Sumber gambar dari sini
Masih jauh perjalanaanku pulang ke desa Baturaja, Garut.
Sebetulnya aku agak malas , tapi ibu dengan caranya menyuruhku untuk pulang ke
kampung. Aku sudah tahu apa yang akan ditanyakan ibu, pasti tentang hubunganku
dengan mas Priyo. Masih sama jalan kampung ini , dengan pemadangan yang tak
pernah berubah , di kejauhan tampak hijaunya sawah dan ladang-ladang . Aku
membayangkan aku berlari-larian di pematang sawah dan mengambil belut
bersama-sama anak-anak yang lain. Indahnya masa-masa kanak-kanakku , penuh dengan
keceriaan dan bila tiba sore hari nini akan bercerita dongeng Kancil dan Pak
Tani. Ibu pasti menyediakan goreng singkong atau ubi goreng . Di saat yang sama
aki akan melap keris saktinya, bapak duduk membaca koran .
“Bu, habis
ini kemana,” tanya supirku. Aku melihat ke depan, ternyata sebentar lagi sudah
sampai.
“Dari
pertigaan , belok kanan dan ketemu mesjid belok ke kiri, rumah bercat
hijau,pak,” aku menerangkan . Kutatap keluar jendela banyak anak berlari-larian
dan sebagian laki-laki bermainan layangan. Tampaklah rumah hijau yang penuh
kenangan manis . Aku turun . Ibu berlari menyambut dan memelukku erat.
“Bu, aku
baik-baik saja,ibu tak perlu khawatir.” Aku menatap wajah tuanya, rambutnya
sudah banyak memutih, semenjak bapak meninggal aku mengajaknya tinggal di Bandung
tapi ibu menolaknya. Ibu lebih suka tinggal di kampung dan ibu tidak mau jauh
dari makam bapak.
“Tapi ,
kamu tampak kurus Jenar,” ibu menatap tajam ke arahku, aku gelisah dengan
tatapan ibu, aku tak bisa berbohong dengan ibu.
“Bu, aku
tidur dengan ibu saja,” ibu mengangguk .
Pagi itu
aku menemani ibu ke pasar desa yang hanya ada setiap hari Senin dan Kamis.
“Wilujeng
enjing, bu Asep,” sapa warga desa saat berpapasan. Memang begitulah etika di
kampung , saling menyapa walau tak saling mengenal, beda sekali dengan di kota
yang elu-elu , gue-gue. Wah, ramai
sekali pasar di kampung, aku duduk di tukang jualan serabi , biarlah ibu
belanja sendiri. Hem enak sekali serabi hangat dan segelas kopi hangat.
“Jenar,
sudah minum kopinya, ibu sudah selesai belanjanya,” ibu menarikku
“Lihat, ibu
beli apa?” tanyanya. Aku melihat belanjaannya, aku terbelalak melihat begitu
besar ikan mujairnya. Aku sudah membayangkan pesmol mujair buatan ibu yang tak
ada yang bisa menandinginya. Itulah ibu!
Aku
membiarkan ibu dengan keasikan masak kesukaanku, aku memilih berjalan-jalan .
Tak terasa aku sampai di perbukitan yang terlihat lebih gersang dibandingkan
dulu yang masih menghijau dan sungai masih mengalir dengan bebatuan yang besar.
Aku ingat sekali saat mas Priyo melamarku di sini, di keheningan bukit dengan
gemerciknya air.
“Jenar,”
mas Priyo menyematkan cincin di jari manisku.
Dan malam itu mas Priyo memintaku pada bapak dan ibu.
“Bagaimana
Jenar, bapak dan ibu terserah kamu,” bapak menatapku, bapak memang tak suka
memaksakan kehendaknya pada anak-anaknya dan selalu membebaskan pilihan pada
anak-anaknya. Aku menghela nafas, sebetulnya aku masih ragu , bukan ragu akan
cintanya mas Priyo tapi kedekatan mas Priyo dengan mbak Dinarlah yang membuatku
ragu.
“Jenar,
mengapa kau ragu akan cintaku, Dinar itu sahabatku , tak lebih dari itu,”
digenggamnya tanganku. Sudah sering mas Priyo mengatakan hal yang sama denganku
tapi dalam hati kecilku aku melihat banyak kedekatan dan kemesraan mas Priyo terutama
dengan anaknya mbak Dinar, Dita. Sampai
aku yakin , mungkin mas Priyo benar adanya, mbak Dinar bukan siapa-siapanya mas
Priyo.
Ternyata
saat-saat kebahagiaanku mulia terusik saat sering kali mbak Dinar meminta
bantuan mas Priyo untuk melakukan hal tertentu yang menurut mas Priyo sih mbak
Dinar tidak bisa melakukannya sendiri, tetapi mengapa harus mas Priyo kalau
hanya sekedar membetulkan sesuatu yang sebetulnya bisa dikerjakan orang lain.
Entah berapa kali aku harus memendam kekesalan saat kebersamaanku dengan mas
Priyo terganggu ketika mbak Dinar meminta pertolongan. Kulihat ponsel mas Priyo
berdering , ku tatap layarnya dan ada nama mbak Dinar, aku melihat mas
Priyo sedang mencuci mobilnya, aku
segera mematikan ponselnya. Mau apa lagi mbak Dinar menelpon mas Priyo, apa dia
sebagai perempuan tidak punya perasaan terhadap perasaan perempuan lainnya yang
justru lebih berhak karena dia istrinya yang sah.
