Gambar dari sini
Desa Pattaneteang di kecamatan Tompobolu di Kabupaten
Banateng sungguh indah. Pegunungan yang mengelilingi desa ini memberikan kesan
tersendiri. Udara yang masih sejuk jauh dari polusi udara. Hampir semua
penduduknya bertanam kopi. Kopi dari desa ini kopi terbaik yang mempunyai cita
rasa yang berbeda dengan daerah lainnya. Akupun pernah merasakan banyak rasa
kopi dari daerah di Indonesia. Tapi ya kopi Torajalah yang paling aku suka. Ya,
mau gimana lagi dari kecil aku sudah biasa mencium aroma kopi Toraja, minum
kopi Toraja. Begitulah , karena aku lahir di desa ini . Aku merupakan bagian
dari desa penghasil kopi yang enak rasanya. Sekarang saat aku berdiri di tepian
tebing dekat kebun kopi milik ambe(ayah). Ambe mulai menanam kopi di ladangnya
yang dulu masih kecil. Hasil ladangnya semakin menghasilkan dan akhirnya ambe
punya kebun kopi yang luas. Mulai saat itu kehidupan aku mulai berubah . Kesulitan
hidup mulai menghilang tergantikan dengan kehidupan yang layak bagiku dan kakak
baine (kakak perempuan).
“Hey , apa
kareba sangbaine (apa kabar)?” . Aku membalikan tubuh melihat siapa orang yang
menyapa sepagi ini di kebun kopi ambe. Ah, Bujang teman sepermainanku dulu
sekali.
“Karebo
melo (kabar baik).” Ah, Bujang masih seperti dulu hanya sekarang tampak otot
tangannya menyembul tanda dia pekerja keras di kebun miliknya. Sebentar kemudian Bujang berpamitan hendak ke
kebun kopinya, aku mengiyakan dan menatap punggungnya mulai menjauh. Terasa seperti film yang berputar . Kini aku
mulai memutar film , cerita yang tersembunyikan oleh waktu tapi maih terekam baik
dibenakku.
Aku meninggalkan
desaku hampir tujuh tahun yang lalu. Memang tujuan aku untuk sekolah di Jakarta,
tapi ada satu hal yang hanya keluagaku saja yang tahu. peristiwa yang membuatku harus pergi dari desa ini.
Harus. Walau kini aku sudah sukses di Jakarta , ternyata kepergianku menambah
penderitaan kakak Ida. Dia kehilangan ingatannya. Semua berawal dari ambe.
Betul semua dari ambe. Aku masih ingat . Ambe adalah pekerja keras. Dengan bantuan
indo (ibu) ambe bisa memperluas kebun
kopinya . Banyak hasil yang didapat dari kebun kopinya, tapi ternyata kehidupan
yang layak bagi aku dan keluarga tak membuat menjadi bahagia. Uang yang
dihasilkan ambe dari kebun kopi ternyata membuat mata hatinya tertutup. Banyak
perempuan-perempuan yang tertartik dengan ambe. Dan itu membuat ambe menjadi sombong.
Dia lupa dengan indo yang turut berjuang untuk keluarga ini. Ambe lupa
segalanya. Ambe lupa segalanya. Ambe lupa kalau di rumah ada yang menunggunya.
Istri dan anak-anaknya. Dia mabuk dengan kekayaaannya. Banyak yang memujanya.
Padahal ambe tak tahu siapa yang mencintai sungguh dengan hati tulus?? Hanya
indo, hanya indo bukan perempuan-perempuan genit yang hanya tau ambe punya duit
saja. Dulu saat ambe gak punya uang apa mereka naskir dan suka sama ambe? Tak
ada satupun?.
Rol film
mulai berputar kembali. Aku melihatnya dengan jelas. Aku sering melihat indo
menangis diam-diam di kamarnya.
“Indo
meanngis?” aku mendekatinya.
