3 Gantung Diri

Sabtu, 27 Agustus 2016




Gambar dari sini
     
                 Suara dengungan  mesin berat yang berdengung keras di telingaku, saat aku melihat dengan kepalaku sendiri , semua lapak-lapak dihancur leburkan oleh mesin –mesin berat. Aku hanya berdiam diri terpaku , apa yang menjadi mata pencaharianku kini lenyap bersama suara-suara berdengung yang keluar dari mesin-mesin berat itu.
            “Kita tak bisa berbuat apa-apa lagi Mince,” tukas Desy dengan kepala menunduk, memang tidak bisa apa-apa lagi,  aku melihat hanya pasrah. Sudah berhari-hari kami harus berdemo, berpanas-panasan agar tempat lokalisasi ini tidak ditutup, tapi semua itu tak membuahkan hasil, mesin-mesin itu tetap berdengung dan menghancurkan lapak-lapak menjadi abu rata dengan tanah.
            “Apalagi yang bisa kita buat Desy, semua sudah habis dari kita. Kita harus bekerja apa lagi, satu-satunya penghasilan kita ya dari sini. Apa mereka tidak tahu, aku bekerja di sini menahan pilu, rasa sakit ,agar keluaragku bisa hidup dan menyekolahkan adik-adikku agar mereka tidak seperti diriku, sampah masarakat,”keluhku, suaraku tampak tak terdengar Desy, dia masih berteriak-teriak histeris pada petugas. Aku menggeretnya ke tepi.
            “Sudah, sudah Des, mau apa lagi ,kita gak bisa apa-apa,”tegurku.
            “Gimana sih kamu, emangnya kamu sekarang mau kerja apa, yang kamu bisa kan hanya pamer tubuhmu saja,”teriak Desy. Aku sedikit tersinggung dengan ucapannya tapi aku tahu Desy hanya emosi sesaat saja, pikirannya sedang kacau, apalagi dia butuh biaya besar untuk pengobatan ayahnya. Aku merangkul tubuh Desy yang meronta-ronta terus dan aku sudah mulai kelelahan untuk menenangkannya.
            “Des, jangan nangis, aku jadi sedih, diamlah dulu,”tukasku dan aku membawanya ke tepi dan kusodorkan air mineral padanya. Aku melihat dia sedikit tenang.

            Malam itu, aku terpekur lama dalam diam hanya ditemani dengan suara jangrik dari luar kontrakanku. Semua hancur rata dengan tanah, apa lagi yang aku bisa kerjakan untuk mendapatkan penghasilan, semua lenyap seketika. Aku membayangkan mak, adik-adikku akan menunggu uang kirimanku dan Mirna yang butuh uang untuk bayar uang semesterannya. Sore tadi, Mirna menelpunku untuk mengirimkan uang untukknya.  Aku buka lemari dan aku melihat uang simpananku yang semakin menipis, karena sudah hampir sebulan aku tak bekerja. Astaga, apa yang harus aku perbuat??? Berdoa??? Apa aku masih layak untuk berdoa pada Allah??? Aku sudah berkalang dosa, sudah terlanjur basah dengan dosa, untuk apa lagi aku harus berdoa padaNya???? . Keluargaku memang keluarga petani, ayahku menggarap sebidang tanah miliknya , tapi saat aku berusia 14 tahun ,abah harus menutup mata karena serangan jantung. Terpaksa mak harus banting tulang untuk bekerja di sawah, tapi apalah artinya tenaga perempuan yang harus bekerja sendirian di sawah, yang pada akhirnya sawahnya berpindah tangan pada juragan kaya di desaku. Akhirnya mak hanya bisa bekerja sebagai buruh tani saja. Selepas SMP, aku tak bisa melanjutkan sekolah dan membantu emak menjadi buruh tani. Upah dari buruh  tani tak seberapa, apalagi kalau musim paceklik , pendapatannya tidak seberapa, malah seringkali aku dan mak memilih tidak makan dan membiarkan adik-adikku yang makan.

