0 Aku Menanti Di Sini

Kamis, 28 Mei 2020

Gambar dari sini

Menyapa beningnya senja di sini
Di statsiun tempat aku kembali
Menantimu tak kunjung datang
Merenggut semua asaku
Akan cintamu

Aku masih menunggu di sini
Tapi kau tak menampakan diri
Entah kalu lupa akan janjimu
Atau kau memang sudah tak sayang lagi
Hanya tumpahan air mata di sini

Statsiun mulai sepi
Malam mulai menjelang
Hanya sedikit terdengar suara-suara
Kereta datang dan pergi tapi kau tak ada
Aku masih setia menantimu di sini

Sebungkus kesedihan melanda
Setiap oarang datang muncul harapan
Tapi sirna kau tak datang
Kini hanya kepahitan ada di sini
Selamat tinggal semuanya

Cirebon, 29 Mei 2020

4 Beuaty And The Beast

Jumat, 15 Mei 2020

Gambar dari sini

Menjelang pagi aku sudah bersiap-siap untuk berlibur ke rumah tante Murni di desa kecil di kaki gunung Tangkuban Perahu. Rasanya sudah tidak sabar untuk pergi karena aku sudah cukup lama tidak ke rumah tante Murni semenjak aku kuliah di kota Jogja. Sepanjang perjalaanan aku memandang pemandangan yang begitu asri dari tempat yang indah. Desa tempat tante Murni ini begitu alami dengan penduduk yang ramah. Aku sudah melihat rumahnya dari kejauhan, masih seperti dulu, mungil terbuat dari bambu.
            “Hai, Anti,” sapa tante Murni. Aku mencium pipi tannte Murni.
            “Aku boleh kan berlibur agak lama di sini?” tanyaku sambil melihat sekelilingku. Tante Murni mengajakku masuk ke dalam dan menyuruhku menempati kamar depan yang menghadap gunung Tangkuban Perahu. Memang paling enak tidur di kamar depan ini bisa memandangi gunung dari kejauhan dan hijaunya hamparan sawah.
            “Istirahat dulu Anti, kalau mau mandi atau makan , kamu sudah tahu kan tempatnya?” tante Murni meninggalkanku sendiri di kamar. Lukisan alam yang memang dilukis dengan tangan –tangan sang Penciptanya begitu sempurna. Aku menopang daguku dan mulai melamun...

            Pagi itu aku habiskan untuk jalan-jalan di desa, udara yang masih bersih jauh dari polusi . Burung-burung masih banyak yang bersahut-sahutan  bernyanyi. Kulangkahkan kakiku menyusuri jalan desa sampai aku melihat rumah yang agak suram. Rasanya dulu rumah itu tak ada di sana. Aku agak mendekat ke rumah tersebut dan kulihat banyak sarang laba-laba , apa rumah ini tak ada yang menempati sehingga tak ada yang membersihkan sarang laba-labanya. Sesaat aku tertegun karena dari rumah itu ada pria yang menyingkap tirai jendela dan astaga wajahnya menyeramkan dengan kumis dan janggut yang lebat dan tampangnya seperti tak pernah mandi. Aku segera berlalu dari sana. Sampai di rumah aku menanyakan keberadaan rumah itu pada tante Murni.
            “Memang rumah itu baru dibangun lima tahun yang lalu, tapi entahlah rumah itu tak pernah dirawat dan yang menempatinya juga hanya seorang pria dan pembantunya,” certita tante Murni.
            “Pria itu siapa tante, kok tampangnya mengerikan dan kotor sekali.” Aku mulai melahap sarapanku.
            “Katanya pria itu agak gila, entah karena apa, pembantunya dilarang untuk bergaul dengan penduduk di sini, mungkin malu.” Aku mendengarkan cerita tante sambil menikmati nasi goreng buatan tante yang selalu enak.

