Gambar dari sini
Kembali aku ada di bukit saat senja tiba, masih seperti dulu
suasana yang temaran dengan jingga yang merona ditemani dengan awan-awan yang
berarak-arak mengikuti arah angin.Pergi entah kemana , selalu mengekor arah
angin. Masih kutatap langit yang semakin kelam , angin malam mulai terasa
menusuk pori-pori kulitku. Suara gesekan dedaunan seperti suara-suara yang
mendesir di telinga, kadang aku merasakan kengerian apalagi kalau angin mulai
keras menghembus. Sudah hari kelima aku si atas bukit , sambil menatap kota
Cirebon dari ketinggian tapi kau masih saja belum kunjung datang untuk menepati
janji kita bersama.
“Jenar, yuk
pulang sudah hampir malam,” mamaku mendorong kursi rodaku menjauh dari bukit di
daerah Beber. Aku masih menyempatkan diri untuk menoleh kembali untuk
memastikan kalau Syarif memang tak datang.
“ Sudah
Jenar, untuk apa lagi kamu menanti di sini, Syarif sudah melupakan janjinya,
lebih baik kau kembali lagi saja ke Bandung ,nak,” tegur mama. Aku masih
terdiam lama , ah tak mungkin Syarif melanggar janjinya, dulu begitu gigih dia
menyatakan janjinya untuk bertemu lagi di bukit ini pada tanggal 15 Juli , lima
tahun setelah perpisahan kami berdua. Aku masih mengingatnya , dan peristiwa
itu masih bagus terekam dalam memoriku yang seringkali muncul di saat-saat aku
sudah mulai terlelap dalam tidurku. Akhirnya aku selalu ingin tidur agar bisa
selalu bertemu denganmu dalam mimpi-mimpi panjangku.
“Besok aku
harus kemari lagi, mah, gak mungkin Syarif melupakan janjinya, aku percaya
itu,” tukasku mantap. Kupandang langit yang mulai gelap, mama cepat sekali
mendorong kursi rodaku menuju tempat parkir mobil.
Kembali
sore itu, aku sudah duduk di atas bukit sambil menatap kota Cirebon dari
kejauhan. Belum sore benar, belum ada warna jingga di langit, kusuruh pak Kosim
supirku untuk menunggu saja di parkiran.
“Non, gak
apa-apa di sini sendirian?” aku menggelengkan kepalaku dan menghalaunya untuk
segera pergi, aku masih ingin menguntai banyak cerita di bukit ini lima tahun
yang lalu.
“Mau jagung
bakar ,nok?” tanya pedagang jagung bakar.
“Dua saja.”
Kutatap pemadangan kota, tampak rumah-rumah yang hanya terlihat seperti notkah
dari bukit ini. Aku mulai membayangkan dulu , lima tahun yang lalu, ada sejuta
kenangan yang tersisa di bukit ini. Syarif adalah kawan sepermainanku di
komplek, tapi Syarif tinggal di kampung di belakang komplek perumahanku. Walau
dia anak kampung tapi anaknya sopan dan tahu membawakan diri. Semua warga
komplek tak pernah mengeluh , bahkan mereka sering kali memuji kebaikan dan
sopan santun yang diperlihatkannya. Entah mengapa lama-lama aku mulai mengaguminya,
dan aku lupa sejak kapan aku mengaguminya. Semua berlangsung seperti cerita
yang mengalir begitu saja, tak ada yang istimewa , selalu ada canda tawa di
antara kita.
“Aduh, kamu
jahat!” teriakku saat aku dijahili oleh Doni tapi Syarif akan selalu membela
dan menjagaku dari teman lainnya yang suka usil padaku. Saat anak-anak aku
merasakan kebanggaan karena aku selalu dibela oleh Syarif dan dia dengan setia
menjagaku. Saat remaja tiba , sifat melindunginya semakin tampak dan aku mulai
merasakan desir yang berbeda saat berdekatan dengannya.Aku merasakan kasih yang
diberikan Syarif tapi aku sendiri tak tahu apakah kasih yang dia berikan hanya
sebataas teman atau lebih dari itu. Aku tak berani untuk menanyakannya, dan
kulihat Syarifpun tak pernah mengatakan apa-apa padaku. Dan tempat yang paling kami sukai ya dibukit
inilah, duduk berdua di bangku dan memandang senja di sore hari sambil menatap
kota dari kejauhan.
