Masih
pagi, udara dingin menggigit , membuatku mengigil kedingingan. Gelap menyapa
hanya sinar dari senter yang menerangi perjalanan menuju kandang pak Amir.
Seperti biasa sudah hampir tiga hari aku beserta sembilan muridku mengadakan
penelitian di desa Cisantana Kabupaten Kuningan.Sebagian beranjak ke kandang
pak Amir sebagian lagi ke kandang pak Jupri. Satu persatu mereka mengambil
sampel susu dari beberapa sapi yang ada di kandang. Aku berdiri di tepi kandang
dengan tubuh yang menggigil . Aku eratkan mantel. Saat aku menghembuskan nafas
terlihat hidungku mengeluarkan asap .
“Bu, mampir ke rumah. Ada teh hangat
dan singkong goreng,”tukas seseorang yang melewati kandang pak Amir. Di desa
sudah biasa mereka selalu menyapa orang yang lewat dekatnya.
“Maksih bu,”tukasku cepat. Aku melihat Andika sedang menuliskan label di
tabung reaksi agar sampel tak tertukar saat diperiksa di laboratorium kelak.
Mereka bekerja sambil sedikit bercakap-cakap. Dna tampaknya mata mereka masih
terlihat mengantuk.
“Sial, semalam aku gak bisa tidur,
nyamuk membuat nyanyian sendiri di telingaku,”sembur Leo kesal. Aku menatap
mukanya yang memang terlihat sekali kurang tidur. Agak setengah loyo, tapi
tetap lincah mengambil sampel susu. Habis inipun mereka tak bisa langsung
beristirahat karena mereka harus menguji sampel susu itu di laboratorium yang
jaraknya cukup jauh dari kandang. Sampel harus segera diuji ,kalau tidak keburu
masam dan rusak. Aku menatap mereka dengan pandangan iba. Mereka sudah hampir
tiga hari benar-benar bekerja keras untuk melakukan penelitian ini. Ada sedikit
rasa bangga pada mereka.
“Bu, naik mobil saja ya ke
laboratoriumnya. Duh badanya kok lemes sih,”tukas Leo.
“Tapi harus sabar menunggu, karena
mobilnya harus mengambil susu di beberapa kandang lainnya. Mereka semua menatap
Leo. Aku tahu yang lainnya ingin segera ke laboratorum tanpa menunggu mobil dan
segera bisa beristirahat. Leo menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal. Tentunya
dia harus mengalah dengan yang lain yang
suaranya lebih banyak.
“Dah , gak apa-apa Le. Nanti kalau
sudah selesai ke laboratorium , kamu bisa langsung tidur lagi,”tukasku. Walau
agak kesal, Leo mengikuti mereka yang bersuara lebih banyak. Dalam hatiku kecilku
, aku memuji semangat mereka bekerja.
Siang itu aku mulai memasak untuk
makan siang bersama anak-anak. Sambil memotong-motong sayur, aku mengusulkan
perlunya sedikit refreshing dengan cara berjalan-jalan ke suatu tempat yang
bisa mengurangi rasa lelah setelah begitu banyak hal yang dilakukan untuk
penelitian ini. Tampak bola mata mereka begitu memancarkan keriangan dan semangat
. Ah, mereka nyatanya memang sudah lelah. Mereka perlu refreshing.
“Ah, ibu tahu saja,”tukas Tina tersenyum.
Terdengar suara berdengung dari anak-anak yang mulai berencana hendak kemana
tujuan mereka. Mereka saling menyebutkan tempat yang ingin mereka kunjungi yang ada di sekitar desa Cisantana.
“Mengapa kita gak ke waduk Darma
saja?” tanya Ita.
“Cibulan,” tukas Nico.
“Enakan ke Sidomba,”Nina menyela .
“Gak sopan tahu nyela omongan
orang,”tukas Nico memarahi Nina. Nina tampak cemberut. Begitu banyak tempat
yang ingin mereka kunjungi. Aku menatap satu persatu. Mereka akhirnya terdiam
dengan sendirinya. Aku sempat tersenyum
dan membuka amplop berisi uang mereka. Aku menghitung sisa uang yang ada di
amplop. Memang, aku menyuruh mereka patungan uang untuk penelitian selama
seminggu di desa ini. Uang itu untuk makan sehari-hari dan untuk biaya
pemeriksaaan sampel di laboratorium. Saat mereka melihat sisa uang, tiba-tiba
mereka terdiam seketika. Hanya tinggal lima puluh ribu rupiah. Mereka tampak lemas
tak berdaya. Begitu ingin untuk bepergian tapi uang yang ada hanya bersisa
sedikit.
