2 Di Balik Lukisan Wanita

Senin, 27 Mei 2019


Gambar dari sini 
 

Menjelang sore saat langit terlihat menjingga kami sampai di rumah neneknya Gilang, kebetulan aku dan teman-teman diajak berlibur ke desa neneknya di daerah Garut. Kaki sudah terasa pegal karena semenjak turun dari angkot, kami masih harus berjalan kaki, karena tak ada kendaraan lagi masuk ke desa Mekarsari, hanya jalan setapak.
            “Gil, dah dekat belum?” Silvia menanyakan pada Gilang sambil mengusap peluhnya, aku menoleh pada Gilang menunggu jawabannya. Gilang hanya tersenyum saja. Aku juga sudah mulai lelah dan perutku sudah bernyanyi semenjak tadi karena siang tadi hanya semangkok baso yang masuk ke dalam perutku. Sedikit terhibur dengan pemandangan alam yang hijau yang masih banyak sawah , ladang dan dari kejauhan tampak gunung Guntur yang berdiri gagah dengan awan yang mulai menutupi puncaknya . Warna langit semakin menggelap tapi perjalanan belum sampai titik akhir.
            “Gil , kapan nyampenya ?” aku mulai mengeluh karena aku tak biasa berjalan kaki dengan jarak sejauh ini, sehingga mulai terasa pegal di kakiku.
            “Tenang sebentar lagi, sabar, kalau kalian mengeluh terus akan terasa lama ,” Gilang menyahuti keluh kesah kami semua. Akhirnya kami semua tutup mulut karena percuma mengeluhpun tak membuat kami sampai dengan cepat. Gilang menunjuk rumah besar di tepi bukit ,kalau itu rumah neneknya. Rumah besar itu tampak menghitam dalam kegelapan hanya sinar-sinar kecil yang berasal dari lampu rumah yang berkerlap-kerlip, aku mulai melangkahkan kakiku besar-besa agar cepat tiba di sana.
            “Hati-hati Nancy, hari sudah gelap , nanti kamu kesandung,” Gilang mulai menasehati, benar saja tak lama kemudian aku terjerembab. Gilang membangunanku dan mulai menuntunku jalan. Untung Sapto membawa senter sehigga kami dapat melihat jalan walau remang-remang. Akhirnya rumah besar ini sudah tampak di depan mata kami, ada kelegaan tersendiri di hati ini. Saat pintu terbuka tampak sosok perempuan tua tinggi besar dengan sorot mata yang ramah.
            “Yuk, masuk pasti kalian sudah lelah ya, oma sudah buatkan makanan buat kalian makan,” ajaknya. Aku sudah menelan air liurku saat mendengar kata makan, yang pasti yang lainpun pasti sudah kelaparan.  Malam itu aku tertidur pulas sekali dan saat terbangun sinar matahari sudah masuk ke dalam kamarku yang kutempati bersama Sylvia. Aku bangun dengan sedikit merenggangkan badanku dan terdengar suara kretek di pinggangku, tapi rasa pegal masih terasa di seluruh tubuhku. Aku mulai menyibakan gorden jendela dan kulihat Sylvia juga mulai terbangun.

            Saat sarapan aku melihat di sana ada lukisan besar seorang wanita indo , cantik seperti keturunan ningrat. Waktu kutanyakan, oma bilang itu foto ibunya, pantas saja kecantikan wajah di lukisan itu turun pada wajah oma, masih terlihat tanda-tanda kecantikan wajahnya. Semua melihat foto wanita itu yang menurut oma bernama Sarah turunan  Belanda. Aku terkesima saat aku melihat wanita itu mengedipkan matanya padaku , aku berulang kali mengucek mataku takut kalau aku hanya melihat halusinasi, tapi wanita itu sekarang terlihat mengedipkan matanya lagi.
            “Syl, kamu lihat gak lukisan wanita itu bergerak,” aku melihat Sylvia menggelengkan kepala sambil menatapku heran. Begitu juga dengan yang lain , mereka tak melihat ada gerakan pada lukisan itu.
            “Mungkin kamu kurang tidur malam hari kemarin,” Gilang menghiburku, tapi saat ada panggilan makan dari omanya Gilang, aku kembali menatap lukisan itu, benar saja mata itu mengedip padaku. Astaga, apa penglihatanku benar adanya????. Malam itu , aku kembali terlelap karena sepanjang siang mengelilingi desa melihat aktivitas penduduk dengan alamnya. Aku mulai mengantuk dan terlelap dalam tidurku yang lelap. Entah mengapa aku seperti disuruh untuk datang ke ruang tengah, di sana aku memperhatikan wajah wanita itu yang menurut Gilang bernama Sarah. Tiba-tiba Sarah berbicara padaku dengan logat ke belanda-belandaan. Aku terkejut, apa yang kulihat apa benar adanya , masa ada lukisan bisa bicara????.
            “Tolong aku, aku percaya kamu bisa menolongku!” jelasnya sambil menatap mataku, aku melihat ada kesedihan yang mendalam dalam bola matanya.
            “Pergilah kamu ke belakang bukit , dan temukan ada sebuah pohon yang kuberi tanda silang dan di bawah pohon itu kusimpan tulisanku untuk seseorang yang kucintai,” tukasnya .
            “Aku percaya kamu akan membantuku,” sahutnya lagi sambil memperinci jalan menuju ke belakang bukit. Entah mengapa , aku dikagetkan oleh tangan Sylvia yang menyentakku. Aku heran, mengapa aku masih ada di kamar tidur , padahal jelas aku baru saja berbicara dengan Sarah.
            “Minumlah dulu Nan, kamu tadi teriak-teriak, mungkin kamu mimpi gak enak malam ini,” Sylvia menyodorkan air putih padaku, tapi sungguh jelas terlihat Sarah berbicara padaku , padahal itu hanya sebuah mimpi. Sampai pagipun aku tak mampu memejamkan mataku.

