Sumber gambar dari sini
Aku masih tertatih-tatih melangkah. Sendiku sedang kumat,
namun tadi pagi aku paksakan untuk
berlatih. Aku ingin merebut kembali juara dunia bulutangkis. Walau banyak
yang mencemooh karena kondisi lututku yang tidak bagus setelah kecelakaan yang
menimpaku tiga tahun lalu. Tapi aku
bertekad sebelum aku menggantung raketku aku harus merebut kembali juara dunia
kembali ke pangkuanku. Aku melangkahkan kaki perlahan , lututku semakin nyeri
apalagi kalau dipakai berlatih.
“Niar, kamu
tak apa-apa?” tanya pak Didin penjaga stadion.
“Gak, pak,
hanya sakit sedikit.” Aku duduk di kursi untuk meluruskan kakiku.Perlahan aku
selonjorkan kakiku. Sedikit sakit tapi aku paksakan agar aliran darah kembali
lancar. Pak Didin menghampiriku , tangannya mulai memijit kakiku. Pelan tapi
terasa enak. Aku terdiam lama menikmati pijitannya.
“Masih
bertahan untuk ikut pertandingan dengan kaki seperti ini?”
“Iya.” Aku
mengangguk . Pak Didin tersenyum .
“Memang
kamu keras kepala seperti bapakmu.” Aku menatap bola mata pak Didin yang tampak
memberikan api semangat bagiku. Ada getaran yang membuatku kembali punya
semangat tinggi .Walau berat untuk bisa meraih juara dengan kondisi kakiku
seperti ini. Apalagi PBSI tak mau memberangkatkan aku karena kemungkinan aku
menang tipis. Tapi dengan biaya aku sendiri aku bertekad untuk ikut berjuang
membela negaraku. Apapun itu. Aku ingin menorehkan sejarah sebelum aku
benar-benar ikhlas menggantungkan raket.
Aku
meneteskan air mata saat aku ingat ayah. Ayahlah yang memperkenalkan aku dengan
dunia bulutangkis. Dari kecil aku dilatih . Keras memang hasil didikannya . Kadang
marah dan pukulan ayah kalau aku malas berlatih membuatku ingin berhenti
berlatih. Tapi berkat kedisiplinan ayah melatihku, sedikit demi sedikit aku
mulai meraih juara. Mulai dari juara kabupaten, kotamadya dan propinsi
.Akhirnya aku ditarik oleh klub bulutangkis Pesona Kasih untuk bergabung. Mulai
saat itu latihan yang semakin berkembang dengan pelatih yang handal membuatku
terus meningkat. Juara dunia aku raih!!!! Juara dunia berkali-kali aku raih
sampai tiga tahun yang lalu aku mengalami cidera kuat saat melawan atlit Korea
Selatan. Lututku robek dan tulangnya patah dengan radang yang menjalar luas.
Aku harus mengaku kalah . Dan aku juga harus kehilangan kesempatan untuk
bertanding karena kakiku mengalami kendala besar. Sembuh tapi tak bisa seperti
sedia kala. Kakiku agak pincang . Kaki adalah modal utama akhirnya aku harus
menerima keadaan aku . Aku tak terpilih lagi masuk di pelatnas. Hampir setahun
aku hanya luntang lantung tak tahu apa yang aku kerjakan. Bekerja aku tak punya
keahlian tapi ada rasa di dada ini untuk bisa meraih kembali kejayaan aku dulu.
Semangat itu terus bergelora. Akhirnya aku memutuskan untuk berlatih kembali.
Tapi ternyata tak mudah dengan kaki yang pincang. Belum lagi cemoohan yang
datang padaku termasuk keluargaku.
“Apa lagi
yang kamu cari Niar? Lihat kakimu untuk berjalan saja sudah susah apalagi mau
bertanding,”keluh ibu yang sudah kesal dengan kenekadanku untuk ikut
bertanding. Ibu mulai marah saat aku akan mengeluarkan tabunganku utnuk ikut
bertanding di kejuaraan dunia di Korea Selatan .
“Apa-apaan
Niar. Itu sama saja buang-buang uang. Uangmu habis kamu gak dapat apa-apa.
