6 Pergilah Anakku

Senin, 19 Agustus 2019

Gambar dari sini

Bersama pagi ini dengan segelas teh
Menekuri hidup ini
Anakku kini menjelang pernikahanmu
Aku di sini berat melepaskanmu
Untuk arungi hidup barumu

Masih ingin dia bersama pelukan diriku
Masih ingin kau tetap ada sampai penghujung waktu
Andai aku bisa akan aku peluk dirimu
Seperti dulu kau selalu ada dalam pelukan
Tak akan aku lepaskan

Tapi kau akan punya hidup barumu
Menyadarkan diriku kau sudah dewasa
Sudah waktunya kau bersama orang lain
Yang akan saling membahagiakan
Walau hati ini terasa sulit untuk melepaskanmu pergi

Pergilah anakku
Biar aku akan mendoakanmu setiap detik
Untuk perjalanan hidup barumu
Kelak penawar hati akan tiba
Seorang bocah kecil pelipur lara

Cirebon, 20 Agustus 2019
 


6 Cinta Yang Terabaikan

Senin, 12 Agustus 2019


Gambar dari sini

“Pokoknya bu, aku harus bertemu  ayah,” kataku ngotot, kali ini aku tak mau lagi harus mengalah dengan ibu.
            “Jadi kamu lebih mementingkan ayahmu yang meninggalkanmu demi wanita jalang itu , Tiara. Ibu gak habis pikir apa yang kamu cari dari ayahmu yang tak bertanggung jawab itu, hidupmu semua dari ibu, apa ayahmu memberimu uang , tidak Tiara,” ibu kembali marah saat aku ingin bertemu dengan ayah, sebetulnya aku sungguh merasa iba melihat ibu, tapi entah mengapa keinginan kuat aku untuk bertemu dengan ayah mengalahkan semuanya termasuk perasaan ibu. Berulang kali bude , kakak ibu juga menyalahkan aku karena ingin bertemu dengan ayah, tapi kali ini aku tak mungkin lagi untuk mengalah,ada sesuatu yang mendesak di hati ini entah apa, tapi keingintahuan aku tentang ayah kandungku. Sampai usiaku 20 tahun aku tak pernah sekalipun bertemu dengan ayah, semua akses aku untuk mengenal ayah ditutup oleh ibu dan keluarganya.
            “Ibu, tolonglah aku sekali saja aku bisa bertemu dengan ayah,sesudahnya aku tak akan bertemu dengannya,”rengekku , aku berlutut di kaki ibu, ibu memalingkan mukanya ke arah lain, kulihat wajahnya mulai tampak murung dan hanya desahan perlahan yang keluar dari mulutnya.
            “Tidak, Tiara, ibu tak mau engkau mengenal ayahmu yang tega meninggalkan kita,” ujar ibu yang akhirnya membiarkan aku sendiri di kamar. Aku terdiam lama , hanya terdengar suara detak jam yang membuat kepalaku menjadi pening, kerinduan akan sosok ayah begitu menggebu di hatiku, dari dulu, aku merindukannya.

            “Tiara, gak punya ayah ya?” tanya Dinar , ingat sekali aku dengan pertanyaan teman-temannya yang seringkali menanyakan ayahnya.
            “Punya, kata ibu, ayah kerja di luar kota,” tukasku selalu menjawab pertanyaan itu seperti jawaban ibu kalau aku menanyakan apakah aku punya ayah.
            “Kalau kerja di luar kota, masa gak pernah datang apalagi sekarang saat lebaran,” tukas Deki. Kalau sudah begitu aku lebih memilih meninggalkan teman-temanku daripada harus menjawab pertanyaan yang sulit untuk dijawab.
            “Tiara , gak punya ayah, gak punya ayah,”terdengar suara teman-temanku mengejekku.Aku akan menangis dalam pelukan ibu dan ibu selalu menghiburku .
            “Dengar ibu, kamu punya ayah, nak, sudah jangan didengarkan ejekan mereka, nanti mereka bosan sendiri, lagipula kamu punya ibu dan keluarga ibu yang mencintaimu,” dan aku akan aman dalam pelukan ibu, begitu seterusnya.