            Sorenya aku bersepeda menyusuri jalan desa lagi sambil memandangi pemandangan di kala sore hari. Senja di desa ini membuatku tak bisa ucapkan dengan kata-kata apapun melihat semburat jingga yang menghiasi langit. Hari sudah sore dan gelap sudah mulai menyapaku, aku kembali ke rumah tante, tapi saat aku melewati rumah itu, aku melihat pria itu melambai-lambaikan tangannya seperti orang minta tolong. Aku berhenti sejenak, agak ragu apakah aku harus menolongnya atau aku pergi saja. Kulihat lagi tangan itu melambai-lambai ke arahku dan kulihat pria itu seperti kesakitan..Aku menaruh sepedaku dan mulai mendekati rumahnya, hatiku agak berdebar ada rasa takut. Waktu ku buka pintunya ternyata tidak terkunci. Waktu aku masuk udara di rumah itu pengap sekali dan baunya tak sedap.Aku melihat pria itu duduk dengan wajah pucat di dekat jendela.
            “Tolong, aku sakit,” katanya serak. Aku mendekati dengan  perasaan ragu-ragu.
            “Apa yang  dirasa pak?” tanyaku sambil kupegang dahinya, astaga panas sekali.
            “Sudah minum obat belum?”  Dari arah belakang seorang wanita menghampiriku.
            “Dari dua hari yang lalu mas Toto sakit tapi sudah disuruh makan dan minum obat dia selalu menolak,” Perempuan itu bik Inah pembantu pria itu yang melayani pria itu selama tinggal di sini.
            “Besok dibawa ke puskesmas desa saja, sekarang aku pulang dulu,” kataku pamitan.
            “Kalau bisa mbak yang mengantarkan bersama –sama, aku malu dengan penduduk di sini.” katanya. Kutatap wajah bik Inah yang tampak resah, akhirnya aku anggukan kepalaku tanda setuju.

            Esoknya aku ditemani dengan mang Dirja tukang kebun tante Murni mendatangi rumah pria itu. Tante menyuruh mang Dirja menemaniku. Aku cukup senang ada yang menemaniku, karena aku sebetulnya takut dengan pria itu. Saat aku datang, pria itu masih duduk di kursi kemarin dengan tampang yang menakutkan.
            “Pak, sebelum ke puskesmas apa gak sebaiknya bapak mandi dan berganti pakian dulu supaya tampak rapih,” kataku lancang sambil menatapnya dengan perasaan takut. Pria itu beranjak dan beberapa saat kemudian pria itu sudah mandi dan berpakaian rapi, sebetulnya kalau saja kumis dan brewoknya di cukur tampangnya tidak jelek-jelek amat.
“Mari pak, aku antar ke puskesmas,” aku mengangguk ramah padanya.
“Panggil saja aku Toto,” katanya . Aku menatapnya heran , suaranya lebih ramah dari kemarin. Waktu aku pergi ke puskesmas banyak penduduk sana yang memperhatikan Toto, mungkin selama ini mereka tak pernah melihat Toto keluar dan mereka sudah menganggap dia itu gila, tapi aku amati Toto tidak seperti orang gila. Kulihat banyak mata yang diam-diam melirik pada Toto dan aku ikut merasakan perasaan yang tidak enak juga, apa Toto juga merasakan hal yang sama?, entahlah.

Toto terkena radang paru-paru, dalam hatiku ya jelas saja rumahnya pengap dan kotor bagaimana bisa hidup sehat. Dokternya juga menyarankan agar dalam rumah ada sirkulasi udara yang baik agar tak kambuh lagi. Sesampainya di rumahnya aku memberanikan diri untuk menanyakan kalau aku dan bik Inah bisa membersihkan rumah agar tampak rapih dan bersih.
“Boleh saja, aku senang kalau rumah ini menjadi bersih,” katanya. Bik Inah terlihat kesal . Waktu aku mengajak bik Inah membersihkan rumah, dia tampak masih kesal.
“Setiap aku mau membersihkan selalu tidak diperkenankan , bahkan jendela harus terkunci semua,” bik Inah mulai mengomel.
“Ya, sudah mumpung pak Totonya mau kita bersihkan saja biar rumah ini tampak bersih,” kataku.
“Dia itu masih muda , baru 26 tahun,” kata bik Inah sambil mulai membersihkan debu-debu yang ada. Aku mulai membuka jendela –jendela agar udara bisa masuk dengan leluasa. Aku juga menyuruh mang Dirja membersihkan halaman agar rumput-rumputnya dirapihkan lagi.

