4 Di Sini Di Telaga Warna

Senin, 25 Februari 2019


Di sini di kesunyian ini, aku berdiri
Memandang alam nan indah
Mengubah dunia serasa lebih indah
Hanya ada di telaga warna

Hijaunya dedaunan mengelilingi telaga
Bak cincin yang indah
Hanya ada aku dan kesunyian
Yang semakin memberikan rasa damai

Sang mentari mulai masuk di sela-sela daun
Memantulkan sinar diair telaga
Warnanya begitu indah seperti intan yang berkilauan
Begitu indah

Di sini aku mengagumi dirimu
Dengan kesunyianmu kau tetaplah indah
Tetap memancarkan aura positif saat memandangmu
Hanya ada aku yang memandang hijaunya telaga

Cirebon, 25 Februari 2019
Saat memandang telaga warna

6 Dea

Senin, 18 Februari 2019


Gambar dari sini 
 

Pagi ini seperti biasa aku ada di depan pintu kelas menugggu anak-anak datang. Sudah hampir lima tahun aku mengajar di TK Pertiwi. Entah mengapa aku begitu suka melihat keceriaan anak-anak  
            “Pagi bunda,”sapa Sasha. Aku tersenyum dan menyambut tangannya yang sudah dicium olehnya. Satu persatu anak-anak berdatangan. Aku menjulurkan kepalaku ke halaman depan, belum tampak Dea. Dia selalu datang telat atau mepet waktu bel masuk. Dea itu terlalu pediam dan ada kecemasan yang selalu dia perlihatakan. Beberapa kali aku melihat ada memar di tubuhnya tapi Dea selau bilang kalau dia terjatuh di rumahnya. Aku melihat Dea berlari ke arah kelas dan tampak dari kejauhan mamanya melihat ke arah Dea.
            “Pagi bunda,”suaranya terengah-engah.
            “Pagi Dea,”sapaku. Aku memegang tubuh Dea dan melihat ada memar biru di lehernya.
            “Ini kenapa Dea.” Aku memegang memar itu dan Dea menjerit kesakitan. Aku segera membawa Dea ke ruang UKS. Aku mulai mengompres memar Dea dengan air dingin. Dea meringgis kesakitan.
            “Ini terjatuh lagi?” tanyaku sangsi. Dea mengangguk ragu dan tampak manik matanya terlihat cemas sekali . Aku peluk dirinya erat-erat, aku tahu ada yang dia sembunyikan . Terdengar suara isakan kecil darinya.  Aku menambah pelukan erat untuk menenangkannya. Ah, sekecil ini dia harus menerima beban seberat inikah??? Ada perasaan nyeri di hatiku. Aku harus cari tahu, apa yang terjadi pada Dea.

            Sampai suatu hari saat aku mengajak anak-anak untuk kerja bakti membereskan kelas. Aku membagi anak-anak tugas yang berbeda. Ada yang mengelap kaca, mengelap meja, menyapu dan membersihkan papan tulis. Waktu itu aku mengambil beberapa buah sapu dari ruang peralatan di gudang. Waktu masuk kelas dan aku mengangkat sapu dan akan menyerahkan pada Dea, aku begitu terkejut dengan reaksi yang diperlihatkan Dea. Dea begitu ketakutan dengan sapu dan menjerit begitu keras.
            “Ampun mama, ampun mama , Dea gak mau dipukul,”teriaknya. Aku terperangah sekejap dan secepat kilat aku turunkan sapu dan membawa Dea keluar dan aku peluk erat. Dari bibir mungilnya dia menceritakan kalau dia sering dipukul mamanya dengan sapu. Ah , begitu ceritanya. Pantas saja dia begitu takut melihat sapu yang diangkat ke atas olehku, dikiranya aku hendak memukulnya. Aku peluk erat tubuh mungilnya, tak terasa titik-titik airmataku turun perlahan. Ah, Dea ingin aku melindungi dirimu.  

