Gambar dari sini
Suara
dengungan mesin berat yang berdengung
keras di telingaku, saat aku melihat dengan kepalaku sendiri , semua
lapak-lapak dihancur leburkan oleh mesin –mesin berat. Aku hanya berdiam diri
terpaku , apa yang menjadi mata pencaharianku kini lenyap bersama suara-suara
berdengung yang keluar dari mesin-mesin berat itu.
“Kita tak bisa berbuat apa-apa lagi
Mince,” tukas Desy dengan kepala menunduk, memang tidak bisa apa-apa lagi, aku melihat hanya pasrah. Sudah berhari-hari
kami harus berdemo, berpanas-panasan agar tempat lokalisasi ini tidak ditutup,
tapi semua itu tak membuahkan hasil, mesin-mesin itu tetap berdengung dan
menghancurkan lapak-lapak menjadi abu rata dengan tanah.
“Apalagi yang bisa kita buat Desy,
semua sudah habis dari kita. Kita harus bekerja apa lagi, satu-satunya
penghasilan kita ya dari sini. Apa mereka tidak tahu, aku bekerja di sini
menahan pilu, rasa sakit ,agar keluaragku bisa hidup dan menyekolahkan adik-adikku
agar mereka tidak seperti diriku, sampah masarakat,”keluhku, suaraku tampak tak
terdengar Desy, dia masih berteriak-teriak histeris pada petugas. Aku
menggeretnya ke tepi.
“Sudah, sudah Des, mau apa lagi
,kita gak bisa apa-apa,”tegurku.
“Gimana sih kamu, emangnya kamu
sekarang mau kerja apa, yang kamu bisa kan hanya pamer tubuhmu saja,”teriak
Desy. Aku sedikit tersinggung dengan ucapannya tapi aku tahu Desy hanya emosi
sesaat saja, pikirannya sedang kacau, apalagi dia butuh biaya besar untuk
pengobatan ayahnya. Aku merangkul tubuh Desy yang meronta-ronta terus dan aku
sudah mulai kelelahan untuk menenangkannya.
“Des, jangan nangis, aku jadi sedih,
diamlah dulu,”tukasku dan aku membawanya ke tepi dan kusodorkan air mineral
padanya. Aku melihat dia sedikit tenang.
Malam itu, aku terpekur lama dalam
diam hanya ditemani dengan suara jangrik dari luar kontrakanku. Semua hancur
rata dengan tanah, apa lagi yang aku bisa kerjakan untuk mendapatkan
penghasilan, semua lenyap seketika. Aku membayangkan mak, adik-adikku akan
menunggu uang kirimanku dan Mirna yang butuh uang untuk bayar uang semesterannya.
Sore tadi, Mirna menelpunku untuk mengirimkan uang untukknya. Aku buka lemari dan aku melihat uang
simpananku yang semakin menipis, karena sudah hampir sebulan aku tak bekerja.
Astaga, apa yang harus aku perbuat??? Berdoa??? Apa aku masih layak untuk
berdoa pada Allah??? Aku sudah berkalang dosa, sudah terlanjur basah dengan
dosa, untuk apa lagi aku harus berdoa padaNya???? . Keluargaku memang keluarga
petani, ayahku menggarap sebidang tanah miliknya , tapi saat aku berusia 14
tahun ,abah harus menutup mata karena serangan jantung. Terpaksa mak harus
banting tulang untuk bekerja di sawah, tapi apalah artinya tenaga perempuan
yang harus bekerja sendirian di sawah, yang pada akhirnya sawahnya berpindah
tangan pada juragan kaya di desaku. Akhirnya mak hanya bisa bekerja sebagai
buruh tani saja. Selepas SMP, aku tak bisa melanjutkan sekolah dan membantu
emak menjadi buruh tani. Upah dari buruh
tani tak seberapa, apalagi kalau musim paceklik , pendapatannya tidak
seberapa, malah seringkali aku dan mak memilih tidak makan dan membiarkan
adik-adikku yang makan.
