Gambar dari sini
Pulang sekolah aku melihat banyak gerombolan orang sedang
mengerumuni sesuatu di pos kamling kampungku. Ada apa ya, apa ada pembagian
sembako gratis lagi? Biasanya kalau yang gratisan sih penduduk pasti mau
repot-repot antre , coba buat urusan bayar membayar sulitnya minta ampun dengan
banyak alasan lagi. Aku pastilah penasaran, siapa yang gak tahu anak perempuan
yang gokil habis yang aku ini, si Mirna!
“Minggir
babe-babe, nyak-nyak , om-om , anak-anak, gue mau lewat,” aku menyeruak
kerumunan sambil dorong kiri dan kanan. Beberapa orang menatapku sebal tapi aku
sih cuek saja, emang aku pikirin tuh orang yang melotot. Kasihan kan??? Matanya
dah melotot masih ditambah harus kena semprot , makanya aku lebih baik diam
saja.
“Eh, dasar
elu Mirna, lagak lu kagak sopan-sopan amat sih ama orang tua,” gerutu orang
yang ada di sampingku. Kulihat babe Rozak melotot , ih seram banget tuh mata ,
sepertinya mau keluar dari bola matanya.
“Awas babe
matanya tuh bisa-bisa keluar semua, entar kagak ada matanya,” aku menyahut
sambil terus mendesak ke depan dan di sana terpampang jelas pengumunan dengan
tulisan yang besar AUDISI PENYANYI DANGDUT TINGKAT
KAMPUNG KOPI LUHUR. Ya, ampun
ternyata pengumuman audisi dikirain apa?
“Babe
Rozak, babe mundur lagi aja, masa dah tua ikutan audisi penyanyi dangdut
bisa-bisa semua orang pingsan di tempat,” aku mendorong babe Rozak keluar
“Apa-apaan
elu tuh, gue hanya mau lihat saja ,” teriak babe masih ngotot mau lihat
pengumuman.
Kabar
audisi penyanyi semakin santer di kampungku, apalagi hadiahnya menggiurkan
termasuk tetanggaku si Desi yang super centil. Dia menyatakan dirinya akan
ikutan audisi secara suaranya kayak Ike Nurjanah.
“Eh, lu
jangan mimpi Desi, gue saja suka sebel dengar suara cempreng lu di kamar mandi,
bikin gua mau muntah,” ejekku , aku paling sebel dengan tetanggaku satu ini ,
menurutku terlalu lebay!
“Ya masih
mending gua ada suaranya, lah elu mana ada yang mau dengar suara elu,
paling-paling kambing bandot gue tuh yang mau dengar,” ejek Desi tak mau kalah.
“Enak aja
elu ngomong, walau gue gak pernah nyanyi di rumah tapi suara gue bagus ,” aku
tak mau kalah dengan si centil itu.
“Ok, kalau
elu merasa suara elu bagus ya ikutan audisinya, saingan dengan gue, siapa diantara
kita yang memang suaranya paling bagus,” tantang Desi.
“Ok, siapa
takut!” aku mantap . Dasar bodoh menerima tantangan Desi, kapan aku pernah
nyanyi walau kata guru seniku sih suaraku lumayan bagus saat tes nyanyi. Tapi
nasi sudah menjadi bubur tantangan tak
boleh dihindari apalagi menyangkut si centil itu. Norak banget kalau aku sampai
kalah dengan suara cempreng si centil!
Persaingan
aku dan Desi semakin ketat walau audisi belum dimulai tapi persaingan sudah
tampak. Tadinya aku santai saja, tapi ternyata Desi tak mau kalah denganku,
dengar-dengar dia ikut les vokal, mati aku! Wauh, bisa-bisa aku kalah telak
dengannya. Aku mulai rajin melatih vokal dan meminta bantuan bu Dara guru
kesenianku di sekolah. Alhasil setiap pulang sekolah aku berlatih keras agar
tak kalah dengan Desi. Kabar aku mulai latihan vokal juga akhirnya terdengar
sampai sejagad kampungku. Desi tentunya gak mau kalah , persaingan makin
memanas , saat Desi mulai mengambil hati warga kampung untuk menvote banyak
suara untuknya dan selembar uang sepuluh ribu diterima warga yang mau
memberikan suaranya untuk Desi.
“Gila ya
elu, itu namanya persaingan gak sehat, elu macam politikus saja,” aku sudah
mulai kesal dengan ulahnya yang tak mau bersaing sehat.
