Perutku sudah kosong dan benar saja terdengar sura
keroncongan dari perutku, sepertinya cacing-cacing di perutku sedang
menari-nari. Mungkin saja cacing-cacing itu lagi berjoged ala Saisar. Kenapa ya
gak ada ojeg yang masuk ke perumahanku, aku harus menyusuri jalan aspal yang
panasnya gak ketulungan. Bisa dilihat wajahku sudah hampir menghitam terbakar
matahari setiap harinya. Berapa kali aku minta motor ama nyokap, sampai detik
ini gak pernah diberi Payah sekali punya nyokap yang kolot!.
“Apa-apaan
ini, jadi mama dipanggil lagi ke sekolah Nara!”teriaknya , surat panggilan
masih tergenggam di tangannya. Aku hanya menggaruk kepalaku yang tidak gatal.
“Mama gak
habis pikir sama kamu Nara, selalu buat ulah, mama pusing mikirin kamu,” mama
menghela nafas kelelahan mengomeliku.
“Sudah mam
, marahnya, aku sudah lapar nih,” kataku cuek. Mama melotot, jangan-jangan
sebentar lagi bola matanya keluar, astaga jangan sampai , bisa-bisa aku
ketakutan melihat mamaku sendiri. Aku berlari untuk menghindari kena omelannya
lagi dan mendarat dengan mulus di depan meja makan. Tanpa menunggu lama , aku
sudah mulai makan dan setengahnya sudah kuhabisi dan bersemayan di perutku
“Hem,
kenyang,” aku mulai mengelap bibirku yang penuh dengan nasi .
Pagi
itu di kelas sudah ada gosip yang paling
hangat, menurut kabar akan ada guru kimia menggantikan pak Selamet. Anak-anak
jelas bersorak sorai, karena guru kiler itu akan hengkang dari sekolahku.
“ Gue suka
nih denger kabar ginian, paling tidak gue gak bakal kena semprot terus, bener
gak?”
“Alah, elu
sih semua guru juga suka ngomelin elu , dasar elunya aja gak becus,” Dinar
mulai mencelaku. Aku hanya nyengir kuda saja, siapa yang gak tahu reputasi aku,
siswa yang suka bikin onar dan sudah banyak kali aku diskors, tapi itu gak
pernah buat aku kapok!!!!!
“Pagi
anak-anak,” pak Broto masuk dalam kelas diikuti dengan wanita muda. Pakaiannya
modis dan aduhai tampak cantik dengan balutan baju yang elegan.Senyumnya
menebar ke segala penjuru kelas. Kutatap para cowok yang terpana , mulutnya mangap
kayak ikan yang sedang kehabisan oksigen.
“Hoy, kayak
kagak pernah lihat cewek cantik saja.” Aku mulai menghardik Danang. Aku melotot
pada semua cowok di kelas yang mulai senyum-senyum simpul!!!!
“Heloo!!”teriakku
“Alah,
pasti elu cemburu kan , bakalan kalah saing tuh ama bu guru.” Danang menjulurkan lidahnya padaku
“Enak aja ,
jidat elu itu,” aku menepak jidat Danang .
“Sudah
kalian jangan ribut,” pak Broto mulai memperkenalkan guru kimia baru dan
sekaligus akan menjadi wali kelas kelasku. Semua anak bertepuk tangan ,
kegirangan karena akan mendapat guru cantik. Bu Lana , namanya. Aku menatap
matanya ,ada sesuatu yang entah mengapa aku segan untuk mengusilinya, biasanya
aku paling doyan , memplonco guru baru.
Tapi saat ini aku hanya duduk diam dan hanya memperhatikan bu Lana memanggil
nama anak-anak satu persatu.
“Tumben si
Nara diam, ada angin apakah gerangan?” Syamsu menghampiriku dan memegang
jidatku
“Gak sakit
tuh, kenapa ya?” aku mendorongnya kesal. Bu Lana menatapku dan aku terdiam.
“Ok,
anak-anak,ibu harap kerjasama kalian dengan ibu, kalian sahabat-sahabatku yang
pantas aku hargai selama kalian memang pantas dihargai ,” Bu Lana mulai membuat
peraturan untuk kelas kimianya. Waktu bu
Lana asik mengajar aku mulai melipat kertas menjadi burung dan mulai melempar
ke depan dan tepat mendarat di kepala bu Lana. Semua anak terdiam. Bu Lana
menatap sekilas padaku dan segera keluar dari kelas dan tak berapa lama kemudian , bu Lana kembali ke kelas
dengan membawa stoples bening kosong.
