Gambar dari sini
Terdengar
gerimis di luar sana, mengetuk-ngetuk atap rumah dengan iramanya sendiri. Aku
mulai menghitung, til...tik...tik...tik..... terus kuhitung titik hujan yang
jatuh di atap rumah, seperti hitungan detak jantungku yang akan berdetak cepat
saat gerimis tiba. Gerimis tanda hujan akan tiba buatku ada kenangan tersendiri
di suatu saat di masa laluku yang sampai sekarang masih terus bergema dan tak
pernah hilang. Walau gema itu menyakitkan karena aku harus kehilangan orang
yang aku cintai tapi gerimis bagiku sangat membuatku sedih karena di saat
itulah perpisahan harus terjadi, tak mungkin aku meneruskan cinta yang sudah
terpaut lama karena ada benteng yang memisahkan yang begitu kuat , iman yang
berbeda.
Terdengar suara gemuruh di langit
dan tampak mendung semakin menebal tapi aku dan Lastri masih setia duduk di
bibir pantai Kuta. Diam. Tak ada satupun yang bicara selagi pikiran terpenuhi
dengan onak yang menusuk sampai ulu hati. Ini hal yang selalu aku pikirkan akan
terjadi,perpisahan. Aku memandang Lastri yang duduk di sisiku dan tampak air
matanya mulai turun dari pelupuk matanya, aku sungguh tak tega melihatnya harus
menangis.
“Ini tak mungkin untuk diteruskan
Lastri, sudah jelas ayahmu melarang kau datang kembali padaku,” aku bergumam
pelan , sedikit kulihat Lastri mendongak ke atas dan sesekali menyusut air
matanya.
“Apa salah aku mencintaimu. Hanya
karena iman kita berbeda, aku tak boleh lagi mencintaimu,” tukasnya sengit. Aku
masih diam, gerimis mulai turun dan titik-titik hujan mulai menetes satu
persatu dan membasahi tubuhku dan Lastri sedikit demi sedikit.
“Pulang?” Lastri menggeleng.
“Aku masih mau di sini bersamamu,
aku takut kehilanganmu,”kembali Lastri menyusut ai matanya. Kurengkuh dirinya dalam
pelukanku dalam gerimis , awan mulai berarak-arak dengan angin yang kencang,
ombak semakin kuat bergulung seperti hendak menerkam, tapi aku masih diam di
bibir pantai sambil merangkul Lastri dalam pelukanku. Getar-getar yang membuat
jantung semakin berdegup kencang membuatku ingin menangis. Ini saatnya aku
harus melepaskan Lastri, aku tak boleh egois, karena cinta toh tak harus
memiliki. Aku tak mungkin juga melanggar adatku di Bali ini kalau aku menikahi
Lastri perempuan Jawa yang sudah aku kenal sejak tiga tahun yang lalu.
“Wayan, apa kita tidak bisa kawin
lari saja,” Lastri bergumam perlahan.
“Astaga , tak mungkin Lastri, itu
sama saja menyakitkan keluarga kita,” keluhku.
“Tapi kita saling mencintai, mengapa
tidak, pengecut,” sengitnya, aku sedikit tersinggung akan ucapannya . Aku
mempererat pelukanku dan gerimis mulai bertambah besar.
“Pulang?” Lastri menggeeleng.
“Aku masih ingin bersamamu, kalau
perlu aku mati kedinginan di sini, “ tukasnya masih dengan nada ketusnya. Aku
menghela nafas, Lastri marah padaku , dia menganggapku pengecut karena tak
berani membawanya untuk menikah.
“Ada sesuatu yang tak mungkin kita
langgar Lastri, bukan berarti aku pengecut. Aku sangat mencintaimu, aku tak
bohong, aku juga ingin mati di sini juga, tapi hidup harus jalan terus ke depan,
adat dan agama yang selalu membentengi
kita juga tak mungkin kita tembus. Aku akan selalu mencintaimu ,Lastri.” Lastri
mendorong tubuhku.
“Bohong,” serunya marah, dia berlari
dalam gerimis yang semakin besar dan hujan mulai turun , satu persatu tetesan
hujan mulai membasahi tubuhku. Aku melihat Lastri masih berlari dan kukejar dan
kubawa dia dalam pelukanku.Lastri berontak tapi tetap aku eratkan pelukannya
sampai dia tenang kembali dalam pelukanku. Aku mulai menenangkannya .
Kita harus berpisah Lastri, kalau
kita jodoh mungkin suatu saat kita akan bertemu lagi. Aku akan pergi jauh dari
sini agar kau mampu melupakanku,” tukasku cepat dan kupandang bola matanya, ada
duka yang mendalam di sana, aku tak tega melihatnya.
“Jangan pergi Wayan, temani aku, aku
tak mau sendiri,” air matanya terus mengalir bersamaan dengan hujan yang turun
. Aku menggelengkan kepala.
“Aku harus pergi, Lastri. Sekarang
kita pulang, “ aku kecup sekilas dahinya , ada rasa perih yang menghujam di
lorong hatiku, sakit sekali. Tapi perpisahan ini tak bisa kuelakan lagi.
Kini sudah lima tahun perpisahanku,
aku di sini masih sendiri ditemani gerimis yang turun. Suara gerimis di atap
selalu membuatku terkenang akan cintaku yang hilang lima tahun yang lalu. Maafkan
aku Lastri, aku sangat mencintaimu , sangat , karena aku amat mencintaimu, aku
tak mau menyakiti siapapun termasuk keluarga-keluarga besar kita yang tak
menyetujuinya. Aku masih di sini bersama gerimis Lastri dan akan selalu
mencintaimu dari jauh, selalu mencintaimu!!!!!
4 komentar:
17 Juni 2017 pukul 14.56
Sabar ini ujian...
18 Juni 2017 pukul 12.19
ya mungkin ujian ya mas andre
10 Juli 2017 pukul 10.18
jadi kangen nulis fiksi. Nice share mbak
10 Juli 2017 pukul 12.48
makasih mbak fubuki
Posting Komentar