Sumber gambar dari sini
Sore itu aku kembali mengunjungi pak tua. Itu sebutan
baginya dari anak-anak kecil yang jadi anak asuhnya. Mungkin karena sudah tua ,
makanya lebih dikenal dengan sebutan pak tua. Waktu aku menanyakan nama aslinya
, pak tua itu hanya menjawab, apa nama itu penting. Aku masih ingat perkenalan
pertamaku dengan pak tua. Itupun secara tidak sengaja. Waktu aku pulang kampus
, ban motorku kempes. Saat itu sudah malam dan kulihat tidak ada tukang tambal
satupun. Akhirnya aku dorong motorku dengan susah payah menuju rumah sambil mencari
tukang tambal ban. Masihh lama aku
berjalan, badanku tersa lelah sekali.
“Neng, motornya mogok?,” tanya bapak
tua menghampiriku. Aku agak curiga dan takut karena penampilannya yang kumal
dan lusuh. Mungkin pak tua itu melihat keraguanku.
“Jangan takut neng, “ kata bapak tua
itu lagi. Aku memandangnya sekali lagi tapi kulihat matanya tulus.
“Iya, pak bannya kempes,” kataku lagi.
Pak tua itu mendorong motorku ke sebuah rumah kecil dari bilik di balik jalan
besar yang tadi kulalui. Pak Tua itu bilang kalau rumah bilik kecil itu
miliknya. Aku mengamati rumah kecil dan saat pak tua itu memperbaiki banku yang
bocor, dari rumah bilik itu keluar anak-anak yang masih kecil, memandangku
dengan tatapan heran.
“Siapa anak-anak itu pak, anak bapak?,”
tanyaku heran, karena dilihat usia bapak tua itu gak mungkin masih punya
anak-anak kecil, atau cucunya.
“Oh, itu anak-anak asuh saya,: katanya
lagi. Sambil membetulkan banku yang bocor , pak tua itu mulai bercerita. Pak
Tua itu ternyata berhati mulia, anak-anak yang ditemui di jalan dan tidak
diketahui siapa orangtuanya diajak tinggal bersamanya . Dan pak tua juga
menyekolahkan mereka. Jadi anak-anak itu gantian mengamen, kalau yang sekolah
pagi, mereka ngamen siang hari dan yang sekolah siang mereka mengamen pagi
hari. Segala pekerjaan halal yang bisa mereka lakukan, mereka lakukan. Uangnya
dikumpulkan untuk keperluan mereka bersama. Tak terasa pak tua itu berhasil membetulkan banku yang
kempes dan aku berpamitan pulang dan menanyakan apa aku boleh sering berkunjung
ke tempatnya.
“Dengan senang hati, kalau neng mau
sering berkunjung kemari,”kata pak tua. Aku melangkahkan kakiku dengan sejuta
rasa bagi pak tua yang sudah mau mengasuh anak-anak yang sudah kehilangan
orangtuanya padahal mereka bukan darah dagingnya sendiri, luar biasa.
Akhirnya aku sering berkunjung dengan
pak tua ini dan bergaul dengan anak-anak asuhnya. Kadang aku bawakan mereka
makanan dan bercerita dan sekali-kali aku mengajarkan mereka pelajaran yang
mereka belum mengerti. Persahabatan terjalin antara aku, anak-anak dan pak tua.
“Kak Ara, gimana rasanya enak gak sih
kalau punya orangtua?,” tanya Isah perlahan sambil menatapku penuh
keingintahuan. Aku terdiam lama , tak mampu untuk menjawabnya
“Isah, kamu sudah punya pak tua ,
beliau sayang dengan kalian, itulah orang tua yang tak pernah kenal lelah
mencintai anaknya,” kataku. Isah hanya mengangguk dan aku memeluknya erat
sekali. Sungguh dunia tidak adil, betapa masih banyak anak yang harus
kehilangan orang yang dicintainya.
Sore itu aku pulang dari memberi les di
rumah Fitra, aku melihat banyak orang menngerumuni sesuatu entah apa. Waktu ada orang yang lewati aku bertanya padanya.
“Pak, ada apa di sana?,” tanyaku.
‘Oh, ada tabrak lari mbak, kasihan
korbanya bapak-bapak tua,” katanya sambil berlalu. Tiba-tiba aku ingin
melihatnya, biasanya kalau ada tabrakan aku paling gak suka untuk melihat
korban kecelakaan , tapi entah ada perasaan ingin melihat siapa korban tabrak
lari tersebut. Waktu aku berusaha
menguak kerumunan dan sampai di depan, aku terpaku ,karena yang kulihat
terbujur kaku dengan banyak luka dan darah adalah pak tua yang kukenal.
“Pak, pak, bangun, jangan tinggalkan
anak-anak,” aku mulai berteriak –teriak memanggil-manggil pak tua.
“Sabar, mbak, ini keluarganya?,” tanya
seseorang. Aku mengangguk.
Pagi itu semua tampak suram, di rumah
bilik kecil itu, anak-anak menatap sedih pak tua yang sudah terbujur kaku di
dipannya. Aku meneteskan air mataku, betapa kulihat anak-anak itu sangat sayang pada pak tua.
Mereka merebahkan kepala mereka di tubuh kaku pak tua. Sulit untuk menyuruh
mereka beranjak dai tubuh pak tua. Dari pagi mereka belum sarapan. Aku dibantu
dengan temanku mengurus pemakamanan pak
tua. Waktu akan menuliskan nama di batu nisannya, hanya kutuliskan Pak Tua
dengan sejuta cinta untuk anak-anak.
Detik –detik tubuh rentanya diturunkan ke liang lahat, aku tak kuasa
untuk tidak menangis. Tangisan haru untuk pak tua yang punya ketulusan cinta
untuk anak-anak yang bukan darah dagingnya sendiri. Kutatap sekali lagi nisannya
sebelum aku meninggalkan makam itu. Cinta yang sederhana dan tulus yang
dimiliki pak tua membuatku merasa bahwa aku belum punya sejuta cinta yang
dimiliki oleh pak tua. Cinta yang sederhana.....
6 komentar:
18 Maret 2019 pukul 16.40
ceritanya bikin sedihh dan menginspirasi sekali ..
19 Maret 2019 pukul 12.18
iya mas ahmad, hebat pak tua dalam keterbatasannya mampu mempunyai anak asuh
22 Maret 2019 pukul 04.07
T_T. Sedih ya.
Btw
Namanya panjang. Apakah tulisan di nisannya cukup?
22 Maret 2019 pukul 12.47
itu bisa diakali mas bondan
23 Maret 2019 pukul 05.42
Suka dengan moral ceritanya, Bu Tira :)
24 Maret 2019 pukul 12.21
kutukamus, makasih
Posting Komentar