Gambar dari sini
Tiba-tiba
aku dikagetkan dengan goncangan dari bahuku , begitu keras. Aku membuka mataku.
“Sudah sampai mas,”tukasnya. Aku
melihat lewat jendela kereta. Statsiun Semarang Tawang. Sudah hampir sepuluh
tahun, aku tak pernah kembali ke kota ini. Kota yang membuat banyak luka di
hati. Sungguh baru kali ini aku memberanikan diri untuk datang ke tempat sejuta
kenangan terpahit yang harus aku rasakan. Rasa pahit itu masih tersembunyi
dalam relung hatiku terdalam. Bingkai yang menutup kadang membuat sakit hati
sulit untuk keluar dari zona nyamannya. Pemuda di sebelahku, menepuk bahuku .
“Selamat jumpa, semoga kau bisa
bertemu kembali dengan kekasihmu.” Aku balas tersenyum padanya sambil
melambaikan tanganku. Aku geret koperku. Perasaanku tiba-tiba saja berdebar
begitu keras.Saat kakiku menginjak tanah di statsiun, rasa rindu tiba-tiba saja
menyeruak di hatiku. Walau dulu aku sakit hati dengan orang tua Siska , tapi
entah mengapa aku merindukan Siska. Aku bergegas keluar dan aku sudah disambut
paman. Paman tampak sudah tua. Pamanlah yang menjadi orangtuaku sejak kedua
orangtuaku meninggal karena kecelakaan sewaktu aku kecil. Aku peluk erat paman.
“Piye kabarmu Topan?”
“Baik, lek.” Aku berjalan
berdampingan dengan paman. Entah mengapa pikiranku berlanglangbuana ke sepuluh
tahun yang lalu.......
Aku terbiasa menunggu Siska pulang
dari kebaktian di gereja Blenduk. Gereja peninggalan Belanda dan merupakan
gereja tertua di Jawa tengah. Bentuk gereja ini unik , bentuk heksagonal dengan
kubah yang dilapisi perunggu. Karena ciri khas gereja ini adalah kubahnya maka
masarakat setempat menamakan gereja ini Blenduk yang mepunyai arti kubah. Aku
memang tak terbiasa beribadah ke gereja. Akupun tak pernah melihat pamanku
ke gereja. Akhirnya aku juga tak rajin ke gereja. Paling-paling pas natal
saja.Itupun hanya formalitas saja.
Tampak Siska berlari menghampiriku.
“Jadi jalan-jalannya,”tukasnya
manja. Aku melongok ke arah pintu gereja. Siska mengerti apa yang aku cari.
“Aku sendiri, mama dan papa ke
gereja pagi tadi,” tukasnya. Ada sedikit kelegaan di hati. Aku tahu orangtuanya
Siska tak mengijinkan Siska berteman denganku, apalagi berpacaran. Menurut
mereka aku tak pantas untuk anaknya. Iyalah aku dan Siska seperti bumi dan
langit. Menurut teman-temanku, aku seperti burung pungguk merindukan bulan.
Secara Siska berasal dari keluarga konglomerat terkenal di Semarang, sedangkan
aku??? Sekolah saja aku bergantung pada beasiswa. Tapi entahlah aku dan Siska
selalu tak pernah mempedulikan status sosial yang terbentang di antara aku dan
Siska. Mungkin karena
cinta itu buta. Semua terasa indah.
“Jadi ke jembatan Berok?” tanyanya .
Siska lalu menggandeng tanganku lembut. Debaran jantungku semakin kencang.
Keringat dingin mengalir. Masih selalu sama, saat berdua dengannya, aku sering
kali tak mampu mengatasi rasa gugupku. Sore-sore berdiri di tepian jembatan
menunggu senja. Selalu aku tunggu. Momen yang tak pernah aku lupakan.Jembatan
Berok ini melintasi kali Semarang yang menghubungkan Kota lama dengan jalan
Pemuda. Di situlah tangan kita selalu bergenggaman , tanpa suara. Hanya
hati yang bicara. Entah mengapa, setiap bicara selalu ada rasa amarah. Amarah
karena hubungan yang tak pernah disetujui. Jadi diam selalu menjadi jalan
terakhir untuk menikmati cinta yang ada di antara aku dan Siska. Begitu syahdu.
Sampai aku tahu kalau akhirnya Sisak tak diperbolehkan lagi keluar tanpa
ditemani anggota keluarganya. Orangtuanya marah karena tahu Siska masih bertemu
denganku. Aku ingat saat itu aku dan Siska duduk di taman sepulang Siska dari
gereja sore. Taman di depan statsiun sebagai ruang terbuka dari kota lama yang
digunakan untuk olahraga, upacara tempat berkumpulnya orang-orang. . Orangtuanya
tiba-tiba saja sudah muncul di hadapanku . Tangan Siska digeret.