“Nah, Nara
tolong buatkan ibu origami burung seperti yang kau lempar dengan kertas lipat
dan kau isi stoples ini penuh dengan origami burung,” Bu Lana menyodorkan
stoplesnya padaku. Bu Lana dengan cuek kembali mengajar.
Siang itu,
pulang sekolah aku mampir ke ruang guru untuk memberikan stoples yang sudah
kuisi dengan origami burung penuh tanpa sela. Guru-guru memandangku dengan tatapan marah
karena kali ini aku bermasalah lagi dengan guru baru.
“Hai, Nara,
kemari sudah jadi origaminya?”tanya bu Lana ramah. Aku sedikit bengong tapi
kulanjutkan langkahku menuju mejanya bu Lana.
“Bagus
sekali Nar, kamu suka membuat origami ya,” Aku menganggukan kepala dan menatap
ada keramahan di mata bu Lana. Siang itu aku diajak ke rumah bu Lana, ternyata
bu Lana juga penggemar origami. Di kamarnya banyak bergelantungan origami
burung, bintang dan banyak lagi .Kamarnya tampak semarak dengan lampu-lampu
kecil yang indah. Aku suka sekali dengan kamarnya. Coba kalau aku punya kamar
serapih ini. Kamarku berantakan dan tak pernah kubersihkan sampai mama berulang
kali harus marah karena kemalasanku membereskan kamarku.
“Bu,
kamarnya rapih dan bagus sekali origaminya,” seruku sambil menatap origami yang
tergantung di kamarnya.
“Ibu yakin
kamarmu pasti jorok kan?” aku tersenyum tak membantah sama sekalai, memang
kenyataannya seperti itu. Bu Lana banyak mendengarkan aku cerita tentang mama
dan papaku yang bercerai enam tahun yang lalu.
Aku menceritakan kalau mama dan papa sepertinya sudah gak peduli lagi
denganku, mereka sibuk dengan urusannya masing-masing dan tak pernah menanyakan
bagaimana perasaanku. Mereka hanya memberikan uang dan uang, itu semua tak
berarti bagiku, aku ingin didengarkan dan diperhatikan oleh mereka.
“Ibu mengerti
perasaanmu, tapi kalau cara kamu agar orang tuamu memperhatikanmu dengan cara
seperti yang kamu lakukan , hasilnya nihil,” Bu Lana menyuruhku berbuat yang
lebih baik dan punya prestasi agar mama dan papa bisa sadar bahwa kamu punya
sesuatu.
“Masalahnya
bu, dari dulu aku bisanya bikin onar, aku gak tahu bakatku apa?” Bu Lana tertawa renyah dan di telingaku
seperti lagu yang membuatku terlena sesaat, alangkah enaknya kalau mama mau
juga mendengarkan curhatanku.
“Nanti juga
kamu akan tahu apa yang kamu suka,” sela bu Lana .Tak terasa sore menjelang,baru
pertama kali ini aku merasakan punya teman bicara yang mengasikan, tidak
menggurui dan tidak sok tahu tapi bisa membuatku nyaman berada di sisinya. Aku
pulang dengan perasaan sukacita.
Sudah hampir
enam bulan bu Lana mengajar di sekolahku, tenyata pengagumnya semakin banyak.
Banyak siswa yang menyukai cara mengajarnya dan sikap tegas namun lembut yang
membuat siswa tidak sakit hati kalau ditegur olehnya.
“Dah elu Danang gak usah kebelet macari
bu Lana, dia sih dah punya pacar,” aku mendorong jidatnya ke belakang.
“Sebelum janur kuning terpasang di rumahnya,
gua gak bakal nyerah,” Danang mulai ngegombal.
“Dasar jidat elu!” beberapa siswa cewek
nimpukin bersama-sama. Danang menjerit dan pintu terbuka , bu Lana masuk sambil
menatap heran .
“ Wah, Danang kena timpuk ya, kasihan
deh lu,” semua kelas tertawa dan menatap Danang yang masih memegangi kepalanya,
mudah-mudahan saja kepalanya tidak benjol.
Bu Lana memberitahukan kalau ada lomba menulis cerita pendek yang
diadakan kampus Nusantara. Siapa saja
boleh ikut dan tanpa uang pendaftaran. Waktu
aku keluar kelas saat bel berbunyi, aku melihat bu Lana melambaikan tangannya
padaku.
