Gambar dari sini
Malam itu saat hujan turun lebat dan segala petir meneriakan
suaranya yang keras. Angin berdesau membuat telingaku tak mampu lagi untuk
mendengar tangisan hujan . tanganku masih bersimbah darah, kulepaskan pisau
dapur , keringat mengalir terus dari dahiku. Keberanian macam apa yang telah
aku perbuat? Kekuatan yang aku sendiri tak tahu dari mana. Apa mungkin ini
merupakan cetusan rasa sakit yang selama ini kupendam sendiri dalam duka yang
panjang?. Malam-malam sepi yang harus kulalui sendiri tanpa kasih yang
seharusnya aku temukan dari suamiku. Aku telah membunuhnya. Aku membunuhnya. Kulihat tubuh suamiku
terbujur kaku di lantai, dengan luka tusukan yang bertubi-tubi dan tusukan di
dadanyalah yang mungkin telah menghabiskan nyawanya. Aku masih diam dalam bisu, diam tanpa kata
dan aku terduduk dalam duka yang kutahu akan semakin panjang kulewati....
Aku masih
ingat perkenalanku dengan mas Arif di suatu seminar kebangsaan di Islamic
Center di kota Tangerang. Mas Arif
adalah salah satu pembicara di seminar itu. Aku dikenalkan Boy teman
kuliahku pada mas Arif. Perawakan sedang dan yang aku suka dia smart, bukan
tipe lelaki yang playboy atau pecicilan dan tampaknya sopan . Perkenalan singkat itu tak membawa rasa di
hati , karena aku kembali sibuk dengan urusan aku kuliah.
“Indah,
dapat salam tuh dari mas Arif”, kata Boy. Aku cuma tersenyum.
“Oh, ya
salam lagi deh,” kataku . Selang beberapa bulan kemudian , aku dikejutkan saat
mas Arif datang ke rumahku. Tidak hanya sekali itu saja mas Arif datang tapi
selanjutnya dia selalu rutin mengunjungi aku. Herannya ayahku bisa dekat dengan
mas Arif , padahal biasanya ayahku paling gak suka dengan teman-teman cowokku
yang lainnya. Yang aku tahu, aku mengagumi mas Arif sebagai cowok yang smart,
aku memang suka dengan cowok yang smart dibanding dengan cowok yang cuma
bisanya bergaya tapi otaknya nol besar. Cinta?, aku tak tahu, apa aku cinta
dengan mas Arif tapi perasaanku masih belum ada getar-getar yang membuatku
jatuh cinta dengannya. Aku hanya menghormati karena dia pandai dan semua oang
juga akan mengatakan hal yang sama denganku.
Di bulan
ketiga setelah banyak kunjungan mas Arif , dia melamarku. Ku belum bisa menjawabnya
karena aku masih harus menyelesaikan kuliahku.
“Indah,
kenapa kamu masih ragu-ragu, ayah lihat dia pria yang baik untukmu,” kata
ayah,”masalah kuliah kan masih bisa diteruskan setelah menikah”.
‘Biar Indah
selesaikan kuliah dulu ayah, tanggung tinggal satu semester lagi”, kataku.
“Gimana
kalau kalian tunangan dulu, seenggaknya masing-masing jadi terikat satu sama
lainnya,” usul ayah. Aku hanya
menggelengkan kepalaku, karena aku pikir aku mau konsentrasi belajar dulu ,
sebelum direpotkan urusan rumah tangga. Ayah cuna bisa menghela nafas , tampak
rasa kecewanya.
Akhirnya
dua tahun kemudian aku sudah menyandang gelar nyonya Arif. Mas Arief tak
mengijinkan aku bekerja. Aku sebetulnya mau protes, karena aku ingin seperti
teman yang lain punya penghasilan sendiri dan bisa mengatualisasi diri, tapi
kulihat sorot matanya yang menandakan ketidak setujuan akhirnya membuatku urung
untuk protes. Akhirnya aku hanya mengurus rumah tangga dan keperluan mas Arif.
Seiring waktu , aku mulai melihat perangai mas Arief yang aku tak suka, mas
Arif terlalu menuruti apa kata ibunya, bukan aku tak suka tapi bagaimanapun
istrilah yang harus diajak bicara dalam memutuskan suatu hal. Satu hal lagi,
mas Arif selalu memberikan uang hanya untuk sehari saja, tidak pernah uang
gajinya seluruhnya diberikan padaku,untuk aku kelola . Pernah aku tanyakan tapi
jawabannya tak masuk akal dan terlalu mengada-ngada. Aku hanya bisa diam saja,
mau mengadu pada ibu dan ayah ,mereka sudah menilai mas Arif adalah pria yang
terbaik buatku.