Hari itu begitu melelahkan membersihkan rumah yang tak pernah dibersihkan , debu-debunya yang tebal . Untungnya tante Murni yang tahu aku membersihkan rumah ini, membawakan masakannya untuk dimakan bersama. Dari bik Inah juga aku tahu kalau Toto itu stres karena ditinggal tunangannya sehari sebelum pernikahannya. Selalu berdiam diri dan tak mau bicara dengan siapa-siapa sehingga ibunya menaruh Toto di desa agar bisa menenangkan diri, tapi bukannya bisa menenangkan diri malah menjadi-jadi. Rumah tak boleh dibersihkan dan  tak mau mengurus dirinya sendiri dan membiarkan hidup dengan dunia diamnya. Aku mulai sekali-kali memperhatikan Toto yang duduk di kursi malasnya sambil tiduran, sepanjang pagi dan siang. Kata bik Inah sih , hari ini makannya luar biasa banyak, biasanya sulit sekali disuruh makan. Waktu aku berpamitan pulang , Toto hanya menganggukan kepalanya dan mulai merebahkan kepalanya lagi di sandaran kursi.
“Terima kasih mbak Anti, sekarang rumah tampak segar dan bersih,” bik Inah tertawa tampak gembira sekali.
“Sekali-kali mampir ya, biar ada teman bicara, di sini hanya berteman patung,”katanya sambil melirik Toto.

Aku sudah melupakan Toto, saat aku menikmati bunga di halaman depan rumah. Orang bilang sinar pagi bagus untuk pertumbuhan tulang  dan aku berdiri di halaman membiarkan sinar mentari menembus tubuhku. Dahlia tante yang warna merah muda itu tampak serasi berdampingan dengan dahlia kuning, kontras membuat keceriaan taman bunga semakin menarik.
“Pagi, wah bunganya indah seindah yang menikmatinya,” aku menatap heran, pemuda jangkung berdiri dekat pagar. Celana panjang jeans dengan kaos putih bertuliskan RAIN.
“Lupa, Toto,ingat kan pemuda jelek di rumah pengap dan jorok,” Toto mengulurkan tangannya. Astaga, Toto yang tampak kotor dan brewokan , sekarang berdiri di depanku dengan pakaian rapih, aduh tampannya.
“Yuk, mau jalan-jalan pagi, biar sehat.” Aku mengangguk dan mulai berjalan beriringan di sampingnya. Sepanjang jalan menikmati udara segar , percakapan ngalor ngidul yang menyenangkan. Tak terasa pagi itu aku dan Toto sudah berjalan jauh mengelilingi desa dan baru terasa letih saat sampai rumah kembali. Begitu menyenangkan pagi ini.

Sore itu aku menemani tante Murni duduk di teras , teh hangat sudah tersedia dengan combro dan misro tersedia di piring kecil. Sambil menikmati teh hangat kulihat orang-orang yang baru kembali dari ladang mereka sambil memanggul cangkulnya. Persitiwa yang selalu kulihat setiap harinya tapi aku tak pernah merasa bosan , momen saat-saat pekerja ladang kembali ke rumah dan di rumah sudah disiapkan makan oleh orang-orang yang dicintainya.
“Anti, aku lihat kamu semakin dekat dengan Toto,” kata tante Murni tiba-tiba memecahkan keheningan yang ada diantara aku dan tante. Aku cuma mengangkat bahuku , sambil tetap memandangi orang yang lalu lalang di depan rumah . Memang setiap hari aku bersama Toto mengisi hari-hari dengan banyak kegiatan yang menjadikan aku dan Toto semakin dekat. Toto, memang pemuda yang cukup menyenangkan dan selalu nyambung obrolannya denganku.
“Apa kamu naksir tidak dengannya?” tante Murni menatapku. Aku tiba-tiba saja jadi gugup tidak karuan saat pertanyaan itu tertuju padaku. Aku hanya terdiam , sulit aku menjawab hati yang mulai bimbang akan perasaanku padanya.
“Gak tahu tante.”