            Sampai suatu saat aku diajak salah satu temanku Desy bekerja di kota. Aku membujuk mak untuk mengijinkan aku untuk pergi bersamanya, aku melihat kehidupan keluarga Desy mulai membaik setelah Desy bekerja di kota.
            “Mak, ijinkan Minah, pergi ke kota bersama Desy. Minah mau mengadu peruntungan di kota, siapa tahu bisa mengubah nasib keluarga kita,”tukasku menatap wajah mak penuh harap, tampak ada keraguan dari wajah mak.
            “Tapi, kamu perempaun Minah, lebih baik kau di sini saja , membantu mak.” Mak menatapku penuh harap agar aku tak berangkat tapi aku tak bergeming, niatku begitu kuat, aku harus bisa memberikan uang yang banyak untuk mak, agar adik-adiku bisa sekolah tinggi, seperti harapanku dulu ingin menjadi guru. Pandangan mak yang sedih, membuatku agak ragu meningalkan keluargaku tapi aku harus berbuat sesuatu untuk keluarga ,apapun itu.
            “Aku pergi dulu mak,” aku mencium tangan ibuku yang sudah penuh kerutan.
            “Kalian belajar yang benar, bantu dan jaga mak ya,”ujarku memeluk satu-satu adikku, mereka menangis bersamaan saat aku melangkahkan kakiku keluar rumah, aku berusaha untuk tak menoleh lagi. Selamat jalan, kampungku, aku akan datang kembali saat aku sukses kelak, sejuta harapan aku letakkan di kota agar hidup keluaragku berubah. Lebih tak kusangka lagi, aku dibawa Desy ke suatu tempat yang gelap dan remang-remang dan kalau malam hari terdengar hingar bingar suara musik.
            “Ini tempat apa Des?’ tanyaku.
            “Nanti kamu juga tahu,”tukas Desy, aku menurut saja, sampai suatu malam aku dijemput oleh pria dewasa yang gagah ke sebuah hotel dan di sanalah aku ditidurinya. Sakit di selangkanganku tak seberapa daripada rasa hancur hatiku, beginikah pekerjaan yang dijanjikan Desy??????
            “Coba Min, kamu pikirkan, kamu bisa apa dengan pendidikan hanya SMP? Gak ada, paling hanya pembantu. Gajinya seberapa??? Gak cukup, paling hanya bisa hidup buat diri sendiri, kita harus menghidupi keluarga kita. Inilah yang bisa kita lakukan Min,”tukas Desy seraya menatapku dengan tajam. Aku hanya tertunduk, rasanya harga diriku lenyap dengan hilangnya keperawananku, sungguh membuatku diriku muak saat itu. Mau kembali ke kampung, aku tak sanggup melihat mak, yang dulu melarangku pergi, akhirnya aku bertahan di sini dan mengubah namaku menjadi Mince.

            Aku cepat belajar dari pengalaman teman-teman di lokalisasi dan akhirnya aku menjadi primadona di sana, banyak uang yang bisa aku kumpulkan dari memuaskan nafsu binatang pria hidung belang. Uang yang kukirim ke kampung sudah cukup untuk menyekolahkan adik-adiku bahkan rumah  aku perbaiki dan menjadi pantas disebut dengan rumah. Tapi satu yang tak pernah aku lakukan,adalah pulang ke kampung walau saat lebaran tiba.  Berkali-kali di setiap menjelang lebaran, mak selalu membujukku untuk pulang tapi aku selalu memberikan alasan agar aku bisa menghindar untuk pulang. Aku tak sanggup melihat mak dan adik-adikku yang menganggap aku sebagai pahlawan mereka padahal kalau mereka tahu uang yang mereka nikmati adalah uang haram, sungguh aku tak mau itu terjadi, biarlah mereka tetap menganggapku pahlawan mereka.
            Mbak, kata mak, lebaran ini harus pulang, mak sudah bisa membeli sawah milik kita dulu,”tukas Dino dari teleponnya.
            “Gimana ya Din, mbak gak dapat cuti dari bos mbak, karena pekerjaan saat lebaran makin menumpuk, nanti saja mbak pulang kalau waktu mbak senggang,”tukasku.
            “Mbak ,selalu ngomong begitu, kasihan mak, mak sudah rindu dengan mbak,” ujarnya kembali. Aku terdiam lama sekali, tapi aku sendiri merasa malu untuk kembali ke kampung, rasanya diriku sangat kotor untuk menginjakan  kaki di kampung  kelahiranku. Sejak kecil, aku sudah diajarkan mengaji oleh abah dan banyak mendapat wejangan tentang agama dari abah, tapi saat ini aku bergelimangan dengan dosa, apa masih pantas aku pulang ?????
            “Dino, tolong mbak, ya, kamu sudah besar , bujuk mak agar mak mau mengerti kesibukan mbak,”tukasku, tak terdengar suara lagi ,hanya suara helaan nafas panjang Dino.
            “Ya, sudah mbak, jaga baik-baik mbak. Oh, ya mbak doain, Dino, bulan depan Dino mau ikutan tes masuk kepolisian, biar bisa masuk.”
            “Baik, mbak akan selalu mendokan kalian semua.” Aku tutup ponselku. Hampir sepuluh tahun aku tak pulang ke kampungku, aku rindu suasana rumah, rindu sekali, belaian mak di kepalaku.Andai mak tahu pekerjaanku, apa yang akan dikatakan mak?????? Sampai akhrinya walikota Surabaya akan menutup lokalisasai Dolly, yang menurutnya akan merusak moral bangsa dan menghancurkan anak-anak yang ada di sekitar gang Dolly. Aku hanya bisa pasrah, apa lagi yang harus aku perbuat ???.  Kini aku menatap Desy yang masih saja menangis di sampingku, aku juga tak tahu harus berbuat apa. Pulang ataukah aku harus mencari pekerjaan lain, tapi apa???? Aku tak punya keahlian.

