Gambar dari sini
Aku
masih melihat semua yang ada di panti asuhan “Kenari”, masih seperti dahulu tak
ada perubahan yang berarti. Masih sederhana dan masih terlihat begitu familiar
bagi semua yang datang kemari. Panti ini begitu terbuka untuk siapapun yang
datang kemari, walaupun mereka datang tak membawa apa-apa, hanya datang
berkunjung, panti ini selalu memberikan senyum bagi orang yang datang kemari.
Taman di tengah panti yang membentuk lingkaran dengan kolam dan air mancurnya dan di sudut sana masih ada
pohon yang selalu memberikan keteduhan pada taman. Pohon mangga. Buahnya selalu
menjadi rebutan anak-anak panti saat berbuah dan seringkali membuat anak-anak
panti saat itu berkelahi gara-gara tidak mendapatkan buah yang diinginkannya.
Aku tersenyum sendiri membayangkan kejadian yang sudah lama berlalu dalam
kehidupanku. Ya, aku dulu penghuni panti ini. Menurut bu Fatimah, aku diletakan
begitu saja di depan pintu panti tanpa identitas apapun. Bu Fatimahlah yang
memeliharaku di panti ini dan aku diberi nama Mutiara. Menurut bu Fatimah, aku
seperti mutiara putih, mungil dan bercahaya . Memang kulitku lebih putih dibanding
anak-anak yang lain sehingga aku tampak lebih bersih dan banyak orang suka denganku. Terasa
pundakku ditepuk dan aku menoleh dan tersenyum pada bu Fatimah yang sudah aku
anggap ibuku sendiri.
“Sudah lama Tiara?” tanyanya. Aku
mengangguk dan merangkulnya erat-erat, sebetulnya aku kemari ingin menceritakan
sedikit keluh kesahku tapi entah mengapa melihat bu Fatimah sedikit pucat, niat
itu aku urungkan . Bu Fatimah mengamatiku perlahan dan mengajakku masuk ke
ruangannya. Bu Fatimah sudah nampak menua , rambut putihnya sudah menghiasi
rambutnya dan kerut-kerut di wajahnya sudah nampak banyak, tapi beliau masih
tampak energik walau kini aku melihat wajahnya sedikit pucat.
“Aku tahu kamu sedang sedih Tiara ,
kamu tak bisa membohongi ibu. Ibu sudah kenal dirimu. Kamu diasuh dari mulai
bayi. Aku tahu semuanya,” gumam bu Fatimah sambil duduk di kursi goyang
kesayangannya. Beliau menatapku lembut , aku tertunduk , tak pernah aku bisa
menyembunykkan kegundahanku padanya, beliau selalu tahu isi hatiku, selalu.
“Ada apa nduk?” tukasnya lembut.
Perkenalanku dengan mas Bimo , di satu
acara diskusi tentang masyarakat urban yang dibawakan oleh Pak Nirwanto dosen
UI dikampus Depok UI , ternyata berlanjut ke pertemuan demi pertemuan. Ada sedikit rasa
suka aku jika aku berdekatan dengannya. Mas Bimo dengan tatapan teduhnya selalu
memberikan rasa nyaman di hatiku dan sangat menmperhatikanku. Aku bukan tipe
perempuan yang reaktif terhadap sesuatu yang terjadi di hati ini, mungkin
karena terbiasa tinggal di panti dengan
banyak penghuninya , membuatku lebih banyak diam daripada harus berkeluh kesah
atau mengutarakan kesedihankuku . Bagiku kesendirian dan kesunyian itu selalu
membuat aku merasa ditemani oleh diriku sendiri. Ditambah lagi aku tak begitu
banyak berharap dari mas Bimo. Aktivis
mahasiswa, pintar dan banyak disukai teman-teamn ceweknya, membuatku tak peranh
bermimpi untuk bisa mengharap lebih dari sekedar teman dekat saja. Apa pantas
diriku yang tak punya orangtua berharap begitu tinggi???? Aku sadar diri dengan
statusku. Aku bukan siapa-siapa aku hanya anak yatim-piatu yang tinggal di
panti!!!!
