Gambar dari sini
Menjelang
sore saat langit terlihat menjingga kami sampai di rumah neneknya Gilang,
kebetulan aku dan teman-teman diajak berlibur ke desa neneknya di daerah Garut.
Kaki sudah terasa pegal karena semenjak turun dari angkot, kami masih harus
berjalan kaki, karena tak ada kendaraan lagi masuk ke desa Mekarsari, hanya
jalan setapak.
“Gil, dah dekat belum?” Silvia menanyakan
pada Gilang sambil mengusap peluhnya, aku menoleh pada Gilang menunggu
jawabannya. Gilang hanya tersenyum saja. Aku juga sudah mulai lelah dan perutku
sudah bernyanyi semenjak tadi karena siang tadi hanya semangkok baso yang masuk
ke dalam perutku. Sedikit terhibur dengan pemandangan alam yang hijau yang
masih banyak sawah , ladang dan dari kejauhan tampak gunung Guntur yang berdiri
gagah dengan awan yang mulai menutupi puncaknya . Warna langit semakin menggelap
tapi perjalanan belum sampai titik akhir.
“Gil , kapan nyampenya ?” aku mulai
mengeluh karena aku tak biasa berjalan kaki dengan jarak sejauh ini, sehingga
mulai terasa pegal di kakiku.
“Tenang sebentar lagi, sabar, kalau
kalian mengeluh terus akan terasa lama ,” Gilang menyahuti keluh kesah kami
semua. Akhirnya kami semua tutup mulut karena percuma mengeluhpun tak membuat
kami sampai dengan cepat. Gilang menunjuk rumah besar di tepi bukit ,kalau itu
rumah neneknya. Rumah besar itu tampak menghitam dalam kegelapan hanya
sinar-sinar kecil yang berasal dari lampu rumah yang berkerlap-kerlip, aku
mulai melangkahkan kakiku besar-besa agar cepat tiba di sana.
“Hati-hati Nancy, hari sudah gelap ,
nanti kamu kesandung,” Gilang mulai menasehati, benar saja tak lama kemudian
aku terjerembab. Gilang membangunanku dan mulai menuntunku jalan. Untung Sapto
membawa senter sehigga kami dapat melihat jalan walau remang-remang. Akhirnya
rumah besar ini sudah tampak di depan mata kami, ada kelegaan tersendiri di
hati ini. Saat pintu terbuka tampak sosok perempuan tua tinggi besar dengan
sorot mata yang ramah.
“Yuk, masuk pasti kalian sudah lelah
ya, oma sudah buatkan makanan buat kalian makan,” ajaknya. Aku sudah menelan
air liurku saat mendengar kata makan, yang pasti yang lainpun pasti sudah kelaparan. Malam itu aku tertidur pulas sekali dan saat
terbangun sinar matahari sudah masuk ke dalam kamarku yang kutempati bersama
Sylvia. Aku bangun dengan sedikit merenggangkan badanku dan terdengar suara
kretek di pinggangku, tapi rasa pegal masih terasa di seluruh tubuhku. Aku
mulai menyibakan gorden jendela dan kulihat Sylvia juga mulai terbangun.
Saat sarapan aku melihat di sana ada
lukisan besar seorang wanita indo , cantik seperti keturunan ningrat. Waktu
kutanyakan, oma bilang itu foto ibunya, pantas saja kecantikan wajah di lukisan
itu turun pada wajah oma, masih terlihat tanda-tanda kecantikan wajahnya. Semua
melihat foto wanita itu yang menurut oma bernama Sarah turunan Belanda. Aku terkesima saat aku melihat
wanita itu mengedipkan matanya padaku , aku berulang kali mengucek mataku takut
kalau aku hanya melihat halusinasi, tapi wanita itu sekarang terlihat
mengedipkan matanya lagi.
“Syl, kamu lihat gak lukisan wanita
itu bergerak,” aku melihat Sylvia menggelengkan kepala sambil menatapku heran.
Begitu juga dengan yang lain , mereka tak melihat ada gerakan pada lukisan itu.
“Mungkin kamu kurang tidur malam
hari kemarin,” Gilang menghiburku, tapi saat ada panggilan makan dari omanya
Gilang, aku kembali menatap lukisan itu, benar saja mata itu mengedip padaku.
Astaga, apa penglihatanku benar adanya????. Malam itu , aku kembali terlelap
karena sepanjang siang mengelilingi desa melihat aktivitas penduduk dengan
alamnya. Aku mulai mengantuk dan terlelap dalam tidurku yang lelap. Entah
mengapa aku seperti disuruh untuk datang ke ruang tengah, di sana aku
memperhatikan wajah wanita itu yang menurut Gilang bernama Sarah. Tiba-tiba
Sarah berbicara padaku dengan logat ke belanda-belandaan. Aku terkejut, apa
yang kulihat apa benar adanya , masa ada lukisan bisa bicara????.