            “Mbak, apa uang untuk semesteran sudah dikirim, soalnya batas terakhir lusa,”tukas Mirna di ujung telepon, aku termangu sesaat.
            “Iya, nanti mbak kirim,”tukasku cepat. Selepas aku mengirim uang untuk Mirna, aku melihat isi dompetku hanya untuk hidupku seminggu ke depan, aku belum bisa mencari jalan keluar yang baik. Aku merebahkan tubuhku di kasur, pikiranku kusut, benar-benar kusut. Terdengar suara gedoran di pintu kontrakanku.
            “Mince, cepetan bayar uang kontrakannya , elu sudah nunggak dua bulan, jangan pakai alasan gak punya duit,” tukas bu Iyan
            “Ibu, aku baru dipecat, tolong beri aku waktu lagi, pasti aku bayar,” tukasku cepat.
            “Janji-janji melulu, kapan bayarnya. Kalau sampai lusa tak bayar, kamu harus keluar dari kontrakanku, masih ada yang mau ngontrak kamar ini kok,” tukasnya garang. Kembali aku rebahan di dipanku, dan samar-samar ada yang membisikanku perlahan tapi begitu jelas di telingaku.
            “Bunuh diri saja, pasti selesai urusannya, gantung diri saja, gantung dirimu.” Terus suara itu mendengung di telingaku terus menerus , membuatku menutup telingaku.
            “Yo, cepat , bangkitlah, bunuh diri saja, selesai sudah.” Suara-suara itu memanggil-manggil terus menerus membuatku ingin berteriak dan aku sudah tak tahan lagi, aku berdiri di atas  kursi dan sudah kugantungkan kain di plafon.
            “Ayo, teruskan , teruskan, bunuh dirimu,” suara itu terus menerus merasuk ke dalam telingaku dan aku tak sadar sudah menarik kain dan aku tak ingat apa-apa lagi!!!!!!

6 Malam Terkutuk

Jumat, 12 Agustus 2016




Gambar dari sini 
 
Desa Pattaneteang di kecamatan Tompobolu di Kabupaten Banateng sungguh indah. Pegunungan yang mengelilingi desa ini memberikan kesan tersendiri. Udara yang masih sejuk jauh dari polusi udara. Hampir semua penduduknya bertanam kopi. Kopi dari desa ini kopi terbaik yang mempunyai cita rasa yang berbeda dengan daerah lainnya. Akupun pernah merasakan banyak rasa kopi dari daerah di Indonesia. Tapi ya kopi Torajalah yang paling aku suka. Ya, mau gimana lagi dari kecil aku sudah biasa mencium aroma kopi Toraja, minum kopi Toraja. Begitulah , karena aku lahir di desa ini . Aku merupakan bagian dari desa penghasil kopi yang enak rasanya. Sekarang saat aku berdiri di tepian tebing dekat kebun kopi milik ambe(ayah). Ambe mulai menanam kopi di ladangnya yang dulu masih kecil. Hasil ladangnya semakin menghasilkan dan akhirnya ambe punya kebun kopi yang luas. Mulai saat itu kehidupan aku mulai berubah . Kesulitan hidup mulai menghilang tergantikan dengan kehidupan yang layak bagiku dan kakak baine (kakak perempuan).
            “Hey , apa kareba sangbaine (apa kabar)?” . Aku membalikan tubuh melihat siapa orang yang menyapa sepagi ini di kebun kopi ambe. Ah, Bujang teman sepermainanku dulu sekali.
            “Karebo melo (kabar baik).” Ah, Bujang masih seperti dulu hanya sekarang tampak otot tangannya menyembul tanda dia pekerja keras di kebun miliknya.  Sebentar kemudian Bujang berpamitan hendak ke kebun kopinya, aku mengiyakan dan menatap punggungnya mulai menjauh.  Terasa seperti film yang berputar . Kini aku mulai memutar film , cerita yang tersembunyikan oleh waktu tapi maih terekam baik dibenakku.