“Aku menyukaimu. Titik. Mengapa kamu
selalu meributkan hal sepele yang tak ada artinya bagiku. Aku melihatmu orang
yang pantas menjadi pendampingku, itu saja. Dan satu lagi aku mencintaimu,”tukasnya
suatu saat dengan agak gusar karena aku
tetap pada pendirianku. Entah , mungkin
aku minder dengan keadaanku, mungkin juga ada ketakutan-ketakutan yang selalu
ada dalam sisi hatiku yang selalu keluar tanpa disadari dan sebetulnya aku suka dengan perasaaan-perasaan
itu, karena membuatku untuk tak terlalu
banyak bermimpi tinggi-tinggi. Dan
perasaanku jugalah yang membuatku merasa memang aku tak pantas buat mas Bimo
terbukti saat mas Bimo membawaku pada orangtuanya. Pandangan sinis saat aku menyebutkan aku
tinggal di panti , itu sudah memberikan rasa pedih tersendiri yang aku simpan
di hatiku, yang menggumpal tak pernah mencair sampai saat ini.
“Apa kataku, mas. Aku memamg tak pernah berniat untuk bermimpi
tinggi-tinggi, karena aku tahu siapa diriku, aku tahu diri kok. Memang sepantasnya
aku berlalu dari hatimu,”lirihku ucapkan
kata-kata ini walau terselip keinginan untuk mempertahankan tapi rasa sakit
yang lebih dominan di hatiku. Tapi bukan mas Bimo kalau dia tak memperjuangkan
cintanya, aku tahu itu. Aku tahu, dia begitu mencintaiku, aku sendiri begitu
terharu akan cintanya tapi aku harus realistis kalau semau itu tak mungkin bagi
diriku.
Entah bagaimana mas Bimo membujuk
kedua orangtuanya sampai akhirnya mereka menyetujui pilihan mas Bimo. Aku sedikit
takut karena rasa perih yang menggumpal di sisi hatiku masih kusimpan dan belum bisa mencair dengan berlalunya
waktu. Tetapi entahlah semua perhatian dan kasih sayang mas Bimo membuatku
menganggukan kepalaku saat dia melamarku pada bu Fatimah. Campur aduk ada dalam
hatiku, rasa bahagia, rasa perih yang masih tersimpan rapih, tapi kepercayaanku
akan cinat mas Bimolah yang membuatku luruh .
“Nduk, Bimo itu pria baik hati, ibu
tahu sekali. Perasaan seorang ibu selalu benar nduk,”begitu bu Fatimah
meyakinkanku saat aku ragu-ragu menerima mas Bimo. Bu Fatimah merangkulku dan
mengelus kepalaku, aku rapatkan tubuhku pada tubuhnya, masih ingin aku berada
dalam pelukan bu Fatimah lebih lama
lagi, aku menyayanginya. Bu Fatimah tampak bahagia saat melihat diriku bisa
bersanding dengan mas Bimo, walau hati kecilku masih terasa ada ganjalan yang
aku sendiri tak bisa menerkanya.
“Ambillah hati ibunya Bimo, nduk,
Ibu yakin beliau akan suka denganmu seperti ibu sayang denganmu,”gumamnya saat
aku berpamitan untuk tinggal bersama mas Bimo. Kubalikan lagi tubuhku, melihat
kembali bangunan yang memberikan banyak kenangan bagiku.
Di sana aku dibesarkan dan disanalah aku mendapatkan kasih sayang bu
Fatimah. Aku melihat senyum bu Fatimah mengembang dan aku melangkahkan kakiku
dengan harapan baru agar hidupku lebih baik lagi .
Memang tak mudah untuk hidup dengan
perasaan yang masih mengganjal, mungkin begitu di hati ibunya mas Bimo. Beliau
jarang sekali bercerita kalau tidak aku yang terlebih dahulu bertanya, tapi sedapatnya
aku selalu berusaha bersikap baik padanya. Aku sungguh berterimakasih dengan
ayah yang mulai bisa terbuka dengan diriku. Aku merasa seperti mempunyai ayah
baru dalam hiudpku. Saat aku berkunjung
ke rumah orangtua mas Bimo aku sering mendengar banyak cerita dari ayahnya yang
memang sering berpergian ke luar negeri. Kadang aku begitu asik mendengarkan beliau
cerita dan kadang tanpa aku sadari aku
sering bergelayut manja pada bahunya, aku merasakan aku seperti mempunyai ayah.
