2 Maaf Untuk Ibu

Rabu, 16 Desember 2015


 Gambar dari sini

Cerpen Ini Ditulis Dalam Rangka Mengikuti kuis #GAZaki4 Bertema Hari Ibu,Desember 2015
  
            Arin masih menyusun benang-benang rajut warna-warni yang dia beli di toko khusus pernak-pernik rajutan ke dalam dus berbentuk hati. Dus itu Arin beli di sebuah toko khusus asesoris dan bentuknya hati dengan tutup terbuat dari kaca. Dari situ akan tampak hadiah yang akan diberikan pada ibunya. Arin tahu ibunya suka sekali merajut. Dulu selagi kecil Arin sering dibuatkan mantel rajut , topi rajut buatan ibunya. Teman-temannya sering iri melihat mantel dan topi rajut buatan ibunya. Mengapa??? Karena barang-barang tadi tak ada di toko. Hanya Arin yang punya. Bukan itu saja ibunya sering membawakan bekal yang setiap hari berbeda dengan aneka kue yang cantik dan enak. Arin tersenyum sendiri mengingat wajah ibunya. Ah, sudah tak sabar untuk mengunjungi ibunya.Arin ingin mengunjungi ibunya saat hari ibu. Arin ingin bersujud di kaki ibunya. Hadiah ini tak seberapa dibanding dengan cinta ibunya padanya. Kasih tulus yang tak pernah berhenti apapun yang terjadi. Arin tahu itu. Tiba-tiba saja air mata Arin menetes perlahan. Cepat dibersihkannya lagi air matanya. Ada perasaan sedih yang menyeruak di relung hatinya yang terdalam. Masih ada bekas hati yang mendendam pada ibunya. Dulu sekali. Saat semuanya terbongkar. Rahasia ibu. Arin mengejap-ngejapkan matanya. Dia tak mau menangis.. Arin terisak perlahan. Kepalanya menunduk, air matanya terjatuh membasahi dus berisi benang rajut. Ah, peristiwa itu sudah lama berlalu, sudah lama.....