“Tolong aku, aku percaya kamu bisa
menolongku!” jelasnya sambil menatap mataku, aku melihat ada kesedihan yang
mendalam dalam bola matanya.
“Pergilah kamu ke belakang bukit ,
dan temukan ada sebuah pohon yang kuberi tanda silang dan di bawah pohon itu
kusimpan tulisanku untuk seseorang yang kucintai,” tukasnya .
“Aku percaya kamu akan membantuku,”
sahutnya lagi sambil memperinci jalan menuju ke belakang bukit. Entah mengapa ,
aku dikagetkan oleh tangan Sylvia yang menyentakku. Aku heran, mengapa aku
masih ada di kamar tidur , padahal jelas aku baru saja berbicara dengan Sarah.
“Minumlah dulu Nan, kamu tadi
teriak-teriak, mungkin kamu mimpi gak enak malam ini,” Sylvia menyodorkan air
putih padaku, tapi sungguh jelas terlihat Sarah berbicara padaku , padahal itu
hanya sebuah mimpi. Sampai pagipun aku tak mampu memejamkan mataku.
Pagi itu saat sarapan, aku melihat
lagi Sarah mengedipkan matanya padaku, aku memandang teman-teman yang lain,
sepertinya mereka tak melihat Sarah yang bisa bergerak. Aku menceritakan
mimpiku , tapi semua hanya mengatakan bunganya tidur.
“Mungkin kamu masih terobsesi
kemarin kalau kamu melihat matanya mengedip,” ujar Didi. Aku mulai marah,
mengapa mereka tidak percaya denganku, padahal jelas aku melihat Sarah
memberiku tanda dan kemarin malam Sarah menyuruhku
ke balik bukit, tapi aku tidak merasa seperti mimpi.
“Kamu mimpi Nancy, aku melihatmu
menjerit-jerit,” ejek Sylvia. Aku hanya bisa pasrah saja , toh aku tak bisa
memaksakan mereka untuk percaya. Hatiku semakin gundah , saat sudah hampir tiga
hari aku selalu bertemu dengan Sarah dan Sarah memintaku untuk pergi ke balik
bukit. Sylvia tetap mengatakan kalau aku hanya mimpi dan untuk diabaikan saja.
Aku melihat bayang-bayang wajah
Sarah selalu mengikuti kemana aku pergi,
sungguh membuatku tak bisa bernafas lega.
“Nan, dari kemarin aku lihat kamu
seperti orang bingung?” tanya Gilang yang menghampiriku bersama Sapto.
“Aku gak mengerti Gil, ibunya oma
selalu menyuruhku untuk pergi ke balik bukit, aku disuruh mencari buku yang
ditanamnya di bawah pohon yang dia beri tanda di batangnya,” ujarku . Gilang
dan Sapto masih terdiam.
“Lang, kamu juga gak percaya
denganku, aku ingin sekali ke balik bukit seperti yang diinginkan Sarah.” Aku
mengatakan dengan mantap tapi sebenarnya aku juga merasa ngeri ke sana. Kalau
satupun tidak ada yang percaya, apa boleh buat aku akan mencari tahu sendiri.
“Aku ikut denganmu.”
“Benar? , trims ya,” tulus aku
mengucapkan terimakasihku untuknya. Sapto akhirnya bersedia ikut denganku.
Keinginanku untuk pergi ke balik
bukit membuat teman-temanku yang lain tak setuju, mereka bilang terlalu bahaya,
apalagi orang jarang pergi ke balik bukit ini.
“Tempat di sana seram neng, lebih
baik urungkan niat kalian ke sana, “jelas mbok Parti pembantu oma.
“Dengar itu Nan, lebih baik gak
usah, mungkin itu hanya halusinasi kamu saja,” Sylvia mulai membujukku untuk
tak datang ke sana. Aku bukan tipe orang yang mudah ditakut-takuti, jadi tak
mengapa , yang pasti Gilang akan menemaniku. Esok pagi , aku, Sapto dan Gilang
bergegas mendaki bukit untuk menuju
bagian belakang bukit. Menuju ke sana , melewati belakang rumah oma, di sana
tampak dua makam Sarah dan suaminya. Aku mulai terganggu karena ilalang yang tinggi
dan sering melukai tangan dan kakiku. Hampir sejam aku menaiki bukit , nafasku
sudah mulai habis.
“Apa benar jalannya kemari Nan?”
tanya Sapto sambil mengamati sekelilingnya, karena sama sekali tidak ada jalan
setapak sehingga kami harus memotong sendiri ilalang yang menutupi jalan kami.
