Gambar dari sini
Panas terik kota Cirebon terasa menyengat di kulitku, kepala
terasa berdenyut saat teriknya mentari menyusup ke dalam pori-pori kulit dan
kepalaku. Masih harus kutunggu angkot yang akan membawaku pulang. Aku melirik
di sebelah sana banyak anak baru gede (abg) yang sedang menunggu angkot juga. Tapi sudah
berapa angkot yang melewatiku aku tak berniat naik, dan kutatap para abg itu
juga dilewati beberapa angkot .
Tiba-tiba kulihat angkot yang kutunggu datang, astaga para abg itu
berebut naik . Waktu sampai tempatku angkot sudah terisi penuh, aku gigit jari
dan harus menunggu angkot berikutnya. Dan kulihat para abg itu tertawa seperti
mengejekku, dalam hatiku , awas ya lihat besok, kalian yang tak dapat tempat
duduk.
Akhrinya
dengan terpaksa aku naik angkot berikutnya. Perasaan dongkol sekali saat tidak
bisa naik angkot spesial bagiku. Angkot
yang biasa kunaiki itu angkot yang sangat disukai para abg muda, aneh kan????
Para abg itu suka naik angkot itu karena supirnya ganteng, tapi kalau aku bukan
karena kegantengan supirnya tapi kenyamanannya. Mobilnya dilengkapi dengan
televisi, selalu ada musik dengan selera tinggi bukan model supir lain yang
doyannya lagu dangdut!!!!. Tempat duduknya dilapisi plastik dan dilengkapi
dengan tempat sampah kecil. Terakhir kebersihannya terjamin. Coba kalau semua
angkot seperti ini , aku rasa penumpang tidak akan pilih-pilih lagi dan satu
lagi tak pernah menyupir ugal-ugalan. Mungkin supir ini menjadi idola bagi kaum
abg maupun kaum ibu-ibu. Mereka bersaing ketat agar bisa naik angkot yang sama.
Herannya para abg tahu kalau supirnya namanya Beni, jadi angkotnya sering
disebut dengan “Angkot Beni”.
“Mam, tadi
naik Beni gak?” tanya Diah anakku.
“Enggak,
sudah diserobot anak abg ganjen itu!!!” aku melengos pergi dari hadapannya.
‘Aku tadi
naik mam,” aku melotot padanya yang tampak nyengir melihatku sewot.
“Jadi tadi
kamu lihat mama gak jadi naik angkot?” tanyaku berang. Diah tertawa keras.
Dasar, anakku ternyata sama saja dengan para abg labil yang sukanya menyerobot
angkot kesukaanku. Payah!!!! Lihat saja nanti para abg itu tak akan tertawa
lagi saat mereka tak dapat naik angkot Beni.
Esoknya aku
sengaja menunggu angkot agak jauh dari biasa anak abg itu menunggu. Aku melihat
ada pohon besar, lumayan buat menunggu angkot. Ternyata pikiranku sudah bisa
ditebak oleh para abg labil itu, mereka berjalan kaki dan menunggu angkot di
sebelahku.
“Tante, mau
nunggu angkotnya Beni ya,” kata salah satu abg norak . Dalam hatiku , enak saja
panggil aku tante , emang tantemu apa. Aku pasang wajah manis buat anak abg-abg
itu.
“Kalian
juga kan, tapi hari ini pasti aku yang mujur,” aku tersenyum semanis mungkin
pada abg-abg itu. Waktu angkot Beni naik, abg itu langsung menyerobot aku yang
hendak naik, tapi aku juga tak mau kalah sama anak abg yang badannya letoy
semua. Belum sempat kakiku naik, ada suara yang begitu mengembirakan.
“Bunda,
naik di depan saja biar enak tak perlu berdesakan di belakang,” Beni menyapaku
dan menyuruhku duduk di depan, Abg yang sudah duduk di depan disuruh duduk di
belakang. Kulihat mimik wajahnya kesal, aku hanya tersenyum manis padanya,
rasain!!!! Kali ini aku menang melawan abg-abg norak dan labil. Kulihat ke
belakang dan aku ternyum penuh kemenangan . Kulihat para Abg melotot padaku.
“Dasar
tante-tante gak tau diri,” sela salah satu abg itu dan yang lain mulai mengiyakannya.