            Sejak aku masuk SMP aku menjadi gadis yang rendah diri, karena aku merasa tak memiliki ayah seperti teman-teman yang lain. Ada juga yang ayahnya meninggal tapi mereka tahu makam ayahnya, sedangkan aku, punya ayah tapi aku tak tahu ayahku dimana. Sering aku mendesak bude untuk memberitahuku mengapa ayah tak pernah datang mengunjungiku, tapi bude tak pernah menjawab pertanyaanku.
            “Nduk, kamu sudah bahagia bersama ibumu, apalagi yang kamu cari, kamu punya semua yang diimpikan anak seusiamu, apa itu tak cukup bagimu,” selalu bude mencari alasan untuk tak menjawab pertanyaanku dan aku kembali diam dalam hati yang penuh tanda tanya.  Sampai suatu  saat aku memberanikan diri masuk kamar ibu saat ibu masih ada di kantor dan mulai mencari data-data tentang ayahku, kali-kali saja ibu menyimpannya di lemarinya. Dengan berjingkat-jingkat aku masuk ke kamar ibu dan mulai mencari map-map atau kotak tempat ibu menyimpan data-dataku berserta ayah. Kuaduk-aduk lemari ibu dan aku menyentuh kotak di ujung lemari bagian atas. Kuambil kotak kayu hitam dan kubuka perlahan dengan jantungku yang kian cepat berdetak. Beberapa foto aku lagi masih kecil dan aku melihat pria yang sedang menggendongku. Kutatap sekali lagi foto pria itu, mungkin ini ayahku, saat aku kembali melihat foto-foto yang lain, aku melihat foto ibu dengan seorang pria. Tidak salah lagi ini pasti ayahku. Aku memandang wajah ayahku, aku lebih mirip ayah daripada ibuku. Rambutku yang ikal seperti rambut ayah. Ada saru foto lagi , aku digendong oleh perempuan lain yang bukan ibuku dan di sebelahnya ada ayah dan ibu. Siapa perempuan itu, waktu aku melihat dengan teliti, itu bukan wajah bude, siapa perempuan itu.
            “Apa yang kau lakukan dengan kotak ibu ,Tiara,”tegur ibu marah, aku begitu terkejut sehingga kotak terlempar dari tanganku, saking asiknya aku melihat foto-foto itu, aku tak mendengar kedatangan ibu.
            “Maaf bu, Tiara hanya ingin tahu wajah ayah,” tukasku perlahan ,ada rasa bersalah di sudut hatiku dan air mataku mulai menetes perlahan , aku sudah tak sanggup lagi menahan air mata di pelupuk untuk tak turun. Ibu dengan kasar membereskan foto-foto itu dan memasukan kembali dalam kotak kayunya.
            “Sekarang kamu keluar dari kamar ibu, ibu marah sekali denganmu.” Aku beringsut perlahan dari kamar ibu , menuju kamarku. Di kamarku aku menangis sejadi –jadinya, apa salahku kalau aku ingin bertemu dengan ayah kandungku, mengapa aku tak boleh mengenalnya, aku tak mengerti. Mataku sembab dan aku tahu ibu sangat marah padaku, karena saat itu dan beberapa hari ke depan ibu tak menyapaku, ibu lebih banyak diam , dan aku juga lebih memilih untuk tak bertanya lagi.