“Apa ambe
gak pulang lagi?”” tanyaku . Diam tak ada yang bicara. Ida, kakak hanya
megintip dari celah pintu dengan tatapan takut. Ida kakak baineku itu memang
lemah. Tubuhnya kurus , mungkin kurang gizi dan lemah dalam berpikir. Di
sekolah juga dia paling bodoh. Jadi setelah lulus SD, kakak Ida hanya di rumah
belajar ngaji di pesantren di seberang desa . Aku hanya bisa memeluk indo dengan
erat. Indo terisak dalam pelukanku
“Sabar ,
indo, mungkin ambe sedang khilaf. Ambe kita doakan saja , biar ambe pulang kembali
ke rumah.” Indo mengangguk kecil. Ah,aku
kasihan dengan indo, kasihan. Aku melihat kakak Ida masih mengintip dari celah
pintu. Aku sedikit kaget saat aku melihat kilatan tajam dari matanya. Ada sirat
kebencian di matanya. Aku berlari keluar kamar.
“Ada apa
kakak Ida?” Matanya melotot dan dicengekramnya diriku kuat-kuat.
“Sabar
kakak, sabar. Tak apa-apa. Ambe akan pulang,”tukasku menenangkan kakak Ida.
“Dia tak akan
pulang-dia tak akan pulang,”jeritnya semakin keras. Indo cepat merangkul kakak Ida dengan erat.
Aku begitu marah dengan ambe. Kemana dia? Saat di rumah ini semua butuh ambe,
dia malah tak ada.. Aku bergegas keluar
rumah dan mulai mencari ambe. Aku
bertanya pada pak Rustan yang sedang lewat dekatku.
“Dimana
ambe?”
“Biasalah
di warungnya si Inah.” Pak Rustam menatapku tajam dan sedikit mencibir padaku.
Aku tak mempedulikannya lagi, aku bergegas ke warung Inah. Warung Inah memang
dikenal tempatnya nongkrong orang-orang yang mabuk dan orang-orang yang main
perempuan. Aku melihat ambe dikelilingi
perempuan-perempuan cantik dengan pinggul dan dada yang berisi . Ambe bak raja
dikelilingi inang-inang. .
“Ambe,
pulang.. Indo menunggumu. Kakak Ida menangis lagi?” Ambe hanya menatapku
sekilas lalu tertawa bersaama wanita-wanita itu.. Dan menggebaskan tangannya
menyuruhku pulang.
“Eh, pulang
saja kau anak kecil, tahu apa kau? “ tegur Inah pemilik warung .
“Ambe.” Aku
menarik lengannya dengan keras. Ambe menghentakan tanganku keras-keras sehingga
aku hampir terjerembab. Aku menahan air mataku keluar. Harga diriku hancur
melihat ambe lebih suka di sini dibanding bersama keluarganya. Aku pulang
dengan gontai. Akhirnya aku tak sangup lagi menahan air mataku untuk keluar.
Sepanjang perjalanan pulang aku terus menangis.
“Kemana
lagi kau, Ira? Kamu menjemput ambemu?” tanya indo. Aku mengangguk pelan.
“Sudah indo
bilang, jangan kau jempur dia, tak akan pulang, ambemu sudah terlena dengan
rayuan perempuan-perempuan itu.” Kakak Ida melotot dan kilatan matanya begitu
tajam. Aku melihat sorot kebencian ada di matanya. Aku takut sekali melihatnya.
Indo menenangkan kakak Ida tapi aku takut dengan sorot matanya, takut sekali.
Sorot kebencian kakak Ida suatu waktu akan meletus, entah kapan, tapi
pasti akan meletus suatu saat. Dan itu
benar kejadian. Saat itu aku baru saja lulus SMA dan aku diterima kuliah di
Universitas Indonesia.
Rool film
kembali berputar , cerita yang belum selesai berputar kembali. Betapa girangnya
saat aku tahu aku diterima di UI Jakarta. Aku dari desa , bisa mengalahkan
banyak orang untuk berkuliah di tempat yang bergengsi. Tapi kegembiraan hanya
sesaat , hanya sesaat. Aku ingat malam itu, saat aku sudah mempersiapkan
keberangaktan aku ke Jakarta, tiba-tiba ambe pulang. Entah apa yang membuat
ambe pulang lagi ke rumah. Indo dengan ketulusan cintanya menyambut ambe . Aku
lihat kakak Ida melihat ambe dengan sorot kebenciannya. Aku takut,aku takut
sekali. Indo segera menyediakan kopi panas buat ambe. Dan goreng pisang untuk ambe
juga. Ambe duduk diam sambil menikmati kopi panas buatan indo. Aku masih
menatap kakak Ida. Hanya sorot mata kebencian yang semakin terlihat. Kakak Ida
terlihat tidak suka indo melayani ambe , setelah apa yang diperbuat ambe
terhadap keluarga ini. Aku masuk ke
kamar, aku harus melihat lagi apa semua persiapan ke Jakarta sudah selesai
belum. Ah, aku harus meninggalkan indo dan kakak Ida. Berat rasanya, tapi aku
ingin ambe dan indo bangga kalau salah satu anaknya bisa kuliah dan menjadi
sarjana. Itu sebetulnya salah satu impian ambe dan indo juga.