            Aku meninggalkan desaku hampir tujuh tahun yang lalu. Memang tujuan aku untuk sekolah di Jakarta, tapi ada satu hal yang hanya keluagaku saja yang tahu. peristiwa  yang membuatku harus pergi dari desa ini. Harus. Walau kini aku sudah sukses di Jakarta , ternyata kepergianku menambah penderitaan kakak Ida. Dia kehilangan ingatannya. Semua berawal dari ambe. Betul semua dari ambe. Aku masih ingat . Ambe adalah pekerja keras. Dengan bantuan indo (ibu)  ambe bisa memperluas kebun kopinya . Banyak hasil yang didapat dari kebun kopinya, tapi ternyata kehidupan yang layak bagi aku dan keluarga tak membuat menjadi bahagia. Uang yang dihasilkan ambe dari kebun kopi ternyata membuat mata hatinya tertutup. Banyak perempuan-perempuan yang tertartik dengan ambe. Dan itu membuat ambe menjadi sombong. Dia lupa dengan indo yang turut berjuang untuk keluarga ini. Ambe lupa segalanya. Ambe lupa segalanya. Ambe lupa kalau di rumah ada yang menunggunya. Istri dan anak-anaknya. Dia mabuk dengan kekayaaannya. Banyak yang memujanya. Padahal ambe tak tahu siapa yang mencintai sungguh dengan hati tulus?? Hanya indo, hanya indo bukan perempuan-perempuan genit yang hanya tau ambe punya duit saja. Dulu saat ambe gak punya uang apa mereka naskir dan suka sama ambe???? Tak ada satupun?????.

            Rol film mulai berputar kembali. Aku melihatnya dengan jelas. Aku sering melihat indo menangis diam-diam di kamarnya.
            “Indo meanngis?” aku mendekatinya.
            “Apa ambe gak pulang lagi?”” tanyaku . Diam tak ada yang bicara. Ida, kakak hanya megintip dari celah pintu dengan tatapan takut. Ida kakak baineku itu memang lemah. Tubuhnya kurus , mungkin kurang gizi dan lemah dalam berpikir. Di sekolah juga dia paling bodoh. Jadi setelah lulus SD, kakak Ida hanya di rumah belajar ngaji di pesantren di seberang desa . Aku hanya bisa memeluk indo dengan erat. Indo terisak dalam pelukanku
            “Sabar , indo, mungkin ambe sedang khilaf. Ambe kita doakan saja , biar ambe pulang kembali ke rumah.”  Indo mengangguk kecil. Ah,aku kasihan dengan indo, kasihan. Aku melihat kakak Ida masih mengintip dari celah pintu. Aku sedikit kaget saat aku melihat kilatan tajam dari matanya. Ada sirat kebencian di matanya. Aku berlari keluar kamar.
            “Ada apa kakak Ida?” Matanya melotot dan dicengekramnya diriku kuat-kuat.
            “Sabar kakak, sabar. Tak apa-apa. Ambe akan pulang,”tukasku menenangkan kakak Ida.
            “Dia tak akan pulang-dia tak akan pulang,”jeritnya semakin keras.  Indo cepat merangkul kakak Ida dengan erat. Aku begitu marah dengan ambe. Kemana dia??? Saat di rumah ini semua butuh ambe, dia malah  tak ada.. Aku bergegas keluar rumah dan mulai mencari ambe.  Aku bertanya pada pak Rustan yang sedang lewat dekatku.
            “Dimana ambe?”
            “Biasalah di warungnya si Inah.” Pak Rustam menatapku tajam dan sedikit mencibir padaku. Aku tak mempedulikannya lagi, aku bergegas ke warung Inah. Warung Inah memang dikenal tempatnya nongkrong orang-orang yang mabuk dan orang-orang yang main perempuan.  Aku melihat ambe dikelilingi perempuan-perempuan cantik dengan pinggul dan dada yang berisi . Ambe bak raja dikelilingi inang-inang. .
            “Ambe, pulang.. Indo menunggumu. Kakak Ida menangis lagi?” Ambe hanya menatapku sekilas lalu tertawa bersaama wanita-wanita itu.. Dan menggebaskan tangannya menyuruhku pulang.
            “Eh, pulang saja kau anak kecil, tahu apa kau? “ tegur Inah pemilik warung .
            “Ambe.” Aku menarik lengannya dengan keras. Ambe menghentakan tanganku keras-keras sehingga aku hampir terjerembab. Aku menahan air mataku keluar. Harga diriku hancur melihat ambe lebih suka di sini dibanding bersama keluarganya. Aku pulang dengan gontai. Akhirnya aku tak sangup lagi menahan air mataku untuk keluar. Sepanjang perjalanan pulang aku terus menangis.
            “Kemana lagi kau, Ira? Kamu menjemput ambemu?” tanya indo. Aku mengangguk pelan.
            “Sudah indo bilang, jangan kau jempur dia, tak akan pulang, ambemu sudah terlena dengan rayuan perempuan-perempuan itu.” Kakak Ida melotot dan kilatan matanya begitu tajam. Aku melihat sorot kebencian ada di matanya. Aku takut sekali melihatnya. Indo menenangkan kakak Ida tapi aku takut dengan sorot matanya, takut sekali. Sorot kebencian kakak Ida suatu waktu akan meletus, entah kapan, tapi pasti  akan meletus suatu saat. Dan itu benar kejadian. Saat itu aku baru saja lulus SMA dan aku diterima kuliah di Universitas Indonesia.

