Gambar dari sini
Malam
itu aku masih belum bisa tidur, di luar sana terdengar suara kodok benyanyi
bersahut-sahutan, sementara gesekan dedauan terdengar seperti suara bisikan
yang melelehkan jiwa. Aku masih terngiang omongan eyang tadi siang, memang sudah
dua malam aku menengok eyang di kampung. Apa ya maksudnya nenek kalau
turunannya harus mempunyai pasangan hidup sesuai dengan kecocokan dengan cincin bertuah. Aku belum
mengerti apa yang ada dipikiran eyang, apa nenek kurang setuju dengan
hubunganku dengan mas Doni. Mas Doni
bagiku adalah pria yang memang pantas
menyunting aku, aku sudah cukup tahu betul bagaimana mas Doni, bagiku mas Doni
adalah pria yang tepat bagiku.
Aku ingat pertemuanku dengan mas
Doni karena ketidaksengajaan saat aku
sedang ada di sebuah toko buku. Saat itu
aku membaca buku yang sama dengannya dan tidak tahu mengapa mas Doni malah
mengajakku untuk sedikit berdiskusi tentang buku itu, padahal belum saling
kenal dan belum tahu nama masing-masing. Baru saat hendak pulang , mas Doni
memperkenalkan diri dan meminta nomer handphoneku. Ternyata pertemuan demi
pertemuan membuat kedekatan yang berubah menjadi benih-benih cinta yang tumbuh
seperti pohon kecil. Siraman cinta setiap detiknya membuat cintaku bertumbuh
dan menambah kedewasaanku. Sudah hampir tiga tahun jalinan cinta terajut dalam
suka dan duka yang membuat aku dan mas Doni tahu betul watak masing-masing.
Sudah melewati perjalanan panjang dengan liku-liku yang sempat menghancurkan
tapi kekuatan cintalah yang menopang hubungan ini menjadi langgeng. Kini ku
hanya tinggal menanti saat-saat tepat untuk dipinang keluarga mas Doni.
“Mir, Mira.....bangun, gak baik
anak gadis bangun siang,” kata eyang yang mulai menggedor-gedor pintu kamar.
Dengan malas aku keluar dari kamar.
“Asataga, nduk, kok ya baru
bangun , ini sudah siang, cepat mandi,” tegur eyang.
‘Iya, eyang,” aku beranjak ke
kamar mandi, sebetulnya malas sekali,setelah malam aku sulit tidur, padahal aku
ke rumah eyang untuk beristirahat, eh malah disuruh bangun pagi setiap hari,
tahu begini aku di rumah saja. Air dingin menyegarkan tubuhku . Ah, besok pagi
aku pulang saja daripada di sini tdak bisa santai. Selesai sarapan, aku mau
jalan-jalan dulu ke lembah dekat bukit dekat rumahnya kepala desa, tapi eyang
sudah menyuruhku duduk saja , katanya sih ada yang mau dibicarakan.
“Nanti saja eyang, aku mau
jalan-jalan dulu mumpung masih pagi,’ kataku .
“Tadi katanya besok mau pulang,
kapan lagi eyang bisa bicara denganmu?
tanyanya sambil menarik aku ke ruang tengah.
tanyanya sambil menarik aku ke ruang tengah.
“Ada apa eyang?” tanyaku. Eyang
menunjukan sebuah cincin, cincinnya
terbuat dari emas agak tebal dan bagian tengahnya berbentuk bulat dan ada batu
saphir merah dan dikelilingi batuan-batuan yang lebih kecil. Cukup lama eyang
memandang cincin tersebut sebelum beliau bercerita banyak tentang cincin itu.
Menurut eyang, cincin ini sudah turun temurun dari jaman neneknya dulu. Setiap
generasi cincin itu akan berpindah tangan terus
dan sekarang ada di tangan eyang. Cincin ini bertuah. Aku mengambil cincin
itu dari tangan eyang, tapi cincin itu sama saja dengan cincin yang lain ,
apanya yang bertuah ada-ada saja.
“Pasti kamu gak percaya kan?”
tanya eyang.
“Iya, masa ada cincin bertuah
dan ini sama dengan cincin yang lain , gak ada istimewanya,” kataku lagi.
“Itu karena kamu belum
membuktikannya,” katanya lagi. Cincin
ini bisa menentukan jodohmu dan tak pernah salah, mulai dari eyang buyutmu
sampai ibumu.
“Caranya seperti apa?” tanyaku.
Ibumu dulu juga menggunakan cincin ini sehingga berjodoh dengan ayahmu, begitu
juga dengan eyang. Mudah saja kalau kamu
mau tahu jodohmu, tinggal suruh dia memakai cincinmu, kalau dia berjodoh
denganmu cincin itu akan pas di jari manisnya. Aku hanya tertawa dan yang
membuatku heran mengapa ibuku juga menggunakan cincin ini untuk menentukan
jodoh yang cocok untuknya.
