan
Tampak bening dengan semburat matahari pagi
Pohon nan hijau mengelilinginya
Gunung dan bukit berada di sekelilingmu
Ruang sepi di antara udara yang kuhisap
Segar
Tak ada rasa yang begitu indah
Saat alam begitu menyapa hati dengan keindahannya
Dipertemukan di sini
Dengan keelokan yang tiada tara
Hanya aku dan alam
Memeluk erat alam penuh sukacita
Dalam dekapan indahnya
Meredakan kegalauan hati
Hanya ada alam dan aku
Indah
Sepi
Pesonamu merenggut hatiku
Sampai habis tak bersisa

Cirebon, 18 September 2018
Telaga Wahyu, Magetan



0 Amplop Uang

Senin, 10 September 2018

Gambar dari sini


             Rasa lelah sudah menyambangiku tapi bunda belum mau berhenti, padahal terik matahari begitu kuat dan kerongkonganku sudah kering. Kulihat bunda masih saja berjalan dan aku terseok –seok mengikutinya. Belum ilalang mulai menggigit kulitku dan terasa perih .
            “Bunda masih lama, kok gak sampai-sampai?” aku mulai mengeluh. Bunda diam saja tetap menarik tanganku lebih kuat lagi sedangkan aku sudah tak bisa mengimbangi langkah bunda.
            “Jangan cepat-cepat, bunda .”
            “Dengar Anggi, bunda gak mau dengar kamu dari tadi ngeluh saja, baru segitu saja kamu sudah cengeng,” tampak bunda kesal. Aku mulai merajuk, tapi bunda tak mempedulikan aku. Sampailah di rumah bilik yang terlihat kusam , aku bingung mau apa , bunda datang ke rumah itu , sudah tidak bisa memakai kendaraan , jauh lagi. Seorang gadis seusiaku keluar dari rumah bilik itu dan memcium tangan bunda.
            “Tikah, ini anak ibu, Anggi,” kata bunda sambil menyuruhku untuk memberi salam padanya. Dengan segan aku menyalaminya , tampak senyumnya  manis dengan gigi gingsulnya di sebelah kiri.

            Bunda menceritakan kalau Tikah adalah cucu dari pengasuh bunda waktu kecil. Bunda selalu menganggap Tikah anaknya juga dan semua biaya sekolah Tikah ditanggung bunda .  Aku mulai tertarik dengan keramahan Tikah dan aku diajak melihat pemandangan di desa yang tak ada di kota. Aku takjub melihat sawah yang membentang luas dengan ladang-ladang milik penduduk yang tampak menghijau. Aku mendengarkan cerita Tikah bagaimana dia harus ke sekolah pagi buta dan menempuh perjalanan selama satu jam untuk sampai di sekolahnya.
            “Benar , kamu harus jalan kaki selama satu jam , berarti dua jam pulang pergi,” tak kusangka betapa sulitnya Tikah saat hendak pergi ke sekolah, beda denganku yang tinggal naik mobil saja.  
            “Iyalah, belum kalau musim hujan , jalan tanah sangat licin, jadi harus ekstra hati-hati,” kata Tikah. Dan pulang sekolah Tikah masih harus membantu bapaknya di kebun jagung.
            “Apa kamu gak capai ,” aku bingung dengan rutinitas Tikah yang menurutku tak biasa.

Malam itu , aku dan bunda menginap di rumah bilik Tikah, sebetulnya aku segan tapi karena untuk kembali ke mobil perlu jalan lagi yang cukup jauh sedangkan hari sudah menjelang sore, untungnya bunda membawa pakaian ganti.
            “Bunda , gimana aku bisa tidur di dipan yang gak ada kasurnya,” kataku mulai merajuk lagi.
            “Sudahlah kamu gak usah merajuk, tapi lihat dan syukuri bahwa hidupmu lebih baik dan rasakan kalau tidak semua orang beruntung sepertimu.” “kamu harus mulai belajar bahwa banyak anak di luar sana yang tidak beruntung dan mereka harus berjuang untuk bisa sekolah dengan segala keterbatasan.” Aku hanya diam saja dan mencoba tidur di dipan yang terasa keras di tubuhku. Malam itu bunda banyak bercerita kalau bunda selau menyisihkan uang untuk memberi beasiswa  anak-anak yang tidak beruntung agar mereka bisa bersekolah, walau jumlahnya tidak banyak .

            Sinar mentari masuk lewat sela-sela bilik dan menyadarkan aku dari tidurku, walau tadinya aku mengeluh ternyata aku bisa tidur juga walau punggungku sekarang terasa sakit. Kulihat bunda sudah tidak ada di sampingku, aku keluar dan  tak ada siapa-siapa. Aku mencari-cari bunda  dari depan pintu.
            “Anggi,” teriak Tikah. Kulihat  Tikah di kebunnya, kuhampiri Tikah , ternyata bunda juga ada di sana.  Tikah dan ibunya sibuk mencabut singkong untuk sarapan pagi ini. Bunda menyuruhku membantu Tikah.  Tikah sangat cekatan mengupas dan membersihkan singkongnya , tidak seperti aku . Pagi itu sarapan dengan singkong goreng dan secangkir teh hangat di kebun , rasanya berbeda  saat aku sarapan di rumah. Tak tearsa hari sudah siang, aku dan bunda berpamitan untuk pulang kembali.
            “Sering-sering kemari ya Anggi, kan kamu belum lihat aliran sungai di sini, kita bisa menangkap ikan,” kata Tikah.
            “Nanti kalau libur ya, tapi itu juga kalau ada ijin dari bunda.” Aku melirik bunda.
            “Boleh dong, asal jangan mengeluh kalau jalannya jauh.”  “ Gak akan!!!!” teriakku.
Pengalaman pergi ke desanya Tikah itu sangat membekas, selama ini aku terlena dengan apa yang kumiliki tanpa menyadari kalau di luar sana masih banyak orang yang kekurangan dan tidak bisa bersekolah. Aku berterimakasih pada bunda yang mengajarkan aku bukan dengan kata-kata saja tapi contoh yang konkrit.

           
            Kini aku sudah bekerja dan dapat mencari penghasilan sendiri , dan aku selalu menyisihkan uang yang kutaruh di amplop-amplop untuk beasiswa bagi anak-anak yang kurang beruntung. Setiap bulan aku mengunjungi mereka di desa terpencil memberikan beasiswa dalam amplop-amplop berisi uang. Itulah yang membuat hatiku bahagia ketika melihat wajah ceria anak-anak saat mereka menerima amplop dariku.
            “Bunda, jangan cepat-cepat jalannya, aku sudah capai,” teriak Dinda anakku. Aku hanya tersenyum, terbayang dulu aku juga mengeluh dan berteriak seperti yang dilakukan Dinda, tapi aku mau mendidik Dinda agar kelak Dinda juga mau menyisihkan sebagian penghasilannya untuk beasiswa anak-anak yang kurang beruntung. Langkahku pasti walau kumasih mendengar gerutuan Dinda di belakangku. Aku tersenyum membayangkan hal yang  sama dulu sekali!