“Awas sekali lagi kamu berhubungan dengan Siska. Kamu
itu gak tahu diri. Kamu mau kasih makan apa . Hidupmu saja sudah susah,”tukas
ibunya Siska dengan nada merendahkan. Aku tertunduk dengan rasa luka yang
begitu sakit, lebih sakit daripada tergores pisau. Semenjak itu aku pergi jauh
ke Jakarta dengan tekad untuk membuktikan kalau aku juga bisa sukses .
Pagi di Semarang, aku ingin kembali
menikmati kota Semarang. Tiba-tiba ada telpon masuk, aku kaget karena telepon
dari Siska. Selama aku merantau semua pesan, telepon aku tak pernah dijawab
Siska, tapi kali ini??? Dari siapa Siska tahu kalau aku ada di Semarang???
“Halo.” Suara lembut Siska
terdengar. Aku begitu gugup, perasaanku padanya masih sama seperti dulu. Tak
ada yang berubah.
“Jadi jam 4 sore di jembatan Berok,” tukasku meyakinkan ajakan Siska.
“Iya, sampai ketemu ya di sana,”tukasnya.
Entah mengapa hatiku tiba-tiba saja gembira. Tak menyangka aku mendapatkan
telepon dari Siska. Tak mungkin kalau Siska tak mencintaiku. Kalau gak mengapa
ia susah-susah menelpunku????
“Hari ini mau kemana?” tanya paman.
“Pagi ini mau menikmati di rumah
saja , lek. Nanti sore aku akan ke jembatan Berok. Ingin melihat senja di
sana.” Tiba-tiba kami terdiam bersama.
“Bukan untuk mengingat Siska kan?”
Aku melihat paman. Paman tahu benar perasaanku. Aku hanya mengangkat bahuku
acuh tak acuh. Aku tak memberitahu kalau sore nanti aku akan bertemu dengan Siska
Jadi sore itu aku sudah tiba di jembatan Berok. Melihat semua kenangan yang ada
di sini. Masih seperti
dulu. Selalu indah dari sini.
“Sudah lama?” Aku membalikan tubuhku
dan terpana sesaat. Masih seperti dulu, cantik, mungil hanya sedikit pucat.
“Kamu sakit?” gelengan kepalanya menandakan
dia tak sakit. Siska menggandeng tanganku dan mulai diam seribu bahasa . Bahasa
hati yang bicara seperti dulu. Menikmati banyak kenangan dulu. Sampai akhirnya
aku memecahkan kesunyian di antara kita.
“Gimana kabarmu. Apa orangtuamu
masih marah padaku???
“Baik, aku masih mencintaimu, asal
kamu tahu saja.” Pelan tapi serasa menohok hatiku. Siska masih mencintaiku?
“Jodohmu?
“Tak perlu dibicarakan lagi. Sekarang
yang ada aku dan kamu. Itu saja.” Kembali
sunyi . Saat aku menoleh ke samping, beberapa orang melihatku dengan pandangan
heran dan sekali-kali ada yang menunjuk aku dengan menaruh telunjuknya di
dahinya. Emang siapa yang gila? Siska? Aku tak merasakan keanehan pada diri
Siska lalu apa? Tapi ya sudahlah. Aku tak mengerti. Hari sudah semakin sore.
Siska berpamitan. Aku hendak mengantarkan pulang tapi Siska menolakku. Malam ini aku tidur dengan
sejuta mimpi dan kerinduanku terhapuskan dengan kehadiran Siska sore tadi.
Esoknya aku berjanji dengan kawan
lama untuk bertemu di sebuah kafe. Andi. Teman sewaktu SMA. Andi juga kenal
baik dan berteman dengan Siska, mungkin aku akan bertanya tentang Siska
semenjak aku meninggalkan kota Semarang. Aku sudah melihat Andi duduk bersama
temannya.
“Ini Ayu,”tukas Andi memperkenalkan
temannya. Setelah menanyakan kabar , aku
mulai cerita kalau kemarin sore Siska menghubungiku. Aku menceritakan semua
tentang sore itu. Aku menatap Andi yang keheranan dan sebentar-bentar mulutnya
melongo.
“Kamu gak tahu Topan??? Siska itu
sudah meninggal. Dia bunuh diri karena gak mau dijodohkan oleh orangtuanya.” Tiba-tiba
saja aku seperti tertampar keras. Jantungku serasa berhenti seketika.
“Jadi aku bicara dengan siapa? “ Aku
lihat sendiri, Siska ada bersamaku.” Aku coba meyakinkan Andi, tapi Andi tetap
saja mengatakan kalau Siska sudah tiada. Bahkan sore itu aku diajak ke makam
Siska. Ah, Siska, aku bersalah. Aku meninggalkan kamu sendiri menanggung semua
bebanmu. Aku tatap nanar makamnya. Aku usap papan namanya.
“Siska, tidurlah dengan temang. Aku
bahagia kamu mencintaiku.” Andi menyentuh bahuku dan mengajakku pulang. Sekali
lagi aku menatap pusaranya. Ah, kamu masih mencintaiku Siska......
0 komentar:
Posting Komentar