Gambar dari sini
Rasa
lelah sudah menyambangiku tapi bunda belum mau berhenti, padahal terik matahari
begitu kuat dan kerongkonganku sudah kering. Kulihat bunda masih saja berjalan
dan aku terseok –seok mengikutinya. Belum ilalang mulai menggigit kulitku dan
terasa perih .
“Bunda masih lama, kok gak sampai-sampai?”
aku mulai mengeluh. Bunda diam saja tetap menarik tanganku lebih kuat lagi
sedangkan aku sudah tak bisa mengimbangi langkah bunda.
“Jangan cepat-cepat, bunda .”
“Dengar Anggi, bunda gak mau dengar
kamu dari tadi ngeluh saja, baru segitu saja kamu sudah cengeng,” tampak bunda
kesal. Aku mulai merajuk, tapi bunda tak mempedulikan aku. Sampailah di rumah
bilik yang terlihat kusam , aku bingung mau apa , bunda datang ke rumah itu ,
sudah tidak bisa memakai kendaraan , jauh lagi. Seorang gadis seusiaku keluar
dari rumah bilik itu dan memcium tangan bunda.
“Tikah, ini anak ibu, Anggi,” kata bunda
sambil menyuruhku untuk memberi salam padanya. Dengan segan aku menyalaminya ,
tampak senyumnya manis dengan gigi
gingsulnya di sebelah kiri.
Bunda menceritakan kalau Tikah
adalah cucu dari pengasuh bunda waktu kecil. Bunda selalu menganggap Tikah
anaknya juga dan semua biaya sekolah Tikah ditanggung bunda . Aku mulai tertarik dengan keramahan Tikah dan
aku diajak melihat pemandangan di desa yang tak ada di kota. Aku takjub melihat
sawah yang membentang luas dengan ladang-ladang milik penduduk yang tampak
menghijau. Aku mendengarkan cerita Tikah bagaimana dia harus ke sekolah pagi
buta dan menempuh perjalanan selama satu jam untuk sampai di sekolahnya.
“Benar , kamu harus jalan kaki
selama satu jam , berarti dua jam pulang pergi,” tak kusangka betapa sulitnya
Tikah saat hendak pergi ke sekolah, beda denganku yang tinggal naik mobil saja.
“Iyalah, belum kalau musim hujan ,
jalan tanah sangat licin, jadi harus ekstra hati-hati,” kata Tikah. Dan pulang
sekolah Tikah masih harus membantu bapaknya di kebun jagung.
“Apa kamu gak capai ,” aku bingung
dengan rutinitas Tikah yang menurutku tak biasa.
Malam
itu , aku dan bunda menginap di rumah bilik Tikah, sebetulnya aku segan tapi
karena untuk kembali ke mobil perlu jalan lagi yang cukup jauh sedangkan hari
sudah menjelang sore, untungnya bunda membawa pakaian ganti.
“Bunda , gimana aku bisa tidur di
dipan yang gak ada kasurnya,” kataku mulai merajuk lagi.
“Sudahlah kamu gak usah merajuk,
tapi lihat dan syukuri bahwa hidupmu lebih baik dan rasakan kalau tidak semua
orang beruntung sepertimu.” “kamu harus mulai belajar bahwa banyak anak di luar
sana yang tidak beruntung dan mereka harus berjuang untuk bisa sekolah dengan
segala keterbatasan.” Aku hanya diam saja dan mencoba tidur di dipan yang
terasa keras di tubuhku. Malam itu bunda banyak bercerita kalau bunda selau
menyisihkan uang untuk memberi beasiswa anak-anak yang tidak beruntung agar mereka
bisa bersekolah, walau jumlahnya tidak banyak .
Sinar mentari masuk lewat sela-sela
bilik dan menyadarkan aku dari tidurku, walau tadinya aku mengeluh ternyata aku
bisa tidur juga walau punggungku sekarang terasa sakit. Kulihat bunda sudah
tidak ada di sampingku, aku keluar dan
tak ada siapa-siapa. Aku mencari-cari bunda dari depan pintu.
“Anggi,” teriak Tikah. Kulihat Tikah di kebunnya, kuhampiri Tikah , ternyata
bunda juga ada di sana. Tikah dan ibunya
sibuk mencabut singkong untuk sarapan pagi ini. Bunda menyuruhku membantu
Tikah. Tikah sangat cekatan mengupas dan
membersihkan singkongnya , tidak seperti aku . Pagi itu sarapan dengan singkong
goreng dan secangkir teh hangat di kebun , rasanya berbeda saat aku sarapan di rumah. Tak tearsa hari
sudah siang, aku dan bunda berpamitan untuk pulang kembali.
“Sering-sering kemari ya Anggi, kan
kamu belum lihat aliran sungai di sini, kita bisa menangkap ikan,” kata Tikah.
“Nanti kalau libur ya, tapi itu juga
kalau ada ijin dari bunda.” Aku melirik bunda.
“Boleh dong, asal jangan mengeluh
kalau jalannya jauh.” “ Gak akan!!!!”
teriakku.
Pengalaman
pergi ke desanya Tikah itu sangat membekas, selama ini aku terlena dengan apa
yang kumiliki tanpa menyadari kalau di luar sana masih banyak orang yang
kekurangan dan tidak bisa bersekolah. Aku berterimakasih pada bunda yang
mengajarkan aku bukan dengan kata-kata saja tapi contoh yang konkrit.
Kini aku sudah bekerja dan dapat
mencari penghasilan sendiri , dan aku selalu menyisihkan uang yang kutaruh di
amplop-amplop untuk beasiswa bagi anak-anak yang kurang beruntung. Setiap bulan
aku mengunjungi mereka di desa terpencil memberikan beasiswa dalam
amplop-amplop berisi uang. Itulah yang membuat hatiku bahagia ketika melihat
wajah ceria anak-anak saat mereka menerima amplop dariku.
“Bunda, jangan cepat-cepat jalannya,
aku sudah capai,” teriak Dinda anakku. Aku hanya tersenyum, terbayang dulu aku
juga mengeluh dan berteriak seperti yang dilakukan Dinda, tapi aku mau mendidik
Dinda agar kelak Dinda juga mau menyisihkan sebagian penghasilannya untuk
beasiswa anak-anak yang kurang beruntung. Langkahku pasti walau kumasih
mendengar gerutuan Dinda di belakangku. Aku tersenyum membayangkan hal yang sama dulu sekali!
0 komentar:
Posting Komentar