Gambar dari sini
Aku langkahkan kaki sepanjang
pematang sawah, mentari tepat di atas kepala saatnya aku mengantarkan makan
siang untuk kang Arif.
“Bade
kamana teh1?” tanya bi Arum.
“Biasa
bi, nganteurkeun ieu2 ,” aku menunjukkan rantang makan siang kang
Arif. Dari kejauhan kang Arif sudah melambaikan tangannya, kang Arif selalu
tepat beristirahat saat solat duhur tiba, tak pernah lupa, setelah itu dia akan
makan makan siangnya. Melihat kang Arif makan dengan lahap, membuatku tersenyum.
Aku memandangnya perlahan , kang Arif adalah suami yang bertanggung jawab , itu
sudah pasti, lahan sawah yang kecil ini dikelolanya dengan baik dan ternak dombanyajuga untuk memenuhi kebutuhan aku dan anak-anakku.
Walau sedikit dan tidak berlimpah kang Arif selalu mensyukuri nikmat yang
diberikan Allah padanya. Dulu aku tak pernah mengeluh, walau hasil yang didapat
tak begitu banyak, karena kebahagiaan bukan hanya dilihat dari materi, sampai
kang Sapto tetanggaku yang berangkat ke Jakarta untuk bekeja di sana. Belum
genap satu tahun, kang Sapto sudah bisa membangun rumah untuk anak istrinya .Ada
sedikit rasa iri dalam hatiku.
“Mengapa
melamun saja ?” kang Arif menatapku tajam, aku menghela nafas.
“Kang,
gak kepengen seperti kang Sapto bekerja di Jakarta?. Lihat dia sudah bisa
bangun rumah dan membelikan baju dan perhiasan buat keluarganya, belum lagi
uang .” aku sedikit malu mengutarakannya pada kang Arif, aku takut tersinggung.
Aku melihat kang Arif menghela nafas sebelum kang Arif mengatakan sesuatu
padaku.
“Bersyukurlah
terhadap apa yang sudah kita terima,Imah, mungkin tidak bisa mewah seperti kang
Sapto, tapi selama ini kita tak pernah kekurangan, lagipula, tanah ini harus
ada yang garap, siapa lagi kalau bukan kita sebagai warga desa ini,” tukas kang
Arif. Aku terdiam lama, sebetulnya masih ingin aku membujuk kang Arif untuk mau
bekerja di kota, masalah sawah juga bisa menyuruh orang lain . Dan ini sudah kali ketiga aku
membujuknya tapi kang Arif tak pernah tertarik pergi ke kota Jakarta.
Aku
tak pernah membujuk kang Arif lagi karena
aku sudah tahu pendiriannya , teguh tetap akan menggarap sawah dan ternak
dombanya. Memang ternak dombanya semakin banyak dan sudah ada beberapa
pelanggan yang akan membeli domba dari hasil ternak kang Arif. Aku melihat kang
Arif tak pernah tergoda dengan kehidupan kang Sapto, kang Arif selalu
menyuruhku untuk tetap bersyukur . Siang itu , pulang dari sawah, aku melihat
rumah kang Sapto begitu ramai dikerumuni warga.
“Ada
apa?”.
“Polisi
mau nangkap kang Sapto, katanya sekarang
buron,” kata salah satu w arga .
Kang Sapto ternyata mendapatkan uang bukan dengan cara yang halal, dia
ikut kawanan perampok di Jakarta. Malam
hari di kesunyian malam, aku merasakan
malu pada diriku , yang dulu iri terhadap kehidupan orang lain dan tak
mensyukuri hidupku. Kini aku sadar untuk
selalu mensyukuri hidupku yang akan membawa berkah tersendiri.
1= mau kemana kak?
2=mau mengantarkan ini.
2 komentar:
14 Desember 2018 pukul 01.22
Seperti kata pepatah yah, rumput tetangga selalu lebih hijau
14 Desember 2018 pukul 11.17
betul mas day
Posting Komentar