Sampai suatu saat aku diajak salah
satu temanku Desy bekerja di kota. Aku membujuk mak untuk mengijinkan aku untuk
pergi bersamanya, aku melihat kehidupan keluarga Desy mulai membaik setelah
Desy bekerja di kota.
“Mak, ijinkan Minah, pergi ke kota
bersama Desy. Minah mau mengadu peruntungan di kota, siapa tahu bisa mengubah
nasib keluarga kita,”tukasku menatap wajah mak penuh harap, tampak ada keraguan
dari wajah mak.
“Tapi, kamu perempaun Minah, lebih
baik kau di sini saja , membantu mak.” Mak menatapku penuh harap agar aku tak
berangkat tapi aku tak bergeming, niatku begitu kuat, aku harus bisa memberikan
uang yang banyak untuk mak, agar adik-adiku bisa sekolah tinggi, seperti
harapanku dulu ingin menjadi guru. Pandangan mak yang sedih, membuatku agak
ragu meningalkan keluargaku tapi aku harus berbuat sesuatu untuk keluarga
,apapun itu.
“Aku pergi dulu mak,” aku mencium
tangan ibuku yang sudah penuh kerutan.
“Kalian belajar yang benar, bantu
dan jaga mak ya,”ujarku memeluk satu-satu adikku, mereka menangis bersamaan
saat aku melangkahkan kakiku keluar rumah, aku berusaha untuk tak menoleh lagi.
Selamat jalan, kampungku, aku akan datang kembali saat aku sukses kelak, sejuta
harapan aku letakkan di kota agar hidup keluaragku berubah. Lebih tak kusangka
lagi, aku dibawa Desy ke suatu tempat yang gelap dan remang-remang dan kalau
malam hari terdengar hingar bingar suara musik.
“Ini tempat apa Des?’ tanyaku.
“Nanti kamu juga tahu,”tukas Desy,
aku menurut saja, sampai suatu malam aku dijemput oleh pria dewasa yang gagah
ke sebuah hotel dan di sanalah aku ditidurinya. Sakit di selangkanganku tak
seberapa daripada rasa hancur hatiku, beginikah pekerjaan yang dijanjikan Desy??????
“Coba Min, kamu pikirkan, kamu bisa
apa dengan pendidikan hanya SMP? Gak ada, paling hanya pembantu. Gajinya
seberapa??? Gak cukup, paling hanya bisa hidup buat diri sendiri, kita harus
menghidupi keluarga kita. Inilah yang bisa kita lakukan Min,”tukas Desy seraya
menatapku dengan tajam. Aku hanya tertunduk, rasanya harga diriku lenyap dengan
hilangnya keperawananku, sungguh membuatku diriku muak saat itu. Mau kembali ke
kampung, aku tak sanggup melihat mak, yang dulu melarangku pergi, akhirnya aku
bertahan di sini dan mengubah namaku menjadi Mince.
Aku cepat belajar dari pengalaman
teman-teman di lokalisasi dan akhirnya aku menjadi primadona di sana, banyak
uang yang bisa aku kumpulkan dari memuaskan nafsu binatang pria hidung belang.
Uang yang kukirim ke kampung sudah cukup untuk menyekolahkan adik-adiku bahkan
rumah aku perbaiki dan menjadi pantas
disebut dengan rumah. Tapi satu yang tak pernah aku lakukan,adalah pulang ke
kampung walau saat lebaran tiba.
Berkali-kali di setiap menjelang lebaran, mak selalu membujukku untuk
pulang tapi aku selalu memberikan alasan agar aku bisa menghindar untuk pulang.
Aku tak sanggup melihat mak dan adik-adikku yang menganggap aku sebagai pahlawan
mereka padahal kalau mereka tahu uang yang mereka nikmati adalah uang haram,
sungguh aku tak mau itu terjadi, biarlah mereka tetap menganggapku pahlawan
mereka.
Mbak, kata mak, lebaran ini harus
pulang, mak sudah bisa membeli sawah milik kita dulu,”tukas Dino dari
teleponnya.
“Gimana ya Din, mbak gak dapat cuti dari
bos mbak, karena pekerjaan saat lebaran makin menumpuk, nanti saja mbak pulang
kalau waktu mbak senggang,”tukasku.