“Biar saja
mau-mau gue , yang penting gue harus menang,” tukasnya sambil memperlihatkan
wajah yang tampak menyebalkan bagiku. Darimana aku punya duit untuk menyuruh warga
memberikan suara buatku? Tapi aku tak habis akal aku mulai memasang selebaran
dengan profil apikku yang dibuatkan oleh Dasri sohibku di sekolah. Aku beserta
pengikutku mulai menyebarkan selebaran ke warga, menempelkan nya di setiap
jalan . Hari ini aku puas profilku terpampang banyak di jalan –jalan. Rasain
Des, elu masih mau saingan ama gue.
“Eh, ini ya
yang mau audisi dangdut,” beberapa warga sudah mulai mengenalku dan mulai
menyapaku. Wah , aku mulai gede rasa,
serasa artis terkenal karena aku mulai banyak yang menyapa. Desi tampak sebal
melihatku, aku balik mencibirnya!
Audisi
tinggal tiga hari lagi, latihan vokal dengan bu Dara semakin intensif , dan aku
semakin berdebar saja menghadapi audisi dangdut ini walau hanya tingkat kampung
saja.
“Mir, sudah
bagus suaramu tinggal gerakan kamu masih kaku kayak robot saja,” celetuk bu
Dara.
“Lah, ibu
kan tahu sendiri , gue gak biasa joged gini,” jelasku,tapi aku harus berani
karena penampilan juga akan dinilai. Nih, yang lebih sulit melatih aku memakai
hak tinggi, berkali-kali jatuh bangun tapi akhirnya akupun bisa melakukannya.
“Nah, satu
lagi kamu harus bisa mengambil hati juri bukan hanya dengan suaramu saja tapi
dengan sikap yang santunmu,” jelas bu
Dara . Aku hanya bisa menganggukan kepalaku. Pulang dari latihan vokal aku
melihat Desi keluar dari rumah pak Samsidi salah satu juri audisi. Mau apa lagi
si centil itu mengunjugi salah satu juri, kali-kali mau nyogok? Siapa tahu? Aku
mendekati si centil yang tampak tergesa –gesa. Aku menarik tangannya setelah
dapat kukejar.
“Eh, licik
ya elu pasti mau nyogok juri kan?” tuduhku padanya.
“ Enak aja,
lu asal nuduh aja, gue ke pak Samsidi disuruh nyokap gue nganterin pesenan
kue,” katanya sambil bergegas pergi. Aku masih hendak bicara tapi si centil
malah berlari sekencang mungkin untuk menghindari aku. Dasar , si lebay!. Waduh, bahaya kalau si centil sudah bisa
nyogok juri, bisa-bisa aku kalah . Aku
juga perlu mendatangi juri walau bukan untuk nyogok tapi buat silahturahmi,
agar mereka bisa lebih mengenal proilku, kan ada pepatah yang mengatakan kalau
tak kenal maka tak sayang benar kan?
“Dasar sama
aja elu juga nyogok juri!”teriak Desi marah padaku. Aku tidak merasa nyogok ya
tenang saja menimpali tuduhan Desi.
“Elu
sendiri kan yang bilang gak boleh sembarang nuduh orang, gue cuma silahturahmi
, ngerti elu,”jelasku sambil ngeloyor pergi. Dalam hati sih, rasain pasti
mentalnya sudah jatuh terlebih dahulu sebelum bertanding.
Akhirnya
pertandingan dimulai, panggung sudah terpasang semenjak kemarin dan para
sponsor memajang spanduk mereka di sisi panggung. Meja juri ada di bagian sisi
kiri panggung dan sisi kanan terdapat perangkat sound sistim. Pagi sekali aku
sudah mempersiapkan segala sesuatu tapi aku melihat Desi pergi diam-diam sambil
bolak-balik melirik ke kiri dan kanan. Wah, ini patut aku curigai, aku harus
mengikutinya tapi gimana ini, bajuku ini gak memungkinkan aku bisa mengejar
Desi. Kulihat Desi hampir tak kelihatan, segera aku angkat bajuku dan
kukejar Desi. Tampak Desi menghampiri ke
tiga juri yang sudah bersiap di meja juri. Dasar licik, awas lu Desi! Kulihat Desi
membagikan amplop pada ke tiga juri tersebut.
“Lihat
apaan elu ,Mir?” tanya babe Rozak. Aku menunjuk ke arah Desi . babe Rozak juga
melihat kelakuan Desi yang menyogok juri.
“Wah, ini
kagak bener, kenapa elu gak bertindak Mir,” protes babe Rozak dan babe hendak mendekati juri tapi aku tarik.