“Lihat
Jenar , jingga itu selalu mewarnai langit senja , aku suka sekali dengan senja
, selalu mengingatkan pada nuansa sendu,” tukasnya sambil memandang langit.
“Ada apa
Jenar?” tanyanya, aku menunuduk malu karena aku baru saja terpergoki sedang menatap
wajahnya. Memang Syarf bukan pemuda yang ganteng tapi di wajah teduh dan
kedewasaannya membuatku begitu nyaman di sisinya. Garis-garis wajahnya yang
keras memperlihatkan kemauan yang keras.
Sampai suatu saat perpisahan harus terjadi, aku sungguh tak mau berpisah
dengannya, apalagi tak pernah ada kata cinta yang keluar dari mulut Syarif
sedangkan aku begitu mencintainya dengan kesungguhan hatiku.
“Jenar, aku
akan pergi ke Taiwan unuk bekerja , aku harus mengumpulkan uang buat modal
usahaku kelak, lagipula kamu juga harus kuliah di Bandung.” Aku memandang jauh ke warna jingga di sana,
dan tampak pelangi di sebelah barat yang mulai memudar karena hujan sudah
berhenti dari tadi.
“Kamu mau
tidak berjanji padaku untuk tak pernah melupakanku?” tanyaku. Syarif
memandangku lama dan hanya anggukan kecil saja yang kudapatkan. Terasa air
hujan mulai kembali turun , gerimis sudah membasahi wajahku.
“Yuk,
pulang nanti kamu sakit,” selanya dan menggamit tanganku, tapi kutarik tanganku
dan aku berlari ke sebuah pohon . Kuambil sebatang ranting dan kugoreskan
gambar dua hati pada batangnya dan
kultiskan nama Jenar dan Syarif.
“Untuk apa
itu?” tanyanya sambil melihat gambar dua hati di batang pohon yang sudah kubuat
dengan sepenuh cintaku untuknya. Aku menyuruhnya datang lagi kemari setelah
lima tahun berpisah. Engkau menyanggupinya dan tanggal 15 juli lima tahun
kemudian kami akan bertenu lagi di pohon ini yang sudah kuberi tanda dua hati.
Artinya aku mungkin sudah tamat kuliahku dan Syarif sudah cukup waktu untuk
mengumpulkan uang untuk modalnya. Aku masih menangis saat Syarif mengajakku pulang
, walau hujan semakin besar aku masih ingin tetap bersamanya. Aku merasakan
hangatnya pelukanmu , walau tak pernah sekalipun Syarif mengatakan kalau dia
cinta padaku, tapi aku punya keyakinan sendiri kalau Syarif cinta padaku. Tidak
mungkin kalau dia tidak cinta padaku kalau dia sangat begitu memperhatikan aku
seperti putri raja. Hujan semakin deras, aku basah kuyup dan kedinginan dalam
pelukan Syarif yang membawaku pulang ke rumah. Itu dulu lima tahun yang lalu.
Kini sudah lima tahun , tapi aku belum melihat Syaruf datang menemuiku.
Aku mendongak
kaget saat ada yang menyentuh bahuku , dan aku melihat siapa yang menepuk
bahuku, ternyata bukan Syarif. Seorang pemuda yang kemudian duduk di sebelahku.
“Jenar?,
menunggu Syarif?” tanyanya . Aku menoleh cepat ke arah pemuda itu, mengapa dia
tahu kalau aku menunggu Syarif.
“Tody,” dia
memperkenalkan dirinya , aku ragu-ragu menyambut uluran tangannya, wajahnya
lebih tampan dibanding wajah Syarif dan belum sempat Jenar bicara, Tody sudah
berbicara duluan.
“Apa aku
lebih tampan dari Syarif?” tanyanya sambil menggodaku, aku mulai cemberut
mendengar ocehannya.
