Gambar dari sini
Aku terpekur dalam sunyi yang panjang , berkas berkas berita
acara kasus pencucian uang di kantor pajak sudah lengkap. Aku mulai mempelajari
tapi tak satupun bisa masuk ke dalam pikiranku. Sebentar-bentar aku harus
menarik nafas panjangku untuk mengurangi kegelisahan hatiku, tapi semuanya
sia-sia belaka.
“Rat, kalau
kamu letih, istirahat dulu,” mas Baskoro
menyentuh bahuku lembut. Dia seniorku di kantor pengadilan tinggi kota Bandung.
Aku hanya menatapnya sekilas dan kembali menatap berkas-berkas ynag kupegang. Apa semua
ini perbuatan ayahku? Atau ada dalang di balik korupsi di kantor pajak setempat? Mas Baskoro datang dengan secangkir teh
hangat untukku.
“Makasih,
mas,” aku menyeruput teh hangat , terasa hangat memenuhi rongga dadaku , dari
tadi aku masih bergelut dengan hatiku, apakah aku sanggup berhadapan dengan
ayah saat persidangan nanti???? Apa aku harus menyerahkan kasus ini kepada
temanku yang lain? Astaga aku tak sanggup memikirkan dan membayangkan ayah
harus berhadapan dengan jaksa penuntut yang tak lain anaknya sendiri. Masih jelas di depan mataku malam itu ayah
dijemput KPK setelah ada bukti rekaman dan foto saat ayah kepergok bersama pengusaha
property di sebuah hotel dan barang bukti cek dan uang tunai sebanyak ratusan
juta dalam dus . Ibu meratap dan menangis terus saat ayah di bawa oleh KPK, aku
hanya mampu tercenung lama dan sibuk
menghentikan tangis ibu.Berita-berita di koran dan media televisi begitu
bombastis memberitakan tertangkap tangan pegawai pajak yang menerima uang suap. Sebetulnya aku tak sanggup menanggung malu
yang begitu berat, apalagi aku termasuk jaksa penuntut yang terkenal tegas dan
selalu teruji bisa memasukkan para koruputor ke dalam penjara tanpa ampun.
Bayang-bayang ayah selalu berkelebat dalam pikiranku, apa yang dicari ayah
selama ini???? Aku dan mas Danang sudah
beranjak dewasa dan sudah tak tergantung lagi hidup pada ayah, untuk apa lagi
ayah mengambil uang yang bukan miliknya? Masih saja aku pertanyakan hal itu
dalam hati kecilku, sampai sekarangpun aku masih belum mengerti mengapa ayah
sampai nekad berbuat seperti ini?
“Yuk pulang
Rat, sudah sore, “ mas Baskoro mengajakku
pulang. Aku segera melangkahkan kakiku di sisinya dalam diam . Aku tak punya
hasrat untuk sedikit berbincang dengan mas Baskoro, semua masih memenuhi beban pikiranku.
Malam itu
terdengar ketukan di kamarku, Ibu duduk di sebelahku .Untuk beberapa lama
keheningan diantara aku dan Ibu, tak ada yang sanggup memulai percakapan .
“Rat, jadi
sudah pasti kamu yang akan jadi jaksa penuntut kasus ayahmu?” tanya ibu
perlahan. Kupeluk ibu erat-erat , hanya isak yang terdengar dalam kebisuan
panjang.
“Aku
bingung bu, aku harus bagaimana?” kueratkan pelukanku pada ibu, rasanya ingin
aku kembali lagi saat masih kecil, ketika aku sedih pasti aku selalu minta dipangku dan dipeluk
ibu.
“Mengapa
ayah mampu melakukan semua ini bu, untuk apa, apa kita kekurangan???
“Kan tidak
bu, kita sudah cukup bu, apa lagi yang dicari ayah bu?”
“Aku
bingung, aku diantara dua pilihan yang sulit bu, aku harus bagaimana bu?”
usapan tangan ibu di kepalaku sedikit mengurangi rasa resah di hati. Ibu
terdiam lama dan dia mengatakan kalau aku harus berbuat dengan kata hatiku yang
paling dalam , apapun resiko yang harus aku hadapi. Kutatap lama mata ibu, aku
mencari sesuatu di bola matanya, tak ada seuatu yang disembunyikan dalam
matanya.
“Bu, apa
ibu akan sanggup menerima saat ayah harus di penjara?” perlahan aku mengangkat
tubuhku dari pelukan ibu. Kutatap lama matanya, ada kepasrahan dalam matanya.
Ibu mengaangguk walau air matanya terjatuh dalam isak yang tak terdengar. Aku
tahu ibu juga berperang dalam batinnya. Dulu ibu mengajarkan aku untuk berani berbuat
untuk kebenaran, sekarang waktunya aku membuktikan nasihat ibu.
