Gambar dari sini
Pagi
ini aku masih bergelung di kamar hotel yang ada di tepi pantai Pangandaran. Aku
sendiri heran , mengapa aku mau saja disuruh Berta untuk menjadi dektetif
cinta, itu istilah yang diberikan Berta. Aku masih ingat saat Berta datang padaku
sambil menangis. Aku sebetulnya paling sebal melihat cewek nangis , kayaknya
cengeng betul. Gak ada di kamusku aku mau nangis merengek-rengek seperti Berta
apalagi masalah yang menyangkut cowok. Ih, amit-amit deh, pantang buatku !!!!!
Aku bukan tipe cewek seperti Berta yang selalu bergantung sama cowok, aku cewek
yang mandiri dan aku tak mau diperbudak oleh cinta dan cowok. Aku masih menatap
Berta dengan sebal, ini cewek masih saja mengharapkan Rimba tetap bersamanya,
sudah tahu cowoknya selingkuh!!!! Apa gak ada lagi cowok yang bisa dipilih
selain Rimba???? Betul-betul aneh!!!!!
“Please Rasha , tolong aku, aku gak
mau kehilangan Rimba,” Berta dengan tampang memelasnya. Berta tahu kelemahanku,
aku tak penah bisa menolak kalau ada orang yang memintaku dengan tampang
memelas, sekalipun pengemis yang pura-pura bertampang memelas , pasti aku akan
menyodorkan uang receh buatnya. Aku menatapnya sebal, duh ribet banget berteman
dengan cewek satu ini. Memang banyak orang bilang pertemananku dengan Berta ini
sungguh aneh kaya bumi dan langit, karena Berta yang feminin dan lemah mau
berteman dengan cewek sangar , bermental baja dan tak kenal takut.
“Lalu, aku harus bagaimana Berta,
aku kan tak bisa berbuat apa-apa untuk bisa mengembalikan Rimba padamu,” aku
menatap matanya yang sudah penuh dengan air mata.Damn it!!!!!. Mengapa aku
harus terlibat dengan urusan cinta, cinta orang lain lagi!!!!
“Bisa Rasha, kamu bisa menjadi
deteftif cinta.” Aku melotot memandangnya.
“Jadi aku harus memata-matai Rimba
!” teriakku. Berta mengangguk.
“Aku gak mau Berta, aku bakal
terlihat konyol tahu,” aku mulai berteriak juga, tapi sesaat aku terdiam
melihat wajah Berta yang memelas.
“Ok, aku mau,” Berta langsung
memelukku.
“Kamu memang sahabat baikku Rasha,”
Berta menatapku dengan wajah sumringah, aku gak tahu lagi apa yang harus
kuucapkan melihat kegembiraan di wajah Berta. Berta mulai memberikan rencananya yang harus
kulakukan. Astaga ternyata Berta sudah merencanakan secara detail dan ongkos semua
ditanggung Berta. Aku hanya menggeleng-gelengkan kepalaku , sampai segitunya
Berta tak mau kehilangan Rimba, kalau aku sudah kudepak dari hadapanku cowok
yang suka selingkuh . Jadi tugasku memata-matai Rimba, siapa pacarnya sekarang
dan kalau perlu mengajaknya berteman, memang sih aku dulu pernah dikenali Berta
dengan Rimba tapi hanya sepintas dan semenjak itu tak pernah bertemu lagi.
Berbekal semua info dan foto Rimba aku berada di Pangandaran. Menurut Berta,
Rimba sedang bersama klub motornya di pantai ini.
Pagi itu , aku menyusuri tepi
pantai, udara dengan angin semilir menghembuskan rasa dingin pada wajahku.Aku
menatap mentari yang muncul di balik awan dan semburat jingga merekah , aku
terpukau akan pesona langit yang mulai tampak terang. Tiba-tiba aku terjatuh
tersandung batu dan terjerembab di pasir. “Sialan
, batu sialan,” umpatku . Aku mencoba berdiri tapi badanku masih oleng tapi
ada tangan yang memegang pergelangan tanganku.
“Makasih ya,” ucapku tulus.
“Lain kali hati-hati, namaku Rimba,”
pria itu menyodorkan tanganku. Astaga, sesaat aku tak dapat mengeluarkan
sepatah katapun , hanya terbengong sesaat sebelum alam bawah sadarku menyuruh untuk cepat menyambut tangannya .
“Rasha,” Pantesan Berta gak mau kehilangan Rimba,
tubuhnya atletis walau tampang sih gak ganteng-ganteng amat tapi ada sesuatu
dari matanya yang aku suka sekali.
“Mau jalan-jalan, barengan yuk,”
Rimba mengajakku dan aku seperti kerbau dicucuk hidungnya ikut melangkahkan
kaki bersamanya. Sepanjang jalan aku banyak bercerita dan tak sedikitpun Rimba menceritakan
tentang Berta dan Rimba adalah teman yang enak diajak ngobrol dan nyambung
bukan tipe laki-laki perayu dan apa yang diucapkan semua itu apa adanya. Pagi ini kulalui bersama Rimba, hem, hem....
andai Berta tahu, apa yang dipikirkannya????
