Gambar dari sini
Pagar rumah yang tinggi dan tertutup membuatku tak bisa
melihat bagian dalam rumahnya. Aku sering penasaran ingin tahu dalam rumah
besar itu, walau aku benci sekali dengan anak pemilik rumah itu yang suka
mengatai-ngatai aku anak kampung. Memang rumahku ada di kampung di belakang
perumahan mewah. Kalau dibandingkan rumahku, ya sangat jauh perbedaannya, tapi
julukan anak kampung begitu menyakitkan. Seperti hari ini saat aku pulang
sekolah bersama Ipin sengaja aku
melewati perumahan mewah ini ingin melihat-lihat .
“Ngapain
elu lewat sini sih,” tegur Ipin kurang suka, tapi aku tetap saja masuk ke perumahan dan akhirnya Ipin mengikutiku juga. Aku
selalu senang melihat rumah-rumah yang begitu indah , sepertinya akan terasa
nyaman tinggal di sana. Belum lama aku berjalan sudah terdengar dari balik
pagar.
“Hey, anak
kampung ngapain lewat sini, ini bukan jalan umum,” teriak gadis cantik yang
selalu meneriakan aku anak kampung. Aku cuek dan berlalu tapi terdengar lagi
umpatannya, membuat tubuhku berbalik.
“Apa elu
bilang gue anak kampung, emang iya. Lalu elu mau ngapain kalau gue anak
kampung,” teriakku marah , tapi Ipin segera menarik tanganku untuk cepat
berlalu dari sini.
“Makanya
elu sih pakai lewat sini,” tegur Ipin lagi. Aku mendorongnya , aku gak suka ada
orang yang melarangku lewat perumahan.
Setiap sore
aku selalu duduk di atas pohon yang berada di dekat lapangan sepakbola dan dari
sana aku bisa melihat rumah gadis itu. Belakang rumahnya luas dan ada kolam
renang yang besar. Aku selalu bisa melihat aktivitas keluarga mereka dari atas
pohon dan aku selalu berada di atas pohon sampai senja menjemput.
“Hoy, Jay
turun, elu dipanggil nyokap elu tuh,” teriak Ipin dari bawah.
“Apa lagi
si mak, ganggu kesukaan gue saja,”
gerutuku tapi tetap turun dan menghampiri emak yang sedang memegang surat. Waktu aku buka surat itu, mataku berbinar dan
tak menyangka sama sekali.
“Astaga
mak, gue diterima di SMA Teladan,”seruku
riang. Ipin merebut surat itu dan dia ikut terbelalak kaget tak
menyangka aku bisa masuk ke sekolah terkenal favorit dan banyak orang kaya yang
bersekolah di sana.
“Gile lu
Jay, tapi apa elu gak minder nantinya bakalan satu sekolah dengan anak orang
kaya,” celetuk Ipin yang saat ini hanya diterima di sekolah negeri yang bukan
favorit.
“Ngapain
minder, gue Jay, anak ganteng dan pintar,” aku tertawa menyeringai di depan
Ipin yang mulai memperlihatkan tampang sebalnya.
“Ya udah
besok emak bikin ayam goreng dan sambal terasi kesukaanmu, buat merayakan keberhasilanmu,”
ujar mak sambil ngeloyor masuk ke rumah.
“Thank you,
emak gue yang paling baik,”teriakku girang Entah mengapa suatu kebanggan
tersendiri bagiku kalau aku bisa masuk
SMA Teladan yang berisi anak-anak pintar dan juga kaya. Sudah terbayang aku
akan berdiri di sekolah itu , benar-benar mimpi yang menjadi kenyataan.
Aku sendiri
sudah tak sabar untuk cepat masuk sekolah,memakai seragam dan berada diantara
anak-anak di sekolah sana. Pagi itu aku sudah dengan seragamku dan siap untuk datang di sekolah baruku yang sudah
kumimpi-mimpikan sejak lama.
“Pergi dulu
mak, doain Jay ya,” aku mencium tangan emak dan emak selalu mencium ubun-ubunku
dan aku paling suka karena aku merasa ada doa yang diucapkan saat mencium
ubun-ubunku. Gerbang sekolah sudah tampak, sekolah yang megah membuatku sedikit
gemetar, beberapa mobil memarkir mobilnya di tepi jalan untuk menghantarkan
anaknya sekolah, tapi aku tetap percaya diri dengan motor bututku. Aku parkir
di tempat parkir motor yang berisi motor-motor bagus dengan merk terkenal,
rasanya motorku terlihat jelek sekali. Waktu aku mencari kelasku, aku melihat
gadis yang tinggal di perumahan mewah itu, ah ternyata dia juga bersekolah di
sini.
“Eh, ada
anak kampung juga di sini,” tegurnya. Tapi aku tak menghiraukannya dan mencari
tempat duduk di kelas yang menurutku bagus sekali tidak seperti sekolahku saat
aku duduk di bangku SMP. Ternyata nama gadis itu Dinda, manis juga namanya .
Saat pak Nata menyebutkan namaku Jaenudin, Dinda menoleh padaku dan mencibirkan
mulutnya padaku, dan aku balas dengan membuat gerakan kiss bye padanya, tampak
wajahnya cemberut, aku suka sekali dengan wajahnya apalagi dengan tampang cemberut
begitu membuatnya tambah manis. Tak kusangka untuk kegiatan ospek aku sekelompok dengan
Dinda dan Sahrul. Saat pulang sekolah aku dan Sahrul mendekati Dinda yang sudah
siap akan pulang.
“Din, kapan
nih kita beli pernak-pernik untuk lusa acara ospek, “tegur Sahrul pada Dinda
yang sejenak terdiam dan menatapku tajam.