“Nak,
kuatkan hatimu, ibu akan terus mendampingimu, jangan lupa berdoa minta
petunjukNya,” kembali kupeluk ibu lebih erat dari semula, semoga aku kuat .
Aduh ,lakon apa lagi yang harus kumainkan?
Pagi itu
aku sudah siap berangkat ke kantor, kulihat mobil mas Danang kakakku datang dan dia terburu-buru
masuk ke dalam rumah.
“Ratih,
hentikan kamu mau memasukkan ayah ke penjara, pikir Ratih ,pikir seribu kali
dulu, sebelum kamu mengambil keputusan ini!”teriak mas Danang. Aku tatap
matanya, ada amarah di matanya, aku tahu jika ayah masuk penjara maka reputasi
mas Danang sebagai pengusaha sukses bisa hancur.
“Tapi, aku
harus bagaimana lagi mas, aku tak mungkin meloloskan ayah, semua bukti menunjukan
kalau ayah memang menerima uang itu. “ Gemetar aku berbicara dengan mas Danang,
alangkah dia tak mengerti bagaimana kalau mas Danang ada dalam posisinya, itu
tidak mudah!!!!! Mas Danang memberikan alternatif agar aku bisa menyelamatkan
ayah, semua itu mas Danang bicarakan dengan emosi .
“Sudah,
jangan berteriak begitu Danang , biar Ratih yang mengambil keputusan itu,” ibu
menengahi .
“Aku tidak
mengerti dengan jalan pikiranmu Ratih, apa kamu tidak malu kalau ayah masuk
penjara?”
“Ya , malu
tapi aku harus bisa profesional mas,” kataku sambil melangkah meninggalkan mas
Danang yang masih marah besar.
Pagi itu
sebelum sidang dimulai, aku sempatkan menjenguk ayah di selnya.Aku terkesima
melihat wajah tirus ayah, hati kecilku menangis , kalau sebentar lagi aku akan
memasukkan ayahku sendiri ke dalam jeruji penjara.
“Pagi yah,
ayah sehat ?” aku memeluknya. Ayah terdiam lama dan kurasakan ada air matanya
yang menetes di bahuku. Rasanya hati ini benar-benar sakit , ingin kuberlari
entah kemana asalkan aku tak harus ada di hadapan ayah.
“Ayah,
maafkan aku,aku...aku...,” aku tak sanggup lagi meneruskan kata-kataku , hanya
isak yang keluar dari mulutku.Mas Baskoro menarikku dan menyuruhku untuk
bersiap-siap karena sidang akan dimulai.
Ruang sidang tampak lenggang hanya awak media televisi dan wartawan yang
hadir dan aku melihat ibu duduk di baris terdepan . Aku harus kuat, aku tidak
boleh menangis saat sidang. Tanganku digenggam mas Baskoro, aku melihatnya menganggukan
kepalanya padaku untuk menguatkan hatiku.
“Ratih, aku
yakin kamu bisa, kuatkan sayang,” kata-kata mas Baskoro tadi meringankan
langkahku masuk ke dalam ruang sidang. Aku menganggukan kepalaku kepada hakim
dan mulai duduk di mejaku. Sungguh sidang selama hampir tiga jam begitu alot ,
begitu banyak perdebatan yang muncul,tanpa tedeng aling-aling aku mulai
mendesak dengan banyak bukti yang aku dapatkan. Sebentar-bentar aku melirik
ayah, yang tampak diam dan hanya sekali-kali berkata iya atau tidak. Jeda
istirahat sebelum hakim memutuskan hukuman bagi ayah, aku belari ke ruang
belakang dan menangis perlahan.
“Ratih, tak
apa, ayah memang salah, biar ayah menanggungnya di penjara, hanya ayah titip
ibumu nak,” aku menoleh , kulihat ayah menatapku lama dan air matanya tergenang
di pelupuknya, aku menubruknya dan memeluknya lama sekali, sampai terdengar
lagi kalau sidang akan dimulai lagi. Aku segera membersihkan air mataku dan
kembali ke ruang sidang. Penjara sepuluh
tahun lebih ringan lima tahun karena prilaku yang baik , sopan dan sebelumnya
tidak pernah bermasalah dengan hukum.
Dilema itu
berlalu , hatiku sudah bicara kebenaran walau itu sangat menyakitkan melihat
ayah harus terkurung dalam penjara. Setiap saat aku selalu menengok ayah dan
memberikan ayah kesibukan . Kebahagiaan aku terpancar saat ayah begitu banyak
dipercaya di penjara untuk membantu napi-napi lainnya . Banyak kegitan yang
diikuti ayah di penjara bahkan ayah mengambil kuliah kelas jauh yang diadakan
di Lembaga Permasyarakatan . Sekarang aku bisa tersenyum puas, ternyata segala
sesuatu yang dilakukan untuk kebenaran tidak selalu pahit akhirnya.
0 komentar:
Posting Komentar