Gambar dari sini
Pagi ini seperti biasa aku ada di depan pintu kelas menugggu
anak-anak datang. Sudah hampir lima tahun aku mengajar di TK Pertiwi. Entah
mengapa aku begitu suka melihat keceriaan anak-anak
“Pagi
bunda,”sapa Sasha. Aku tersenyum dan menyambut tangannya yang sudah dicium
olehnya. Satu persatu anak-anak berdatangan. Aku menjulurkan kepalaku ke
halaman depan, belum tampak Dea. Dia selalu datang telat atau mepet waktu bel
masuk. Dea itu terlalu pediam dan ada kecemasan yang selalu dia perlihatakan. Beberapa
kali aku melihat ada memar di tubuhnya tapi Dea selau bilang kalau dia terjatuh
di rumahnya. Aku melihat Dea berlari ke arah kelas dan tampak dari kejauhan
mamanya melihat ke arah Dea.
“Pagi
bunda,”suaranya terengah-engah.
“Pagi
Dea,”sapaku. Aku memegang tubuh Dea dan melihat ada memar biru di lehernya.
“Ini kenapa
Dea.” Aku memegang memar itu dan Dea menjerit kesakitan. Aku segera membawa Dea
ke ruang UKS. Aku mulai mengompres memar Dea dengan air dingin. Dea meringgis
kesakitan.
“Ini
terjatuh lagi?” tanyaku sangsi. Dea mengangguk ragu dan tampak manik matanya
terlihat cemas sekali . Aku peluk dirinya erat-erat, aku tahu ada yang dia
sembunyikan . Terdengar suara isakan kecil darinya. Aku menambah pelukan erat untuk menenangkannya.
Ah, sekecil ini dia harus menerima beban seberat inikah??? Ada perasaan nyeri
di hatiku. Aku harus cari tahu, apa yang terjadi pada Dea.
Sampai suatu
hari saat aku mengajak anak-anak untuk kerja bakti membereskan kelas. Aku
membagi anak-anak tugas yang berbeda. Ada yang mengelap kaca, mengelap meja,
menyapu dan membersihkan papan tulis. Waktu itu aku mengambil beberapa buah
sapu dari ruang peralatan di gudang. Waktu masuk kelas dan aku mengangkat sapu
dan akan menyerahkan pada Dea, aku begitu terkejut dengan reaksi yang diperlihatkan
Dea. Dea begitu ketakutan dengan sapu dan menjerit begitu keras.
“Ampun
mama, ampun mama , Dea gak mau dipukul,”teriaknya. Aku terperangah sekejap dan
secepat kilat aku turunkan sapu dan membawa Dea keluar dan aku peluk erat. Dari
bibir mungilnya dia menceritakan kalau dia sering dipukul mamanya dengan sapu.
Ah , begitu ceritanya. Pantas saja dia begitu takut melihat sapu yang diangkat
ke atas olehku, dikiranya aku hendak memukulnya. Aku peluk erat tubuh
mungilnya, tak terasa titik-titik airmataku turun perlahan. Ah, Dea ingin aku
melindungi dirimu.
Aku mengantarkan
Dea pulang dan memberitahu ibunya apa yang Dea alami di sekolah. Aku melihat
mamanya. Tampak banyak beban yang harus dia hadapi sendirian dan ada beban yang
tak bisa dia tanggung sendiri. Ah, mamanya terlalu menderita sehingga dia mampu
berbuat kejam pada diri Dea. Tanpa disuruh mamanya menceritakan semua tentang
Dea.
“Kasihan
Dea, bu. Dia butuh kasih sayang. Jangan sakiti dia, dia tak tahu apa-apa, dia
tak berdosa. Kalau ibu membenci ayahnya, jangan biarkan Dea menderita. Dia
harta ibu yang paling berharga,”tukasku. Mamanya tercenung sejenak ada bulir-bulir air
matanya yang turun. Aku berpamitan pulang. Ada sedikit keraguan untuk
meninggalkan Dea. Aku takut Dea mengalami kekerasan lagi. Kembali aku peluk
erat-erat tubuhnya.
“Kamu
baik-baik saja ya. Kalau ada apa-apa ke bunda saja ya,”tukasku. Aku pulang
sambil membawa sejuta harapan agar Dea diperlakukan dengan kasih sayang. Aku
membalikan tubuhku. Kulambaikan tangan padanya......
6 komentar:
18 Februari 2019 pukul 13.46
Seringkali, anak jadi pelampiasan emosi orangtuanya.. :(
18 Februari 2019 pukul 20.14
Duh smg kita semua bisa jadi ortu yang sebenarnya ut anak2 kita.
19 Februari 2019 pukul 11.20
betul mbak maseko
19 Februari 2019 pukul 11.21
amin ya bang day
23 Februari 2019 pukul 18.26
Aku juga suka anak-anak... Aku setiap malam mengajar les di rumah.
Aku punya siswa yang mirip dengan Dea, tapi dia laki-laki. Dia tidak takut, tapi jadi berani memukul, bertengkar, dan kasar.
Bahkan dia berani sama aku. Aku sering jadi takut sama dia awalnya.
Tapi, karena lama-lama aku berusaha dekat dengan tertawa bersama. Akhirnya dia tiba-tiba perlahan menghormatiku, bahkan dia yang lebih sering bantu aku membersihkan sampah atau menghapus papan tulis, bahkan jadi lebih diam karena dia tahu aku suka kewalahan dengan teman-temannya.
Sedih kalau ada orang tua yang melampiaskan kemarahannya ke anak-anak, padahal mereka anak-anak yang manis.
24 Februari 2019 pukul 11.14
wah mbak einid, memamng kita hrs dekat denagn mereka krn mereka itu haus perhatian, kl sudah kena pasti mereka akan sayang sama kita
Posting Komentar