Gambar dari sini
Hari itu aku kembali mengajar ketrampilan di sebuah pondok
belajar bagi anak-anak tak mampu. Dan kembali aku melihat Yudi sudah duduk di
bangku paling belakang. Yudi tak pernah bisa duduk diam , selalu bejalan-jalan
di kelas, berapa kalipun disuruh untuk duduk , dia akan kembali berjalan-jalan
di kelas. Hampir semua anak sulit untuk mau menerimanya. Selain jahil, Yudi
juga selalu mencari perhatianku dengan selalu banyak bertanya dengan pertanyaan
konyol yang sebetulnya tak perlu dia lakukan, tapi aku tak pernah terpancing,
aku biarkan saja. Yudi kadang kembali tenang, kadang kalau energinya masih
banyak dia akan tetap bertanya terus sampai aku kewalahaan menjawabnya.
“Bunda,
mengapa ini harus di lem?” aku sebetulnya sudah mulai kesal, mengapa dia harus
bertanya, pastilah namanya sambungan kertas itu ya harus dilem.
“Iya, Yudi,
dilem yang rapih agar bisa tersambung,”aku memberikan senyum termanisku
untuknya. Aku mulai membantu Nisa melipat kertasnya , terdengar suara berdebum
di belakangku. Bruk!!!! Kursi Cika jatuh, ternyata Yudi sengaja menjatuhkan
kursi Cika.
“Yudi,
angkatapakmu na kembali kursiku,” teriak Cika.
“Kalau aku
gak mau gimana,” tantang Yudi.
“Harus
mau,” tukasku sambil menatap tajam ke dalam bola matanya ,ada sesuatu yang
hilang dari bola matanya, celuknya tak bersinar. Yudi malas-malasan menganugkat
kursinya. Aku mendekatinya dan menyuruhnya mengerjakan tugasnya dan aku
membantunya ada sedikit senyum Yudi untukku.
“Makasih
bunda, aku harus duluan ya ditolong bunda.” Yudi mulai mengerjakan tugasnya.
“Boleh ,
duluan yang bunda bantu tapi kamu harus bisa duduk tenang tidak mengganggu
teman-temanmu,”ujarku, Kulihat Yudi tertawa lebar, giginya yang menguning
tampak kontras dengan wajahnya yang hitam. Baru satu anak saja yang
superaktif membuatku kadang kurang sabar
untuk melayani mereka. Tapi saat pekerjaan ketrampilan selesai dan melihat tawa
dan senyum yang mereka pancarkan , aku akan meraskan kebahagiaan dan aku
melihat Yudi dengan hasil karyanya memperlihatkan hasilnya dengan memegangnya
di tangannya dan diangkat keatas sehingga semua bisa melihat dan tawanya akan
terlihat. Yudi dengan gigi kuningnya.
Pagi itu
aku sengaja mampir ke rumah Yudi, ternyata Yudi sudah berada di sungai. Aku
pikir mungkin sedang mandi. Waktu di sana aku melihat Yudi sedang memecah batu
besar untuk dijadikan kerikil.
“Pagi Yud,”
sapaku.Yudi menoleh padaku dan wajahnya tampak terkejut karena kedatanganku, sepertinya
ia tak suka aku datang kemari.
“Kamu gak
suka bunda datang, ya sudah bunda pulang saja,” aku hendak berbalik arah sampai
terdengra suara Yudi.
“Siapa
bilang aku tak suka,’ jawabnya cepat.
“Habis kamu
tak menjawab pertanyaan bunda.” Aku duduk di sisinya, aku mulai memperhatikan
cara kerja Yudi untuk memecah batu.
“Coba, bunda
boleh coba?” tanyaku, aku mengambil batu yang agak besar dan mulai memukulnya
agar hancur tapi aduh sangat sulit dan tanganku terasa sakit.
“Wah, dalam
sehari kamu dapat berapa?”
“Cuma satu
keranjang ini ,” ujarnya sambil menunjuk keranjang yang ada di sisinya dan aku
terbelalak kaget kalau satu keranjang besar itu hanya dihargai sepuluh ribu
rupiah. Astaga, pekerjaan yang begitu berat dengan upah minim.
“Kamu gak
capai Yud?”
“Kalau Yudi
capai mau makan apa keluarga Yudi.” Aku merasakan ada sedikit rasa iba padanya,
mungkin kelakuannya di pondok belajar hanya untuk pelampiasannya karena dia
harus bekerja keras. Aku mulai mengerti akan dirinya dan aku mencoba memahami hatinya,
ternyata Yudi adalah anak yang halus perasaannya dibalik sifat jahilnya.
Sudah
beberapa hari ini aku tak melihat Yudi di pondok belajar, aku merasa kawatir
apakah dia sakit atau memang lebih memilih bekerja dibanding belajar di pondok.
Aku mencoba mendatangi rumahnya sepulang dari pondok . Sebetulnya sudah hampir
malam tapi aku menyempatkan untuk mampir sebentar.
“Bu, Yudi
ada?” tanyanyaku pada ibunya.
“Yudi gak
mau pulang, dia tidur di rumah temannya,” ibunya bercerita kalau Yudi
diberitahu tetangganya kalau bapaknya ada di penjara di kota Bandung. Selama
ini ibunya selalu bilang sama Yudi kalau bapaknya sudah meninggal.
“Ibu gak
tahu lagi , memang ibu yang salah, ibu takut Yudi malu dengan teman-temnnya
kalau dia tahu bapaknya dipenjara.” Ibunya mengusap air matanya, aku melihat
anak kecil menempel terus di tubuh ibu
Yudi dan menatapku dengan bola matanya yang bulat.