Ponselku berbunyi , Berta
menelpun, pertanyaan biasa yang harus
kujawab biasa saja. Aku hanya mengatakan kalau sudah melihat Rimba tapi tak
bilang kalau aku sudah berjalan-jalan dengannya sepanjang pagi .
“Ras, jangan lengah ya, lihat kalau
Rimba bersama cewek,” aku tutup ponselku. Sepanjang hari kemarin aku tidak
pernah melihat Rimba bersama dengan cewek tapi dengan teman-teman cowoknya,
mungkin itu teman klub motornya. Aku mendekati Rimba yang bersama –sama dengan
temannya menunggu giliran bermain banana boats .
“Hei, Rasha, yuk bareng-bareng
naiknya sama teman-temanku,” ajak Rimba, aku diperkenalkan dengan teman-teman cowoknya.
“Cuma segini temanmu, gak ada ceweknya?” tanyaku sambil
mengamati teman-temannya.
“Gak, ini teman klub motorku.” Kami
semua berlima naik banana boats dan lajunya semakin ke tengah semakin cepat dan memang sengaja
agar penumpang jatuh dan itu yang membuat sensasi tersendiri bagi yang naik
banana boats. Terdengar jeritan dan tawa yang lepas , begitulah pemainan banana
boats. Entah mengapa setelah acara naik banana boats itu Rimba sering
mengajakku berdua menyusuri pantai dan mencoba semua permainan yang ada di
sana. Dan yang paling aku suka saat aku rafting bersama Rimba di sungai
Cijulang , perjalanan yang mendebarkan dan membuat adrenalinku meningkat ,
untungnya aku bukan tipe cewek manja yang ketakutan rafting. Semakin aku banyak
bergaul dengan Rimba aku semakin tertarik dalam pesonanya. Aku jatuh cinta
padanya!!!!!!
Sudah dua hari aku di Pangandaran
dan sudah banyak aku dan Rimba menjelajah kawasan pantai . Dan parahnya aku
mulai jatuh cinta padanya. Bodoh, Rasha,
kamu gak boleh jatuh cinta , Rimba milik Berta. Aku berjalan mondar-mandir
di kamarku sampai kudengar suara ponsel, Berta menilpunku lagi.
“Berta, aku tak melihat Rimba dengan
teman ceweknya, aku pulang saja ya,” aku harus cepat pulang jangan sampai
perasaanku ikut terhanyut.
“Jangan dulu Rasha, mungkin cewek
itu belum datang, soalnya rencana mereka akan lima hari di sana,” aku
mendengarkan Berta berbicara tapi pikiranku melantur kemana-mana.
“Rasha, jangan pulang dulu ya, aku
bakal ke sana juga,” aku cepat menutup ponselku, entah kalimat terakhir apa
yang diucapkan Berta, aku sudah tak dapat konsentrasi lagi. Bodohnya lagi aku
mengiyakan saja ajakan Rimba makan malam di kafe yang menghadap pantai sambil mendengarkan deburan ombak. Makanan
seafood terhidang di atas meja bulat kecil yang hanya diterangi dengan
lampu-lampu kecil, suasana temaran membuat kafe ini romantis. Aku terbawa
suasana kafe dengan alunan musik jazz
yang lembut.
“Rim, ini jadi seperti orang pacaran
saja,”tukasku yang sebetulnya mau bercanda karena dari tadi tak ada sepatah
katapun yang keluar dari bibirku dan Rimba.
“Emangnya kita lagi pacaran kan?”
aku membelalakan mataku lebar-lebar. Rimba tertawa melihatku
“Jangan lebar-lebar matamu , nanti
lepas loh,” tukasnya sambil masih tertawa, tak lama kemudian akupun ikut
tertawa. Tapi sesaat kemudian aku terdiam lama saat Rimba menyatakan kalau dia
suka denganku. Astaga, bakal ada perang
dunia ke empat sebentar lagi kalau Berta tahu Rimba nembak aku.
“Jangan bengong saja, dari tadi kalau gak bengong terus
melotot,” tegur Rimba. Untuk menghilangkan rasa gugupku aku menendang kaki
Rimba tapi tak kalah cepat Rimba memegang tanganku .
“Gimana, mau?” tanyanya sambil
menatap mataku. Aku melihat kedalaman matanya. Inikah rasanya jatuh cinta?????
Aku menggelengkan kepalaku , sambil melempar pandangan mataku ke tempat lain,
aku tak sanggup melihat matanya.
Hari keempat, aku sudah malas
bertemu dengan Rimba, pesan singkat dan telepon dari Rimba sengaja tak kujawab.
