Gambar dari sini
Menjelang pagi aku sudah bersiap-siap untuk berlibur ke
rumah tante Murni di desa kecil di kaki gunung Tangkuban Perahu. Rasanya sudah
tidak sabar untuk pergi karena aku sudah cukup lama tidak ke rumah tante Murni
semenjak aku kuliah di kota Jogja. Sepanjang perjalaanan aku memandang
pemandangan yang begitu asri dari tempat yang indah. Desa tempat tante Murni
ini begitu alami dengan penduduk yang ramah. Aku sudah melihat rumahnya dari
kejauhan, masih seperti dulu, mungil terbuat dari bambu.
“Hai,
Anti,” sapa tante Murni. Aku mencium pipi tannte Murni.
“Aku boleh
kan berlibur agak lama di sini?” tanyaku sambil melihat sekelilingku. Tante
Murni mengajakku masuk ke dalam dan menyuruhku menempati kamar depan yang
menghadap gunung Tangkuban Perahu. Memang paling enak tidur di kamar depan ini
bisa memandangi gunung dari kejauhan dan hijaunya hamparan sawah.
“Istirahat
dulu Anti, kalau mau mandi atau makan , kamu sudah tahu kan tempatnya?” tante
Murni meninggalkanku sendiri di kamar. Lukisan alam yang memang dilukis dengan
tangan –tangan sang Penciptanya begitu sempurna. Aku menopang daguku dan mulai
melamun...
Pagi itu
aku habiskan untuk jalan-jalan di desa, udara yang masih bersih jauh dari
polusi . Burung-burung masih banyak yang bersahut-sahutan bernyanyi. Kulangkahkan kakiku menyusuri
jalan desa sampai aku melihat rumah yang agak suram. Rasanya dulu rumah itu tak
ada di sana. Aku agak mendekat ke rumah tersebut dan kulihat banyak sarang
laba-laba , apa rumah ini tak ada yang menempati sehingga tak ada yang membersihkan
sarang laba-labanya. Sesaat aku tertegun karena dari rumah itu ada pria yang
menyingkap tirai jendela dan astaga wajahnya menyeramkan dengan kumis dan
janggut yang lebat dan tampangnya seperti tak pernah mandi. Aku segera berlalu
dari sana. Sampai di rumah aku menanyakan keberadaan rumah itu pada tante
Murni.
“Memang
rumah itu baru dibangun lima tahun yang lalu, tapi entahlah rumah itu tak pernah
dirawat dan yang menempatinya juga hanya seorang pria dan pembantunya,” certita
tante Murni.
“Pria itu
siapa tante, kok tampangnya mengerikan dan kotor sekali.” Aku mulai melahap
sarapanku.
“Katanya
pria itu agak gila, entah karena apa, pembantunya dilarang untuk bergaul dengan
penduduk di sini, mungkin malu.” Aku mendengarkan cerita tante sambil menikmati
nasi goreng buatan tante yang selalu enak.
Sorenya aku
bersepeda menyusuri jalan desa lagi sambil memandangi pemandangan di kala sore
hari. Senja di desa ini membuatku tak bisa ucapkan dengan kata-kata apapun
melihat semburat jingga yang menghiasi langit. Hari sudah sore dan gelap sudah
mulai menyapaku, aku kembali ke rumah tante, tapi saat aku melewati rumah itu,
aku melihat pria itu melambai-lambaikan tangannya seperti orang minta tolong.
Aku berhenti sejenak, agak ragu apakah aku harus menolongnya atau aku pergi
saja. Kulihat lagi tangan itu melambai-lambai ke arahku dan kulihat pria itu
seperti kesakitan..Aku menaruh sepedaku dan mulai mendekati rumahnya, hatiku
agak berdebar ada rasa takut. Waktu ku buka pintunya ternyata tidak terkunci. Waktu
aku masuk udara di rumah itu pengap sekali dan baunya tak sedap.Aku melihat
pria itu duduk dengan wajah pucat di dekat jendela.
“Tolong,
aku sakit,” katanya serak. Aku mendekati dengan perasaan ragu-ragu.
“Apa
yang dirasa pak?” tanyaku sambil kupegang
dahinya, astaga panas sekali.
“Sudah
minum obat belum?” Dari arah belakang
seorang wanita menghampiriku.
“Dari dua
hari yang lalu mas Toto sakit tapi sudah disuruh makan dan minum obat dia selalu
menolak,” Perempuan itu bik Inah pembantu pria itu yang melayani pria itu
selama tinggal di sini.
“Besok
dibawa ke puskesmas desa saja, sekarang aku pulang dulu,” kataku pamitan.
“Kalau bisa
mbak yang mengantarkan bersama –sama, aku malu dengan penduduk di sini.” katanya.
Kutatap wajah bik Inah yang tampak resah, akhirnya aku anggukan kepalaku tanda
setuju.
Esoknya aku
ditemani dengan mang Dirja tukang kebun tante Murni mendatangi rumah pria itu.