“Rumah temannya
dimana, biar besok aku akan mengunjunginya” Ibunya menyebutkan rumah temannya
yang dekat dengan rumahnya hanya beda gang saja.
Yudi
menangis saat aku mengajaknya pulang, dia ingin sekali bertemu dengan bapaknya.
“Aku rindu
bapak, aku ingin bertemu dengan bapak,”tangisnya , aku terdiam sebentar sebelum
aku memutuskan untuk mengajaknya menengok bapaknya di Bandung.
“Benar
bunda?” tanyanya, tak lama kemudian Yudi sudah memelukku erat sekali dan tangisnya
meledak. Belum pernah aku melihat Yudi menangis sehebat ini. Aku raih kepalanya
dan kubawa dalam pelukan eratku, Yudi merindukan bapaknya. Selama hidupnya dia
belum pernah mengenal bapaknya. Menurut ibunya bapaknya dipenjara saat Yudi
baru berusia satu tahun, kini di usianya yang sepuluh tahun , ada rindu yang
mendesaknya ingin bertemu setekah dia tahu bapaknya masih hidup.
“Kalau anak
kecil di rumah itu adikmu? “ Yudi menggelengkan kepalanya.
“Ibu
menemukannya di tong sampah, entah bayi itu dibuang oleh siapa, lalu ibu
memeliharanya, katanya buat aku agar punya teman bermain.”
Esoknya aku
menyempatkan diri mengantar Yudi untuk bertemu bapaknya di lembaga pemasyarakatan
Suka Miskin Bandung. Berangkat dari kota Cirebon pagi-pagi sekali agar Yudi
bisa bertemu dengan bapaknya agak lama. Aku melihat Yudi duduk sangat gelisah
sebentar-bentar mengganti posisi duduknya
“Mengapa
kau gelisah, mau ketemu bapak ya?’ tanyaku, aku melihat ada rasa cemas di
wajahnya.
“Tenang
bapakmu pasti senang bisa bertemu denganmu.” Aku mengusap rambutnya.
“Oh ya
,lihat bunda aku membuat pigura dari dus
bekas,” Yudi menyodorkannya padaku, aku melihat foto Yudi bersanding dengan
ibunya ada dalam bingkai dari dus bekas.
“Bira bapak
gampang mengingat wajahku. Oh, ya Bunda, nanti aku di foto dengan bapak ya
pakai hp bunda,” ujarnya bersemangat, aku tersenyum melihat kegembiraan yang
mulai terpancar menggantikan rasa gelisah yang tadi tampak di wajahnya. Saat
sudah ada di depan lembaga tampak rasa gelisah Yudi makin menjadi, aku pegang
tangannya erat. Setelah mengisi buku tamu dan menanyakan kalau ada napi yang
benama pak Samiun dari kota Cirebon. Aku menggandeng Yudi masuk ruang tunggu tempat
keluarga bisa bertemu dengan para napi. Tampak seorang pria didampingi pegawai
lapas mendekat ke arahku, aku melihat wajah Yudi menegang.
“Pak
Samiun, aku mengantarkan Yudi putra bapak, “ aku menyuruh Yudi mendekat. Pak
Samium diam saja tak bergeming.
“Bapak, aku
Yudi anak bapak,”tangis Yudi meledak keras, tapi pak Samiun hanya diam saja
tanpa ekspresi. Jangan-jangan pak Samiun hilang ingatan atau depresi di
penjara. Yudi menangis dan merangkul ayahnya walau bapaknya diam saja tak
bergeming.
“Bapak,
Yudi rindu,” begitu ratapan Yudi yang membuatku menangis, aku melihat pegawai
lapas memalingkan wajahnya melihat adegan yang memilukan ini.
“Aku bukan
bapakmu, pulanglah,” ujarnya tanpa tedeng aling-aling, wajahnya kaku , tapi
sekilas aku melihat ada air mata yang menggenang di pelupuk matanya. Aku
menarik tangan Yudi untuk aku ajak pulang kembali. Aku menganggukan kepalaku.
Saat itu aku menyuruh Yudi untuk menuju ke depan lagi, aku mengejar pak Samiun.
“Bapak
benar bapaknya Yudi?’ kalau benar , mengapa bapak tak mengakuinya? Aku
menyodorkan foto Yudi padanya.
“Biarlah
dia tidak tahu bapaknya, aku bukan bapak yang baik buatnya, biar dia tak malu
punya bapak yang dipenjara,” pak Samiun melihat foto itu dan saat itu dia
mengeluarkan air matanya dan mualai segugukan keras sekali.
“Tolong
jaga anak bapak,” ujarnya dan membalikan tubuhnya mengikuti pegawai lapas yang akan membawanya kembali ke selnya. Aku
melihat Yudi dari kejauhan. Aku rangkul dirinya.
“Yud, masih
ada ibumu yang menyayangimu, “ aku menggandeng tangan Yudi, aku berjalan
dengannya dalam diam yang panjang, masing-masing dengan pikirannya sendiri.
“Aku rindu
bapak,” suara Yudi samar-samar terdengar.
4 komentar:
8 Februari 2020 pukul 18.14
Seorang anak pasti merindukan sosok ayah. Di satu sisi ayahnya tidak ingin anaknya menanggung malu yah
9 Februari 2020 pukul 11.10
betul bang day
13 Februari 2020 pukul 04.57
wah kok lumayan sedihhh bacanya
13 Februari 2020 pukul 11.14
arenapublik, memang sedih ya, rindu akan ayahnya
Posting Komentar