            Rool film kembali berputar , cerita yang belum selesai berputar kembali. Betapa girangnya saat aku tahu aku diterima di UI Jakarta. Aku dari desa , bisa mengalahkan banyak orang untuk berkuliah di tempat yang bergengsi. Tapi kegembiraan hanya sesaat , hanya sesaat. Aku ingat malam itu, saat aku sudah mempersiapkan keberangaktan aku ke Jakarta, tiba-tiba ambe pulang. Entah apa yang membuat ambe pulang lagi ke rumah. Indo dengan ketulusan cintanya menyambut ambe . Aku lihat kakak Ida melihat ambe dengan sorot kebenciannya. Aku takut,aku takut sekali. Indo segera menyediakan kopi panas buat ambe. Dan goreng pisang untuk ambe juga. Ambe duduk diam sambil menikmati kopi panas buatan indo. Aku masih menatap kakak Ida. Hanya sorot mata kebencian yang semakin terlihat. Kakak Ida terlihat tidak suka indo melayani ambe , setelah apa yang diperbuat ambe terhadap keluarga ini.  Aku masuk ke kamar, aku harus melihat lagi apa semua persiapan ke Jakarta sudah selesai belum. Ah, aku harus meninggalkan indo dan kakak Ida. Berat rasanya, tapi aku ingin ambe dan indo bangga kalau salah satu anaknya bisa kuliah dan menjadi sarjana. Itu sebetulnya salah satu impian ambe dan indo juga.
            “Pokoknya ada anakku yang jadi sarjana kelak,”tukas ambe sautu saat ketika kebun kopinya mulai banyak menghasilkan uang. Aku tersentak saat terdengar suara indo menjerit. Aku keluar, tampak ambe terlentang dengan mulut berbusa.
            “Kenapa??  Indo menggeleng keras. Aku melihat kakak Ida menyeringai dan tersenyum puas. Ada apa ini??? Mulut berbusa. Racun??? Lalu siapa yang menaruh racun??? Indo??? Gak mungkin.
            “Ini racun , indo?” Indo menganga tak mengerti
            “Siapa yang menaruh racun di kopi ambe?” Indo ternganga sekali lagi. Berdua beralih pandang ke kakak Ida . Kakaka Ida tersenyum .
            “Rasain dia, ambe sudah jahat sama kita. Ambe patut mati karenanya. Aku tak mau lagi indo menangisi ambe, tak mau.” Suaranya datar dan sedikit bergetar. Aku terduduk lemas. Indo berpikir keras.
            “Jangan beritahau siapa-siapa, ini rahasia kita bersama. Katakan saja ambe serangan jantung,”tukas Indo meyakini aku. Indo tak mau kakak Ida harus berurusan dengan polisi. Biarlah ini sudah takdir ambe, begitu kata indo.

            Keberangakatanku ke Jakarta molor karena harus melakukan pemakaman ambe. Ternyata banyak yang tak suka dengan ambe. Banyak yang mensyukuri kematian ambe. Sungguh sedih melihatnya. Kakak Ida entah setelah itu sering melamun dan mulai mengoceh ngalor ngidiul tak keruan. Aku baru tahu kalau saat indo menyediakan kopi buat ambe, kakak Ida diam-diam memasukan racun tikus pada kopi ambe. Sungguh aku tak menyangka kakak Ida berani melakukan hal ini. Kemarahan pada ambe sudah membuatkan mata hatinya tak mampu berpikir dengan jernih lagi.. Tadinya aku ingin tak berangkat ke Jakarta, melihat indo harus berjuang sendiri , apalagi kakak Ida mulai tak waras. Tapi indo memasak aku untuk pergi.
            “Pergilah, ingat pesan ambe. Salah satu dari anaknya harus jadi sarjana,”tukas Indo mengelus kepalaku. Aku mengangguk dan pergi dengan berat hati .