“Halo,
Dinda, panggil saja gue Jay,” aku menyodorkan tanganku padanya , dengan malas
Dinda menyambut tanganku dan aku genggam lama dan segera Dinda menarik dengan
cepat . Sahrul menatapku tajam dan menyenggolku.
“Gimana
kalau elu ikut kita berdua saja , cari di pasar inpres, harganya lebih murah,”
ujarku.
“Ogah ah,
ngapain ke pasar inpres itu kan langganannya orang kampung saja,” tapi sungguh aku
tak sakit hati Dinda berkata demikian.
“Ya, sudah
kalau gitu kita berdua saja,” aku menarik tangan Sahrul. Dinda tampak
ragu-ragu.
“Gue ikut.
Tapi gue bilang dulu sama supir gue biar dia pulang saja.” Aku bersorak dalam
hati, berjalan dengan Dinda, wwauw!!!!! Tak terasa belanja dengan Dinda
membuatku asik dan aku melihat Dinda juga menikmati suasana pasar inpres dan
kesan Dinda sombongpun hilang seketika saat aku sudah mulai bisa berkomunikasi
dengannya , Dinda enak diajak bicara. Dan Dinda mau digonceng motorku untuk
sampai ke rumahnya.
Esok sore
aku dan Sahrul datang ke rumah Dinda untuk mengerjakan tugas untuk ospek.
Berdebar-debar aku memasuki rumahnya yang selalu membuatku penasaran, kini aku
bisa melihatnya sendiri. Kini aku tidak penasaran lagi dengan rumahnya
Dinda, begini nih namanya rumah orang kaya . Tidak begitu lama tugas untuk
ospek sudah dikerjakan dan aku bersyukur kelompokku mau bersama-sama
mengerjakannya sehinga cepat selesai. Sahrul segera berpamitan untuk pulang.
Aku masih menatap Dinda , ingin sekali aku disuruhnya tetap di sini, tapi Dinda
tak bicara apa-apa lagi terpaksa aku juga berpamitan padanya.
“Geu pulang
dulu Din, eh mau gak elu main ke lapangan sepakbola di belakang , aku selalu
duduk di atas pohon setiap sore, “ sedikit malu untuk menawarkan main di
kampung kumuhku yang jauh berbeda dengan perumahan Dinda, tapi tak kusangka
Dinda menganggukan kepalanya.
“Benar?”
Aku mengajaknya naik ke atas pohon, aku tuntun agar dia bisa naik perlahan,
ternyata Dinda cukup cekatan juga naik pohon. Saat Dinda sudah berada di atas
pohon , tiba-tiba dia terdiam.
“Jadi elu
bisa lihat rumah gue dong dari sini,” tukasnya cepat, aku menyeringai padanya
sambil menyodorkan es lilin . Dinda tampak ragu
menerimanya.
“Ambil,
bukan racun kok, walau tak seenak es krim walls.” Dinda mengambilnya dan mulai
menjilatinya. Dan senja itu aku nikmati bersama Dinda samapi matahari terbenam
di barat. Suasana senja saat itu membuat
Dinda banyak tersenyum padaku dan membuat hatiku turut berbunga-bunga.
Pagi itu anak-anak
SMA Teladan sudah siap mengikuti acara ospek, anak-anak dipasangi atribut yang
memalukan dengan pita-pita dari tali rafia , tas dari karung goni dan sepatu
diikat dengan tali rafia. Selain
diadakan permainan untuk melatih kekompakan, kerjasama dan rasa empati, juga
diberi penjelasan oleh pihak sekolah pembelajaran dan kegiatan-kegiatan apa
saja yang ada di sekolah ini. Aku terpesona dengan banyaknya kegiatan yang nantinya
bisa mengembangkan kreativitas siswa. Acara ospek juga tenyata membuat siswa menjadi
lebih akrab satu sama lain dan ditutup dengan acara api unggun di sekolah.
Malam itu aku menjemput Dinda dengan motor bututku untuk menghadiri acara
puncak ospek, malam itu semua siswa
kelas sepuluh resmi diterima di SMA Teladan
dan kepala sekolah menerbangkan seiikat balon gas yang tak lama kemudian
berterbangan di udara. Malam itu semua
bergembira diiringi permainan gitar dan api unggun yang menghangatkan suasana keakraban
di sekolah ini. Aku tak membayangkan aku bisa menjadi bagian dari sekolah ini.
Aku melihat Dinda di sampingku juga mungkin merasakan hal yang sama denganku.
“Din,
jadilah teman gue ya, gue suka berteman dengan elu,” aku menatapnya yang sedang
melihat balon-balon gas itu berterbangan.
“Ada
sayaratnya dong,” kelakarnya.
“Apa itu,”
aku mencubit pipinya yang bersemu merah saat kupandangi wajahnya.
“Jadilah
teman baik gue selamanya,” ujarnya lagi. Aku gandeng lengannya dan bersama-sama
melihat balon yang berterbangan di langit, menyongsong harapan baru di sekolah
baru yang akan datang menyambutnya sebentar lagi. Aku masih tersenyum dan
tanganku masih menggandeng tangan Dinda.
“Jadilah
teman gue juga Din, selamanya,” ujarku perlahan. Bintang sudah tampak dalam
kegelapan, berbinar memberikan pengharapan baru bagiku.
2 komentar:
14 Mei 2018 pukul 16.23
Dari tatapan sinis menjadi manis 😁
15 Mei 2018 pukul 12.25
dari gak suka jadi suka setelah banyak pertemuan ya
Posting Komentar