            Arin masih ingat , dia gadis ceria. Hidupnya bahagia bersama ibunya. Walau Arin tahu dia belum lengkap kebahagiaannya karena ketiadaan bapaknya. Bapak pergi jauh, tak pernah kembali. Arin tak pernah protes karena dia sudah bahagia dengan kasih ibunya. Itu sudah cukup baginya. Dia tak perlu yang lain. Arin tumbuh menjadi remaja cantik dengan prestasi yang tinggi. Banyak pria yang naksir padanya tapi semua hanya dia anggap teman. Baginya sekolah nomer satu. Itu pesan ibunya untuk sekolah setinggi mungkin agar kehidupan lebih baik. Kepopulerannya membuat salah satu temannya tak suka, padahal Fitri itu tetangganya. Dari kecil mereka berteman. Entahlah Arin merasa semakin hari rasa tak suka Fitri padanya makin tampak. Bahkan Arin mengajak pulang bersamapun ia tak mau. Arin bingung. Salah apa dirinya???? Sampai suatu hari Ada perkataan Fitri yang membuat rasa nyeri hati Arin.
“Pulang yuk Fit,” tukas Arin. Fitri mengangakt bahunya . Fitri menatap Arin dengan tatapan jijik. Arin memandangnay heran. Ada apa dengan Fitri????
“Aku gak mau pulang bersama anak haram .”tukasnya ketus.
“Maksudnya apa?”
“Tanya sendiri sama ibumu.” Fitri berlalu . Arin hanya menghela nafas. Arin tahu Fitri tak suka dengannya. Banyak temanya bilang kalau Fitri iri pada dirinya. Ah, mungkin itu hanya rasa marah Fitri padanya saja. Arin tak ambil pusing dengan perkataan Fitri tadi. Toh selama ini dia baik-baik saja. Arin percaya dengan ibunya. Tapi Fitri selalu mengucapkan beberapa kali kalau Arin anak haram. Bahkan sekarang lebih blak-blakan sampai semua temannya mendengar. Arin terpukul. Perasaannya sakit. Dia pulang dengan berurai air mata.
“Ada apa?”
“Bu, benar aku anak haram?” Arin pandangi ibunya. Arin ingin melihat gelengan kepala ibu.
“Kamu tahu dari mana??  Arin menceritakan apa yang diomongkan Fitri. Bahkan dia menanyakan langsung pada ibunya Fitri. Dan ibunya Fitri membenarkan semua itu. Oh, Arin ingin melihat ibunya mengatakan tidak. Tapi ibu hanya diam saja.
“Bu, tolong jawab jujur. Benar tidak apa yangdikatakan Fitri?” Arin mulai terisak.  Ibunya merengkuh Arin tapi Arin menolaknya.
“Jawab dulu bu,” tukasnya cepat. Ibunya terdiam lama. Perlahan ibunya mulai menceritakan kejadian sebenarnya.  Arin semakin menangis kencang. Apa yang diucapkan Fitri betul adanya.  Dia anak haram!!!!
“Jadi bu aku anak haram?”
“Bukan Arin ,kau anak ibu. Kamu dilahirkan dengan rasa sayang ibu padamu.  Kamu bukan anak haram.”
“Tapi apa namanya kalau anak yang dilahirkan tanpa ayah karena ibu hamil duluan?” Arin menyentak dengan suara keras.
“Maafkan ibu, nak. Itu masa  lalu ibu. Ibu sudah memperbaiki diri ibu. Ibu membesarkan kamu bukan mengugurkan kamu seperti saran bapakmu.”
“Lalu dimana bapakku keparat itu!!!” teriakku.
“Tenang Ain, tenang. Gak baik didengar tetangga.” Ibunya meraih Arin tapi Arin menepisnya dan berlari ke kamar.
“Aku benci ibu. Aku gak mau lahir sebagai anak haram. Sekarang semua mengejekku ,ibu.”tangis Arin begitu jeras. Arin melempar tubuhnya ke kasur dan menumpahkan semua rasa dalam kesdihan yang panjang. Ibunya hanya bisa meneteskan air mata. Sungguh omongan temannya tak bisa dijaga. Dulu dia percaya dengan ibunya Fitri agar merahasiakannya, tapi kini semuanya sudah terbongkar habis. Menyesal mengapa dulu ia mau bercerita pada tetangganya itu. Memang musang berbulu domba itu selalu ada di kehidupan .