Hampir setahun
aku menikah tapi aku belum dikaruniai anak, banyak pertanyaan yang sampai di
telingaku. Itu tak seberapa, tapi yang membuat kupingku panas adalah sindiran
mertuaku kalau aku wanita mandul. Aku mengeluh pada mas Arif tapi apa jawaban
yang kuterima , mas Arif malah menuduhku hal yang sama. Hari-hariku terasa
menyakitkan, di saat aku sendiri , aku merasa kesepian tidak ada teman untuk
berbagi suka dan duka. Tidak ada yang bisa menenangkan hatiku yang gundah. Aku
ingin memeriksakan ke dokter tapi aku tak punya uang.
“Mas,
gimana kalau kita ke dokter untuk memeriksakan kenapa aku belum hamil?,”
tanyaku . Mas Arif menatapku tajam .
“Kamu pikir
, ongkos ke dokter itu murah, kalau ada sesuatu di rahimmu tentunya biayanya
akan mahal,” kata mas Arif sambil tetap membaca buku. Aku terpana
mendengarkannya, uangnya tak mau dikeluarkan untuk kepentingan bersama , bagaimana
kalau aku sakit keras!. Aku hanya bisa gigit jari
Pagi itu
aku dikagetkan dengan kedatangan mertuaku. Aku heran , biasanya selalu datang
kalau ada mas Arif. Aku mencium tangannya, tapi wajahnya kulihat tampak kesal.
“Arif sudah
pergi kerja?,” tanyanya. Aku hanya mengangguk.
“Kasihan
Arif , dia kesepian tidak ada celotehan anak kecil di rumahnya,” katanya,” coba
orang lain pulang kantor sudah disambut dengan celotehan anak kecil.” Aku hanya
berdiam diri , aku tak mau mengomentari omongannya. Tanpa basa basi lagi,
mertuaku menuturkan rencananya kalau mas Arif akan dikawinkan lagi dengan anak
temannya yang katanya bakal bisa memberikan cucu buatnya. Aku diam membisu ,
hanya air mata terus mengalir . Kuhanya bisa memandang kepergian mertuaku
dengan perasaan hancur.tidak ada satupun yang membelaku, tak ada.....
“Mas,
ceraikan aku,” pintaku pada mas Arif.
“Cerai,
untuk apa?,” tannyanya.
“Kan mas mau
kawin lagi dengan anak teman ibu,” kataku.
“Kenapa,
kan laki-laki boleh beristri lebih dari satu,” katanya enteng
“Pokoknya
aku gak mau, ceraikan aku,” teriakku. Tapi mas Arif tak bergeming sama sekali.
Duka panjang yang akan kulalui sudah terbentang di hadapanku. Masa-masa sulit
harus kuhadapi. Sepi yang menyelimuti diriku selalu kulewati di malam-malam
sepiku saat mas Arif ada di rumah istrinya yang lain. Aku semakin menderita
dalam lara, banyak dendam dan sakit hati yang menyelimuti hatiku. Aku mulai
membenci semua keadaan ini , kuhanya mengurung diriku di kamar terus dan
kuabaikan diriku dalam kekelaman .
Sampai
suatu saat kudengar istrinya Nina telah melahirkan anak laki-laki, dan aku
semakin tersudut dalam sepi yang panjang.
Mas Arif lebih banyak berada di rumah Nina dan aku dibiarkan sendiri tanpa kasih sayang ,
tanpa uang. Ingin kulari dari kenyataan ini, aku menyesal mengapa dulu aku tak
bekerja. Kini uangpun aku tak punya, aku tak bisa pergi dari rumah yang
membuatku sakit hati. Kumulai merasakan tubuhku melemah, kusering
muntah-muntah. Aku terbaring lemah , tak ada satupun yang peduli.
Sampai suatu
saat, malam itu, mas Arif datang , dan dia hanya menceritakan tentang kelucuan
anaknya. Sungguh mudah baginya untuk bercerita
tanpa memahami rasa sakit yang harus kurasakan. Malam semakin larut,
hujan masih turun dengan petir yang memekakan telinga , kutatap wajah mas Arif
yang tertidur dalam lelapnya. Aku benci dia, aku benci, tak pernah dia
memberikan aku ketenangan , hanya sakit yang kamu derakan untukku. Aku tak mau
melihatmu lagi, tak mau. Kamu tak mengijinkan aku untuk bercerai, apalagi yang akan kamu
tusukan dalam hatiku?. Aku memegang
pisau dapur, kupejamkan mataku dan diluar masih turun hujan, kutusukan sekuat
tenagaku di dadanya dan terus kutusukan pisau ke bagian tubuhnya sampai kutahu
dia sudah tak bernyawa lagi. Tubuhnya terkapar di lantai. Aku masih memegang
pisau yang berlumuran darah, sementara di luar masih turun hujan lebat dan
petir menari-nari sambil meneriakan suara yang mengelegar dan membuatku
terkejut. Aku sudah membunuh suamiku sendiri!. Aku seorang pembunuh!
0 komentar:
Posting Komentar