Tante menyuruh mang Dirja menemaniku. Aku cukup senang ada yang menemaniku,
karena aku sebetulnya takut dengan pria itu. Saat aku datang, pria itu masih
duduk di kursi kemarin dengan tampang yang menakutkan.
“Pak,
sebelum ke puskesmas apa gak sebaiknya bapak mandi dan berganti pakian dulu
supaya tampak rapih,” kataku lancang sambil menatapnya dengan perasaan takut. Pria
itu beranjak dan beberapa saat kemudian pria itu sudah mandi dan berpakaian
rapi, sebetulnya kalau saja kumis dan brewoknya di cukur tampangnya tidak
jelek-jelek amat.
“Mari pak, aku antar ke puskesmas,” aku
mengangguk ramah padanya.
“Panggil saja aku Toto,” katanya . Aku
menatapnya heran , suaranya lebih ramah dari kemarin. Waktu aku pergi ke puskesmas
banyak penduduk sana yang memperhatikan Toto, mungkin selama ini mereka tak
pernah melihat Toto keluar dan mereka sudah menganggap dia itu gila, tapi aku
amati Toto tidak seperti orang gila. Kulihat banyak mata yang diam-diam melirik
pada Toto dan aku ikut merasakan perasaan yang tidak enak juga, apa Toto juga
merasakan hal yang sama?, entahlah.
Toto terkena radang paru-paru, dalam
hatiku ya jelas saja rumahnya pengap dan kotor bagaimana bisa hidup sehat.
Dokternya juga menyarankan agar dalam rumah ada sirkulasi udara yang baik agar
tak kambuh lagi. Sesampainya di rumahnya aku memberanikan diri untuk menanyakan
kalau aku dan bik Inah bisa membersihkan rumah agar tampak rapih dan bersih.
“Boleh saja, aku senang kalau rumah ini
menjadi bersih,” katanya. Bik Inah terlihat kesal . Waktu aku mengajak bik Inah
membersihkan rumah, dia tampak masih kesal.
“Setiap aku mau membersihkan selalu
tidak diperkenankan , bahkan jendela harus terkunci semua,” bik Inah mulai
mengomel.
“Ya, sudah mumpung pak Totonya mau kita
bersihkan saja biar rumah ini tampak bersih,” kataku.
“Dia itu masih muda , baru 26 tahun,”
kata bik Inah sambil mulai membersihkan debu-debu yang ada. Aku mulai membuka
jendela –jendela agar udara bisa masuk dengan leluasa. Aku juga menyuruh mang
Dirja membersihkan halaman agar rumput-rumputnya dirapihkan lagi.
Hari itu begitu melelahkan membersihkan
rumah yang tak pernah dibersihkan , debu-debunya yang tebal . Untungnya tante
Murni yang tahu aku membersihkan rumah ini, membawakan masakannya untuk dimakan
bersama. Dari bik Inah juga aku tahu kalau Toto itu stres karena ditinggal tunangannya
sehari sebelum pernikahannya. Selalu berdiam diri dan tak mau bicara dengan
siapa-siapa sehingga ibunya menaruh Toto di desa agar bisa menenangkan diri,
tapi bukannya bisa menenangkan diri malah menjadi-jadi. Rumah tak boleh
dibersihkan dan tak mau mengurus dirinya
sendiri dan membiarkan hidup dengan dunia diamnya. Aku mulai sekali-kali
memperhatikan Toto yang duduk di kursi malasnya sambil tiduran, sepanjang pagi
dan siang. Kata bik Inah sih , hari ini makannya luar biasa banyak, biasanya
sulit sekali disuruh makan. Waktu aku berpamitan pulang , Toto hanya menganggukan
kepalanya dan mulai merebahkan kepalanya lagi di sandaran kursi.
“Terima kasih mbak Anti, sekarang rumah
tampak segar dan bersih,” bik Inah tertawa tampak gembira sekali.
“Sekali-kali mampir ya, biar ada teman
bicara, di sini hanya berteman patung,”katanya sambil melirik Toto.
Aku sudah melupakan Toto, saat aku
menikmati bunga di halaman depan rumah. Orang bilang sinar pagi bagus untuk
pertumbuhan tulang dan aku berdiri di
halaman membiarkan sinar mentari menembus tubuhku. Dahlia tante yang warna merah
muda itu tampak serasi berdampingan dengan dahlia kuning, kontras membuat
keceriaan taman bunga semakin menarik.
“Pagi, wah bunganya indah seindah yang
menikmatinya,” aku menatap heran, pemuda jangkung berdiri dekat pagar. Celana
panjang jeans dengan kaos putih bertuliskan RAIN.
“Lupa, Toto,ingat kan pemuda jelek di
rumah pengap dan jorok,” Toto mengulurkan tangannya. Astaga, Toto yang tampak
kotor dan brewokan , sekarang berdiri di depanku dengan pakaian rapih, aduh
tampannya.
