Gambar dari sini
Aku masih tergolek lemah di tempat tidurku di rumah sakit.Kecelakaan
di batas kota kemarin masih terbayang , sangat menakutkan.. Memang saat itu aku
tidak bisa berkonsentrasi , masih saja terngiang amarah Sita padaku. Aku tak
mampu meredam amarahnya sampai akhirnya aku memutuskan pulang, pertengkaranku
dengan Sitalah yang membuatku lengah di jalan dan memaksaku untuk berakhir di
rumah sakit.
“Kok,
melamun Arleta,” ibu bertanya sambil membenarkan posisi tidurku. Kepalaku masih
terasa pusing. Kata ibu aku sampai harus ditransfusi darah karena kehabisan
darah.
“Mama, apa
Sita masih marah padaku ya,”aku menatap mama yang duduk di sampingku.
“Sudah ,
sekarang jangan kau pikirkan itu dulu, pikirkan kesembuhanmu, banyak istirahat
dan jangan banyak pikiran,” ibu mulai menyuapiku. Rasanya sulit untuk menelan
buburnya, aku masih saja kepikiran Sita yang tampak marah padaku.
Aku dan
Sita memang sudah bersahabat sejak SMP, walau semasa SMA tidak satu sekolah
tapi tidak membuat hubunganku putus dengannya dan di tempat kuliah aku bersama
dengan Sita lagi. Memang aku dan Sita mempunya minat yang sama dalam
jurnalistik sehingga jurusan komunikasilah yang menjadi pilihanku dan Sita.
Semua teman bilang kalau aku dan Sita seperti adik kakak yang selalu besama
kemanapun pergi. Memang aneh sih, banyak kesukaan aku dan Sita yang hampir
semuanya sama tapi ada beberapa sifat yang agak bertolak belakang walau itu tak
membuat aku dan Sita bertengkar, semua bisa diselesaikan dengar rasa
persahabatan sejati. Sampai pada peristiwa yang menyebabkan aku
kecelakaan,semua berhubungan dengan rasa cinta pada orang yang sama, Linggar.
“Lihat
Linggar, Ar,” aku menoleh dan melihat Linggar berdiri di dekat perpustakaan.
“Ganteng
sekali ya , Sit, apa dia sudah punya pacar ya,” kataku , Sita menarikku dan
mengajaknya mendekati Linggar.
“Hai,” sapa
Sita pada Linggar. Itulah awal perkenalanku dengan Linggar mahasiswa tehnik. Entah
mengapa aku merasakan debaran jantungku semakin kuat saat aku berdekatan dengan
Linggar dan ada rasa malu untuk menatap wajahnya. Sita lebih bisa bercerita dan
banyak menanyakan banyak hal dengan Linggar. Aku mulai sering memperhatikan
Linggar ada sesuatu yang berbeda dari pria ini, walau termasuk pria populer di
kampus tidak membuatnya sombong. Sepertinya aku sedang jatuh cinta. Entah
mengapa aku tak pernah menyatakan kalau aku jatuh cinta pada Linggar ke Sita,
apa mungkin karena aku tahu Sita juga mengharapkan Linggar. Aku menyimpan
rapat-rapat cintaku dalam kotak hatiku.
Sampai
suatu malam Linggar datang ke rumahku. Aku masih ternganga saat kulihat Linggar
berdiri di depan pintu.
“Hai,
mengapa bengong, boleh aku masuk?” tanyanya. Aku mempersilahkan Linggar masuk,
walau aku masih bingung ,Linggar tahu alamatku dari siapa ya???
Pertemuan-pertemuan selanjutnya sudah bisa ditebak ,akhirnya aku dengan Linggar
jadian, tapi aku belum memberitahukan Sita, aku takut dia marah karena aku tahu
Sita sangat suka dan sudah berusaha keras untuk mendapatkan perhatiannya.
“Ar, kamu
sudah pernah bicara belum sama Sita kalau kita sudah jadian,?” tanya Linggar,
aku hanga menggelengkan kepala.
“Itu gak
benar loh, nanti malah Sita marah besar,” Linggar menatapku.