“Nar, kamu ikut saja lomba cerpennya,”
katanya. Aku ragu, karena selama ini aku
hanya menulis di buku diaryku saja.
“Ibu tahu kamu bisa kok, bu Nisa pernah
bilang sama ibu kalau tulisanmu cukup baik.” Bu Lana memberiku semangat dan
menepuk pundakku.
“Kamu pasti bisa Nar.” Bu Lana mengedipkan matanya padaku , aku
tertawa lepas.Siang itu aku pulang dengan perasaannya yang aku sendiri tak
pernah merasakannya . Perasaannya ada yang memperhatikan dan menyemangatiku,
itu semua membuatku banyak berubah.
Malam itu aku masih disibukan dengan
cerpenku. Aku pandangi origami burung yang kugantung di atas meja belajarku.
Kamarku sekarang rapih dan dipenuhi dengan origami buatanku, bintang, burung Tanganku
masih menari-nari di keyboard laptopku dan tak terasa akau sudah menuliskan apa
yang kurasakan dalam rangkain kata-kata indah. Ah, tinggal dipoles saja, besok
akan kubaca ulang dan biar bu Lana yang memeriksanya. Aku tersenyum saat aku
mengingat bu Lana, dia telah banyak merubah diriku menjadi pribadi yang lebih
baik.
“Nar, sudah tidur?” mama menghampiriku
dan memegang pundakku. Aku menatapnya cuek.
“Belum ma, sebentar lagi,” aku mulai
membereskan meja belajarku. Mama menatap kamarku yang tampak rapih .
“Mama tahu semua ini karena bu Lana
kan?” tanyanya yang mengagetkanku. Darimana mama tahu, aku menatap mama dan
mulai berbaring di tempat tidurku, mama duduk di sebelahku.
“Bu Lana sudah banyak bercerita pada
mama, maafkan mama ya, mama gak tahu kalau kamu kesepian,” sela mama , wajahnya
tampak murung. Mama menceritakan padaku kalau mama masih sakit hati dengan
kepergian papa karena wanita lain, jadi mama berusaha agar mama selalu tampak
sukses di depan papa .
“Tapi ternyata ini membuatmu kesepian
Nar, maafkan mama ya,” mama memelukku erat. Kembali aku merasakan kehangatan
pelukan seorang ibu yang lama sempat aku kehilangan pelukannya.
“Mulai sekarang, kita harus jadi
sahabat yang baik, mama juga harus mengikhlaskan papa pergi,” aku kembali
memeluknya.
“Maafkan Nara juga ma, sudah banyak
merepotkan mama, Nara janji deh akan jadi anak yang baik.” Aku memandang
origami burung yang masih bergoyang-goyang tertiup angin dari kipas angin. Origami
burung itu selalu mengingatkanku dengan bu Lana. Sedang apa ya bu Lana malam
ini?????
Tak
kusangka petemuanku dengan bu Lana harus berakhir, karena bu Lana harus
mengikuti suaminya yang belajar lagi ke Australia. Aku paling sedih mendengar kabar itu, tak mau
aku melepaskan bu Lana, dia yang telah banyak mengubah hidupku. Masa setahun
aku diajar bu Lana , aku seperti mendapatkan duniaku menjadi cerah dan banyak
yang bilang aku menjadi anak yang lebih ceria dan tak jahil lagi. Guru-guru
juga tenang karena saat ini aku mulai malas untuk menjahili mereka, karena aku
sudah jadi siswa yang baik.
“Alah, lihat Nara mewek tuh,” Danang
mulai mengejekku dan menyodorkan saputangan kumalnya. Aku mengambilnya dan
membuangnya ke tempat sampah.
“Enak saja, main buang saja,” Danang
mengambil kembali saputangan kumalnya dan mulai menciumnya dan tak lama
tiba-tiba Danang jatuh ke lantai.
“Diamkan saja paling-paling Danang pura-pura,”
sela Syamsu dan tak lama kemudian Danang berdiri kembali . Aku memandangnya
sebal, paling gak mood sama Danang ini, maunya sih melucu tapi garing!!!!
“Harusnya kelas kita tuh ngasih sesuatu
buat bu Lana,” sela Dinar. Semua anak mulai berembuk , mau memberi hadiah apa
untuk kenangan-kenangan buat bu Lana.
Anak-anak tiba-tiba terdiam saat bu Lana masuk kelas. Bu Lana menjelaskan kabar tentang
kepergiannya ke luar negeri dan bu Lana harus melepaskan pekerjaannya di
sekolah ini.