            Di sinilah aku setelah aku sukses lulus kuliah dan bekerja di jakarta. Kemudian aku memutuskan untuk kembali ke desa ini untuk menemani indo dan kakak Ida. Kakak Ida sudah mulai tenang walau masih tetlihat aneh bagi orang kebanyakan. Setiap bulan kakak Ida berobat ke kota. Aku akan meneruskan usaha ambe dan membangun desa ini .Aku pandang semua keindahan pegunungan dengan hamparan kebun kopi nan luas. Di sinilah aku dilahirkan dan disinilah aku akan membangun impian ke depan bersama kebun kopi milik ambe. Walau ada rasa pahit bila behubungan dengan kopi yang selalu mengingatkan akan kepergian ambe. Tapi dari kopilah aku bisa berhasil dan berdiri tegak di depan pegunungan  yang gagah berdiri. Ambe, maafkan kakak Ida, semoga kau tenang di sana. Aku kembali ke sini setelah aku jadi sajana. Aku sudah menepati janjiku padamu, ambe.  Aku berbalik dan menatap kebun kopi milik ambe. Berjalan perlahan, mengenang semua hal tentang kopi, pahit manis semuanya ada di sana. Seceruput kopi dari secangkir kopi menyisakan kesedihan mendalam.

Blogspot ini dibuat dalam rangka Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory diselenggarakan oleh Giordano dan nulisbuku.com


6 Di Balik Lukisan Wanita

Jumat, 05 Agustus 2016




 Gambar dari sini

             Menjelang sore saat langit terlihat menjingga kami sampai di rumah neneknya Gilang, kebetulan aku dan teman-teman diajak berlibur ke desa neneknya di daerah Garut. Kaki sudah terasa pegal karena semenjak turun dari angkot, kami masih harus berjalan kaki, karena tak ada kendaraan lagi masuk ke desa Mekarsari, hanya jalan setapak.
            “Gil, dah dekat belum?” Silvia menanyakan pada Gilang sambil mengusap peluhnya, aku menoleh pada Gilang menunggu jawabannya. Gilang hanya tersenyum saja. Aku juga sudah mulai lelah dan perutku sudah bernyanyi semenjak tadi karena siang tadi hanya semangkok baso yang masuk ke dalam perutku. Sedikit terhibur dengan pemandangan alam yang hijau yang masih banyak sawah , ladang dan dari kejauhan tampak gunung Guntur yang berdiri gagah dengan awan yang mulai menutupi puncaknya . Warna langit semakin menggelap tapi perjalanan belum sampai titik akhir.
            “Gil , kapan nyampenya ?” aku mulai mengeluh karena aku tak biasa berjalan kaki dengan jarak sejauh ini, sehingga mulai terasa pegal di kakiku.
            “Tenang sebentar lagi, sabar, kalau kalian mengeluh terus akan terasa lama ,” Gilang menyahuti keluh kesah kami semua. Akhirnya kami semua tutup mulut karena percuma mengeluhpun tak membuat kami sampai dengan cepat. Gilang menunjuk rumah besar di tepi bukit ,kalau itu rumah neneknya. Rumah besar itu tampak menghitam dalam kegelapan hanya sinar-sinar kecil yang berasal dari lampu rumah yang berkerlap-kerlip, aku mulai melangkahkan kakiku besar-besa agar cepat tiba di sana.
            “Hati-hati Nancy, hari sudah gelap , nanti kamu kesandung,” Gilang mulai menasehati, benar saja tak lama kemudian aku terjerembab. Gilang membangunanku dan mulai menuntunku jalan. Untung Sapto membawa senter sehigga kami dapat melihat jalan walau remang-remang. Akhirnya rumah besar ini sudah tampak di depan mata kami, ada kelegaan tersendiri di hati ini. Saat pintu terbuka tampak sosok perempuan tua tinggi besar dengan sorot mata yang ramah.
            “Yuk, masuk pasti kalian sudah lelah ya, oma sudah buatkan makanan buat kalian makan,” ajaknya. Aku sudah menelan air liurku saat mendengar kata makan, yang pasti yang lainpun pasti sudah kelaparan.  Malam itu aku tertidur pulas sekali dan saat terbangun sinar matahari sudah masuk ke dalam kamarku yang kutempati bersama Sylvia. Aku bangun dengan sedikit merenggangkan badanku dan terdengar suara kretek di pinggangku, tapi rasa pegal masih terasa di seluruh tubuhku. Aku mulai menyibakan gorden jendela dan kulihat Sylvia juga mulai terbangun.

