Gambar dari sini
Aku
memandang penuh kagum rumah Ningsih, semua bisa dibolak-balik oleh kenyataan.
Dulu Ningsih sering berhutang padaku, kini setelah mas Toyib suaminya diangkat
jadi anggota terhormat DPR, semua menjadi lain. Beberapa rumah yang dimilikinya
dan mobil yang berjejer di garasinya yang luas. Aku mengamati rumahnya dan ada
sedikit kecemburuan di hatiku. Mas Adang hanya mampu membelikan keluargaku rumah
yang benar-benar sederhana rumah tipe 21 yang masih mampu melindungi
keluargaku.
“Hai,” sapa Ningsih , tampak Ningsih
memakai gaun yang indah dan sungguh pas dengan tubuhnya yang memang sudah
ideal. Rasanya bajuku yang menurutku
cukup bagus tak ada apa-apanya dibanding yang dikenakan Ningsih
“Wah, Ningsih, enak ya sekarang kamu
sudah mampan,” ujarku. Ningsih tersenyum padaku dan mengajakku untuk duduk di
teras belakang rumahnya yang menghadap ke kolam renang. Aku berdecak kagum
melihat rumahnya yang luar biasa besar, hanya dalam waktu dua tahun mas Toyib
menjabat jadi anggota DPR , betapa kekayaannya melonjak begitu pesat.
Sungguh menyakitkan saat aku pulang
dari rumah Ningsih dengan tangan hampa, Ningsih tak memberikan uang pinjaman pada dirinya dengan alasan yang
tak masuk akal, padahal aku membutuhkan untuk biaya pengobatan Nina di rumah
sakit. Esok Nina sudah diperbolehkan keluar tapi mas Adang belum mendapatkan
uangnya , jadi aku memberanikan diri
untuk meminjam uang pada Ningsih. Aku terduduk lemas di bangku rumah
sakit, kemana lagi aku harus mencari pinjaman uang. Aku melihat mas Adang
tergopoh-gopoh mendekatiku.
“Alhamdulilah Na, aku sudah dapat
uangnya,” tukasnya. Tak terasa air mataku menetes. Aku begitu disibukan mengurus Nina yang masih
butuh perhatian banyak setelah keluar dari ruamh sakit, aku sudah melupakan
Ningsih yang waktu itu membuatku sakit hati saat dia tak mau meminjamkan
uangnya,padahal dulu saat dia kesusahan akulah yang selalu menolongnya.
Bukannya aku ingin dibalas budinya tapi saat dia berlebih dan aku membutuhkan
,Ningsih tak mau membantunya.
“Sudah Na, jangan kau pikirkan hal
itu, kita dulu menolongnya kan ikhlas , jadi jangan pernah menuntut orang untuk
membalas kebaikan kita, sudah nanti Allah yang membalasnya,”tukas mas Adang
saat aku mengeluh padanya. Aku hanya mengangguk lemah.
Aku begitu terkejut saat Ningsih
datang padaku dengan air mata yang terus mengalir.
“Ada apa Ningsih? Tenang dulu,
ceritakan pelan-pelan apa yang kamu hadapi sekarang,” tukasku sambil membimbingnya
duduk . Ningsih bercerita kalau mas Toyib ditangkap karena kepergok menerima uang
suap .
“Mas Toyib punya istri lagi,” pelan
suara Ningsih masuk ke dalam telingaku. Ningsih menelangkupkan kepalanya di
antara kedua tangannya dan kembali menangis.
“Aku bingung dan takut Na.” Aku
peluk Ningsih. Tak terbayangkan lagi
semua dibolak-balik oleh kenyataan Ningsih harus dihantam setelah ada di atas
kesuksesannya. Segala sesuatu yang kini dimiliki Ningsih akan hilang dalam
sekejap saja.Aku menceritakan pada mas Adang apa yang dialami oleh Ningsih .
“Nah, Na, kamu bisa lihat kan, belum
tentu kehidupan yang kaya bisa membuat hati orang akan bahagia. Makanya
bersyukurlah pada hidup kita , walau kita tak kaya, tapi paling tidak hidup kita
bahagia.” Enam bulan kemudian terdengar
kalau mas Toyib dihukum selama 10 tahun dan banyak hartanya yang disita negara.
Aku mendengar kalau Ningsih kembali lagi
ke rumah orang tuanya.
0 komentar:
Posting Komentar