“ Ibu harap, kalian tetap menjadi anak
yang baik, siapapun guru kalian,” bu Lana menatap satu persatu wajah
siswa-siswanya Mungkin minggu depan ibu sudah tak ada lagi di sini.
“Oh ya, ibu dapat surat dari panitia
lomba cerpen dan pemenangnya dari sekolah kita,” bu Lana membuka amplopnya.
Semua diam menunggu bu Lana memberitahu siapa pemenangnya.. Banyak sekali
pertanyaan di beank anak-anak. Mereka tampak tidak sabar , menunggu bu Lana
berbicara lagi.
“Nara Diah Pitaloka,” bu Lana
menyebutkan namaku. Semua memandangku tak percaya.
“Elu bisa nulis juga, gue gak nyangka,”
Syamsu menepuk pundakku.
“Gue sih nunggu ditraktir Nara saja,
paling gak bakso pak Amat depan sekolah,” sela Danang. Aku sendiri masih belum
percaya dengan apa yang kudengar,masih kupegang surat pengumuman digenggaman
tanganku. Bu Lana menepuk bahuku dan tersenyum.
“Selamat Nara, coba kembangkan bakatmu
siapa tahu kamu jadi penulis terkenal.”
“Nara hebat , elu pemenangnya !”teriak
Dinar dan diikuti Danang dan Syamsu berteriak-teriak seperti orang kesurupan
saja. .
“Diam tahu, malu-maluin saja,
diam!”teriakku, tapi mereka tak mau diam tetap saja bilang kalau aku pemenang
lomba cerpen, sampai semua kelas mereka datangi.
Saatnya tiba , perpisahan dengan bu
Lana. Aku sebetulnya yang paling sedih dibanding teman yang lain. Dari bu
Lanalah aku menemukan jati diriku kembali, kalau tak ada bu Lana mungkin aku
masih seperti dulu, siswa yang jahil, norak , badung dan paling suka bikin onar
di sekolah. Tapi semua itu sudah berlalu. Aku mencintai bu Lana seperti aku
mencintai mama, bu Lana bagiku seperti mama keduaku. Kepergiannya membuat
goresan luka di hatiku yang mungkin akan sulit doibati. Butuh waktu lama untuk
menghapus banyak kenangan bersama bu Lana. Semalaman aku membuat origami burung
dengan banyak warna dan kumasukkan dalam toples besar. Toples ini akan aku berikan buat bu Lana,
dari oroigami burung inilah awal aku bisa merubah diriku.
“Bu, makasih ,” dengan suara tersendat
aku memberikan toplesnya dan air mataku mulai mengalir deras, tak dapat
kubendung lagi, semua runtuh saat perpisahan sudah di ambang pintu. Aku harus
kehilangan cintaku untuk kesekian kalinya, aku ingin cinta bu Lana tetap di hatiku.
Ingin kuberteriak , jangan pergi bu, tinggalah bersamaku. Tapi itu tak mungkin.
Aku memeluknya dan mulai menangis .
“Hapus air matamu, ibu juga sayang
denganmu, ibu akan tetap mendengarkan curhatmu walau kita berjauhan,” bu Lana
mengedipkan matanya padaku. Aku masih sesunggukan dan air mata ini sulit
kubendung lagi terus mengalir.
“Selamat jalan bu Lana.” Aku menatap
punggung bu Lana yang semakin menjauh dan hilang dari pandanganku. Danang
merangkulku.
“Jangan nangis ya, biar papa kasih susu
ya,” Danang menyodorkan aku susu botol.
“Danang, elu gila,” teriakku. Danang
berlari takut kena timpuk aku . Aku berdiri di depan kelas , ada yang hilang di hati ini tapi aku tahu
cinta buat bu Lana selalu ada di hatiku sampai kapanpun.
“Nara!” masih terdengar teriakan
Danang. Aku segera menghampiri Danang , kalau perlu aku timpuk kepalanya. Belum
sempat aku timpuk kepalanya, Danang sudah berteriak lagi.
“Nara, aku cinta elu, jangan tolak gue
ya!!!!. Aku hanya bisa bengong beberapa saat dan meninggalkan Danang begitu
saja. Rasa cintaku belum bisa kuberikan untuk seorang cowok, tapi cintaku
tertinggal di hati bu Lana. Selamat jalan bu Lana, aku cinta ibu!