            Aku mengantarkan Dea pulang dan memberitahu ibunya apa yang Dea alami di sekolah. Aku melihat mamanya. Tampak banyak beban yang harus dia hadapi sendirian dan ada beban yang tak bisa dia tanggung sendiri. Ah, mamanya terlalu menderita sehingga dia mampu berbuat kejam pada diri Dea. Tanpa disuruh mamanya menceritakan semua tentang Dea.
            “Kasihan Dea, bu. Dia butuh kasih sayang. Jangan sakiti dia, dia tak tahu apa-apa, dia tak berdosa. Kalau ibu membenci ayahnya, jangan biarkan Dea menderita. Dia harta ibu yang paling berharga,”tukasku.  Mamanya tercenung sejenak ada bulir-bulir air matanya yang turun. Aku berpamitan pulang. Ada sedikit keraguan untuk meninggalkan Dea. Aku takut Dea mengalami kekerasan lagi. Kembali aku peluk erat-erat tubuhnya.
            “Kamu baik-baik saja ya. Kalau ada apa-apa ke bunda saja ya,”tukasku. Aku pulang sambil membawa sejuta harapan agar Dea diperlakukan dengan kasih sayang. Aku membalikan tubuhku. Kulambaikan tangan padanya......

2 Bocah Cilik Ceria Bermain Air

Senin, 11 Februari 2019

Gambar dari sini

Jika kau rindu masa kanak-kanakmu
Lihatlah bocah-bocah ini
Bemain air di sungai
Memmercikan air sehingga suara gemericik air bertambah
Serasa ada nyanyian alam di keheningan

Pancaraan tawa yang tulus ada di wajahnya.
Ceria saat air mulai menerpa tubuh mereka
Menggambarkan hati yang ria
Dan tak ada beban yang mereka tanggung
Semua terlepas dengan tawa mereka

Pernahkan di benak mereka hal yang rumit?
Semua jadi sederhaana saat keriangan muncul dari hati
Meraba dan mulai menatap hati
Dalam jungjungan memandukan  banyak hal
Yang akan merespon dalam sanubari anak-anak yang ceria ini

Cirebon, 12 Februari 2019

0 Jenglot Antik

Senin, 04 Februari 2019


Gambar dari sini

Kampung Bekok digemparkan dengan penemuan jenglot. Mang Pardi menemukan jenglot di sawah miliknya. Waktu mang Pardi mencangkul sawah , dia mendapatkan sesuatu yang keras mengenai cangkulnya, saat dilihat ada bentukan mirip orang kecil. Waktu mang Pardi menunjukkan penemuannya pada warga, semua warga  mengatakan kalau itu jenglot. Semua heboh bahkan statsiun televisipun ada yang menayangkan penemuan mang Pardi. Seketika mang Pardi jadi selebritis dadakan. Rumahnya banyak dikunjungi warga setempat bahkan dari luar desa. Hampir setiap hari banyak orang yang berkunjung ke rumah mang Pardi hanya mau melihat jenglot antik. Entah usulan siapa, jadilah di halaman rumah mang Pardi disiapkan kotak sumbangan, bagi yang hendak melihat jenglot dipungut iuran .  Katanya jenglotnya berbentuk orang yang kerdil sebesar jari telunjuk, dengan mata melotot dan rambut panjang, warnanya kehitaman.

            “Ardy, sudah lihat jenglotnya mang Pardi,” tegur Sapar waktu  Ardy sedang membawakan makanan buat abah di sawah. Ardy menggelengkan kepalanya. Sebetulnya Ardy penasaran ingin melihat jenglot tersebut, menurut orang jenglot itu akan memberikan keberkahan bagi yang memilikinya, jadi seperti jimat.
            “Kamu gak penasaran sama jenglotnya mang Pardi, Ar. Kalau aku sih mau sekali punya jenglot,katanya bakal memberi berkah buat kita,” tukas Sapar lagi.
            “Hati-hati kalau ngomong Sap, menurut abah mah itu teh syirik. Minta teh  sama Allah saja,”tegur Ardy.
            “Halah, maneh1 teh , apa-apa abah. Denger ya Ardy, aku sama Dedi mau lihat jenglotnya, kamu mau ikut gak?” tanya Sapar. Ardy tampak ragu, takut dimarahi abah, karena abah sudah wanti-wanti tak perlu melihat jenglot bukan tontonan yang baik.
            “Udah ulah sieun2 ku abah. Mending ikut aku dan Didi saja, percaya ,aku gak akan memberitahu apa-apa pada abah,” janji Sapar. Ardy akhirnya mengangguk setuju, dia bergegas memberikan rantangnya ke abah yang masih menyangkul sawahnya.
            “Mau kemana Ardy, makan sama abah dulu atuh,” teriak abah, tapi Ardy tetap berlari , dia harus segera menemui Sapar dan Didi di dekat pos kamling. Ternyata Sapar dan Didi sudah menunggunya, bertiga mereka ke rumah mang Pardi untuk melihat jenglotnya. Akhirnya mereka bertiga melihat sendiri bentuk dari jenglot.

