“Tidak
bu, aku tetap pergi.”
“Tidak bisa begitu Dinda. Kamu
jangan terbawa emosi , dengarkan ibu dulu.”
“Sudah bu, aku tak mau dipaksa, aku
tetap akan pergi ke kota. Aku mau kejar
impianku.” Aku tetap ngotot untuk pergi .
Aku terbangun dari lamunanku. Aku hanya termangu melihat jenasah ibu
terbujur kaku. Aku masih tak menyangka
ibu akan secepat ini pergi . Aku baru saja akan menunjukan keberhasilanku
meraih mimpiku di kota, tapi apa artinya semaua ini??? Ibu terbujur kaku di
hadapanku . Sungguh perasaanku campur aduk. Aku menaruh kepalaku di dadanya.
Ingin aku mendengarkan suara ibu lagi. Hampir 8 tahun aku pergi tanpa pernah
pulang. Kemarahanku pada ibu membuatku menjadi kepala batu. Berapa kali ibu
menyuruhku pulang, paling tidak saat lebaran. Tapi semua itu tak membuat hatiku
luluh. Hatiku sekeras batu. Niatku untuk pulang kalau sudah berhasil menutup
nuraniku. Dulu aku sering berbaring di dada ibu apalagi saat aku punya masalah.
Ibu akan selalu mengelus kepalaku.
“Makan dulu nak,”tukas bapak
mengelus kepalaku.
“Belum lapar pak.” Aku membaringkan
kepalaku lagi di dada ibu.
Aku ingat saat lulus SMA, aku ingin
melanjutkan sekolah ke kota , tapi ibu tak mengijinkan . Alasan yang tak masuk
akal. Alasan ibu sudah tua, karena aku anak tunggal dan ibu ingin aku di desa
untuk meneruskan usaha bapak. Bapak hanya
diam, dia hanya diam saja, tanpa bicara Tapi aku memang termasuk orang yang
keras kepala. Betul-betul aku pergi dari rumah di suatu malam . Secara
diam-diam. Tapi saat aku akan membuka pintu, aku melihat bapak menatapku tajam.
Dan bapak hanya memeluk erat dan menganggukan kepala padaku.
“Pergilah nak, capai mimpimu. Tapi
kalau sudah kamu pulang ke mari, ibu dan bapak akan merindukan kamu.” Aku
menangis dalam pelukan bapak. Sunguh aku berterimakasih untuk pengertian bapak.
Tapi memang aku si keras kepala. Aku tak pernah mau pulang ke rumah , bahkan
bapak beberapa kali menyuruhku menengok ibu tapi aku tetap pada pendirianku.
Tak akan pulang sebelum aku sukses. Aku ingin membuktikan kalau aku bisa meraih
impianku pada ibu. Aku tak pernah tahu kondisi ibu seperti apa setelah aku
pergi. Ini salah satu kesalahan besarku. Ibu semenjak aku pergi sering
sakit-sakitan sampai ibu meninggal.
Sampai suatu saat aku merasa aku
harus pulang. Tapi sebelum aku pulang bapak mengabarkan ibu meninggal. Semua
terasa menyakitkan. Ibu pergi sebelum melihatku sukses. Ah, ibu mengapa kau
pulang secepat ini. Aku masih berbaring di dadanyaa. Tapi bapak merangkulku karena ibu harus
dimakamkan. Sudah lima hari ibu gak ada,
hatiku masih sakit. Rasa rinduku terasa menyakitkan dalam hati. Aku harus
menahan rindu pada ibu hanya agar aku bisa menunjukkan keberhasilanku. Ah,
ibu....., aku kini benar-benar merindukanmu.
“Nak,” tukas bapak. Aku menatap
bapak. Bapak terlihat tua. Bapak sudah tak segesit dulu. Dan aku merasa iba
melihatnya, apalagi ibu sudah tak ada. Ada yang mengelitik di hatiku. Apakah
aku tega meningglkan bapak untuk kedua kalinya??? Tapi ini tanpa ada ibu di
sisi bapak.
“Pak, aku akan tingal di sini menemani
bapak. Aku tak mau bapak sendirian . Aku ingin menemani bapak.” Aku sudah tak memikirkan
lagi pekerjaanku di kota, yang tinggal rasa rinduku untuk kembali berkumpul
dengan bapak. Bapak mengelus kepalaku
dan aku merasakan air mata bapak jatuh di kepalaku.
“Kalau kau mau tinggal asal kamu suka, tapi kalau kau lebih memilih
di kota bapak tak akan melarangmu.”tukasnya. Aku peluk lagi erat bapak, aku tak
mau lagi kehilangan orang yang aku cintai. Aku ingin selalu dekat dengan bapak
. Aku ingin bersamanya sambil aku melupakan kesedihan akan kehilangan ibu.
Bersama bapak aku yakin perasaan bersalah aku pada ibu akan hilang.
Gambar dari sini
1 komentar:
13 Desember 2016 pukul 11.24
betul sota zone, bahkan dengan kepahitan sekalipun
Posting Komentar