Semenjak itu Arin membenci ibunya. Dia mendiamkan ibunya. Arin ingin cepat-cepat lulus SMA dan pergi dari rumah itu jauh dari ibunya. Tapi ibunya tetap menyayangi Arin walau dia tahu Arin tak pernah memaafkannya. Begitu saat Arin sudah kuliah di Jogja, dia tak pernah datang ke rumahnya lagi . Bahkan saat leabran tiba. Dia tak mau lagi bertemu muka dengan ibunya. Arin hanya mengirim pesan singkat kalau dia butuh uang atau kebutuhan lainnya. Semua usaha ibunya untuk bisa dekat dengan anaknya , lenyap sudah. Kesedihan yang mendalam bagi ibunya. Rasa sepi harus ia alami hari demi hari. Di hari lebaran dimana orang lain bergembira , dia harus sendiri . Tak ada satupun yang mengunjunginya. Dia sudah dianggpa aib oleh banyak tetangganya. Ternyata hukuman sosial lebih kejam daripada dirinya yang berjuang keras untuk menghidupi Arin tanpa bantuan orangtuanya.  Ibu Arin hanya bisa berdoa, semoga suatu saat pintu hati Arin bisa terbuka dan bisa menerimanya kembali. Dalam sujud doanay, terselip doa untuk Arin. Anak yang dia cintai melebihi segalanya.
“Arin , katanya kau sudah lulus. Selamat ya. Kapan di wisuda?” pesan singkat dikirim ibunya.
“Sudah. Ibu tak perlu datang. Arin hanya butuh uang untuk pelantikan nanti.” Begitu jawabannya. Ibunya menangis dalam diamnya. Ternyata anaknya belum mau memaafkan dirinya. . Tapi ibunya tak kehilangan akal. Diam-diam dia datangi kampusnya dan bertanya kapan acara wisudanya.  Ibunya ingin melihat Arin anaknya diwisuda . walau dia tahu Arin tak mengijinkan dia datang, tapi dirinya ingin sekali melihatnya. Dia akan melihatnya dari jauh. Dari jauh. Benar saja saat acara wisuad itu, ibunya hanya berdiri dari kejauhan melihat semua upacara pelantikan wisudawan . Satu persatu maju ke depan. Saat terdengar suara yang menyebutkan nama Arin Purwati, dia melihat Arin maju ke depan. Tak terasa air matanya menetes perlahan-lahan.
“Arin anakku. Kamu cantik nak. Ibu bangga denganmu. Selamat ya nak. Doa ibu selalu.” Ibunya melihat Arin turun dari podium. Dia beranjak dari ruang itu perlahan. Dia tak mau Arin tahu kalau dia datang untuk Arin. Ibunya takut Arin marah.
“Bu, mana anaknya?” tanya satpam di sana. Dia hanya menggeleng dan bergegas keluar. Tapi ada pandangan mata yang memandang dari kejauhan. Arin melihat ibunya datang tapi dirinya tak mau beranjak dari tempatnya. Ada rasa perih dan rindu pada ibunya tapi hatinya masih marah.

Sudah hampir tiga tahun seteah lulus Arin masih dengan kekerasan hatinya. Dia tetap tak mau datang ke rumah ibunya. Arin sengaja kerja di Bali agar lebih jauh dari rumah ibunya. Arin sudah mendapatkan kehidupannya sendiri. Dia sudah mandiri tapi di hatinya ada kekosongan yang kadang Arin tahu, dia butuh ibunya. Ternyata kemarahan bisa menutupi hati kecilnya. Dia kesepian dalam kemarahannya.
“Halo, ini siapa?” suara perempuan yang ia tak kenal menjawab sapaannya.
“Ini Arin kan. Aku bu Broto teman ibumu.” Arin mengingat teman ibunya yang bernama bu Broto. Ah, Arin ingat dia teman ibunya di pasar. Mereka jualan di pasar dan losnya mereka berdekatan.
“Ada apa bu?”
“Pulanglah nak, ibumu sakit.” Arin tertegun. Ada rasa rindu tapi rasa marahnya melebihi rasa rindunya. Arin tak bergeming . Dia diam mematung. Entah mengapa dia belum mau memafakan ibunya. Sakit ibunya tak membuatnya luluh untuk mendatangi ibunya. Sungguh tak ada pintu maaf bagi ibunya di hati Arin. Kekerasan hati menutupi rasa kasihnya pada ibunya, hanay marah dan dendam yang kini ada di hatinya. Sampai suatu hari Arin bertemu dengan seorang ibu yang kesakitan di ujung jalan rumah kostnya.
“Ibu kenapa? Sakit?” Dia mengangguk.
“Tolong , perutku sakit.” Arin membawanya ke rumah sakit. Ternyata ibu itu sudah lama terkena kanker rahim. Saat di rumah sakit ada perasaan yang tiba-tiba saja menyentuh dirinya. Arin melihat ibu itu seperti ibunya. Tak ada siapa-siapa yang mendampingi ibu itu. Anak-anaknya tak peduli lagi dengannya. Sementara dia??? Ah, aku juga sama dengan anak-anak ibu itu, batin Arin . Tiba-tiba saja Arin ingin pulang. Ingin memeluk ibunya. Ingin meminta maaf  atas kekerasan hatinya. Telah mengabaikan ibunya. Kini Arin merasakan rindu yang sangat dalam untuk ibunya.  Tangisan hatinya mengetuk-ngetuk hatinya seperti pisau yang menguliti hatinya. Perih . Arin berjanji akan segera menengok ibunya. Ternyata di lubuk hatinya terdalam masih ada kasih untuk ibunya. Ibu, tunggu Arin, Arin akan pulang secepatnya. Arin akan bersujud minta maaf pada ibu. Ibu pasti mendeita . Ah, semakin sakit hatinya. Rindu yang menyesakan dadanya dan membuatnya terus menangis. Arin memilih cuti untuk menemui ibunya dan meminta maaf daripada melewati malam tahun baru bersama teman-temannya