            Saat sarapan aku melihat di sana ada lukisan besar seorang wanita indo , cantik seperti keturunan ningrat. Waktu kutanyakan, oma bilang itu foto ibunya, pantas saja kecantikan wajah di lukisan itu turun pada wajah oma, masih terlihat tanda-tanda kecantikan wajahnya. Semua melihat foto wanita itu yang menurut oma bernama Sarah turunan  Belanda. Aku terkesima saat aku melihat wanita itu mengedipkan matanya padaku , aku berulang kali mengucek mataku takut kalau aku hanya melihat halusinasi, tapi wanita itu sekarang terlihat mengedipkan matanya lagi.
            “Syl, kamu lihat gak lukisan wanita itu bergerak,” aku melihat Sylvia menggelengkan kepala sambil menatapku heran. Begitu juga dengan yang lain , mereka tak melihat ada gerakan pada lukisan itu.
            “Mungkin kamu kurang tidur malam hari kemarin,” Gilang menghiburku, tapi saat ada panggilan makan dari omanya Gilang, aku kembali menatap lukisan itu, benar saja mata itu mengedip padaku. Astaga, apa penglihatanku benar adanya????. Malam itu , aku kembali terlelap karena sepanjang siang mengelilingi desa melihat aktivitas penduduk dengan alamnya. Aku mulai mengantuk dan terlelap dalam tidurku yang lelap. Entah mengapa aku seperti disuruh untuk datang ke ruang tengah, di sana aku memperhatikan wajah wanita itu yang menurut Gilang bernama Sarah. Tiba-tiba Sarah berbicara padaku dengan logat ke belanda-belandaan. Aku terkejut, apa yang kulihat apa benar adanya , masa ada lukisan bisa bicara????.
            “Tolong aku, aku percaya kamu bisa menolongku!” jelasnya sambil menatap mataku, aku melihat ada kesedihan yang mendalam dalam bola matanya.
            “Pergilah kamu ke belakang bukit , dan temukan ada sebuah pohon yang kuberi tanda silang dan di bawah pohon itu kusimpan tulisanku untuk seseorang yang kucintai,” tukasnya .
            “Aku percaya kamu akan membantuku,” sahutnya lagi sambil memperinci jalan menuju ke belakang bukit. Entah mengapa , aku dikagetkan oleh tangan Sylvia yang menyentakku. Aku heran, mengapa aku masih ada di kamar tidur , padahal jelas aku baru saja berbicara dengan Sarah.
            “Minumlah dulu Nan, kamu tadi teriak-teriak, mungkin kamu mimpi gak enak malam ini,” Sylvia menyodorkan air putih padaku, tapi sungguh jelas terlihat Sarah berbicara padaku , padahal itu hanya sebuah mimpi. Sampai pagipun aku tak mampu memejamkan mataku.

            Pagi itu saat sarapan, aku melihat lagi Sarah mengedipkan matanya padaku, aku memandang teman-teman yang lain, sepertinya mereka tak melihat Sarah yang bisa bergerak. Aku menceritakan mimpiku , tapi semua hanya mengatakan bunganya tidur.
            “Mungkin kamu masih terobsesi kemarin kalau kamu melihat matanya mengedip,” ujar Didi. Aku mulai marah, mengapa mereka tidak percaya denganku, padahal jelas aku melihat Sarah memberiku tanda dan kemarin malam  Sarah menyuruhku ke balik bukit, tapi aku tidak merasa seperti mimpi.
            “Kamu mimpi Nancy, aku melihatmu menjerit-jerit,” ejek Sylvia. Aku hanya bisa pasrah saja , toh aku tak bisa memaksakan mereka untuk percaya. Hatiku semakin gundah , saat sudah hampir tiga hari aku selalu bertemu dengan Sarah dan Sarah memintaku untuk pergi ke balik bukit. Sylvia tetap mengatakan kalau aku hanya mimpi dan untuk diabaikan saja. Aku melihat  bayang-bayang wajah Sarah  selalu mengikuti kemana aku pergi, sungguh membuatku tak bisa bernafas lega.
            “Nan, dari kemarin aku lihat kamu seperti orang bingung?” tanya Gilang yang menghampiriku bersama Sapto.
            “Aku gak mengerti Gil, ibunya oma selalu menyuruhku untuk pergi ke balik bukit, aku disuruh mencari buku yang ditanamnya di bawah pohon yang dia beri tanda di batangnya,” ujarku . Gilang dan Sapto masih terdiam.
            “Lang, kamu juga gak percaya denganku, aku ingin sekali ke balik bukit seperti yang diinginkan Sarah.” Aku mengatakan dengan mantap tapi sebenarnya aku juga merasa ngeri ke sana. Kalau satupun tidak ada yang percaya, apa boleh buat aku akan mencari tahu sendiri.
            “Aku ikut denganmu.”
            “Benar? , trims ya,” tulus aku mengucapkan terimakasihku untuknya. Sapto akhirnya bersedia ikut denganku.