Membayangkan kini aku punya seorang ayah walau bukan ayah kandungku kadang
membuatku mataku sedikit basah tertutup air mata. Kadang tangan beliau mengelus
kepalaku perlahan dan aku menikmati elusan beliau, aku merasakan sedikit
kebahagiaan yang mampir di hatiku.Tapi tidak dengan ibu, beliau masih saja
menjaga jarak dengan diriku, aku melihat ada rasa benci di matanya yang coklat
dan gestur tubuhnya yang memperlihatkan rasa tak sukanya. Sampai dua tahun
pernikahanku yang belum juga diberi momongan itu yang membuat ibu selalu
bertanya dengan kata-kata yang sinis dan itu menambah rasa perihku yang belum
mencair tapi bertambah menggumpal di
sisi hatiku.
“Kamu sudah memeriksakan dirimu ke
dokter? Kok sampai saat ini kamu belum hamil-hamil juga,” tegur ibu .
“Ibu, itu gimana, baru datang sudah
diberondong pertanyaan yang gak mutu. Sini nduk, bapak punya cerita untukmu,”
selalu bapak berusaha mengalihkan pertanyaan ibu ke hal yang lain, aku sungguh
berterimakasih pada beliau. Aku memandangnya lembut dan aku kecup dahinya
dengan rasa sayang.
“Makasih pak, “gumamku perlahan dan
aku menyenderkan kepalaku di bahunya, tampak ibu melihatku dengan perasaan
gusar karena pertanyaaannya tidak kujawab. Bimo berusaha menenangkan hati
ibunya. Bahkan di usia pernikahanku kelima aku tak kunjung hamil dan itu
membuatku ibu semakin uring-uringan padaku. Kadang ada rasa sakit hatiku saat
ibu menyebutku wanita mandul.
“Kalau sudah ke dokter kenapa kamu
gak hamil juga Tiara. Jangan-jangan kamu memang mandul ,” tukas ibu.
“Apa-apan ibu itu. Gak baik bicara
demikian. Memang mereka belum dapat anugerah dari Tuhan untuk mendapatkan anak.
Justru kalau ibu mendesak begitu, justru membuatnya tambah sulit hamil,”tegur
bapak pada ibu. Mas Bimo mulai menenangkan hati perempuan yang semakin hari
semakin membuatku menyimpan rasa perih yang terus menggumpal di sisi hatiku.
Entah kapan gumpalan ini bakal mencair???? Aku tahu aku tak mungkin menyebutkan
kalau aku tak mungkin hamil karena memang ada kelainan pada mas Bimo, tapi aku selalu
menutupi kekurangan mas Bimo pada kedua orangtuanya, aku tak mau mas Bimo harga
dirinya hancur karena tak mampu memberikanku
anak. Cukup aku simpan rapat dalam hatiku. Mungkin karena itulah aku tak sering
lagi menengok kedua orangtuanya karena aku takut rasa perih di hatiku semakin menggumpal
. Untuk mengobati rasa kesepian aku mengajar di pendidikan anak usia dini (PAUD)
di dekat rumahku dan itu membuat hari-hariku menjadi lebih ceria, aku bisa
berbagi kasih sayang dengan mereka walau mereka bukan anakku sendiri. Aku semakin
gembira bersama anak-anak itu ternyata membuat aku lebih bersemangat untuk
menata hidupku kembali. Biarlah aku tak punya anak, tapi aku masih bisa menyayangi
anak –anak dan berbagi kegembiraan bersama mereka , walau di selang waktu senggang
sering kali memikirkan perkataan ibu yang membuat rasa perih itu muncul dan
membuat lara hati.
“Nduk, ada apa?” bu Fatimah
mengulang pertanyaan sekali lagi saat aku tak bergeming sama sekali,aku
tersentak kaget.
“Iya, bu, aku tak mendengar
ibu,”gumamku pelan , tenyata aku melamun sedari tadi tak mendengar pertanyaaan
bu Fatimah. Aku duduk bersimpuh dekat
kakinya dan kutumpangkan kepalaku di pahanya dan aku mulai menceritakan
kesedihanku padanya. Sebentar-bentar ibu mengelusku dengan penuh kasih sayang,
air mataku bergulir perlahan, isakku tertahan, aku tak ingin ibu mendengar
tangisku walau hanya sedikit.
“Aku tak mungkin memberitahukan pada
ibunya mas Bimo, walau aku beritahukan, apa beliau percaya?” tanyaku tentang
kelainan pada mas Bimo . Bu Fatimah masih mengelus kepalaku.
“Aku sudah tahu semuanya dari Bimo,
nduk. Bimo datang kemari dan menceritakan semuanya pada ibu. Menurutnya dia
sudah bercerita pada ibunya tapi ibunya tak percaya kalau Bimo yang punya
kelainana, beliau tetap menuduhmu.” Aku masih diam dan diam-diam aku hapus air mataku yang mulai
jatuh , terdengar suara isakan kecil.