“Pokoknya
ada anakku yang jadi sarjana kelak,”tukas ambe sautu saat ketika kebun kopinya
mulai banyak menghasilkan uang. Aku tersentak saat terdengar suara indo
menjerit. Aku keluar, tampak ambe terlentang dengan mulut berbusa.
“Kenapa?? Indo menggeleng keras. Aku melihat kakak Ida
menyeringai dan tersenyum puas. Ada apa ini? Mulut berbusa. Racun? Lalu siapa
yang menaruh racun? Indo? Gak mungkin.
“Ini racun
, indo?” Indo menganga tak mengerti
“Siapa yang
menaruh racun di kopi ambe?” Indo ternganga sekali lagi. Berdua beralih pandang
ke kakak Ida . Kakaka Ida tersenyum .
“Rasain
dia, ambe sudah jahat sama kita. Ambe patut mati karenanya. Aku tak mau lagi
indo menangisi ambe, tak mau.” Suaranya datar dan sedikit bergetar. Aku terduduk
lemas. Indo berpikir keras.
“Jangan
beritahu siapa-siapa, ini rahasia kita bersama. Katakan saja ambe serangan
jantung,”tukas Indo meyakini aku. Indo tak mau kakak Ida harus berurusan dengan
polisi. Biarlah ini sudah takdir ambe, begitu kata indo.
Keberangakatanku
ke Jakarta molor karena harus melakukan pemakaman ambe. Ternyata banyak yang
tak suka dengan ambe. Banyak yang mensyukuri kematian ambe. Sungguh sedih
melihatnya. Kakak Ida entah setelah itu sering melamun dan mulai mengoceh
ngalor ngidiul tak keruan. Aku baru tahu kalau saat indo menyediakan kopi buat
ambe, kakak Ida diam-diam memasukan racun tikus pada kopi ambe. Sungguh aku tak
menyangka kakak Ida berani melakukan hal ini. Kemarahan pada ambe sudah membuatkan
mata hatinya tak mampu berpikir dengan jernih lagi.. Tadinya aku ingin tak
berangkat ke Jakarta, melihat indo harus berjuang sendiri , apalagi kakak Ida
mulai tak waras. Tapi indo memasak aku untuk pergi.
“Pergilah,
ingat pesan ambe. Salah satu dari anaknya harus jadi sarjana,”tukas Indo
mengelus kepalaku. Aku mengangguk dan pergi dengan berat hati .
Di sinilah
aku setelah aku sukses lulus kuliah dan bekerja di jakarta. Kemudian aku
memutuskan untuk kembali ke desa ini untuk menemani indo dan kakak Ida. Kakak Ida
sudah mulai tenang walau masih tetlihat aneh bagi orang kebanyakan. Setiap
bulan kakak Ida berobat ke kota. Aku akan meneruskan usaha ambe dan membangun
desa ini .Aku pandang semua keindahan pegunungan dengan hamparan kebun kopi nan
luas. Di sinilah aku dilahirkan dan disinilah aku akan membangun impian ke
depan bersama kebun kopi milik ambe. Walau ada rasa pahit bila behubungan dengan
kopi yang selalu mengingatkan akan kepergian ambe. Tapi dari kopilah aku bisa
berhasil dan berdiri tegak di depan pegunungan
yang gagah berdiri. Ambe, maafkan kakak Ida, semoga kau tenang di sana.
Aku kembali ke sini setelah aku jadi sajana. Aku sudah menepati janjiku padamu,
ambe. Aku berbalik dan menatap kebun kopi
milik ambe. Berjalan perlahan, mengenang semua hal tentang kopi, pahit manis
semuanya ada di sana. Seceruput kopi dari secangkir kopi menyisakan kesedihan
mendalam.