“Gimana kalau kita ke Hutan Lindung
Palutungan saja. Dekat kan? daripada tidak ,”tukasku memberi usul, walau aku sendiri belum bisa
mengetahui apakah dengan uang segitu cukup untuk menyewa mobil dan masuk ke
dalam tempat wisatanya. Karena tidak mau mengecewakan siswa-siswaku, kami
berunding bagaimana dengan uang yang ada dapat pergi ke daerah Palutungan
tersebut.. Untuk makan siang akan bekal dari rumah. Agar tidak mengeluarkan
uang, kebetulan ada siswaku , Tina yang tinggal di daerah Cisantana tersebut
sehingga untuk bahan-bahan mentah untuk
bekal bisa ambil dari kebun oranngtuanya. Jadi hari sebelum keberangkatan, aku
dan anak-anak mengambil sayuran di kebun milik siswaku.. Memetik daun singkong,
mengambil waluh , cabe merah di kebun merupakan pengalaman pertama bagi
anak-anak sehingga mereka sangat antusias sekali. Jadi dapatlah seikat daun
singkong, waluh , cabe merah, bawang
daun, cabe rawit. Sebagian uang dibelikan ikan asin dan kerupuk dan minyak
goreng , beras. Untuk bekal sudah bisa diatasi, nah, untuk pergi kesana perlu
nyewa angkot pulang pergi. Tina, siswaku yang penduduk sana melobi supir angkot
di sana untuk mau mengantarkan ke Palutungan gratis tidak bayar. Mungkin karena
tetanggaan akhirnya mau juga, mungkin juga karena tidak enak hati. Satu lagi
yang harus dipecahkan adalah bagaimana bisa masuk ke sana tanpa tiket alias gratis. Menurut Tina kalau penduduk di
sekitarnya mau ke Palutungan bisa gratis asal bisa menunjukkan kartu tanda
pengenal. Akhirnya orang tua Tina mau membantu kami dengan cara melobi ke
pegawai PERHUTANI, yang sebagian dia kenal. Hati kami gembira ketika ayah Tina
pulang dengan berita gembira kalau diijinkan masuk tanpa harus bayar
sepeserpun. Kami bersorak gembira. Ternyata kesulitan dapat teratasi dengan
mudah.
Objek Wisata Palutungan yag akan dikunjungi terletak di kaki gunung Ciremai kabupaten
Kuningan. Disana terdapat hutan lindung yang sering digunakan sebagai bumi
perkemahan. Di sana bisa merasakan udara yang segar dengan pohon pinus yang
berjejer rapi dan bergoyang-goyang tertiup angin. Selain pohon pinus juga
banyak terdapat pohon-pohon lainnya yang semuanya dilindungi. Disana selain ada
permainan outbound juga terdapat curug/air terjun Putri dengan ketinggian 20
meter dan berasal dari mata air di dalam hutan gunung Ciremai. Nama Curug Putri
ini berasal dari legenda yang dipercaya masyarakat setempat sebagai tempat
mandi dari putri-putri Kahyangan. Bila sedang hujan makanya sering terlihat
pelangi dari curug tersebut dan dipercaya pada saat itu bidadari sedang turun
ke bumi untuk mandi di sana. Kesan mistis pada curug tersebut sehingga ada yang
ke sana bukan untuk wisata tapi ingin minta berkah berupa jodoh, pekerjaan dan
kesuksesan dengan cara membasuh muka dengan air terjun tersebut.
Pemandangan
yang alami dan udara yang sejuk cukup baik untuk menikmati kesegaran udara di
sana.
Pagi-pagi sekali aku membangunkan
anak-anak untuk membantu aku memasak di dapur. Ratih membuat sambal bawang ,
sambal khas daerah Cisantana.