“Kamu menangis nduk. Tak perlu kau
tangisi, kebahagiaan bukan hanya ditentukan punya anak atau tidak. Lihat ibu,
tak punya anak satupun , tapi di sisi lain ibu bahagia bisa menyayangi anak-anak
lain walau itu bukan darah daging ibu sendiri.” Bu Fatimah terdiam lama Aku mendongak melihat pancaran tulus dari
mata tuanya, kebahagiaan yang terpancar dari ibu yang tulus mencintai anak-anak
yang bukan anak kandungnya.
“Yang penting kita ikhlas dan sabar
akan ketentuan Allah, nduk. Beruntung kamu punya Bimo nduk, dia pria sejati
yang tetap menyayangimu apa adanya tak pernah menuntut lebih darimu. Sayangilah
dia, jangan sampai kesedihanmu membuat Bimo makin bersedih .” Aku terdiam merenungkan kata-kata ibu dan aku tersentak
kaget saat ada suara berdehem dari arah belakangku, saat aku membalikan
tubuhku, aku melihat mas Bimo sudah berdiri di dekat pintu masuk.
“Mas, kok ada di sini? Sudah lama? Mas
gak kerja?” tanyaku bertubi-tubi. Mas Bimo mencubit pipiku dan menarik lenganku
untuk berdiri.
“Selamat ulang tahun Tiara,”
tukasnya dan mencium keningku lembut, karena banyak kesedihan yang datang padaku,
aku sampai lupa kalau hari ini aku ulang tahun. Mas Bimo menarik lenganku dan
mengajakku entah kemana.
“Ada hadiah untukmu,” seyumnya membuatku penasaran, hadiah apa yang
akan Mas Bimo berikan padaku sampai-sampai mas Bimo harus bolos kerja. Tapi
emang apa harus di panti ini, mas Bimo memberikannya , mengapa tidak di rumah
saja. Mas Bimo membawa aku masuk ke ruangan dekat kamar bu Fatimah. Di sana aku
melihat keranjang yang dihiasi dengan bunga-bunga mawar kesukaaanku.
“Lihat, di keranjang itu hadiah
untukmu,” tunjuk mas Bimo, aku menghampiri keranjang warna pink dengan hiasan
mawar merah. Saat aku melihat isi keranjang aku terbelalak kaget melihat bayi mungil , cantik , dengan baju
pink dan renda putih ada di hadapanku. Aku tak mengerti, apa maksudnya ini, aku
hanya menatap takjub pada bayi mungil cantik itu , sampai mas Bimo datang
menghampiriku dan memeluk pundakku.
“Ini anak kita, hadiah untukmu. Biar
kita didik anak ini seperti anak kita dengan kasih sayang walau dia bukan anak
kandung kita. Semua proses adopsi sudah aku urus bersama bu Fatimah,”tukasnya
perlahan. Air mataku satu persatu turun
yang akhirnya membasahi pipiku dan isak kecil terdengar begitu merdu di
telingaku . Terdengar tangis kecil dari bayi itu,aku mengangkatnya perlahan ,
aku menciumnya .
“Intan, namanya Intan, aku terlonjak
gembira saat menyebutkan nama Intan, mas Bimo menganggukan kepalanya. Dari kejauhan
aku melihat bu Fatimah menghapus air matanya. Aku menghampirinya.
“Makasih bu, ini hadiah yang
terindah bagiku, hadiah dari surga,”ucapku dan kupeluk lagi bayi mungil itu. Aku begitu bahagia karena mas
Bimo dan bu Fatimah telah menyediakan hadiah yang luar biasa untukku di hari
ulang tahunku kali ini. Bayi mungil nan cantik. Hadiah dari surga!!!!
6 komentar:
3 Oktober 2016 pukul 14.19
Terharu.. hiks..
3 Oktober 2016 pukul 17.11
Iya, bikin terharu. Hikhikhikss...
4 Oktober 2016 pukul 12.46
yang bikinnya saja brebes mili mbak irly
4 Oktober 2016 pukul 12.48
iya mbak Nia
8 Oktober 2016 pukul 07.49
Haru banget bacanya mba
9 Oktober 2016 pukul 12.54
iya , aku yg nulis saja sampai nangis
Posting Komentar