“Mbak ,selalu ngomong begitu,
kasihan mak, mak sudah rindu dengan mbak,” ujarnya kembali. Aku terdiam lama
sekali, tapi aku sendiri merasa malu untuk kembali ke kampung, rasanya diriku
sangat kotor untuk menginjakan kaki di
kampung kelahiranku. Sejak kecil, aku
sudah diajarkan mengaji oleh abah dan banyak mendapat wejangan tentang agama
dari abah, tapi saat ini aku bergelimangan dengan dosa, apa masih pantas aku
pulang ?????
“Dino, tolong mbak, ya, kamu sudah
besar , bujuk mak agar mak mau mengerti kesibukan mbak,”tukasku, tak terdengar
suara lagi ,hanya suara helaan nafas panjang Dino.
“Ya, sudah mbak, jaga baik-baik
mbak. Oh, ya mbak doain, Dino, bulan depan Dino mau ikutan tes masuk kepolisian,
biar bisa masuk.”
“Baik, mbak akan selalu mendokan
kalian semua.” Aku tutup ponselku. Hampir sepuluh tahun aku tak pulang ke
kampungku, aku rindu suasana rumah, rindu sekali, belaian mak di kepalaku.Andai
mak tahu pekerjaanku, apa yang akan dikatakan mak?????? Sampai akhrinya
walikota Surabaya akan menutup lokalisasai Dolly, yang menurutnya akan merusak
moral bangsa dan menghancurkan anak-anak yang ada di sekitar gang Dolly. Aku
hanya bisa pasrah, apa lagi yang harus aku perbuat ???. Kini aku menatap Desy yang masih saja
menangis di sampingku, aku juga tak tahu harus berbuat apa. Pulang ataukah aku
harus mencari pekerjaan lain, tapi apa???? Aku tak punya keahlian.
“Mbak, apa uang untuk semesteran
sudah dikirim, soalnya batas terakhir lusa,”tukas Mirna di ujung telepon, aku
termangu sesaat.
“Iya, nanti mbak kirim,”tukasku
cepat. Selepas aku mengirim uang untuk Mirna, aku melihat isi dompetku hanya
untuk hidupku seminggu ke depan, aku belum bisa mencari jalan keluar yang baik.
Aku merebahkan tubuhku di kasur, pikiranku kusut, benar-benar kusut. Terdengar
suara gedoran di pintu kontrakanku.
“Mince, cepetan bayar uang
kontrakannya , elu sudah nunggak dua bulan, jangan pakai alasan gak punya duit,”
tukas bu Iyan
“Ibu, aku baru dipecat, tolong beri
aku waktu lagi, pasti aku bayar,” tukasku cepat.
“Janji-janji melulu, kapan bayarnya.
Kalau sampai lusa tak bayar, kamu harus keluar dari kontrakanku, masih ada yang
mau ngontrak kamar ini kok,” tukasnya garang. Kembali aku rebahan di dipanku,
dan samar-samar ada yang membisikanku perlahan tapi begitu jelas di telingaku.
“Bunuh diri saja, pasti selesai urusannya,
gantung diri saja, gantung dirimu.” Terus suara itu mendengung di telingaku
terus menerus , membuatku menutup telingaku.
“Yo, cepat , bangkitlah, bunuh diri
saja, selesai sudah.” Suara-suara itu memanggil-manggil terus menerus membuatku
ingin berteriak dan aku sudah tak tahan lagi, aku berdiri di atas kursi dan sudah kugantungkan kain di plafon.
“Ayo, teruskan , teruskan, bunuh
dirimu,” suara itu terus menerus merasuk ke dalam telingaku dan aku tak sadar
sudah menarik kain dan aku tak ingat apa-apa lagi!!!!!!
3 komentar:
29 Agustus 2016 pukul 15.56
1 September 2016 pukul 15.16
Potret miris orang-orang yang tak punya harapan ya mbak..
2 September 2016 pukul 12.43
iya mbak Leyla dan banyak ada, cuma kita suka pura2 gak tahu.
Posting Komentar