“Aku rasa benar, persis seperti
Sarah ceritakan padaku.” Aku juga mulai mengamati setelah mencapai puncak
bukit.
“Nah, ini pohon beringin ini tanda
kalau sudah sampai puncak, menurut Sarah,” aku mulai mengelilingi pohon
beringin dan aku hampir yakin kalau sebentar lagi akan tiba pada pohon yang
bertanda silang. Tak lama kemudian aku mendengar teriakan Gilang.
“Nancy, sini lihat pohon dengan
tanda silang!’ teriaknya yang membuatku bergegas menuju arah suara. Aku
menyuruh Sapto dan Gilang untuk menggali tanah di bawah pohon yang ada tanda
silangnya. Sementara mereka menggali, aku melihat-lihat sekelilingku sampai aku
dikagetkan karena di hadapanku sudah berdiri Sarah. Tubuhku terasa gemetar dan
aku mulai ketakutan.
“Tolong, baca buku diaryku dan
kabulkan permohonanku, agar aku bisa tenang di sana,” jelasnya. Belum sempat
aku menjawabnya , kudengar Gilang menyuruhku, melihat apa yang diketemukan di
bawah pohon. “Buku Diary” Astaga, jadi ini benar adanya, bukan bualan
semata!!!! Aku merebut buku diary dan mulai membacanya dan aku mulai terhanyut
dan air mataku turun satu persatu membasahi pipiku. Aku menyodorkan buku diary
itu pada Gilang .
Semua terbongkar rahasia cinta Sarah
dengan pemuda lokal, sebelum Sarah dipaksa menikah dengan ayanhnya Sarah. Cinta
Sarah tak pernah berubah pada pemuda yang bernama Joko walau Sarah sudah
menikah dengan pilihan orang tuanya. Cinta sejatinya dibawa mati.
“Oma, kalau Joko itu siapa dan
dimana tinggalnya?” tanay Gilang yang mulai penasaran.
‘Joko ,seorang petani , dia menikahi perempuan desa ini
juga , anaknya tinggal satu yang ada di
desa ini, yang lain merantau ke kota,” cerita oma. Menurut diary ini, Sarah
ingin kalau dia meninggal dimakamkan dekat dengan makamnya Joko, tapi apa itu
mungkin???? Oma hanya menggelengkan kepala, oma masih tampak syok tak menyangka
ibunya punya cinta lain di hatinya. Gilang mengusulkan untuk bernegosiasai
dengan anaknya Joko , agar makam Sarah bisa dipindahkan dekat makam Joko atau
sebaliknya. Gilang mengajak mbok Parti untuk mendatangi keluarga Joko sambil
memperlihakan diary milik Sarah, mudah-mudahan keluarga mereka mau mengabulkan
permintaan Sarah. Walau kelihatannya ini ide gila, aku yakin setelah impian
Sarah terwujud, aku yakin dia akan tenang di alam kuburnya.
Aku mencium oma untuk bepamitan,
sudah haampir sepuluh hari kami berlibur di sini. Tak terasa waktu cepat
berlalu, liburan kali ini membawa kenangan tersendiri bagiku menyatukan cinta
Sarah dan Joko yang lama terpisah , walau hanya mendekatkan makam mereka.Satu
permintaan Sarah yang dapat dikabulkan. Waktu aku pamitan dengan oma, aku melihat
lagi lukisan Sarah, aku melihat Sarah tersenyum manis padaku. Mungkin orang bilang itu halusinasi, tapi aku
yakin Sarah tersenyum karena lega bisa berdampingan lagi dengan Joko. Aku membalasnya
senyumnya dan saat aku membalikan tubuhku, aku memperhatikan Gilang yang
menatapku tajam.
“Kamu senyum dengan siapa
Nancy?” Aku hanya mengangkat bahuku dan
tersenyum manis untuk Gilang temanku.
6 komentar:
8 Agustus 2016 pukul 15.44
aaah...jadi menuruti permintaan terakhirnya Sarah ya :)
9 Agustus 2016 pukul 00.21
merinding juga bacanya, untung temen2nya nancy mau ikut ngebantu yaaa hehehe. tapi kenapa ga gilang aja ya yg disuruh si sarah.
9 Agustus 2016 pukul 13.24
iya mbak Indah
9 Agustus 2016 pukul 13.26
kalau terjadi beneran tambah merinding ya mas Rizki
10 Agustus 2016 pukul 10.00
Ceritanya bener-bener bagus. Saya sempet kebawa suasana pas baca ini. Sempet ngeri juga sih pas di awal-awal, soalnya saya baca pas tengah malem.
Mantap, mbak.
10 Agustus 2016 pukul 13.40
ha,ha, artinay aku berhasil bikin takut ya Son Agia
Posting Komentar