“Bercanda
saja, Syarif begitu mencintaimu, Jenar.” Aku menatapnya dan aku ingin sekali
mendengarkan lagi apa yang mau Tody katakan padaku. Syarif bekerja di pabrik
rakitan mobil di Taiwan bersamaku, bahkan dia sekamar denganku di kontrakan
kecil. Kau tahu , dia selalu menceritakan tentang kamu dan betapa dia
mencintaimu. Makanya kulihat dia begitu bekerja keras demi bisa mengumpulkan
uang agar dia bisa kembali padamu. Syarif tak pernah sekalipun menghambur-hamburkan
uangnya untuk yang tak perlu, dia hidup prihatin , sekalipun dia tak pernah
menonton atau apapun yang menurutnya akan mengurangi tabungannya. Aku sering
membujuknya untuk sekali-kali nonton atau pergi ke kafe , selalu saja ajakanku
ditolaknya. Sampai suatu saat dia selalu bilang padaku kalau dia sangat
merindukanmu. Hampir setiap hari fotomu selalu dia pegang dan ditatapnya ,
sampai aku takut sendiri kalau-kalau
Syarif jadi gila karena memikirkanmu. Aku tersenyum geli mendengar cerita Tody.
Nah, herannya aku juga tak tahu apa ini isyarat dia mau pergi atau tidak aku
juga tak mengerti karena suatu sore dia menyerahkan amplop yang berisi uang dan
disuruhnya aku memberikan padamu tepat tanggal 15 Juli tepat lima tahun setelah
kalian berpisah. Tody terdiam lama, aku masih menunggu ceritanya dengan banyak
pertanyaan di benakku
“Lalu?”
Lalu, ....esoknya Syaruf mendapat kecelakaan, karena dia kurang hati-hati
menjalankan mesin dia terpental masuk mesin yang masih berputar dan saat itu
juga Syarif meninggal di tempat kejadian. Aku terpaku lama, jadi ini akhirnya
aku harus kehilangan kekasihku. Perlahan air mataku mengalir tetes demi testes
yang semakin deras dan membuatku sesenggukan . Tody hanya terdiam lama dan
menyerahkan amplop isi uang padaku.
“Ini uang
hasil kerja Syarif, dia ingin kamu mengambilnya.” Tody menyerahkan amplop itu
dan kupegang erat amplop itu. Senja mulai menjingga , pemandangan yang paling
disukai Syarif , kalau saja dia masih ada pasti tanganku sudah digenggamnya dan
mulai menikamti senja sampai warna jingga menghilang diganti dengan pekatnya
malam. Aku masih terus menangis, sebagian jiwaku seperti menghilang , mungkin
kau bawa pergi ke sana Syarif. Aku rindu sekali padamu, masihkah aku sanggup
melihat senja setelah kamu gak ada???? Entah mengapa aku tak mau lagi melihat senja
, itu semua mengingatkanku padamu Syarif. Aku benci senja , aku harus pulang. .
“Nok, sudah
malam nanti dicari ibu,” tegur pak
Kosim.
“Terimakasihh kamu mau mengantarkan amplop ini untukku,” aku memberi salam padanya dan pak Kosim mendorong kursi rodaku.
“Terimakasihh kamu mau mengantarkan amplop ini untukku,” aku memberi salam padanya dan pak Kosim mendorong kursi rodaku.
Sungguh
sulit untuk melupakan suasana senja yang selalu mengingatkanku pada Syarif.
Kini senja seperti momok yang menakutkan bagiku, banyak kenangan saat senja
mulai tiba di bukit sana yang akhirnya membuatku tak sanggup lagi melangkahkan
kakiku ke sana. Lama aku terpuruk dalam kesedihan sampai satu titik aku mulai
mengikhlaskan semuanya. Memang ini jalan yang terindah bagiku, toh kalau Syarif
masih hidupun belum tentu mau menerimaku dengan keadaan sebagai gadis lumpuh
tidak seperti dulu. Semua itu sudah menjadi rencanaNya yang terindah untukku!
1 komentar:
15 April 2019 pukul 22.50
Ceritanya bagus sekali, saya juga ikut tersentuh. Lanjutkan berkaryanya
Posting Komentar