“Yuk, mau jalan-jalan pagi, biar
sehat.” Aku mengangguk dan mulai berjalan beriringan di sampingnya. Sepanjang
jalan menikmati udara segar , percakapan ngalor ngidul yang menyenangkan. Tak
terasa pagi itu aku dan Toto sudah berjalan jauh mengelilingi desa dan baru
terasa letih saat sampai rumah kembali. Begitu menyenangkan pagi ini.
Sore itu aku menemani tante Murni duduk
di teras , teh hangat sudah tersedia dengan combro dan misro tersedia di piring
kecil. Sambil menikmati teh hangat kulihat orang-orang yang baru kembali dari
ladang mereka sambil memanggul cangkulnya. Persitiwa yang selalu kulihat setiap
harinya tapi aku tak pernah merasa bosan , momen saat-saat pekerja ladang
kembali ke rumah dan di rumah sudah disiapkan makan oleh orang-orang yang
dicintainya.
“Anti, aku lihat kamu semakin dekat
dengan Toto,” kata tante Murni tiba-tiba memecahkan keheningan yang ada
diantara aku dan tante. Aku cuma mengangkat bahuku , sambil tetap memandangi
orang yang lalu lalang di depan rumah . Memang setiap hari aku bersama Toto
mengisi hari-hari dengan banyak kegiatan yang menjadikan aku dan Toto semakin
dekat. Toto, memang pemuda yang cukup menyenangkan dan selalu nyambung
obrolannya denganku.
“Apa kamu naksir tidak dengannya?”
tante Murni menatapku. Aku tiba-tiba saja jadi gugup tidak karuan saat
pertanyaan itu tertuju padaku. Aku hanya terdiam , sulit aku menjawab hati yang
mulai bimbang akan perasaanku padanya.
“Gak tahu tante.”
Sudah hampir sebulan aku tinggal di
rumah tannte Murni, sebentar lagi kuliahku masuk lagi, berarti aku harus meninggalkan
rumah ini lagi. Tapi saat ini ada rasa malas untuk pergi , ada hati yang
tertinggal di sini. Apa ini namanya cinta ya? Entahlah aku masih bingung dengan
perasaan diriku sendiri , tapi apakah Toto juga punya perasaan yang sama
denganku, kalau tidak aku seperti burung pungguk merindukan bulan, payah!
Kudengar ketukan di pintu depan. Tampak perempuan setengah baya , masih
terlihat gurat kecantikannya berdiri di hadapanku.
“Boleh masuk?” tanyanya. Aku tersentak
kaget.
“Silahkan bu,”aku mempersilahkannya
duduk. Aku memanggil tante Murni mungkin temannya. Ibu Nurul, ternyata ibunya
Toto dan dia datang kemari mau melamarku.
“Saya mengucapkan banyak terimakasih
buatmu Anti, telah banyak menolong Toto sehingga dia kembali seperti sedia
kala, dan dia mencintaimu.” Hening
begitu lama memenuhi ruang tamu tak ada satupun yang bicara, masing-masing
dengan pikirannya termasuk aku. Toto sudah berdiri di depan pintu dan
menagajakku keluar . Ditariknya tanganku , aku terseret-seret mengikuti
langkahnya sampai di ladang jagung milik pak Toha.
“Mau apa sih kemari?” tanyaku heran.
“Anti, berdiri di situ ya, sebentar aku
akan berteriak , tolong didengarkan ya,” Toto berdiri dekat ladang jagung dan
mulai berteriak sekeras-kerasnya.
“Hey angin, aku cinta Anti!” Aku menutup
telingaku.
“Jangan ditutup telinganya dong,
dengarkan sekali lagi ya,” Toto mulai lagi berteriak lebih keras dari yang
pertama.
“Angin, aku cinta Anti!” Aku tak mampu
berkata-kata lagi, hatiku sudah banyak bicara, pasti Toto juga tahu kalau aku
juga mencintainya. Tidak perlu lagi kuungkapkan dengan kata-kata hanya
pendar-pendar sinar mata yang menunjukan rasa cinta yang tulus di hati.
“Anti, kamu si cantiknya dan aku si jeleknya, ceritanya hampir sama
dengan Beauty and The Beast, aku si jelek kembali tampan karena cintamu.” Aku
tertawa, astaga sampai segitunya cerita cintaku disamakan dengan kisah cinta di
film kartun Beauty and The Beast. Aku masih tertawa dalam buncah –buncah cinta
dalam remangnya sore di ladang jagung. Tak akan pernah kulupakan!
4 komentar:
18 Mei 2020 pukul 16.57
Filmnya juga bagus banget ini, hehehe
19 Mei 2020 pukul 12.34
iya mas al, tp ini ceritanya bukan dr film
23 Mei 2020 pukul 01.10
Kuliah di jogja ? Dimananya kaa ? aku juga di jogja soalnya, sama kuliah juga. Wahhh bisa liburan yaaa enak banget nih, ak terjebak di jogja tidak bisa kemana mana hha.. semua di lockdown untuk pulang kerumah huhuw
28 Mei 2020 pukul 12.17
bukan mas andrie ini kan cerota fiksi, aku mah dulu kuliah di ipb
Posting Komentar