“Ha, ha,
ha, gak usah sirik ya, supirnya sendiri loh yang menawarkan,” aku mulai
mengejek mereka. Pasti mereka mencari cara agar aku tak naik angkot Beni lagi,
pasti aku yakini karena kulihat mereka menatapku dengan sebal . sepanjang jalan
aku bersenandung mengikuti lagu yang terdengar dari angkot. Beni mulai ikut
bersenandung bersamaku . Alih-alih membuat para abg cemburu. Aku menatap Beni
yang tersenyum dan mulai mengedipkan matanya padaku dan aku mengerti arti
kedipan itu.Aku mulai beraksi.
“Wah, asik
ya mas bisa bernyanyi dengan mas, daripada yang duduk di belakang hanya bisa
iri saja,” kataku mulai memanas-manasi mereka.
“Iya, bunda
, memang lebih asik nyanyi sama bunda ,” kata Beni sambil terus bersenandung.
Aku membalikan tubuhku dan mulai menyeringai pada mereka.
“Awas saja
ya tante, pasti besok tante gak kebagian naik angkot Beni,’ celetuk salah satu
abg.
“Gak
apa-apa , aku besok keluar kota,” kataku acuh. Tiba-tiba mereka bersorak
girang.
“Asik, gak
ada lagi tante girang yang neyerobot angkot kita!”teriak mereka serempak. Aku
dan Beni tertawa bersama sambil geleng-geleng kepala.
Aku memang
harus rapat kerja ke luar kota , sehingga aku mungkin akan lama tak naik angkot
Beni. Kuyakini pasti anak abg itu bersorak gembira tahu kalau aku tak menunggu
di tempat yang sama. Terbayang seringai mereka. Tapi aku tak akan ketinggalan
berita angkot Beni, ada Diah yang akan bercerita tentang angkot Beni yang
semakin banyak pengemarnya. Sudah hampir
seminggu aku rapat kerja, kok ada rasa ingin cepat naik angkot Beni. Selalu ada
sensasi tersendiri saat melihat para abg berebut naik dan muka bete mereka saat
ada orang lain yang diperhatikan oleh supirnya. Anehnya Beni tahu benar kalau
aku suka menggoda mereka, sehingga Beni
suka sekali bersengkongkol denganku untuk mengejek mereka. Aku kadang
terkekeh-kekeh sendiri membayangkan mereka.
“Idih mama
tuh sukanya godaain orang saja,” Diah mulai bicara.
“Mam,
biarin dong mereka, kasihan kalau tiap hari diejek mama terus,”: katanya membela.
Jelas saja Diah membela para abg itu, soalnya dia kan seumuran dengan abg-abg
itu. Tapi aku hanya diam saja, sensasi melihat wajah mereka yang bete itulah
yang membuatku senang, dasar anak abg, rasanya dulu aku tidak gitu-gitu amat.
Siang itu
aku menunggu angkot Beni lagi, dan kulihat ada keterkejutan dari para abg itu,
bahkan ada yang menunjuk-nunjuk aku. Mungkin mereka bilang , tuh lihat ada
tante yang suka ganggu kita. Aku melambaikan tanganku pada mereka. Akhirnya
angkot Beni datang dan dia mengajakku untuk duduk di depan lagi.
“Maaf ya,
tidak bisa ada yang duduk di samping Beni ,” kataku dengan mimik menggoda. Beni
tertawa lepas.
‘Wah bun,
mereka senang gak ada bunda,”
“Oh, tentu
saja mereka gak ada saingannya untuk duduk di depan,” Beni bercerita saat itu
kalau dia mau pergi keluar Jawa untuk mencari peruntungan . Beni mau buka
bengkel di kota Palembang, bengkelnya di sini memang sudah banyak pelanggan ,
tapi dia berharap di kota di luar Jawa , dia akan mendapatkan peruntungan yang
lebih banyak. Aku mengangguk dan memberinya semangat.
“Pasti
anak-anak itu kehilangan kamu,” kataku. Beni mengangguk dan kulihat ada harapan
di wajahnya agar di kota perantauan dia
dapat lebih sukses. Aku selalu mendoakan untuknya. Dan aku membayangkan para
abg itu akan kehilangan supir kesayangan mereka. Kasihan deh lu!
0 komentar:
Posting Komentar