            Keinginanku untuk pergi ke balik bukit membuat teman-temanku yang lain tak setuju, mereka bilang terlalu bahaya, apalagi orang jarang pergi ke balik bukit ini.
            “Tempat di sana seram neng, lebih baik urungkan niat kalian ke sana, “jelas mbok Parti pembantu oma.
            “Dengar itu Nan, lebih baik gak usah, mungkin itu hanya halusinasi kamu saja,” Sylvia mulai membujukku untuk tak datang ke sana. Aku bukan tipe orang yang mudah ditakut-takuti, jadi tak mengapa , yang pasti Gilang akan menemaniku. Esok pagi , aku, Sapto dan Gilang bergegas  mendaki bukit untuk menuju bagian belakang bukit. Menuju ke sana , melewati belakang rumah oma, di sana tampak dua makam Sarah dan suaminya. Aku mulai terganggu karena ilalang yang tinggi dan sering melukai tangan dan kakiku. Hampir sejam aku menaiki bukit , nafasku sudah mulai habis.
            “Apa benar jalannya kemari Nan?” tanya Sapto sambil mengamati sekelilingnya, karena sama sekali tidak ada jalan setapak sehingga kami harus memotong sendiri ilalang yang menutupi jalan kami.
            “Aku rasa benar, persis seperti Sarah ceritakan padaku.” Aku juga mulai mengamati setelah mencapai puncak bukit.
            “Nah, ini pohon beringin ini tanda kalau sudah sampai puncak, menurut Sarah,” aku mulai mengelilingi pohon beringin dan aku hampir yakin kalau sebentar lagi akan tiba pada pohon yang bertanda silang. Tak lama kemudian aku mendengar teriakan Gilang.
            “Nancy, sini lihat pohon dengan tanda silang!’ teriaknya yang membuatku bergegas menuju arah suara. Aku menyuruh Sapto dan Gilang untuk menggali tanah di bawah pohon yang ada tanda silangnya. Sementara mereka menggali, aku melihat-lihat sekelilingku sampai aku dikagetkan karena di hadapanku sudah berdiri Sarah. Tubuhku terasa gemetar dan aku mulai ketakutan.
            “Tolong, baca buku diaryku dan kabulkan permohonanku, agar aku bisa tenang di sana,” jelasnya. Belum sempat aku menjawabnya , kudengar Gilang menyuruhku, melihat apa yang diketemukan di bawah pohon. “Buku Diary” Astaga, jadi ini benar adanya, bukan bualan semata!!!! Aku merebut buku diary dan mulai membacanya dan aku mulai terhanyut dan air mataku turun satu persatu membasahi pipiku. Aku menyodorkan buku diary itu pada Gilang .

            Semua terbongkar rahasia cinta Sarah dengan pemuda lokal, sebelum Sarah dipaksa menikah dengan ayanhnya Sarah. Cinta Sarah tak pernah berubah pada pemuda yang bernama Joko walau Sarah sudah menikah dengan pilihan orang tuanya. Cinta sejatinya dibawa mati.
            “Oma, kalau Joko itu siapa dan dimana tinggalnya?” tanay Gilang yang mulai penasaran.
            ‘Joko ,seorang  petani , dia menikahi perempuan desa ini juga  , anaknya tinggal satu yang ada di desa ini, yang lain merantau ke kota,” cerita oma. Menurut diary ini, Sarah ingin kalau dia meninggal dimakamkan dekat dengan makamnya Joko, tapi apa itu mungkin???? Oma hanya menggelengkan kepala, oma masih tampak syok tak menyangka ibunya punya cinta lain di hatinya. Gilang mengusulkan untuk bernegosiasai dengan anaknya Joko , agar makam Sarah bisa dipindahkan dekat makam Joko atau sebaliknya. Gilang mengajak mbok Parti untuk mendatangi keluarga Joko sambil memperlihakan diary milik Sarah, mudah-mudahan keluarga mereka mau mengabulkan permintaan Sarah. Walau kelihatannya ini ide gila, aku yakin setelah impian Sarah terwujud, aku yakin dia akan tenang di alam kuburnya.

            Aku mencium oma untuk bepamitan, sudah haampir sepuluh hari kami berlibur di sini. Tak terasa waktu cepat berlalu, liburan kali ini membawa kenangan tersendiri bagiku menyatukan cinta Sarah dan Joko yang lama terpisah , walau hanya mendekatkan makam mereka.Satu permintaan Sarah yang dapat dikabulkan. Waktu aku pamitan dengan oma, aku melihat lagi lukisan Sarah, aku melihat Sarah tersenyum manis padaku.  Mungkin orang bilang itu halusinasi, tapi aku yakin Sarah tersenyum karena lega bisa berdampingan lagi dengan Joko. Aku membalasnya senyumnya dan saat aku membalikan tubuhku, aku memperhatikan Gilang yang menatapku tajam.
            “Kamu senyum dengan siapa Nancy?”  Aku hanya mengangkat bahuku dan tersenyum manis untuk Gilang temanku.