Sudah hampir sebulan aku tinggal di rumah tannte Murni, sebentar lagi kuliahku masuk lagi, berarti aku harus meninggalkan rumah ini lagi. Tapi saat ini ada rasa malas untuk pergi , ada hati yang tertinggal di sini. Apa ini namanya cinta ya? Entahlah aku masih bingung dengan perasaan diriku sendiri , tapi apakah Toto juga punya perasaan yang sama denganku, kalau tidak aku seperti burung pungguk merindukan bulan, payah! Kudengar ketukan di pintu depan. Tampak perempuan setengah baya , masih terlihat gurat kecantikannya berdiri di hadapanku.
“Boleh masuk?” tanyanya. Aku tersentak kaget.
“Silahkan bu,”aku mempersilahkannya duduk. Aku memanggil tante Murni mungkin temannya. Ibu Nurul, ternyata ibunya Toto dan dia datang kemari mau melamarku.
“Saya mengucapkan banyak terimakasih buatmu Anti, telah banyak menolong Toto sehingga dia kembali seperti sedia kala, dan dia  mencintaimu.” Hening begitu lama memenuhi ruang tamu tak ada satupun yang bicara, masing-masing dengan pikirannya termasuk aku. Toto sudah berdiri di depan pintu dan menagajakku keluar . Ditariknya tanganku , aku terseret-seret mengikuti langkahnya sampai di ladang jagung milik pak Toha.
“Mau apa sih kemari?” tanyaku heran.
“Anti, berdiri di situ ya, sebentar aku akan berteriak , tolong didengarkan ya,” Toto berdiri dekat ladang jagung dan mulai berteriak sekeras-kerasnya.
“Hey angin, aku cinta Anti!” Aku menutup telingaku.
“Jangan ditutup telinganya dong, dengarkan sekali lagi ya,” Toto mulai lagi berteriak lebih keras dari yang pertama.
“Angin, aku cinta Anti!” Aku tak mampu berkata-kata lagi, hatiku sudah banyak bicara, pasti Toto juga tahu kalau aku juga mencintainya. Tidak perlu lagi kuungkapkan dengan kata-kata hanya pendar-pendar sinar mata yang menunjukan rasa cinta yang tulus di hati.
“Anti, kamu si cantiknya  dan aku si jeleknya, ceritanya hampir sama dengan Beauty and The Beast, aku si jelek kembali tampan karena cintamu.” Aku tertawa, astaga sampai segitunya cerita cintaku disamakan dengan kisah cinta di film kartun Beauty and The Beast. Aku masih tertawa dalam buncah –buncah cinta dalam remangnya sore di ladang jagung. Tak akan pernah kulupakan!

1 Menatap Langit Luas

Jumat, 08 Mei 2020

Gambar dari sini

Persada maya tampak dari birunya langit
Tanpa awan
Hanya terlihat burung sedang bermigrasi

Sinar yang menanti di ujung sana
Saat mentari sudah menjulang tinggi’
Hanya angin kering yang berlalu

Bayang-bayang semu ada di bumi
Karena teriknya mentari
Hanya bermimpi terbang jauh

Cerita ini nyata
Ketakutan dimana-mana
Hanya berharap bisa melaluinya

Kini langit masih biru
Masih menyapa manusia di bumi
Hanya jangan hilang asa ini

Terimakasih langitku
Tetap bersama dalam memeluk duka
Hanya kaulah yang akan selalu aku tatap saat badai ini selesai

Cirebon, 9 Mei 2020