0 Malam Terkutuk

Senin, 29 Juli 2019


Gambar dari sini 
 

Desa Pattaneteang di kecamatan Tompobolu di Kabupaten Banateng sungguh indah. Pegunungan yang mengelilingi desa ini memberikan kesan tersendiri. Udara yang masih sejuk jauh dari polusi udara. Hampir semua penduduknya bertanam kopi. Kopi dari desa ini kopi terbaik yang mempunyai cita rasa yang berbeda dengan daerah lainnya. Akupun pernah merasakan banyak rasa kopi dari daerah di Indonesia. Tapi ya kopi Torajalah yang paling aku suka. Ya, mau gimana lagi dari kecil aku sudah biasa mencium aroma kopi Toraja, minum kopi Toraja. Begitulah , karena aku lahir di desa ini . Aku merupakan bagian dari desa penghasil kopi yang enak rasanya. Sekarang saat aku berdiri di tepian tebing dekat kebun kopi milik ambe(ayah). Ambe mulai menanam kopi di ladangnya yang dulu masih kecil. Hasil ladangnya semakin menghasilkan dan akhirnya ambe punya kebun kopi yang luas. Mulai saat itu kehidupan aku mulai berubah . Kesulitan hidup mulai menghilang tergantikan dengan kehidupan yang layak bagiku dan kakak baine (kakak perempuan).
            “Hey , apa kareba sangbaine (apa kabar)?” . Aku membalikan tubuh melihat siapa orang yang menyapa sepagi ini di kebun kopi ambe. Ah, Bujang teman sepermainanku dulu sekali.
            “Karebo melo (kabar baik).” Ah, Bujang masih seperti dulu hanya sekarang tampak otot tangannya menyembul tanda dia pekerja keras di kebun miliknya.  Sebentar kemudian Bujang berpamitan hendak ke kebun kopinya, aku mengiyakan dan menatap punggungnya mulai menjauh.  Terasa seperti film yang berputar . Kini aku mulai memutar film , cerita yang tersembunyikan oleh waktu tapi maih terekam baik dibenakku.

            Aku meninggalkan desaku hampir tujuh tahun yang lalu. Memang tujuan aku untuk sekolah di Jakarta, tapi ada satu hal yang hanya keluagaku saja yang tahu. peristiwa  yang membuatku harus pergi dari desa ini. Harus. Walau kini aku sudah sukses di Jakarta , ternyata kepergianku menambah penderitaan kakak Ida. Dia kehilangan ingatannya. Semua berawal dari ambe. Betul semua dari ambe. Aku masih ingat . Ambe adalah pekerja keras. Dengan bantuan indo (ibu)  ambe bisa memperluas kebun kopinya . Banyak hasil yang didapat dari kebun kopinya, tapi ternyata kehidupan yang layak bagi aku dan keluarga tak membuat menjadi bahagia. Uang yang dihasilkan ambe dari kebun kopi ternyata membuat mata hatinya tertutup. Banyak perempuan-perempuan yang tertartik dengan ambe. Dan itu membuat ambe menjadi sombong. Dia lupa dengan indo yang turut berjuang untuk keluarga ini. Ambe lupa segalanya. Ambe lupa segalanya. Ambe lupa kalau di rumah ada yang menunggunya. Istri dan anak-anaknya. Dia mabuk dengan kekayaaannya. Banyak yang memujanya. Padahal ambe tak tahu siapa yang mencintai sungguh dengan hati tulus?? Hanya indo, hanya indo bukan perempuan-perempuan genit yang hanya tau ambe punya duit saja. Dulu saat ambe gak punya uang apa mereka naskir dan suka sama ambe? Tak ada satupun?.