“Rat, yang pedes ya. Biar
enak,”tukas Tina yang sedang menggoreng ikan asin. Bau ikan asin di pagi itu
membuat perut semakin keroncongan minta diisi. Aku membuatkan sarapan nasi
goreng buat mereka. Nina merebus daun singkong , waluh untuk lalapannya. Nico
membeli kerupuk di warung dekat rumah Tina. Lengkap sudah perbekalan yang akan
dibawa. Tampak mereka sarapan dengan lahap dan mulai siap-siap untuk berangkat.
“Eh, ngomong-ngomong nanti makannya
pakai apa, kok gak bawa piring,”tukas Andika. Ah, benar juga ya, sedari tadi tak
terpikirkan oleh diriku.
“Sudah pakai daun pisang saja,”tukas
Ratih cepat. Aku menyuruh Leo dan Nico untuk mengambil daun pisang di kebun
belakang.
Setelah siap , masih menunggu angkot
yang dipesan karena angkot tersebut baru mau narik kalau sudah di atas jam
sembilan kalau penumpang sudah berkurang (agar tidak rugi karena kami naik
secara gratis). Akhirnya datang juga angkot ,duduknya harus berdesakan karena
harus diisi sebanyak 10 orang , sehingga ada siswa yang harus jongkok di
tengah.. Perjalanan yang tidak lama hanya perlu waktu setengah jam sampai
kesana tapi harus melewati tanjakan yang curam. Berhubung angkotnya juga sudah
tua sehingga mesinnya juga sudah aus sehingga ketika menanjak mesinnya
meraung-raung keras, rasanya ingin ikut dorong agar majunya lancar.. Sampailah
pada gerbang masuk dan karena kami sudah punya ijin masuk tanpa membayar dengan
menunjukan surat keterangan yang ditulis oleh pegawai PERHUTANI tadi malam.
Akhirnya kami dapat masuk ke dunia tumbuhan yang ada di kawasan hutan lindung
Palutungan.
Agar acara wisata ini bisa
bermanfaat saya membagi siswa menjadi tiga kelompok , mereka diberi tugas untuk
menyalin nama-nama pohon dengan klasifikasinya mulai dari family, genus dan
spesiesnya. Jadi mereka secara berkelompok menuju pohon-pohon di sana dimana
setiap pohon ada papan yang bertuliskan jenis tanaman beserta keterangan mulai
dari family, genus, dan spesiesnya.Selagi mereka mencatat jenis-jenis pohon aku
duduk di bangku di bawah pohon pinus sambil memperhatikan pemandangan yang asri
dan dimana-mana yang terlihat hijaunya daun dan langit yang biru terang dengan
awan yang tipis. Setelah itu mereka bebas berjalan-jalan di sana..Sepanjang
masuk ke bagian dalam pohon pinus berjejer dan pada saat itu angin lagi besar
sehingga desiran angir terdengar menderu dan pohon pinus melambai-lambai
sehingga antara pohon pinus yang satu dengan yang satunya lagi bersentuhan
membuat suara berderik, seram juga , karena kadang suara itu membuat kaget.
Sepanjang pohon pinus ke bagian dalam terdapat jalan setapak
yang kecil dan arahnya menuju curug dengan jalan terjal. Harus hati-hati agar
tidak terpeleset apalagi mendekati curug tanah agak basah sehingga lebih licin.
Dan terkahir setelah air terjun terlihat jalan curam ke bawah. Akhirnya air
terjun terlihat jelas dengan suara menderu yang keras karena air jatuh dari ketinggian
20 meter dan cipratan air dibawah sampai terasa beberapa ratus meter dari air
terjun. Siswa laki-laki mulai membuka baju atas dan mulai bermain air dan
berdiri di bawah air terjun. Waktu kakiku menyentuh air terasa ngilu di tulang
karena dinginnya. Tapi airnya jernih sekali dan waktu kucoba meminumnya segar
sekali sampai di kerongkongan.
Di dinding batuan bisa terlihat
jenis paku-pakuan yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Dan biasa anak remaja
tidak kalah dengan anak kecil , bila sudah ketemu dengan air mulai
basah-basahan sehingga baju yang mereka simpan di tepian hanyut ke aliran air
terjun sehingga basah semua. Padahal mereka tidak membawa baju ganti . Setelah
puas bemain dan siang sudah jelas terlihat dari matahari yang berada tepat diatas
kepala. Aku dan anak-anak mencari tempat untuk makan siang. Ternyata di sana
terlihat ada saung bertingkat terbuat dari kayu. Sesampainya di sana bekal
dibuka dan aku mulai membagi-bagikan nasi sama rata agar tidak ada yang
mengambil lebih banyak dari yang lainnya. Mungkin karena hawa yang dingin
sehingga membuat cepat lapar, makanan yang sangat sederhana itu habis juga,
bahkan masih ada yang merasa belum kenyang.