            Sampai suatu saat  bude datang dan mulai bercerita tentang ayahku. Menurutnya dulu ibu dan ayah adalah pasangan yang serasi, banyak orang yang iri melihat ayah dan ibu begitu mesra baik sebelum menikah dan sesudahnya.  Kebahagiaan mereka bertambah saat melahirkan anak perempuan yang diberi nama Tiara , dan kebahagiaan mereka menjadi lengkap sampai suatu saat datang teman  ayah dari desa .  Bude berhenti sebentar dan menghela nafas untuk beberapa saat sebelum melanjutkan kembali ceritanya.
            “Perempuan itu Kirey , teman papa di desa yang mau mencari pekerjaan dan minta tolong untuk tinggal sementara waktu sampai mendapatkan pekerjaan,” bude melanjutkan kembali ceritanya. Ibumu merasa terbantu dengan Kirey yang begitu telaten mengasuhmu saat ibu dan ayah bekerja , sampai ibumu begitu percaya dengan Kirey. Sampai beberapa laporan mbok Ponirah tentang kedekatan ayah dengan Kirey dianggap ibumu  mbok Ponirah iri pada Kirey yang lebih telaten mengurusmu. Sampai suatu saat ibumu sakit dan pulang cepat dari kantor dan menemukan ayahmu sedang bermesraan dengan Kirey di kamarnya. Ibumu begitu syok dan akhirnya tak sadarkan diri sampai harus masuk rumah sakit. Beberapa kali ayah meminta maaf atas kekhilafannya tapi ibumu bersikeras untuk bercerai, ayahmu tak mau melepaskan ibumu. Sampai akhrinya Kirey mengadu kalau dia hamil dan ibumu mengusir ayah dan Kirey keluar dari rumah ini. Mulai saat itu, ibumu tak ingin bertemu dengan ayahmu, walau berkali-kali ayahmu ingin kembali padanya.
            “Tiara, ibumu sangat mencintai ayahmu, jadi  tolonglah kau beri pengertian padanya, betapa rasa sakit hatinya saat cinta tulusnya dikhianati.” Bude terhenti dan terdiam  sesaat, hanya terdengar sekali-kali helaan nafasnya.
            “Sekarang ayah dan istri barunya tinggal dimana?”  Bude menatapku tajam.
            “Kamu masih bersikeras untuk bertemu dengan ayahmu?”
            “Aku tak ingin menyakiti hati ibu, tapi aku hanya ingin mengenal ayahku, dan aku tetap akan tinggal dengan ibu ,” ujarku dengan terisak. Dadaku sesak dengan rasa rindu akan cinta seorang ayah, sepertinya aku hanya punya bayang-bayang cinta ayah tapi aku tak pernah bisa merasakannya..
            “Apakah aku salah ingin bertemu dengan ayah bude?”tanyaku sambil kepalaku kususupkan di dada bude, bude merengkuhku dalam pelukannya.
            “Tidak salah Tiara, tapi kamu harus ada persetujuan dengan ibumu, jangan tidak, kasihan ibumu,” bude kembali mempererat pelukannya.
            “Tapi ibu selalu menolaknya,” aku mulai merajuk dan berharap bude akan membujuk ibu untuk mengijinkanku untuk bertemu dengan ayah.
            “Sabar nduk, suatu saat ibumu akan mengijinkanmu , pasti ,bude yakin, ibumu butuh keberanian besar untuk mengijinkanmu untuk menemui ayahmu. Ibumu takut kehilanganmu, nduk.” Aku mulai sedikit mengerti walau hati kecilku tetap berontak.

            Kini saat aku sudah kuliah dan usiaku menginjak 20 tahun, aku kembali ingin bertemu dengan ayahku, ada  sesuatu dalam hati kecilku yang merindukan cinta seorang ayah, tapi aku juga mulai mengerti akan perasaan ibu yang telah disakiti ayah. Aku sudah dewasa, aku ingin bertemu dengan ayahku, bagaimanapun kelak kalau aku menikah , aku ingin ayahku yang menjadi waliku.
            “Mintalah ijin pada ibumu, tak baik kau mencari ayahmu diam-diam,” ujar mas Joko , lelaki pilhanku yang akan kuperkenalkan pada ayahku. Tapi ternyata ibu masih saja ngotot melarangku pergi menemui ayah.
            Tolonglah bu, aku kelak akan menikah dengan mas Joko, aku perlu wali untukku,dan ayah masih hidup,”ujarku dan kupeluk ibu erat-erat.
            “Bu, tak perlu takut aku tak menyayangi ibu lagi, ibu bagiku segala-galanya lebih dari apapun. Ibulah yang membuatku bisa kuliah dan setahun lagi akan menjadi sarjana, aku menyayangi ibu,” aku memeluknya erat-erat, aku melihat ibuku berusaah menahan air matanya agar tak jatuh.
            “Menangislah bu, jika ibu ingin menangis.” Aku diam mendengar suara isakan tangis ibu .
            “Baik, ibu ijinkan tapi kau harus didampingi dengan Joko,” tukasnya sambil menghapus air matanya, aku peluk erat ibu.
            “Terimakasih bu, aku mencintai ibu,” kucium dahi dan pipinya berkali-kali .
           