            Rol film mulai berputar kembali. Aku melihatnya dengan jelas. Aku sering melihat indo menangis diam-diam di kamarnya.
            “Indo meanngis?” aku mendekatinya.
            “Apa ambe gak pulang lagi?”” tanyaku . Diam tak ada yang bicara. Ida, kakak hanya megintip dari celah pintu dengan tatapan takut. Ida kakak baineku itu memang lemah. Tubuhnya kurus , mungkin kurang gizi dan lemah dalam berpikir. Di sekolah juga dia paling bodoh. Jadi setelah lulus SD, kakak Ida hanya di rumah belajar ngaji di pesantren di seberang desa . Aku hanya bisa memeluk indo dengan erat. Indo terisak dalam pelukanku
            “Sabar , indo, mungkin ambe sedang khilaf. Ambe kita doakan saja , biar ambe pulang kembali ke rumah.”  Indo mengangguk kecil. Ah,aku kasihan dengan indo, kasihan. Aku melihat kakak Ida masih mengintip dari celah pintu. Aku sedikit kaget saat aku melihat kilatan tajam dari matanya. Ada sirat kebencian di matanya. Aku berlari keluar kamar.
            “Ada apa kakak Ida?” Matanya melotot dan dicengekramnya diriku kuat-kuat.
            “Sabar kakak, sabar. Tak apa-apa. Ambe akan pulang,”tukasku menenangkan kakak Ida.
            “Dia tak akan pulang-dia tak akan pulang,”jeritnya semakin keras.  Indo cepat merangkul kakak Ida dengan erat. Aku begitu marah dengan ambe. Kemana dia? Saat di rumah ini semua butuh ambe, dia malah  tak ada.. Aku bergegas keluar rumah dan mulai mencari ambe.  Aku bertanya pada pak Rustan yang sedang lewat dekatku.
            “Dimana ambe?”
            “Biasalah di warungnya si Inah.” Pak Rustam menatapku tajam dan sedikit mencibir padaku. Aku tak mempedulikannya lagi, aku bergegas ke warung Inah. Warung Inah memang dikenal tempatnya nongkrong orang-orang yang mabuk dan orang-orang yang main perempuan.  Aku melihat ambe dikelilingi perempuan-perempuan cantik dengan pinggul dan dada yang berisi . Ambe bak raja dikelilingi inang-inang. .
            “Ambe, pulang.. Indo menunggumu. Kakak Ida menangis lagi?” Ambe hanya menatapku sekilas lalu tertawa bersaama wanita-wanita itu.. Dan menggebaskan tangannya menyuruhku pulang.
            “Eh, pulang saja kau anak kecil, tahu apa kau? “ tegur Inah pemilik warung .
            “Ambe.” Aku menarik lengannya dengan keras. Ambe menghentakan tanganku keras-keras sehingga aku hampir terjerembab. Aku menahan air mataku keluar. Harga diriku hancur melihat ambe lebih suka di sini dibanding bersama keluarganya. Aku pulang dengan gontai. Akhirnya aku tak sangup lagi menahan air mataku untuk keluar. Sepanjang perjalanan pulang aku terus menangis.
            “Kemana lagi kau, Ira? Kamu menjemput ambemu?” tanya indo. Aku mengangguk pelan.
            “Sudah indo bilang, jangan kau jempur dia, tak akan pulang, ambemu sudah terlena dengan rayuan perempuan-perempuan itu.” Kakak Ida melotot dan kilatan matanya begitu tajam. Aku melihat sorot kebencian ada di matanya. Aku takut sekali melihatnya. Indo menenangkan kakak Ida tapi aku takut dengan sorot matanya, takut sekali. Sorot kebencian kakak Ida suatu waktu akan meletus, entah kapan, tapi pasti  akan meletus suatu saat. Dan itu benar kejadian. Saat itu aku baru saja lulus SMA dan aku diterima kuliah di Universitas Indonesia.

            Rool film kembali berputar , cerita yang belum selesai berputar kembali. Betapa girangnya saat aku tahu aku diterima di UI Jakarta. Aku dari desa , bisa mengalahkan banyak orang untuk berkuliah di tempat yang bergengsi. Tapi kegembiraan hanya sesaat , hanya sesaat. Aku ingat malam itu, saat aku sudah mempersiapkan keberangaktan aku ke Jakarta, tiba-tiba ambe pulang. Entah apa yang membuat ambe pulang lagi ke rumah. Indo dengan ketulusan cintanya menyambut ambe . Aku lihat kakak Ida melihat ambe dengan sorot kebenciannya. Aku takut,aku takut sekali. Indo segera menyediakan kopi panas buat ambe. Dan goreng pisang untuk ambe juga. Ambe duduk diam sambil menikmati kopi panas buatan indo. Aku masih menatap kakak Ida. Hanya sorot mata kebencian yang semakin terlihat. Kakak Ida terlihat tidak suka indo melayani ambe , setelah apa yang diperbuat ambe terhadap keluarga ini.  Aku masuk ke kamar, aku harus melihat lagi apa semua persiapan ke Jakarta sudah selesai belum. Ah, aku harus meninggalkan indo dan kakak Ida. Berat rasanya, tapi aku ingin ambe dan indo bangga kalau salah satu anaknya bisa kuliah dan menjadi sarjana. Itu sebetulnya salah satu impian ambe dan indo juga.
            “Pokoknya ada anakku yang jadi sarjana kelak,”tukas ambe sautu saat ketika kebun kopinya mulai banyak menghasilkan uang. Aku tersentak saat terdengar suara indo menjerit. Aku keluar, tampak ambe terlentang dengan mulut berbusa.
            “Kenapa??  Indo menggeleng keras. Aku melihat kakak Ida menyeringai dan tersenyum puas. Ada apa ini? Mulut berbusa. Racun? Lalu siapa yang menaruh racun? Indo? Gak mungkin.
            “Ini racun , indo?” Indo menganga tak mengerti
            “Siapa yang menaruh racun di kopi ambe?” Indo ternganga sekali lagi. Berdua beralih pandang ke kakak Ida . Kakaka Ida tersenyum .
            “Rasain dia, ambe sudah jahat sama kita. Ambe patut mati karenanya. Aku tak mau lagi indo menangisi ambe, tak mau.” Suaranya datar dan sedikit bergetar. Aku terduduk lemas. Indo berpikir keras.
            “Jangan beritahu siapa-siapa, ini rahasia kita bersama. Katakan saja ambe serangan jantung,”tukas Indo meyakini aku. Indo tak mau kakak Ida harus berurusan dengan polisi. Biarlah ini sudah takdir ambe, begitu kata indo.