“Aku tahu,
Ling, tapi aku masih belum tega kalau harus memberitahukannya, tapi pelan-pelan
aku akan beritahu kok,” aku hanya bisa menunduk.Linggar mengangkat bahunya.
“Lambat
laun pasti akan ketahuan loh,” “iya,” kataku menyelanya. Aku masih terdiam
dalam benakku , aku harus memberitahu Sita secepatnya.
Malam itu
aku pergi menonton film Cahaya 99 di
Langit Eropa dengan Linggar, walau aku agak tidak enak hati pada Sita telah
menolaknya tadi siang untuk nonton bersama . Bioskop sudah ramai dan penononton
sudah berjubel di loket pembelian karcis, untungnya Linggar mendapatkan
karcisnya..
“Oh, gini
ya bilangnya mau mengantarkan mama, tahunya kamu pergi dengan Linggar, ternyata
kamu menusukku dari belakang ya,” teriak Sita marah. Aku juga tak kalah kaget
setelah melihat amarah Sita padaku. Aku ingin menarik lengan Sita tapi keburu
Sita berlari keluar.
Waktu
terasa lama hari demi hari, Sita tak mau lagi bicara denganku, sampai akhirnya
aku memutuskan untuk datang ke rumahnya.
“Sit,
dengar dulu penjelasanku, bukan aku mau menikungmu tapi aku harus menunggu saat
yang tepat.” Aku mulai merepet bicara pada Sita.
“Gak perlu
penjelasanmu, kamu kan tahu kalau aku suka sekali dengan Linggar,” katanya
marah, “kamu sudah mengkhianatiku, aku tak mau melihatmu lagi.” Aku pulang
dengan perasaan gundah , cinta memang kadang dapat memutuskan persahabatan tapi
aku tak mau, aku sayang dengan Sita.
Gubrak!!!! Akhirnya aku tak ingat apa-apa setelah kejadian kecelakaan
itu.
Aku masih
merenung di kamar rumah sakit, andai saja Sita datang kemari, aku ingin
berterimakasih karena dialah pendonor darahku . Kulihat Sita masuk ke kamarku.
“Sit,
makasih, aku rela melepaskan Linggar asal aku masih bisa menjadi sahabatmu,”
kataku sambil kutarik tangannya. “Aduh”, aku menjerit karena kakiku yang patah
tertarik.
“Gak perlu
Arleta, aku maklum kalau cinta tak mungkin dipaksakan, mungkin memang Linggar
itu jodohmu bukan aku.” Sita memelukku erat sekali, aku hanya bisa berurai air
mata haru.
“Aduh,
hati-hati Sita, kakiku,” aku menjerit saat Sita menyenggol kakiku. Aku
merasakan dadaku lega sekali, itulah gunanya sahabat sejati. Sahabat yang
selalu ada buat kita saat suka atau duka dan sahabatlah yang akan mengisi
kekurangan kita bukan kekosongan itu kata Khalil Gibran, tapi menurutku sahabat
adalah kado terindah buat diriku sendiri. Aku tersenyum saat Sita mulai menulis
di gips di kakiku dengan tulisan sahabat FOREVER!!!!!!!
8 komentar:
30 April 2018 pukul 14.46
Perih banget ceritanya yaa mak,jd ingat pengalaman dulu waktu masih bujangan.xixixi
www.dinalangkar.com
30 April 2018 pukul 16.49
Happy ending, kirain jadinya kaya lagunya tata Janeta korbanmu
30 April 2018 pukul 20.15
Kirain sita itu cowo :/ aku kurang fokus
1 Mei 2018 pukul 05.19
Kereeenn ceritanya, meski ada beberapa yang kurang pas atau kurang lengkap.
*efek keseringan baca cerpen di KBM 😊
1 Mei 2018 pukul 12.22
tapi akhirnya beres kan mbak dina
1 Mei 2018 pukul 12.23
dari cerpen teringat akan lagu, yahud deh mas idris
1 Mei 2018 pukul 12.28
mas panca, sita wanita tulen
1 Mei 2018 pukul 12.31
makasih mbak reyne, namanya cerpen makanya gak semua bisa diceritakan
Posting Komentar