Gambar dari sini
Pagi itu aku masih bergelut
dengan anak-anak di SDN Batureja,
terdengar riuh suara anak-anak yang masih beristirahat. Ada yang makan bekal
dari rumahnya ada yang juga membeli jajanan di kantin sekolah. Baru aku ingin
beranjak dari kursiku, Dea langsung menubruk dan menangis.
“Bu,
Yudi, jahilin Dea,” tangis Dea yang semakin keras. Yudi selalu membuat onar di
kelas dan paling suka menjahili anak perempuan. Sudah berapa kali aku
menegurnya tapi belum aku hukum, aku hanya ingin tahu mengapa dia sepert itu
kelakuannay. Menurutku seseorang berlaku nakal pasti ada yang
melatarbelakanginya.
“Gini
aja Dea, lebih baik kamu jangan menggubris ledekan Yudi selama dia tak
memukul,” aku mengelus kepalanya dan berusaha meredakan tangis Dea. Kulihat
Yudi mengintip ke arahku, tapi aku pura-pura tak melihat.Kali ini aku tak mau
menegurnya, mungkin dia mau mencari perhatianku . Berkali-kali Yudi melongokan kepalanya tapi
tetap aku tak menggubrisnya sampai bel berbunyi.
Pulang
sekolah, aku berniat mengunjungi rumah Yudi, tadi sudah kudapatkan alamatnya
dari bagian tata usaha. Ternyata cukup sulit mencari rumah Yudi, masuk gang
sempit di perumahan yang kumuh dimana rumah-rumah yang terbuat dari papan
berderet di sana.
“Bu,
mau tanya rumahnya Yudi dimana?” aku bertanya pada seorang ibu yang sedang
menyuapi anaknya. Ibu itu menunjuk ke sebuah rumah bercat biru. Pintu rumah tampak terkunci , aku melihat ke
dalam rumah tak ada siapa-siapa.
“Mau
cari siapa bu?”tanya seorang ibu yang menghampiriku
“Ibunya
Yudi.” Ibu itu mengajak ke suatu tempat di gang sempit sebelah kiri gang rumahnya Yudi, di sana
kulihat ibu-ibu sedang mengupas bawang . Ibu itu memamggil ibunya Yudi.
“Bu
Mia , gurunya Yudi,”aku memperkenalkan diri pada ibunya yang masih tampak takut
melihat kedatanganku.
“Yudi
gak apa-pa kan bu?” tanyanya panik. Aku memberitahukan kalau Yudi baik-baik
saja. Bu Yanah menceritakan kalau dia bekerja sebagai pengupas bawang untuk
menyekolahkan Yudi, ayahnya sudah hampir empat tahun meninggalkan Yudi saat Yudi
berumur 4 tahun dan ibunya entah kemana.
Setelah pulang sekolah Yudi membantu di
pasar inpres , angkut-angkut barang . Aku mengerti sekarang megapa Yudi
bersikap demikian, dia kurang diperhatikan sehingga dia membuat kegaduhan agar
diperhatikan oleh orang lain. Untung aku tidak memarahinya.
Siang
itu aku menyuruh anak-anak untuk menggambar bebas dan diwarnai dengan krayon
atau pensil warna. Aku membagikan kertas gambar dan aku melihat mereka sudah
asik denagn kegaitannya. Aku melihat Yudi serius menggambar biasanya dia selalu
mengobrol atau menarik-narik rambut anak petempuan. Waktu aku menghampiri meja
Yudi, dia mendongakan kepalanya padaku sambil menatapku dengan bola matanya
yang bulat. Aku melihat gambar yang dia buat. Anak laki-laki sedang berjalan di
apit ayah dan ibunya , tetapi latar belakangnya di warnai kelabu sehingga
tampak suram .
“Apa
yang kau gambar Yud?’ tanyaku sambil mengambil hasil gambarnya, sebentar
kemudian Yudi menarik gambarnya dan mulai mencoret gambar pria yang ada di sisi
anak di dalam gambarnya.
“Kenapa
kamu coret Yud?” aku mentap tajam padanya, dan tak kusangka di pelupuk matanya
sudah penuh dengan air mata yang kemudian jatuh.
“Aku
rindu ayah, aku ingin ayah kembali,” Yudi menangis, aku hanya bisa termangu
lama di hadapannya.
2 komentar:
31 Oktober 2016 pukul 11.30
Hemmm sedihnya mbak, dengar kisah dan merasakan jadi Yudi. Suka dukanya menjadi guru ya. Bener-bener harus ada buat muridnya ketika dibutuhkan. Salam kenal mb
31 Oktober 2016 pukul 12.46
betul mbak febrianty
Posting Komentar