            Keberangakatanku ke Jakarta molor karena harus melakukan pemakaman ambe. Ternyata banyak yang tak suka dengan ambe. Banyak yang mensyukuri kematian ambe. Sungguh sedih melihatnya. Kakak Ida entah setelah itu sering melamun dan mulai mengoceh ngalor ngidiul tak keruan. Aku baru tahu kalau saat indo menyediakan kopi buat ambe, kakak Ida diam-diam memasukan racun tikus pada kopi ambe. Sungguh aku tak menyangka kakak Ida berani melakukan hal ini. Kemarahan pada ambe sudah membuatkan mata hatinya tak mampu berpikir dengan jernih lagi.. Tadinya aku ingin tak berangkat ke Jakarta, melihat indo harus berjuang sendiri , apalagi kakak Ida mulai tak waras. Tapi indo memasak aku untuk pergi.
            “Pergilah, ingat pesan ambe. Salah satu dari anaknya harus jadi sarjana,”tukas Indo mengelus kepalaku. Aku mengangguk dan pergi dengan berat hati .


            Di sinilah aku setelah aku sukses lulus kuliah dan bekerja di jakarta. Kemudian aku memutuskan untuk kembali ke desa ini untuk menemani indo dan kakak Ida. Kakak Ida sudah mulai tenang walau masih tetlihat aneh bagi orang kebanyakan. Setiap bulan kakak Ida berobat ke kota. Aku akan meneruskan usaha ambe dan membangun desa ini .Aku pandang semua keindahan pegunungan dengan hamparan kebun kopi nan luas. Di sinilah aku dilahirkan dan disinilah aku akan membangun impian ke depan bersama kebun kopi milik ambe. Walau ada rasa pahit bila behubungan dengan kopi yang selalu mengingatkan akan kepergian ambe. Tapi dari kopilah aku bisa berhasil dan berdiri tegak di depan pegunungan  yang gagah berdiri. Ambe, maafkan kakak Ida, semoga kau tenang di sana. Aku kembali ke sini setelah aku jadi sajana. Aku sudah menepati janjiku padamu, ambe.  Aku berbalik dan menatap kebun kopi milik ambe. Berjalan perlahan, mengenang semua hal tentang kopi, pahit manis semuanya ada di sana. Seceruput kopi dari secangkir kopi menyisakan kesedihan mendalam.

0 Dandelion Saat Pagi Hari

Senin, 22 Juli 2019

Gambar dari sini 
 

Embun datang menutupi dandelion
Masih pagi sekali tapi dandelion mulai melepaskan diri dari embun
Menabur asa untuk pagi ini
Terus akan menebarkan benih lewat angin yang menyapa
Pagi ini masih sunyi

Ketika mentari mulai muncul
Embun mulai menguap perlahan
Bulir-bulir helai bunganya  mulai merekah
Kutunggu angin
Untuk meniupkan benih sampai jauh

Benih itu akan pergi jauh dari induknya
Terus melayang di udara sampai satu titik
Dia lelah dan turun di tanah
Saat tanah ini punya harapan
Benih itu akan tumbuh , terus sampai menjadi dandelion berikutnya

Begitulah dandelion menebar cinta kemanapun angin membawanya
Membelai alam begitu lembut
Sampai satu titik dia lelah
Dan akan tumbuh menjadi bibit baru yang akan mengikat hati
Tak sesal dia akan hal ini, menebar benih selamanya