Arin masih melihat hadiah yang nanti akan diberikan untuk ibunya. Ah, Arin sudah membayangkan pastinya ibunya akan suka dengan hadiahnya. Cepat-ceapt dibereskannya barang-barangnya. Arin akan berangkat dengan pesawat  keberangkatan yang paling pagi. Arin sudah tak sabar untuk bertemu dengan ibunya. Arin memegang bingkisan untuk ibunya. Dari luar tampak benang-benang rajut yang cantik warnyanya. Arin tampak tersenyum . Arin sudah membayangkan pertemuan yang indah. Arin tahu ibunya pasti juga merindukannya. Walau dari bandara Atin masih harus menempuh tiga jam perjalanan lagi ke Bandung, Arin tetap sabar.  Arin memandang kota Bandung yang tampak semakin semrawut. Dimana-mana macet jalannya.
“Stop pak, di umah bercat puih itu,”tukas Arin sambil menunjuk rumahnya. Arin bergegas menuju rumahnya. Sepi. Berkali-kali diketok rumahnya tapi tak ada satupun yang keluar.
“Ibu,ibu, Arin datang bu.”  Ah, telepon saja bu Broto teman ibu. Arin mengambil ponselnya.
“Halo,Bu Broto?’
“Iya.”
“Bu, ini Arin, ibu kemana ya kok gak ada di rumah?” Tiba-tiba saja lutut Arin bergetar kuat, tubuhnya lemas . Hampir saja Arin jatuh, Arin memegang gerendel pintu untuk menopang tubuhnya. Arin duduk di lantai teras rumah. Air matanya mengalir deras. Ibu sudah pergi. Arin merangkul kakinya, air matanya terus menaglir. Dia masih terisak saat bu Broto datang .
“Nak, bangun .” Bu Broto menuntun Arin duduk di bangku depan rumah. Bu Broto menceritakan saat dia menilpun Arin karena ibunya sakit dan Arin tak mau datang, ibunya semakin  parah. Akhirnya meninggal , bukan karena sakit tapi karena rindu pada Arin.
“Dia rindu padamu Arin. Di masa tuanya dia ingin berdekatan denganmu. Dia semakin hari semakin lemah. Tak ada gairah hidup. Dia ingin sekali bertemu denganmu. Tak lama ibu telepon kamu itu, dua hari kemudian ibu meninggal.” Arin terdiam. Penyesalan selalu datang terlambat. Kini ibunya telah tiada. Dia tak bisa bertemu lagi . Tak bisa memberikan hadiah . Tak bisa meminta maaf atas kesalahan dirinya pada ibunya. Arin menyesal sekali. Sungguh tak menyangka akan berakhir seperti ini. Arin hanya bisa menangisi makam ibunya. Ibu, maafkan aku.....