            Pagi itu saat sarapan, aku melihat lagi Sarah mengedipkan matanya padaku, aku memandang teman-teman yang lain, sepertinya mereka tak melihat Sarah yang bisa bergerak. Aku menceritakan mimpiku , tapi semua hanya mengatakan bunganya tidur.
            “Mungkin kamu masih terobsesi kemarin kalau kamu melihat matanya mengedip,” ujar Didi. Aku mulai marah, mengapa mereka tidak percaya denganku, padahal jelas aku melihat Sarah memberiku tanda dan kemarin malam  Sarah menyuruhku ke balik bukit, tapi aku tidak merasa seperti mimpi.
            “Kamu mimpi Nancy, aku melihatmu menjerit-jerit,” ejek Sylvia. Aku hanya bisa pasrah saja , toh aku tak bisa memaksakan mereka untuk percaya. Hatiku semakin gundah , saat sudah hampir tiga hari aku selalu bertemu dengan Sarah dan Sarah memintaku untuk pergi ke balik bukit. Sylvia tetap mengatakan kalau aku hanya mimpi dan untuk diabaikan saja. Aku melihat  bayang-bayang wajah Sarah  selalu mengikuti kemana aku pergi, sungguh membuatku tak bisa bernafas lega.
            “Nan, dari kemarin aku lihat kamu seperti orang bingung?” tanya Gilang yang menghampiriku bersama Sapto.
            “Aku gak mengerti Gil, ibunya oma selalu menyuruhku untuk pergi ke balik bukit, aku disuruh mencari buku yang ditanamnya di bawah pohon yang dia beri tanda di batangnya,” ujarku . Gilang dan Sapto masih terdiam.
            “Lang, kamu juga gak percaya denganku, aku ingin sekali ke balik bukit seperti yang diinginkan Sarah.” Aku mengatakan dengan mantap tapi sebenarnya aku juga merasa ngeri ke sana. Kalau satupun tidak ada yang percaya, apa boleh buat aku akan mencari tahu sendiri.
            “Aku ikut denganmu.”
            “Benar? , trims ya,” tulus aku mengucapkan terimakasihku untuknya. Sapto akhirnya bersedia ikut denganku.

            Keinginanku untuk pergi ke balik bukit membuat teman-temanku yang lain tak setuju, mereka bilang terlalu bahaya, apalagi orang jarang pergi ke balik bukit ini.
            “Tempat di sana seram neng, lebih baik urungkan niat kalian ke sana, “jelas mbok Parti pembantu oma.
            “Dengar itu Nan, lebih baik gak usah, mungkin itu hanya halusinasi kamu saja,” Sylvia mulai membujukku untuk tak datang ke sana. Aku bukan tipe orang yang mudah ditakut-takuti, jadi tak mengapa , yang pasti Gilang akan menemaniku. Esok pagi , aku, Sapto dan Gilang bergegas  mendaki bukit untuk menuju bagian belakang bukit. Menuju ke sana , melewati belakang rumah oma, di sana tampak dua makam Sarah dan suaminya. Aku mulai terganggu karena ilalang yang tinggi dan sering melukai tangan dan kakiku. Hampir sejam aku menaiki bukit , nafasku sudah mulai habis.
            “Apa benar jalannya kemari Nan?” tanya Sapto sambil mengamati sekelilingnya, karena sama sekali tidak ada jalan setapak sehingga kami harus memotong sendiri ilalang yang menutupi jalan kami.
            “Aku rasa benar, persis seperti Sarah ceritakan padaku.” Aku juga mulai mengamati setelah mencapai puncak bukit.
            “Nah, ini pohon beringin ini tanda kalau sudah sampai puncak, menurut Sarah,” aku mulai mengelilingi pohon beringin dan aku hampir yakin kalau sebentar lagi akan tiba pada pohon yang bertanda silang. Tak lama kemudian aku mendengar teriakan Gilang.
            “Nancy, sini lihat pohon dengan tanda silang!’ teriaknya yang membuatku bergegas menuju arah suara. Aku menyuruh Sapto dan Gilang untuk menggali tanah di bawah pohon yang ada tanda silangnya. Sementara mereka menggali, aku melihat-lihat sekelilingku sampai aku dikagetkan karena di hadapanku sudah berdiri Sarah. Tubuhku terasa gemetar dan aku mulai ketakutan.
            “Tolong, baca buku diaryku dan kabulkan permohonanku, agar aku bisa tenang di sana,” jelasnya. Belum sempat aku menjawabnya , kudengar Gilang menyuruhku, melihat apa yang diketemukan di bawah pohon. “Buku Diary” Astaga, jadi ini benar adanya, bukan bualan semata!!!! Aku merebut buku diary dan mulai membacanya dan aku mulai terhanyut dan air mataku turun satu persatu membasahi pipiku. Aku menyodorkan buku diary itu pada Gilang .