            Tiba-tiba Sapar mengusulkan  pada Ardy kalau mau mencuri jenglot itu dari rumah mang Pardi. Ardy terkejut melihat Sapar yang mau mencuri jenglot.
            “Ulah3 atuh, bisi4 ketahuan.Lalu jenglotnya buat apa?” tanya Ardy.
            “Ya, buat cari berkah Ar, coba lihat abahku sudah bekerja keras , hidupnya masih begitu saja. Aku ingin seperti yang di televisi itu. Pakaiannya , rumahnya bagus dan punya kendaraan,” tukas Sapar tanpa malu-malau lagi mengutarakan niatnya.
            “Tapi eta teh syirik Sapar,” tegur Ardy gak mau kalah.
            “Syirik, itu mah urusan nanti, yang penting jenglotnya harus ada  ditanganku.  Nanti kalau aku sudah banyak dapat berkah, aku gak akan pelit kok, kamu bakal aku beri juga Ar.” Ardy melihat tekad kuat dari Sapar, tapi dia masih takut dengan abahnya, abahnya tidak akan ragu-ragu menamparnya kalau Ardy samapi berbuat diluar aturan abah. Tapi bujukan Sapar begitu menggoda Ardy, apalagi kehidupan yang tampak enak di televisi membuatnya tergiur.  Ah, yang penting abah tidak tahu, pasti aman, pikir Ardy. Jadi malam itu bertiga, Ardy, Sapar dan Didi malam-malam mendatangi rumah mang Pardi. Ardy diam-diam meloncat dari jendela kamarnya. Rumah mang Pardi sudah gelap, tanda bahwa penghuninya sudah tidur semua.  Sapar yang masuk dari jendela  dapur, karena tubuh Sapar yang paling kecil diantara mereka bertiga. Ardy dan Didi menunggu dengan perasaan berdebar.
            “Sut,sut, diam, aku sudah dapat,” Sapar berbicara pelahan dan mereka bertiga mengendap-ngendap keluar dari rumah mang Pardi. Esoknya warga gempar karena jenglot mang Pardi telah hilang.