“Kamu jangan tertawa, bawa ini
dan gunakan dan bila sudah bertemu dengan jodohmu , kau kembalikan cincin itu
,” kata eyang. Akhirnya cincin itu kubawa juga pulang.
“Gimana Mir istirahatnya di
rumah eyang?” tanya mas Doni.
“Ya , gitulah eyang , biasa
nenek-nenek cerewet,” kataku. Aku langsung ingat cincin merah saphir itu, aku
menyuruh mas Doni memakainya di jari manisnya, tapi ternyata longgar. Waduh,
apa aku gak berjodoh dengan mas Doni ya, pikirku dalam hati.
“Longgar ah, ini memangnya punya
siapa?” tanya mas Doni. Aku hanya bilang kalau ini punya eyang tanpa bilang
kalau cincin ini bisa menunjukkan jodohku, bisa-bisa aku ditertawakan. Tapi justru karena cincin itu tidak pas
dengan mas Doni aku mulai ragu-ragu. Dan
keraguanku semakin memuncak saat aku melihat mas Doni di mall berdua dengan wanita yang aku tidak mengenal
sebelumnya dan astaga mesra sekali . Aku jadi enggan mendekatinya dan aku
cepat-cepat pulang . Tidak saat itu saja aku melihat mas Doni dengan wanita
yang sama, beberapa kali aku melihatnya masih berdua saja. Aku semakin ragu dan
aku makin percaya dengan cincin itu. Apa memang mas Doni bukan jodohku? Aku
mulai menghindar saat mas Doni
mengajakku pergi atau sekedar datang ke rumahku. Ada saja alasanku agar mas
Doni tidak datang ke rumah atau mengajakku jalan. Ibuku juga merasa aneh mengapa aku tiba-tiba
selalu menghindar dari mas Doni, tapi selalu kujawab tidak ada apa-apa.
Hampir lima bulan ini aku selalu menghindar dari mas Doni,
hatiku mulai merasakan rindu dengan perhatian dan kasih sayangnya tapi saat aku
mengingat mas Doni dengan wanita lain dan cincin itu, aku mulai menguatkan diri
untuk melupakannya. Aku mulai menyibukan dengan tugas akhirku di kampus. Hari
hariku hanya diisi pergi ke perpustakaan
dan berkutat dengan laptopku. Aku sendiri sudah mulai kayak zombie manusia yang tidak punya rasa. Kamarku
berantakan dan buku-buku berserakan dimana-mana. Tapi lama kelamaan hatiku makin hancur luluh
tanpa sisa , sampai akhirnya aku jatuh sakit.
“Mira, ada apa , coba kamu
cerita sama ibu,” kata ibuku,” kasihan nak Doni terus mencarimu sementara kamu
mengabaikannya.” Ibu mulai mengompres dahiku terus menerus karean suhu tubuhku
tinggi..Aku kaget mengetahui kalau mas Doni masih mencariku, terbersit rinduku
padanya.
“Aku, gak apa-apa kok,” kataku.
“Gak, apa-apa gimana , lihat
dirimu, tubuhmu gak keurus, wajahmu suram terus,’ ibuku mulai mendumel. Aku
mulai menceritakan kejadian ms Doni dengan
wanita lain dan cincin pemberian eyang .
“Astaga Mira, kamu percaya dengan
cincin itu?” tanya ibu,”ibu gak nyangka.”
“Tapi eyang bilang , ibu juga
menggunakan cincin itu itu untuk menentukan jodoh ibu,” kataku lagi.
‘Ya, enggaklah, ibu memang
dipinjami cincin itu tapi tak pernah digunakan, untuk apa, toh ibu yakin dengan
cinta ayahmu,” katanya lagi. Aku mulai merasa sedih dan malu pada diriku
sendiri, mengapa harus percaya dengan
cincin bertuah tersebut.
“Tapi mas Doni pergi dengan
wanita lain bu,” kataku.
“Astaga Mir, kalau ada apa-apa ya ditanyakan langsung
toh ,” kata ibu,” Doni sempat bercerita kalau sepupunya dari Amerika datang
mengunjunginya.” Aku tak kuasa menahan tangisku, betapa naifnya aku begitu
percaya dengan cincin bertuah eyang dan
tak pernah sekalipun menanyakan wanita itu pada mas Doni.
“Sudah , kau istirahat biar
cepat sembuh dan minta maaflah pada Doni, dia selalu menunggumu,’ kata ibu
sambil meninggalkanku dalam penyesalan yang panjang.
Tak terasa bebanku hilang
setelah pintu maaf buatku diberikan mas Doni. Kurasakan getaran yang sama saat
pertama kali berjumpa dengannya . Kini aku berada dalam pelukannya . Aku
merasakan cintanya yang tulus untukku, untuk apa aku meragukannya lagi, semua sudah
terbukti cinta mas Doni buatku memang tulus . Aku kembalikan cincin
bertuah pada eyang dan aku katakan
cincin itu sangat pas di jari manis mas Doni .
Cinta tulus mas Doni tidak pernah berubah sampai kini.
0 komentar:
Posting Komentar