            Semua terbongkar rahasia cinta Sarah dengan pemuda lokal, sebelum Sarah dipaksa menikah dengan ayanhnya Sarah. Cinta Sarah tak pernah berubah pada pemuda yang bernama Joko walau Sarah sudah menikah dengan pilihan orang tuanya. Cinta sejatinya dibawa mati.
            “Oma, kalau Joko itu siapa dan dimana tinggalnya?” tanay Gilang yang mulai penasaran.
            ‘Joko ,seorang  petani , dia menikahi perempuan desa ini juga  , anaknya tinggal satu yang ada di desa ini, yang lain merantau ke kota,” cerita oma. Menurut diary ini, Sarah ingin kalau dia meninggal dimakamkan dekat dengan makamnya Joko, tapi apa itu mungkin???? Oma hanya menggelengkan kepala, oma masih tampak syok tak menyangka ibunya punya cinta lain di hatinya. Gilang mengusulkan untuk bernegosiasai dengan anaknya Joko , agar makam Sarah bisa dipindahkan dekat makam Joko atau sebaliknya. Gilang mengajak mbok Parti untuk mendatangi keluarga Joko sambil memperlihakan diary milik Sarah, mudah-mudahan keluarga mereka mau mengabulkan permintaan Sarah. Walau kelihatannya ini ide gila, aku yakin setelah impian Sarah terwujud, aku yakin dia akan tenang di alam kuburnya.

            Aku mencium oma untuk bepamitan, sudah haampir sepuluh hari kami berlibur di sini. Tak terasa waktu cepat berlalu, liburan kali ini membawa kenangan tersendiri bagiku menyatukan cinta Sarah dan Joko yang lama terpisah , walau hanya mendekatkan makam mereka.Satu permintaan Sarah yang dapat dikabulkan. Waktu aku pamitan dengan oma, aku melihat lagi lukisan Sarah, aku melihat Sarah tersenyum manis padaku.  Mungkin orang bilang itu halusinasi, tapi aku yakin Sarah tersenyum karena lega bisa berdampingan lagi dengan Joko. Aku membalasnya senyumnya dan saat aku membalikan tubuhku, aku memperhatikan Gilang yang menatapku tajam.
            “Kamu senyum dengan siapa Nancy?”  Aku hanya mengangkat bahuku dan tersenyum manis untuk Gilang temanku.

0 HUjan Telah Usai

Senin, 20 Mei 2019

Gambar dari sini

Sebuah alasan yang pasti datang setelah hujan usai
Pergi jauh dari semua ini
Mengumpulkan riuh di hati agar pergi jauh
Pergi satu-satunya jalan
Tapi nanti kalau hujan sudah usai

Hujan masih mengingatkan kepada rindu
Tapi itu membuat bahagia walau sakit
Biarlah hujan yang membasahi hati
Agar rindu hilang
Sampai terbasuh semua yang ada di hati

Hujan masih rintik-rintik
Menunggu sampai usai
Hanya terdengar jeritan kecil di hati
Untuk melepaskannya pergi
Dia bukan milik kita

Kini hujan sudah usai
Pergi menjauh walau menyayat kalbu
Tapi itu lebih baik daripada terbelenggu hati
Pemilik takdirmu sudah menuliskannya
Untuk pergi menjauh