“Jangan
babe, ini sudah hari H –nya nanti kalau dipersoalkan malah jadi ribut, nanti
kalau acara dibatalkan kasihan yang sudah mau tampil,” selaku sambil balik lagi
ke rumah untuk memperbaiki baju dan make –upku.
Satu
persatu peserta audisi dipanggil termasuk si centil Mungkin karena merasa
dirinya sudah bisa mempengaruhi para juri, si centil tampak percaya diri. Lagu
terpesona keluar dari mulutnya, kututup telingaku, suara cemprengnya
menyakitkan telingaku. Pendukungnya mulai bertepuk tangan , wah, suara jelek
saja banyak pendukungnya padahal aku suka sekali dengan penampilan Maya dari RT
sebelah, suaranya merdu tapi sedikit pendukungnya. Saat aku dipanggil , rasanya
tubuhku gemetar semua, semua teori yang diberikan bu Dara , rasanya hilang
semua dari kepalaku. Lagu Cinta Satu Malam terluncur dari mulutku, entah enak
didengar atau tidak tapi aku melihat para juri yang tekun mendengarkan suaraku.
Wajah mereka tidak tampak mengernyitkan dahinya tanda tak suka tapi kulihat
kepalanya mulai bergoyang mengikuti irama lagu. Tanpa pikir panjang aku mulai
berjoged dan mengajak babe Rozak untuk ke depan menemaniku berjoged. Penonton
semua bersorak dan berteriak melihat babe Rozak berjoged dengan hotnya. Selesai
sudah , aku turun dari panggung tampak Desi memperlihatkan kekesalannya. Para juri bertepuk tangan sambil berdiri, aku
terngaga sejenak dan kegembiraan muncul di benakku, mudah-mudahan aku bisa
mengalahkan si centil!
Menunggu
pengumuman sungguh tak mengenakan, ada perasaan berdebar dan satu lagi aku yang
sebetulnya gak begitu suka persaingan gak sehat dengan si centil. Pak Samsidi
sebagai ketua juri naik panggung untuk mengumumkan hasil penjurian yang
digabung dengan suara dari penonton.
“Babe-babe,
nyak-nyak , anak-anak dan peserta sekalian , saya ketua panitia akan
mengumumkan hasil dari audisi dangdut tahun ini,” semua menatap pak Samsidi tak
sabar, siapa yang mendapatkan juaranya.
“Maya,” aku
sudah duga sebelumnya memang Maya pantas mendapatkan juaranya, sampai pemenang
harapan tak ada nama si centil maupun namaku. Aku melihat si centil sudah mulai
muram wajahnya dan menanyakan pendukungnya apakah benar mereka pilih dirinya?
“Desi dan
Mirna,” panggilan untuk maju ke panggung. Aku menatap heran semua juara sudah
dipanggil tapi kenapa masih ada yang dipanggil lagi. Pak Samsidi mengulang
kembali panggilannya. Aku dan Desi perlahan naik panggung. Pak Samsidi
mengatakan pada setiap perlombaan persaingan itu pasti ada tapi lebih terhormat
kalau persaingan dilakukan dengan cara yang benar bukan dengan menyuap atau
menyogok juri. Aku menatap Desi yang menunduk karena merasa dia telah menyuap
para juri dan pemberi suara buatnya, sedangkan aku tak menyogok tapi mengapa
aku juga dipanggil? Aku jadi berdebar-debar, apa aku juga akan mendapatkan malu
hari ini, entahlah!Muka Desi tampak
memerah saat penonton
menyorakinya, aku merasa iba padanya dan kurangkul bahunya. Desi menatapku dan
kembali menunduk.
“Mirna,
kamu juara favorit penonton,” jelas pak Samsidi, aku terpana sesaat dan
sesudahnya aku meloncat kegirangan. “Hore!” aku berteriak histeris
“ Makanya
Des, kalau mau saingan dengan gue elu
jangan tulalit, pakai nih,” aku menunjuk jariku ke dahiku. Desi hanya tersenyum
kecut dan kurangkul bahunya untuk menghibur hatinya.
“Betul,
saingan kok tulalit sih,” para juri kompak berseru, saingan tuh yang
terhormat!”
“Aku janji
akan bersaing sehat lain kali, gak mau tulalit lagi,” sela Desi menyalami para
juri yang akhirnya mengembalikan uang pemberian Desi. Patut diacungi jempol
untuk para juri yang anti suap walau hanya dalam lingkungan kampung kecil!
0 komentar:
Posting Komentar