Cirebon, 23 Juli 2019
 

4 Kaki Untuk Sisi

Senin, 15 Juli 2019

Gambar dari sini


Setiap malam Sisi selalu duduk di depan jendela kamarnya dan menatap bintang di langit. Menurut bunda, kalau ada bintang yang bergerak cepat Sisi bisa minta sesuatu pada bintang. Sisi menatap langit dengan penuh kekaguman, tiba-tiba wuiiis, terlihat bintang yang berpindah tempat . Sisi memejamkan matanya , memohon satu pintanya , kaki untuknya agar bisa berjalan seperi anak-anak yang lain.
            “Belum tidur Sisi?” tanya bunda
            “Bunda, barusan Sisi melihat bintang bergerak, dan Sisi sudah minta sesuatu,” tukasnya. Bunda tersenyum padanya.
            “Apa yang kau pinta?” Bunda mengelus kepala Sisi.
            “Kaki bunda,” Sisi menatap bunda penuh harap. Bunda tetap tersnyum , walau bunda merasa sedih dengan keadaan Sisi yang tak memiliki kaki. Sisi terlahir cacat, hanya memiliki satu kaki.
            “Nah, kalau Sisi sudah minta pada Bintang, jangan lupa berdoa sama Allah, agar segera diwujudkan impiannya , karena Allahlah yang akan mengabulkan doa Sisi. Sisi, sekarang tidurlah, hari sudah malam, besok Sisi harus sekolah lagi .” Bunda membantu Sisi untuk tidur di kasurnya.

            Pagi itu Sisi begitu senang karena dia sudah meminta kaki pada bintang dan berdoa pada Allah agar Sisi punya kaki sehingga dapat berjalan normal seperti anak-anak yang lain.
            “Lisa, aku tadi malam melihat bintang bergerak dan aku sudah  meminta kaki untukku,” Sisi bercerita pada temannya Lisa. Ara mendengarnya dan mulai mentertawakan Sisi.
            “Bagaimana bisa bintang memberimu kaki Sisi, kamu itu aneh, kamu itu terlahir cacat , mana mungkin punya kaki baru,” Ara mulai mengejek Sisi. Sisi terdiam, dia sudah biasa mendengar ejekan teman-temannya, Sisi diajarkan bunda untuk diam saja dan tidak boleh membenci teman yang mengejeknya.
            “Kamu tuh Ara, bisanya selalu menghina Sisi, sana pergi jauh-jauh dari sini,” usir Lisa.
            “Sudah Lis, aku gak apa-apak kok,” Sisi menyuruh Lisa untuk tak mengusir Ara.

            Pulang sekolah  bunda mengajak Sisi ke rumah sakit, Sisi heran sekali, memang siapa yang sakit. Bunda? Tapi bunda terlihat sehat.
            “Mau apa ke rumah sakit bunda?’ tanya Sisi menatap bunda yang tersenyum saja sedari tadi, ini membuat Sisi jadi penasaran. Bunda mengetuk pintu yang bertuliskan dokter Agus.
            “Silahkan masuk bu Aira,” sapa dokter yang langsung menyambut bunda.
            “Wah, ini pasti Sisi ya. Hem..cantik sekali seperti bidadari,” tegur dokter padanya. Sisi tersenyum malu mendengar pujian yang diberikan padanya. Dokter Agus membawa bingkisan dan diberikan pada Sisi.
            “Apa ini?” tanyanya.
            “Bukalah. Itu permintaanmu pada bintang tempo hari,” dokter Agus menyodorkan bingkisan itu pada Sisi. Perlahan Sisi membuka bungkusan besar itu dan tiba-tiba Sisi terbelalak melihat isi bungkusan itu, sebuah kaki mungil untuknya. Bunda menatapnya sambil tersenyum, begitu juga dengan dokter Agus.
            “Mari ,dokter pakaikan ya,” Dokter Agus memakaikan kaki palsu untuk Sisi. Rasanya masih aneh ada benda asing yang menempel di kakinya.
            “Ini perlu latihan berjalan karena pertama-tama kamu akan merasa canggung dengan kaki barumu,”ujar dokter. Sisi melihat kaki barunya, walaupun tidak sama dengan yang asli, yang penting Sisi tak perlu pakai kursi roda lagi.  Sisi senang sekali dengan kaki barunya, sekarang dia bisa berjalan seperti anak-anak yang lain. Matanya berbinar, permintaannya dikabulkan, Sisi senang sekali.
            “Makasih bunda, Sisi sekarang punya kaki baru.” Rasanya Sisi sudah tidak sabar menunggu esok hari , karena Sisi akan pergi ke sekolah dengan kaki barunya. Malam itu Sisi berdoa pada Allah untuk berterimakasih