6 Bingkisan Natal Yang Tak Pernah Sampai

Rabu, 09 Desember 2015




            Aku termangu saat aku menyadari Rara tak ada lagi. Bingkisan Natal  ini masih aku pegang . Hatiku berdebar kencang , nafasku memburu . Aku tak pandai untuk menutupi perasaanku. Perasaan kecewa. Mengapa Rara harus pergi????? Aku hanya ingin bersahabat dengannya.
            “Maaf Tora, Rara memutuskan untuk tinggal di neneknya di Belanda,”tukas ibunya.
            “Oh, begitu ya. Aku pulang dulu.” Aku melangkahkan kakiku perlahan dengan sejuta rasa yang membuat hatiku perih. Sangat perih. Berapa tahun kita berteman???? Kau pergi tanpa kata, tanpa pernah mengucapkan selamat tinggal padaku. Apa salahku Ra???? Sampai-sampai kamu melarang ibumu untuk memberikan alamatmu di sana. Aku bingung Ra, salah aku apa???? Tolong jawab sekali saja, agar aku tahu kesalahanku. Agar aku bisa memperbaiki diriku. Pasti akan aku ijinkan kau pergi???? Tapi kini aku hanya menyimpan perih di hati. Luka yang menganga ,berdarah. Engkau pintar menorehkan luka Ra, padahal aku tahu dulu engkau tak begitu Ra. Tapi sekarang mengapa kau begitu padaku??? Apa salahku Ra??? Tak habis-habisnya aku menyesali kepergian Rara. Rara teman kecilku, teman yang selalu ada untukku.

            Aku  selalu ingat Rara. Dia teman kecilku. Teman bermainku. Kalau tak aku yang main ke rumah Rara, pasti Rara yang main ke rumahku. Sampai aku menginjak remaja. Pertemanan berlanjut terjalin . Aku selalu merasa nyaman dengannya. Rara itu apa adanya. Dia selalu jujur padaku.
            “Lihat Ra, bisa gak kamu ngalahin aku nangkap belut,”tukasku sambil menunjuk belut-belut yang banyak di sawah milik pak RT.
            “Bisa, apa susahnya.” Dan setelah hitungan ketiga, aku dan Rara mulai berlomba menangkap belut. Tak peduli tubuh kami kotor semua , hanya tawa yang terdengar di sawah. Berhenti setelah yang empunya marah karena kami merusak sebagian tanaman padinya. Kami berlari dengan sekantung belut di tangan. Kami tertawa bersama. Itu hanya salah satu kenangan aku bersama Rara. Setiap lebaran datang Rara akan datang ke rumahku. Dan saat natal tiba aku yang datang mengunjunginya. Itulah aku dan Rara. Persahabatan kami begitu akrab dan lintas perbedaan yang selalu menyatukan dalam kasih sayang. 
            “Pokoknya kita gak boleh berpisah,”begitu katanya padaku. Aku hanya mengangguk setuju. Ah,  selalu bahagia bersamanya.

            Desember selalu megingatkan aku dengan Rara. Ini sudah Desember ketiga Rara pergi tak pernah kembali. Aku selalu menunggunya datang tiap bulan Desember. Ingin sekali Rara datang untuk merayakan natal bersama keluarganya. Tapi ini sudah tahun ketiga dia tak datang. Aku menyingkap jendela. Aku pandangi jendela kamar Rara pagi ini. Aku ingin Rara ada di sana untuk datang padaku. Ah, Rara mengapa kamu putuskan persahabatan kita, mengapa Ra???? Tiba-tiba aku melihat bayang-bayang Rara di jendela kamarnya. Aku tertegun. Rara???? Aku bergegas turun dan mendatangi rumahnya.
            “Ada apa Tora?” Aku memandang ibunya
            “Rara datang natal ini?” Ibunya menggeleng sedih.
            “Entahlah Tora, ibu juga gak mengerti Rara kenapa. Dia tak pernah mau kembali ke rumah , ”keluhnya. Aku membalikan tubuhku dan kembali dengan bingkisan natal yang tak pernah sampai pada Rara. Bingkisan yang terus aku simpan sampai Rara yang akan menerimanya. Desember bagiku adalah harapan untuk bisa bertemu dengan Rara. Desember bagiku bulan yang selalu aku rindukan seperti aku merindukan Rara akan datang untuk menjadi sahabat kecilku lagi. Aku akan selalu menunggumu Ra. Desember, nantikan aku lagi di tahun depan. Aku akan menunggumu!!!!