            Ibu hanya memberikan alamat kantor ayahku, dan aku beserta  mas Joko mendatangi kantor advokat tempat ayah bekerja, tapi sialnya ayahku sudah tak bekerja di sana lagi. Menurut  karyawan di sana ayah membuka kantor advokat sendiri di kota Bogor.
            “Alamatnya dimana?” tanyaku , orang itu hanya menggelengkan kepala, tapi ada karyawan lainnya yang memberitahukan alamat kantor advokat ayah di Bogor.  Saat aku sudah berada di depan kantor adovokat milik ayah, jantungku berdebar kencang, kubaca kembali papan nama di depan kantor, Raharjo SH, itu nama ayahku. Joko menggemgam tanganku yang mulai dingin dan gemetar.
            “Tenangkan hatimu, Ti,” tukas mas Joko dan mas Joko mulai  mengajakku masuk ke dalam kantor
            “Selamat siang,ada yang bisa dibantu,” sapa karyawan operator di meja paling depan kantor. Mas Joko menyebutkan ingin bertemu dengan pak Raharjo, aku mulai gelisah, rasanya berdebar ingin bertemu dengan ayah kandungku yang tak penah kutemui dan kali inilah pertama kali aku akan bertemu.
            “Silahkan masuk,” recepsionis itu mempersilahkan aku dan mas Joko masuk. Pria usia lima puluh tahunan sedang menerima telepon  dan saat aku melihatnya aku yakin dia ayah kandungku. Saat pak Raharjo meletakkan teleponnya dan mempersilahkan aku dan mas Joko duduk.
            “Ada keperluan apa?” tanyanya . Aku disenggol mas Joko karena aku masih bingung untuk menjawab pertanyaannya, rasanya lidahku masih kelu untuk berbicara, rasanya aku masih harus memandangnya agak lama sehingga aku yakin beliau  adalah ayahku.
            “Maaf, ada perlu apa?” tanyanya lagi. Mas Joko kembali menyentuh bahuku .
            “Pak, aku Tiara, anak Bapak,” ucapku perlahan, entah beliau mendengar atau tidak, tetapi aku melihat beliau terkejut dan memegang dadanya.
            “Pak, kenapa, bapak sakit?” tanya mas  Joko yang dengan sigap menopang tubuh pak Raharjo yang hampir  limbung dari kursinya. Segera mas Joko memberikannya minum dan tampak beliau mulai dapat menguasai dirinya.
            “Tiara , anakku dengan Rita?” Aku mengangguk pasti dan  tak lama kemudian aku sudah ada dalam pelukannya, aku menangis sejadi-jadinya, rinduku begitu membuncah dan kini kerinduanku terwujud  bertemu dengan ayah kandungku  kembali, cinta yang hilang dan terabaikan ,kini datang menyambutku kembali. Aku peluk ayah, aku tak ingin melepaskannya lagi, aku begitu mencintainya sosok yang telah  lama menghilang.

            Aku tak menyangka ternyata ayahku setelah Kirey melahirkan anaknya , langsung menceraikannya , karena ayah tak bisa melupakan cintanya pada ibu, walau ayah harus gigit jari karena ibu menolaknya kembali. Ayah memutuskan membuat kantor adovokat sendiri di kota lain untuk melupakan semua yang pernah beliau alami.
            “Aku tahu, ibu juga masih mencintaimu ayah, beliau tak pernah menikah lagi walau banyak pria yang mendekatinya,” ujarku pasti, dibenakku ada keinginan untuk menyatukan kembai cinta ayah dan ibu, walau aku tahu ibu orangnya keras.
            “Ayah, aku pamitan dulu, ayah tunggu saja, akan aku bujuk ibu untuk kembali bersama ayah,” aku memeluknya sekali lagi.
            “Jaga Tiara baik –baik,” ayah menyalami mas Joko dan menepuk-nepuk pundak mas Joko dan mewanti-wanti untuk menjaga aku dan jangan menyakiti hati  putrinya . Aku tertawa geli mendengar ucapannya, rasanya ada kelegaan tersendiri  saat  bertemu dengan ayahku, cinta yang terabaikan kini lenyap dan datang  cinta yang lain menyapaku dengan sejuta harapan !

2 Terbang Bersama Mimpi-Mimpi

Senin, 05 Agustus 2019

Gambar dari sini

Memeluk cita setinggi langit
Terbang bersama mimpi-mimpi
Tak membuat tersingkir dalam buaian angan
Hanya satu asa di ujung sana, semoga terwujud.

Sekepal hati yang keras untuk bisa terbang
Jauh ke angkasa
Agar bisa meraih apa yang ada di ujung asa
Sampai peluh membasahi tubuh

Agar semau kerja keras ini
Berujung asa yang nyata
Mengobati keresahan hati
Yang menemani dalam juang ini

Kalau saat ini gemintang sudah ada dalam pelukan
Bahagia
Apa yang jadi asa di hati ini
Kini sudah kugapai dalam pelukan hangat 

Cirebon, 6 Agustus 2019