Aku tak mungkin lagi bertemu dengan Rimba, aku suka dengan Rimba dan aku tak
boleh jatuh cinta padanya. Apa kata dunia , kalau aku jatuh cinta dengan
sasaranku dan aku tak mungkin mengkhianati Berta. Siang itu aku mencari makan ke sisi pantai
barat saja , agar aku tak bertemu dengan Rimba. Tapi tiba-tiba aku ditarik
seseorang dari belakang.
“Lepaskan aku,” teriakku. Belum aku
melanjutkan kata-kataku, Rimba sudah menutup mulutku.. Aku ditarik ke dekat
tepi pantai, padahal terik matahari begitu kuat, membuat mataku silau.
“ Mengapa kamu menghindar?” tanyanya
marah . Aku takut melihat kemarahan di matanya.
“Kalau kamu menolakku tak perlu
kau menghindar dariku.” Tangan Rimba menarik tanganku keras sehingga tak
sengaja aku terjatuh dalam pelukannya. Aku hanya bisa menahan nafasku saat aku
mendengar teriakan yang kukenal.
“Rasha, apa-apaan kamu, jadi ini
hasilnya selama ini,” katanya marah
` “Bukan Berta, kamu salah presepsi, ini bukan seperti
yang kamu lihat,” aku mencoba menjelaskan , tapi Berta keburu marah.
“Kamu kenal dengan Berta, ini
maskudnya apa?” tanya Rimba bingung. Aku menepis tangannya dan berusaha
mengejar Berta.
Berta ternyataa marah besar, dia tak mau mendengarkan
pejelasanku. Aku juga tak bisa memaksanya untuk percaya dengan omonganku, itu
haknya . Toh , Berta melihat aku dalam pelukan Rimba, mungkin kalau aku
diposisi Berta juga akan marah.
“Aku tahu kamu masih marah, tapi aku
sumpah tidak pacaran dengan Rimba, aku mau pulang dan semua biaya di sini akan
aku ganti , karena aku sudah gagal menjalankan misimu.” Aku beranjak dari
kamarku dan menenteng ranselku pergi dari tempat yang membuatku mengenal cinta
dan tempat berakhirnya cinta pertamaku.
Lama
aku tak mendengar kabar dari Berta, sudah sering aku menelpon atau sms tapi
Berta tak pernah menjawabnya sampai pada satu titik aku pasrah kehilangan
sahabatku. Aku tak punya kemampuan untuk menghilangkan kecurigaan Berta padaku.
Sampai suatu hari Berta menelpun untuk janjian di kafe di Dago Pakar. Aku begitu
girang, artinya Berta sudah mau memaafkan aku, aku lebih baik memilih
persahabatan dengan Berta. Aku memeluknya erat saat aku bertemunya , sudah lama
aku tak berjumpa ada perasaan rindu bercerita dengan Berta.
“Maafkan aku Rasha, aku marahnya
terlalu lama,” Berta menceritakan kalau dia sempat bertemu dengan Rimba dan
dari Rimba , Berta juga tahu kalau aku
menolak cinta Rimba.
“Kamu tahu, aku tak mungkin merebut
apa yang kamu punya Berta, kamu harus tahu itu.” Rasanya lega menyeruak dalam dadaku , selama ini aku
merasa tak enak hati dengan Berta. Aku terpana saat Rimba berdiri di hadapanku
dengan bunga di tangannya, diberikannya bunga itu padaku. Aku melihat Berta
menganggukan kepalanya, aku ragu-ragu menerima bunga itu.
“ Rasha, Rimba lebih memilihmu, aku
tak mungkin memaksa Rimba untuk suka denganku, aku ikhlas loh,” tukasnya sambil
tersenyum padaku. Berta meninggalkanku berdua dengan Rimba. Tak ada sepatah
katapun yang keluar dari mulut kami berdua tapi cukup sudah pancaran sinar mata
yang menandakan rasa cinta yang ada dalam hati dua insan yang lagi mabuk
asmara.
12 komentar:
27 Februari 2017 pukul 14.03
Apik. Manis, sweet ceritanya...
27 Februari 2017 pukul 19.23
Inget jaman2 pacaran baca ini :D.
27 Februari 2017 pukul 20.23
hahaha..jadi inget mantan.. saat jaman2 pacara dulu..hehehe
28 Februari 2017 pukul 04.14
Jadi Baper nih .... heeee
28 Februari 2017 pukul 09.00
waduh...kapan aku diberi bunga?...so romantic...
28 Februari 2017 pukul 11.28
makasih mas aditha
28 Februari 2017 pukul 11.36
nostalgia dong mbak fanny
28 Februari 2017 pukul 11.41
punya berapa mantan mas naufal???
28 Februari 2017 pukul 11.47
jangan abper mas nusantara adhiyaksa
28 Februari 2017 pukul 11.53
dapat bunga bank saja enak mbak hani
28 Februari 2017 pukul 20.02
Salah sasaran, niatnya jadi mata-mata malah jatuh cinta. Apik mbak :D
1 Maret 2017 pukul 11.38
iya mbak syuna
Posting Komentar