Itulah awal
percekcokan aku dan mas Priyo, gara-gara aku mematikan ponselnya saat mbak
Dinar menelpon.
“Aku gak
mengerti denganmu, mengapa kau matikan ponselku, Dita masuk rumah sakit,” mas
Priyo tampak kesal.
“Mas, apa
kamu tidak merasa kalau hubunganmu dengan mbak Dinar itu membuatku gak nyaman.”
“Dengar ya
, sekali lagi berapa kali aku harus bilang padamu, Dinar itu sahabatku, aku tak
mau ada perdebatan lagi,” katanya marah. Apa aku tak berhak marah saat ada perempuan lain
yang begitu diperhatikan suami sendiri, apa aku salah? Begitu banyak kesah yang
menyelimuti hatiku, banyak pertanyaan yang tak mampu kujawab , hanya rasa
pasrah dan putus asa yang tinggal di sekeping hati yang juga ingin diperhatikan
lebih dari orang lain. Hanya sunyi menemaniku dalam dinding-dinding kamar yang
menyerupai jeruji sel-sel yang memenjaraiku dalam kecemburuan.
Sore itu,
rasanya malas untuk pulang ke rumah, sudah tiga hari mas Priyo tidur di rumah
sakit menemani mbak Dinar menjaga Dina, apa harus? Aku tak mampu menjawab
pertanyaan aku sendiri yang tak bisa kujawab..
“Gak pulang
Jen?” tanya Ina. Aku mengangkat bahuku
dan menyuruhnya pulang duluan.
“Apa ini
ada hubungannya dengan mas Priyomu?” tanya Ina lagi.
‘In, aku
tak apa-apa , aku hanya ingin sendiri.” . Ina berjalan dan kembali membalikan
tubunya.
“Aku selalu
ada untukmu , Jenar.” Aku melihat ponselku
yang berdering,kuangkat dan kudengarkan satu alasan lagi untuk bisa menginap di
rumah sakit. Hari keempat aku harus sendiri lagi , ditemani dengan
dinding-dinding yang hanya bisa kutatap dalam kesunyian.
Sampai
suatu hari , mas Priyo minta ijin agar aku mengijinkanya untuk menikahi mbak
Dinar. Aku tak mampu berkata-kata lagi, semua serasa pisau yang tajam menohok
dadaku, sakit rasanya. Kalau memang mas Priyo mencintai mbak Dinar , mengapa
dia mendekatiku? Mengapa kau libatkan
hatiku untuk permainan cintamu.
“Mas, dulu
kamu yang mengejarku dan saat aku ragu karena kedekatanmu dengan mbak Dinar,
engkau juga yang meyakinkanku, tapi sekarang mengapa harus begini?”
“Karena ini
lain Jen, Dita divonis kanker darah, aku tak bisa meninggalkan Dinar, dia harus
sendiri menghadapinya.”
“Aku yakin
dia bisa, dia perempuan dewasa , dia punya kemampuan mendampingi anaknya.” Tapi , mas Priyo tetap dengan pendiriannya,
aku hanya bisa pasrah.
“Apa mas
mencintai mbak Dinar?” Mas Priyo tak menjawabnya.
“Aku mengijinkan
kau menikah dengan mbak Dinar dengan satu syarat, ceraikan aku.” Mas Priyo agak
tersentak , dan menyuruhku untuk
berpikir dua kali. Aku tetap pada syaratku, aku merasa tertipu , aku sudah
yakin bahwa mas Priyo benar-benar mencintaiku , ternyata dia lebih memilih
sahabatnya daripada cintaku. Apa lagi yang harus kutunggu , tak ada, lebih
baik aku lepaskan cintaku untuk orang
lain . Tertipu, entahlah cinta kadang buta, dari awal aku sudah merasakan
keanehan hubungan mas Priyo dengan mbak Dinar tapi cintaku terlau besar buat
mas Priyo sehingga hal yang sebetunya sudah terlihat dari awal tertutupi dengan
gegap gempita cinta. Aku tersentak kaget saat aku mulai merasakan teriknya
matahari dan kulihat jam mununjukan jam dua belas siang, astaga , aku begitu
lama melamun! Aku bergegas pulang, aku yakin ibu sudah menungguku makan siang..
Aku hanya
bisa mengenang pernikahanku yang hanya bisa bertahan dua tahun saja dan aku
sudah memutuskan tak mungkin aku mempertahankan kalau ada dusta diantara cinta.
“Jenar, ibu
menghargai keputusanmu, tapi kamu juga harus kembali membuka dirimu buat pria
lain,” nasihat ibu.
“Sabar bu,
aku masih ingin sendiri dulu.” Sampai sekarangpun aku masih membayangkan bahwa
cintaku tak akan selesai sampai disini sampai aku tahu aku sudah tertipu
cintanya yang justru mendua saat-saat aku masih mengecap keiindahan
pernikahan.. Aku tak mau di duakan oleh mas Priyo, aku ingin jadi ratu baginya,
tapi sekarang semua sirna ditelan bumi. Entah kapan aku bisa melabuhkan cintaku tapi saat ini aku
masih ingin menikmati kesendirianku. Dari kejauhan terdengar suara azan
mangrib, kuambil air wudhu dan kupanjatkan doa agar kelak aku mendapatkan
pangeran yang akan selalu menemaniku sampai akhir hayat hidupku, semoga!
0 komentar:
Posting Komentar