Lebih baik uang itu untuk modal usaha.” Ibu begitu marah saat aku mengutarakan
maksudku.
“Percayalah
padaku bu. Aku tak akan mengecewakan ibu,”tukasku. Coba kalau ayah masih ada
mungkin ayah akan berdiri paling depan membelaku. Akhirnya ibu tak bisa berbuat
apa-apa . Tekadku terlalu kuat mengalahkan segalanya. Aku hanya minta doa restu
ibu.
“Doakan aku
bu.” Ibu mengangguk pasrah. Aku yakin dalam hatinya ibu akan mendoakan aku
selalu.
Begitulah
aku sudah sampai semifinal kejuaran dunia. Tak ada yang menyangka aku bisa
sampai semifinal, tapi aku menguatkan diri sendiri aku akan terus maju sampai
final. Walau aku tahu lawan-lawanku semakin berat. Cina, Korea Selatan dua
negara itu yang aku takutkan. Tapi kali ini aku tak mau kalah lagi dari Korea
Selaatn. Akan aku balas kekalahanku tiga tahun yang lalu. Walau lututku mulai
terasa perih dan sakit tapi malam hari aku selalu kompres dengan air es. Tak
lupa aku minum obat yang diberikan oleh dokter Pri. Aku juga harus
berterimakasih pada dokter Pri yang membantuku memberikan obat-obatan kalau aku
mengalami rasa sakit berlebihan saat bertanding. Dan tak menyangka akhirnya aku masuk final
melawan Park Chuan Ho dari Korea Selatan. Musuh aku tiga tahun yang lalu,
kembali berhadapan dengannya
kembali. Tekadku untuk membalas kekalahanku
sudah bulat walau sekarang kakiku mulai sering terasa sakit. Mungkin hampir
setiap hari aku forsir bertanding. Dalam waktu tiga hari menuju final, aku
hanya akan berlatih fisik sambil mempelajari vidio-vidio pertandingan Park
Chuan Ho. Aku harus mencari titik kelemahan dari lawanku.
“Niar,
sedang apa ?” tanya pak Sapto pelatih pelatnas saat aku masih duduk melihat
vidio.
“Mencari
kekurangan Park Chuan Ho.” Pak Sapto ikut melihat sambil memberikan beberapa
komentar dan sedikit taktik untuk melawan Park Chuan Ho. Aku menatapnya dengan
rasa terimakasih.
“Makasih
pak.” Pak Sapto tersenyum dan menepuk pundakku untuk memberi semangat.
Ini sudah
set ketiga set perpanjangan. Lututku terasa sakit sekali. Skor di papan tampak
unggul Park Chuan Ho 18-16. Serve dari Park aku tangkis dan aku arahkan di
pojok kiri tempat yang sulit dijangkau. Dan masuk. Terus melaju saling menambah
nilai dan nilai 19-19. Dua nilai lagi. Terasa basah kakiku. Aku lirik lututku
robek, darah mengalir. Tapi tekadku semakin kuat, rasa sakit tak membuatku
luruh. Aku tahu Park Chuan Ho melihat aku luka, tapi aku tak akan mengendurkan
seranganku padanya. 19-20. Satu poin lagi untukku. Serve dimulai dari Park Chuan Ho. Bola masih
bisa diambil oleh Park. Smashku masih bisa diangkat . Darah semakin mengalir, kepalaku mulai terasa pusing tapi
aku tak boleh kalah. Tinggal selangkah l;agi. Bola kembali ke arahku dan dengan
sekuat tenaga aku arahkan ke pojok kiri. Aku berlutut karena aku sudah tak kuat
lagi menahan tubuhku. Dan bola dinayatakn masuk oleh wasit. Gemuruh suara
penonton bertepuk tangan . Tubuhku gemetar dan aku tak sadarkan diri. Aku
seperti terbang tinggi di atas awang-awang. Ayah datang menghampiriku.
“Kau hebat
anakku. Kau memang juara sejati. Ayah bangga padamu.” Aku diajak ayah ke suatu
tempat yang damai . Entah apa namanya.
0 komentar:
Posting Komentar