Cirebon, 21 Mei 2019


4 Cinta Di Ujung Maut

Senin, 13 Mei 2019


Gambar dari sini 
 

Sore itu aku masih membersihkan rumput-rumput yang tumbuh begitu subur di pusara Sasha. Sudah hampir tiga tahun berlalu setelah kematian Sasha , aku belum bisa menghilangkan bayang-bayang wajahnya saat terakhir kali dia berpamitan denganku. Itu terakhir kalinya aku bertemu denganya , sesudahnya aku hanya bisa mengirim doa untuknya, agar dia baik-baik saja di surga. Entah sudah banyak teman-temanku , keluargaku mengenalkan perempuan padaku, tapi aku belum bisa berpaling darinya. Ada sesuatu pada Sasha yang tak pernah aku bisa lupakan. Entah apa, aku seperti terikat dengannya, bayang-bayangnya selalu ada di setiap langkangku.
            “Sasha, sudah tiga tahun engkau pergi, aku belum bisa melupakanmu, mengapa bayang-bayangmu selalu menghantuiku?” aku masih saja mencabuti rumput di pusaranya.
            “Apakah kamu cemburu kalau aku punya perempuan lain, sehingga bayang-bayangmu selalu mengikutiku?” “Aku masih harus melewati hidupku, aku ingin ada perempuan yang akan menemaniku , tapi engkau selalu memberatkan langkahku untuk memanahkan panah asmara di dadanya.” Aku masih terdiam , lama kupandang nisan yang tertuliskan Sasha Merianti.....

            Aku menatap ponselku dan kulihat layar ponselku , ada apa Sasha menelpunku. Kuangkat ponselku , dan kuanggukan tanda setuju permintaannya untuk bertemu sepulang kerja nanti.
            “Aku ada dinas luar kota,” kata Sasha sambil menyeruput milkshake coklatnya. Kupandang wajahnya ada keengganan untuk berangkat ke luar kota.
            “Dinas kemana?” tanyaku “ Makasar, aku malas sekali harus ke Makasar, seharusnya Dina, tapi ibunya Dina sakit  sehingga tak bisa ditinggalkan , jadi bagaimana lagi, aku ya harus berangkat. Saat itu aku hanya banyak berdiam diri saat Sasha menyatakan keengganannya untuk berangkat menggantikan Dina. Sepi dalam diam .....
            Saat itu sedang asik mengerjakan pesanan klien di kantor , aku mendapatkan telepon dari mamanya Sasha, kalau pesawatnya jatuh saat akan mendarat . Aku terdiam lama , hening dalam kebisuan panjang. Rintihan hati mendesak di ruang hati yang sekarang hilang dibawa dengan kepergian Sasha. Mana mungkin orang akan selamat saat pesawat jatuh , hanya keajaiban yang dapat menolong. Aku butuh keajaiban itu, tapi masih adakah harapan itu? Nyatanya tak ada, hilang semua asaku di bawa pergi Sasha. Aku begitu terpukul , impian –impian yang selalu aku ceritakan bersama Sasha kini hilang , semuanya tanpa sisa bahkan hatiku juga dibawa pergi dalam kubur yang gelap.
            Hari demi hari yang kulalui terasa sangat lambat, walau air mata sudah mengering tapi sakit yang mendera lorong hatiku masih saja menimbulkan sakit yang kadang membuatku luruh dalam kesedihan yang panjang, entah sampai kapan aku masih bisa berdiri dengan sepotng hati yang sudah hilang.

            Aku terkejut dan berpaling saat pundakku disentuh, saat kutengok ke belakang , pria tua ada di  belakangku.Ternyata aku sudah melamun panjang sedari tadi sehingga tak menyadari pria itu sudah ada di belakangku.
            “Mas, sudah magrib,gerbangnya mau saya tutup,” pria penjaga kuburan itu menyuruhku untuk pergi. Aku berdiri, sebetulnya ku masih ingin berlama-lama di sini, masih ingin mengeluarkan keluh kesahku terus sampai aku puas. Aku beranjak dari pusaramu, entah kapan aku dapat menjengukmu kembali?
 

2 Mentari Di Balik Pepohonan

Senin, 06 Mei 2019

Gambar dari sini

Dalam remang pagi, saat mentari mulai muncul
Sinarnya masih redup dari balik pohon
Mengintip dari tirai-tirai pohon
Untuk menyapa pagi ini
Dengan senyum

Selalu singgah di hati sinarmu
Meresap semangat untuk selalu mau berbagi
Seperti dirimu
Sinarmu kau bagi untuk semua alam
Yang memeluk segala kebahagiaan

Kini mentari sudah berada di antara kita
Segarkan pikiran dengan aura positif
Untuk hati yang bahagia
Menjadi sinar bagi orang lain
Tuk bermanfaat

Sinarmu memang akan hilang saat malam tiba
Tapi esok kau akan muncul kembali
Haarpan selalu ada
Tak boleh putus asa, semua akan datang kembali
Dengan semangatnya seperti matahari