            Mereka bertiga sedang duduk di bawah pohon beringin di tepi desa Bekok, mereka sedang memandang jenglot hasil curian semalam. Ardy melihat jenglotnya sangat mengerikan, dan Ardy masih bingunng , mengapa jenglot ini bisa memberikan berkah , padahal bentuknya saja sudah mengerikan begini.
            “Menurut orang, jenglot itu ada ruh halusnya yang bisa buat orang jadi kaya, gitu katanya,”ujar Sapar sambil masih melihat jenglotnya.
            “Nanti kalau kita  sudah kaya, kan enak tuh, abah kita gak perlu kerja lagi,” tukas Sapar dengan penuh percaya diri. Jenglotnya disimpan rapi di lemari Sapar. Hari demi hari , bulan demi bulan ternyata tidak ada perubahan pada hidup Sapar , Ardy dan Didi. Sapar sudah mulai gelisah, apa memang benar jenglot bisa memberikan kekayaan, tapi kenyataannya sampai kini hidupnya masih sama seperti dulu.
            “Sapar, kumaha5 ieu teh, kita teh gak kaya-kaya,”tegur Ardy yang sudah mulai meragukan kemanjuran jenglotnya Sapar.
            “Sabar atuh., segala sesuatu itu harus sabar, nanti juga akan terjadi,” Sapar menjawabnya masih  dengan keyakinan yang begitu kuat padahal Ardy dan Didi sudah mulai ragu-ragu akan kekuatan dari jenglot, jangan-jangan itu hanya menyerupai jenglot saja, bukan jenglot yang asli. Akhirnya mereka bertiga membawa jenglotnya ke dukun di desa sebelah.
            “Mbah dukun, ini mau tanya jenglotnya ini asli atau palsu?” tanya  Sapar takut-takut saat mbah dukun menatapnya tajam.  Ruangan mbah dukun gelap dan pengap, hanya bau kemenyan yang begitu kuat, Ardy sudah tak tahan lagi di dalam ruangan ini dan berniat keluar. Tapi tangannya ditarik Sapar untuk duduk kembali. Mbah dukun melihat jenglotnya berkali-kali sambil diputar-putarnya jenglotnya .
            “Ini palsu, ini bukan jenglot, ini hanya bekuan tanah yang menyerupai jenglot, “tukas mbah dukun cepat. Sapar tampak pucat dan lemas, harapannya untuk menjadi kaya pupus sudah. Ardy menggeretnya pulang , walau dalam hatinya juga kecewa tapi tidak sekecewa Sapar, karena  Sapar begitu berharap penuh pada jenglotnya. Semua pupus  harapan untuk menjadi orang kaya.

            Terakhir terdengar kabar kalau mbah dukun di desa sebelah sekarang menjadi kaya raya, menurut  kabar berkat jenglot yang dimilkinya. Menurut kabar juga kalau mbah dukun itu tidak sengaja mendapatkan jenglotnya dari beberapa anak yang datang menyerahkan jenglot padanya. Kabar itu begitu cepat tersebar seantreo desa Bekok dan sampai juga ke telinga Sapar, Ardy dan Didi. Mereka terpaku dan tak menyangka kalau jenglot yang mereka berikan pada mbah dukun malah membuat mbah dukun kaya raya, sedangkan mereka bertiga sekalipun tak pernah kecipratan rejeki yang dibawa oleh jenglot, padahal sudah berbulan-bulan disimpan oleh Sapar. Sekarang , mbah dukun yang baru memiliki jenglot dalam hitungan satu bulan saja sudah menampakan hasilnya. Sapar begitu kecewa.
            “Sudah Sapar, artinya bukan rejeki kita,” tukas Didi.
            “Apa gak aneh ya, mengapa waktu aku pegang kok jenglotnya gak mempan, tapi sama mbah dukun malah berhasil, “ Sapar dengan marahnya mengungkapkan isi hatinya di dekat watung mang Teja. Beberapa warga mendengar omongan Sapar yang tiba-tiba sedikit keras.
            “Oh, jadi maneh teh yang nyuri jenglotnya mang Pardi?” tanya mang Karta. Sapar berubah pucat wajahnya  dan hanya terdiam saja. Sudah tidak dapat lagi berkutik dan Ardy juga memucat wajahnya karena dia tahu abah bakal marah padanya.
            “Makanya jenglotnya gak mempan, habis jenglotnya dapat nyuri sih,”ejek mang Teja padanya.
            “Nih,anak-anak, jangan pernah percaya sama jengglot, percaya teh sama Allah, yang bakal memberikan lebih dari yang kita minta. Lagipula gimana jenglotnya mau mengabulkan kalian, dapatnya saja dari mencuri,” tegur mang Karta. Mereka bertiga terdiam lama dan dengan kepala menunduk malu beranjak dari warung mang Teja. Ardy berjalan sambil menyesali perbuatanya dan dari kejauhan terdengar tawa dari warung mang Teja, mereka sedang mentertawakan kemalangan mereka bertiga. Mereka bertiga berjalan sambil menundukan kepalanya, ada rasa malu dan jijik pada diri mereka sendiri, ya kok mau di akal-akalin sama jenglot!!!!!!!!!

Keterangan:
1 maneh = kamu
2 sieun = takut
3 ulah = jangan
4 bisa = nanti
5 kumaha = bagaimana