“Aduh, masih lapar,”keluh Nico,
padahal aku melihat tadi dia sudah menambah nasinya.
“Kebiasaan kamu Nico, perut kamu
memang gembul ,”tukas Leo mengejeknya. Semua setuju dengan pendapat Leo. Memang
Nico itu paling doyan makan dan selalu makan lebih dari satu piring.
“Wah, bajunya kering juga ya,” tukas
Leo. Sementara tadi makan mereka menjemur pakaian mereka. Makan bertelanjang
dada, membuatku geli.
“Seperti oarang primitif saja ya
kalian itu,”tukasku.
“Emang kenapa bu?” tanya Nico. Aku
melirik mereka yang bertelanjang dada. Mereka akhirnya mengerti dan tertawa
terbahak-bahak.
“Eh sudah waktunya pulang,”tukas
Tina. Tina lalu berusaha menelpun supir angkot
yang janji akan menjempu jam satuan.
Nah, ini lagi karena gratis , harus
menunggu lama sampai tidak banyak penumpang karena pada jam satuan adalah jam
pulang sekolah. Walau baju anak-anak sudah kering tapi jemputan belum datang saja padahal sore nanti masih harus
ambil sampel susu di kandang sapi. Semua sudah gelisah apalagi udara mulai
mendung dan gelap dan angin mulai membesar sehingga suara angin meraung-raung
dan mulai gerimis. Raungan angin semakin keras dan langitpun semakin gelap, aku
mulai gelisah .Kulihat anak-anak juga sudah mulai takut dan gelisah. Mereka
takut dengan suara angin yang mulai semakin keras
Detik demi detik berlalu rasanya
lama sekali, aku mulai menilpun supir angkot tapi tidak diangkat-angkat terus.
Anak-anak mulai mengeluh dan sudah kesal dan kecapaian karena kelelahan tadi
bermain-main,tapi angkot yang ditunggu –tunggu tidak datang juga malah
gerimisnya makin membesar dan mulai hujan. Kami berteduh di warung yang ada
disana , tapi karena warungnya kecil, jelas saja kami kebasahan.
Akhirnya angkot yang ditunggu datang
juga. Anak-anak mulai ngomel panjang lebar bahkan ada yang menggerutu.
“Mang, kenapa telat sih, hampir satu
jam loh telatnya,”tukas Nina kesal.
“Gratis aja pakai protes,”tukas
mamang supir sambil mendelik kejam pada anak-anak. Anak-anak tersipu malu-malu.
Aku hanya bisa nyengir melihat tampang mereka yang sudah tampak kelelahan.
Merasa sadar diri kalau mereka numpang gratis naik angkot, akhirnya mereka
semua serentak tutup mulut tak ada lagi yang
mengeluh. Baju mereka basah bukan karena tadi main air tapi karena
kehujanan. Badan mereka mengigil, belum lagi mereka membayangkan masih harus
mengambil sampel susu di sore harinya.Sampailah di rumah dengan pakaian yang basah dan harus mandi dan
berganti pakaian dan siap lagi untuk bekerja di kandang sapi untuk melakukan
penelitian lagi.
Walaupun perjalanan ini tidak
menginap dan hanya satu hari saja tapi sangat berkesan karena melihat pemandangan
yang indah, dengan banyak bantuan yang kami peroleh..Dan begitu banyak ilmu
yang didapat anak-anak dengan banyak keaneka ragaman hayati yang mereka temukan
di hutan lindung Palutungan. Aku tersnyum bahagia telah memberikan pengalaman
yang beharga bagi murid-muridku. Perjalanan singkat yang keren dan
berguna.Selain itu makan siang yang sangat sederhana tapi ludes dan harus basah
kuyup karena kehujanan , seru dan tak pernah dilupakan. Menanjak sampai
ujung terlihat keindahan alam yang
mempesona.........
Blogpost ini dibuat dalam rangka mengikuti kompetisi menulis cerpen Awesome Journey diselenggarakan oleh Yayasan Kehati dan Nulisbuku. com